Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🦋Chap 1: Faga Langit

"FAGA, lo dipanggil sama Bu Avy."

Seluruh tatapan kini beralih pada sosok pemuda berseragam kusut di sudut kelas. Lelaki bernama Faga itu mendelik tajam ke sekeliling ruangan seolah mengisyaratkan agar semua siswa di kelas itu berhenti melihat ke arahnya. Yang langsung dituruti oleh seisi kelas. Mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing seolah tidak terjadi apa-apa.

Kevin, sang Ketua Kelas, yang tadinya memberi kabar tersebut hanya bisa berdeham dan menyingkir dari pintu karena Faga beranjak berdiri dari kursi dan berniat melangkah keluar.

Faga menguap lebar. Pemuda itu melangkah santai menyusuri koridor yang tampak ramai karena sudah memasuki jam istirahat. Tepat di ujung koridor, Faga berbelok memasuki sebuah ruangan bertuliskan "Ruang BK" di muka tanpa bersusah payah meminta izin.

"Astaga, Faga! Di mana sopan santun kamu?!" seru Bu Avy terperanjat. Tidak menyangka muridnya akan memasuki ruangan tanpa izin.

Faga menatap datar sosok Guru BK-nya yang tengah duduk di seberang meja. Pria itu menghela napas. "Kenapa manggil saya?" tanyanya malas. Berhasil membuat Bu Avy semakin geram.

"Duduk!" titahnya tegas.

Pemuda itu memutar mata malas, lalu dengan gerakan terpaksa, memenuhi perintah sang Guru.

Bu Avy menarik napas dalam, seolah berusaha mengumpulkan kesabaran agar bisa menghadapi pemuda satu ini, lalu menghelanya panjang. Netra cokelatnya kini menatap lurus Faga yang duduk dengan kaki bersilang di kursi.

"Kamu tahu sudah berapa kali kamu masuk ruangan saya dalam seminggu ini karena bertengkar, Faga?" tanya Bu Avy dengan nada tenang berwibawa.

Faga tersenyum remeh. "Hitung aja sendiri."

Tatapan Bu Avy menajam. Wanita bertubuh tambun itu sudah menduga jawaban Faga akan sedemikian tidak beretika seperti biasa. Namun, kali ini dirinya tidak bisa tinggal diam melihat tingkah muridnya yang semakin menjadi. "Empat kali, Faga," ucapnya penuh penekanan. Yang sayangnya tidak diambil pusing oleh Faga.

"Dan selama itu kamu selalu lolos dari hukuman karena uang dari orangtuamu," lanjut wanita itu sarkas. Yang sayangnya secara tidak langsung kalimat itu menyindirnya sebagai seorang guru yang menerima suap. Padahal nyatanya, semua uang itu beralih pada kepala sekolah karena Bu Avy menolak menerimanya.

Faga menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Terus mau Bu Guru apa? Nyuruh saya berubah?" Pemuda itu berdecih. "Jangan mimpi," lanjutnya ketus.

Bu Avy mendelik tajam. "Faga! Niat saya ba———"

Faga menggebrak meja. Pemuda itu balas menatap tajam sang Guru, lalu beranjak berdiri. "Kalau ternyata semua sudah diselesaikan pakai uang Papa saya, nggak usah panggil-panggil saya. Nggak ada gunanya, dan saya capek dipanggil ke ruang BK terus padahal masalahnya sudah selesai. Permisi." Pemuda itu berbalik setelah menekankan kata permisi seolah menyindir bahwa dirinya sedang bersopan santun.

***

"Lama banget. Pasti lo dipanggil BK lagi," sambut Han, kawan Faga yang sedari tadi menunggu di parkiran, dengan nada menyindir.

Faga berdecih samar. "Joan sama Putra mana?" tanyanya saat tidak menemukan batang hidung dua pemuda itu di parkiran. Biasanya ketika bel sudah berbunyi, dua sejoli itu pasti sudah menunggunya bersama Han.

"Gue di sini," seloroh Joan seraya mengibaskan rambut gondrongnya kemayu. Putra yang berjalan mengiringinya langsung menoyor wajah Joan agar menjauh. "Jijik, anjir!"

Faga menatap ketiga temannya bergantian. "Kita ke jembatan hari ini."

"Hah? Ke sana lagi?" tukas Joan dan Putra keberatan. Yang sayangnya tidak digubris oleh Faga yang kini sibuk mengenakan helm full face miliknya, lalu loncat menaiki motor.

Han menghela napas singkat, lalu menaiki motornya tanpa banyak protes. Sementara Joan tampak murung. "Padahal gue kira bakal ke club. Sayang banget padahal Amel baru aja mutusin gue."

***

"AMEELL! GUE BENCI SAMA LO!" teriakan Joan menggema. Pemilik rambut gondrong itu menghela napas panjang.

Han dan Putra terbahak menyaksikan kelakuan Joan barusan. Yang ditertawakan tak peduli. Ia kembali menaruh kedua telapak tangannya di pinggir mulut, lalu berteriak, "AMEEEL! DASAR CEWEK NGGAK TAU DIRIII!"

Jembatan penghubung gang itu kini dipenuhi suara tawa. Matahari sudah mulai terbenam. Faga dan ketiga temannya memutuskan untuk nongkrong di tempat biasa mereka.

Bukan klub mahal, ataupun tempat hiburan malam lainnya, melainkan sebuah sisi jembatan penghubung antar gang di dekat sekolah. Hampir tidak ada kendaraan yang lewat. Faga, Joan, Putra, dan Han memang sudah jatuh cinta pada tempat itu sejak awal. Sebenarnya, alasan Faga memilih tempat itu adalah karena ia bisa menikmati pemandangan hutan dari atasnya. Ditambah pemandangan langit senja, membuat Faga yang kesehariannya berkelahi, menjadi merasakan sedikit ketenangan.

Joan bilang, tempat itu paling pas untuk sebat dan berteriak menghilangkan stres seperti yang ia lakukan barusan. Putra tak mau kalah, ia bercerita tentang betapa ia lelah dengan kehidupan, dan berencana bunuh diri di jembatan itu. Walau ucapannya adalah kelakaran semata, Han tahu persis masalah kawan bertubuh gempalnya itu.

"Patah hati lagi lo?" Han mengembuskan asap rokoknya. Ia duduk di atas motornya seraya menatap langit kemerahan di ufuk barat.

Joan terkekeh. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya, lalu menyalakannya sebelum menjawab, "Amel mutusin gue."

Putra tertawa. "Ngapain cewek macam Amel lo ladenin?"

"Suka-suka gue lah." Joan menyemburkan asap rokoknya pada Putra.

Mereka berdua kini sibuk bertengkar lewat semburan asap.

Han mengetuk ujung rokok dengan telunjuknya hingga menjatuhkan beberapa abu. Ia beralih menatap Faga yang sibuk menikmati penampakan senja sore itu. Asap mengepul di sekeliling wajahnya yang dingin.

"Ga, lo nggak ada niatan berhenti tawuran?"

Mata Faga memicing seketika. Ia seolah memberi tatapan menantang pada Han. "Emangnya kenapa?"

Han terkekeh. "Kita itu udah bukan anak kecil lagi, Ga. Apa gunanya kita tawuran sana-sini?" Anak rambut Han bergoyang diterpa angin. Wajah tirusnya tersiram cahaya kemerahan senja. Ia menatap Faga serius.

Joan dan Putra saling bertukar pandang. Sejenak mereka lupa soal Amel. Keduanya ikut memberi tatapan penuh tanda tanya pada ketua mereka.

"Maksud lo?" Dahi Faga berkerut. "Lo kira kita tawuran sana sini buat apa!"

Mulut Putra dan Joan mendadak kicep. Tak terkecuali Han yang tadinya memberanikan diri bertanya. Cukup melihat wajah tersinggung Faga, ketiganya tak berani melawan.

"Gue---"

Drrtt ....

Joan nyengir. Ia membuka ponselnya terpaksa. Di bawah tatapan kesal Faga, pemuda itu bangkit berdiri, lalu mengangkat telepon. Seperti biasa sikap Joan sulit tertebak. Bahkan di saat sang Pemimpin sedang marah pun, pemuda itu dengan santainya mengangkat telepon dari orang lain.

Selang beberapa detik kemudian, Joan bersorak senang. "Amel nggak jadi mutusin gue!"

Tanpa basa basi lagi, pemuda berambut gondrong itu segera tancap gas melupakan Faga dan teman-temannya.

Han dan Putra saling lirik. Berusaha menahan tawa. Faga mengumpat kesal. Menatap tajam motor Joan yang mulai menjauh.

Sementara langit sempurna gelap, Putra takut-takut berdiri dan membuang puntung rokoknya. "Gue lupa habis ini ada janji sama bokap," kata pemuda bertubuh gempal itu dengan seringai canggung.

Han hanya mengangguk melihat Putra yang sudah bersiap. Ia tahu, Putra tak bisa berlama-lama di luar rumah karena kondisi keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.

Suara mesin motor milik Putra kian menghilang. Ujung jembatan itu menyisakan dua remaja yang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Hingga keheningan sementara itu kembali terputus oleh Han. "Ga, gue pamit dulu," ujarnya seraya menepuk pundak kiri Faga usai membuang puntung rokoknya. Faga tak menoleh. Hanya mendelik mengamati pemuda bertubuh kurus itu mengenakan jaket kulit kesukaannya, dan membenarkan posisi helm di kepala.

Faga menghela napas saat Han dan motornya sudah pergi menyeberangi jembatan. Suasana mendadak sepi. Faga mau tak mau mengakhiri acara sebat-nya lalu menghidupkan mesin motor. Percuma di sini lama-lama, batinnya.

Suara tawa para preman ujung gang mulai terdengar. Faga bisa menebak mereka pasti sudah mangkal di ujung jembatan untuk mencegat para perempuan yang pulang larut. Faga tak peduli. Ia sudah terbiasa memergoki mereka menggoda perempuan yang tak sengaja lewat.

Setelah mesin motor miliknya dirasa panas, pemuda itu segera melajukan kendaraannya menyusuri jembatan. Mata Faga memicing saat ia menyadari sosok yang ia kenal tengah berdiri dari arah berlawanan.

Lima puluh meter kemudian-tepat panjang jembatan itu-Faga menyadari dugaannya benar. Ia pun berhenti sejenak di dekat para preman yang sudah mengerubungi seorang wanita paruh baya.

"Faga! Tolong saya!" teriak Avy pada pemuda itu. Walau wajahnya tertutup helm sekalipun, Avy tahu persis sosok itu adalah Faga, muridnya.

Para preman itu tertawa setengah mabuk. Mereka beralih menatap Faga yang masih setia di atas motornya.

"LU MAU NOLONGIN DIA?" bentak salah satu dari mereka. Wajahnya sudah memerah akibat minuman oplosan yang baru saja ditenggak.

Faga menggeleng. Ia malah memberikan senyum ejekan pada wanita paruh baya itu, lalu melajukan kembali motornya tanpa ada keinginan untuk menolong sedikitpun.

Seketika itu juga, wajah Avy berubah pucat.

***

Faga melemparkan tasnya ke sembarang arah. Pemuda itu mengempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Ia menghela napas panjang. Kepalanya mendongak menghadap plafon serba putih di atasnya.

Matanya menerawang jauh ke atas. Menebak-nebak apa yang akan terjadi pada Bu Avy setelah ia tinggalkan petang tadi?

Seringai keji muncul di wajah pemuda itu. Seolah puas dengan bayangannya soal Bu Avy yang akan mendapatkan trauma malam ini. Membayangkan guru BK yang selalu mengusik waktunya itu menderita, membuat Faga merasa puas.

Suara detak jarum jam memecah keheningan malam. Faga memejamkan matanya demi merasakan suasana sepi itu. Berusaha terbiasa dengan keadaan rumah besar ini.

Lengang.

Setelah mengembuskan napas panjang, mata elang Faga terbuka. Pemuda itu kemudian memutuskan bangkit dari posisinya, lalu melangkah gontai menuju kamar tidur. Tanpa berniat melepas seragamnya, ia sudah mengambil posisi berbaring. Bersiap menjemput mimpi malam ini.

***

"Kenapa kamu masih hidup!?"

Suara penuh kebencian itu seolah menusuk telinga bocah 5 tahun yang duduk memeluk lutut di sudut ruangan. Sosok wanita jangkung itu menatap marah bocah di depannya.

"A-ampun, Ma ...."

"AKU BUKAN MAMAMU!"

Wanita itu menarik paksa lengan kecil sang anak menuju kamar mandi.

"Sini kamu!"

Bocah laki-laki itu meronta-ronta saat kepalanya dipaksa tenggelam ke dalam bak mandi. Aroma kamar mandi yang sudah lama tak diurus itu beradu dengan air yang mulai lancang masuk ke dalam hidung sang bocah.

"Kenapa kamu nggak mati aja!"

Tak sempat menangis, bocah laki-laki itu hanya bisa berusaha bertahan dari siksaan wanita tersebut.

"Faga! Kamu nggak papa, Nak?"

Air muka penuh kebencian di wajah wanita itu seketika berubah khawatir. Ia menatap bocah yang baru saja ia siksa itu dengan penuh penyesalan.

Bocah bernama Faga itu menatap sosok ibunya horor. Perubahan emosi wanita itu benar-benar membuatnya ingin muntah.

Sepersekian detik kemudian, tubuh ringkih itu sudah jatuh dalam pelukan sang ibu. Jantung Faga berdetak cepat. Ia tak bisa menahan air matanya untuk tak keluar.

"Ma-mama jahat!" tangis Faga pecah saat itu juga.

PLAK!

"APA KAMU BILANG!?"

Monster. Itulah satu kata yang bisa bocah itu ungkapkan dalam batinnya saat itu juga.

"HAH!"

Mata Faga terbuka lebar seolah hampir copot. Pemuda itu terbangun dari mimpinya dengan pelipis yang basah oleh keringat.

"Sial!" umpatnya kasar.

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro