Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9. Raja Bathara

Oleh Tuhan, kamu dituntut untuk terus mencari jawaban
atas pertanyaan -pertanyaan; apa kesedihan paling dalam
buatmu? Apa kebahagiaan paling besar buatmu?

(Malaikat Magang —Raja)

Tujuh bulan lalu, Ajeng merasa nyawanya ditarik paksa menyaksikan Putri  satu-satunya  ditemukan  di  paving  taman  dengan  kepala bersimbah darah. Meski pertengkaran demi pertengkaran dengan Naya sudah seperti jadwal minum obat, nyatanya, seorang ibu tetaplah orang terdekat. Di dalam tubuhnya pernah berbagi nyawa.

“Panggil ambulans sekarang!” teriak Ajeng di sisi tubuh kaku Naya kepada semua pembantu di rumahnya. Matanya merah menatap Tan yang bersimpuh di sebelah tubuh anaknya. “Kenapa bisa gini, Tan? Bukannya kamu tadi ke kamar Naya?”

“Naya lon-cat. Naya loncat,” ucap Tan menangis.

“Ya, Tuhan ....” Ajeng sama kacaunya dengan Tan. Dia merasa bersalah. Sebagai ibunya harusnya dia yang tahu Naya kenapa sampai nekat loncat dari loteng.

Pekak sirene akhirnya merobek tengah malam sunyi kediaman Ajeng. Ambulans datang lebih cepat dari dugaan. Tandu dari dalam ambulans di parkiran dikeluarkan menuju taman. Tiga petugas rumah sakit sudah siap dengan pertolongan pertama.

“Benar ini rumah  Kakek  Saka?” tanya salah seorang petugas. Sedangkan dua petugas lain sedang memeriksa dan siap mengangkat tubuh Naya.

“Benar,” jawab Ajeng mencoba tegar.

“Kami ditelepon Pak Tara dari Kedai Bang Jago langganan Kakek Saka. Pesannya darurat, ada kecelakaan di paving taman rumah ini.”

“Tara?” tanya Ajeng bingung, mencoba berpikir jernih.

“Ibu  setuju,  pasien  langsung  diproses  di  rumah  sakit  sesuai panggilan?” tanya petugas.

Tidak ada waktu untuk Ajeng berpikir lagi. Meskipun Naya tidak masuk ke rumah sakit langganan keluarga, tapi ini genting. Naya harus segera mendapatkan pertolongan.

“Lakukan yang terbaik buat putri saya,” ucap Ajeng tegas. Darah biru dari keluarganya di Solo membentuk karakternya seperti seorang ratu.

“Pendarahan luarnya tidak terlalu parah karena balutan kuat kain ini,” lapor perawat yang memeriksa luka Naya di kepalanya. “Rembesan darahnya bahkan sudah mengental dan menghitam.”

Ajeng mengamati kain putih itu. Benar, darah di permukaannya telah menghitam. Di antara rembesan darah Naya ada logo Bang Jago dengan huruf A diganti dengan gambar kepala ayam bersayap malaikat.

Tubuh  Naya  pun  diangkat  dengan  tandu  menuju  ambulans. Petugas rumah sakit berjalan serempak menuju parkiran. Tan dan Ajeng mengikutinya dari belakang. Sesampainya di parkiran depan rumah, Kakek Saka keluar dari pintu dan tergopoh-gopoh menuju ke arah Ajeng.

“Non Naya, kenapa?” tanya Kek Saka khawatir.

Setelah dia menandaskan ayam goreng mentega dari Kedai Bang Jago, dia tertidur. Namun, sirene ambulans mengagetkannya. Terpaksa dia bangun dan berjalan pelan ke arah sumber suara.

“Mbah di rumah aja, ya. Naya kecelakaan,” jawab Ajeng buru-buru.

Akan tetapi, tangan keriput Kakek menahannya.

“Itu,”  ucap  Kakek  menunjuk  kaus  putih  penuh  darah  yang membalut kepala Naya. “Kaus yang dipakai pengirim Kedai Ayam Bang Jago tadi. Kupikir dia sudah pulang.”

“Itu kedai ayam langganan Mbah, kan?” Ajeng tahu Kakek Saka sering memesan via online ayam goreng mentega dari kedai itu.
Kakek Saka mengangguk. “Pemiliknya Tara.”

“Mbah kenal dekat dengan Tara?” selidik Ajeng.

“Tara  sudah  aku  anggap  sebagai  anak  sendiri.  Dia juga yang menyetok obat-obat jantung Kakek dari rumah sakitnya.”

“Aku, kok, nggak pernah lihat dia ke rumah, Mbah?” tanya Ajeng semakin penasaran.

“Apa pernah kamu lama di rumah? Bahkan, Tara ikut aku merawat taman rumah kalau kamu sedang sibuk di butik. Kurirnya pasti yang melapor ke Tara, makanya dikirim ambulans dari rumah sakitnya. Ah, Tara memang suka menolong,” ucap Kakek dengan mata yang memburam melihat Naya masuk ke dalam ambulans.

“Oke, nanti setelah urusan dengan rumah sakit kelar, aku langsung menghubungi  Tara,”  pungkas  Ajeng,  lalu  menyusul  ikut  masuk ambulans.

Di Tara Health, semua pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui sebab Naya pingsan. Hasilnya, tidak ada kerusakan yang serius di tubuh Naya. Kecuali luka-luka luar saja. Itu pun bisa diobati di rumah. Namun, Naya tetap harus ada di ruang perawatan karena saturasi oksigen dalam darahnya tidak stabil. Dia perlu masker oksigen dan infus untuk injeksi makanannya selama tak sadarkan diri. Kata dokter, Naya bisa pingsan berbulan-bulan. Ajeng tidak peduli dengan berapa pun biaya yang dikeluarkan, asal Naya bisa tetap hidup. Atas ACC Tara, akhirnya Naya diputuskan dirawat hingga sadar.

Campur  tangan  dan  bantuan  Tara  membuat  Ajeng  kembali memikirkan  siapa  dia.  Sosok  yang  sudah  dianggap  keluarga  oleh Kakek Saka dan menyelamatkan Naya dari perdarahan kepala. Dia juga pemilik rumah sakit ini yang bersedia merawat Naya sampai sadar. Ah, Ajeng jadi semakin ingin tahu.
Dia pun ingin mencari tahu siapa Tara dengan memesan makan malam di Kedai Ayam Bang Jago di aplikasi ponselnya. Tidak sampai lima belas menit seorang kurir dari kedai ayam milik Tara datang.

Maap,  mengganggu.   Ini  kamar   Pi-Ai-Pi-1?   Pesanan   ayam menteganya telah siap disantap.”

“Tunggu  sebentar,”  kata  Ajeng  membukakan  pintu  ruangan. Ajeng fokus dengan kaus yang dipakai si pengantar. Persis dengan logo perban yang menyelamatkan luka luar di kepala Naya. “Boleh bawakan pesanan saya masuk,” perintah Ajeng mempersilakan masuk tanpa mau menerima kotak ayam yang sudah akan diserahkan.

Online serpis  berhasil. Done, ya, Tante,” ucap sang pengantar setelah meletakkan tiga kotak ayam di meja.

“Nama  kamu  siapa?  Dari  Sunda,  ya?”  tanya  Ajeng  ramah. Senyumnya   sangat   elegan.   Namun,   senyum   menawan  itu   tak dipedulikan oleh lawan biacaranya. Jangankan ikut senyum, pengantar pesanan ini justru cemberut dan bermuka masam.

“Nama saya Pais, Tante. Kok, tahu saya dari Sunda?”

“Itu, kamu nggak bisa bilang ‘V’,” jawab Ajeng tersenyum lagi, tapi dia sesali karena Pais lagi-lagi tak membalas senyumannya.

“Tante, siapa bilang orang Sunda nggak bisa bilang ep atau pe?” protes Pais tegas. “Itu hanya PITNAH, Tante. Pitnah!” ucap Pais dengan emosi membara ketika dia dituduh tidak bisa mengatakan kata dari huruf “F” atau “V” .

Ajeng tersenyum melihat Pais yang tiba-tiba emosi. Sepertinya dia masih denial dengan kekurangannya sendiri. “Pais silakan duduk, dulu. Tante ingin ngobrol bentar,” ucap Ajeng tersenyum ramah saat mempersilakan Pais duduk di sofa penunggu pasien.

Kurir ini bahkan tidak membalas senyumnya. Baru kali ini, ada kurir yang pelit senyum. Ajeng yang tersenyum dari tadi, diabaikan begitu saja. Senyum Ajeng seketika hilang. “Boleh minta nomor ponsel pemilik kedai?” tanya Ajeng mendadak lemah saat menengok Naya tak bergerak di ranjang belakangnya. “Buat ngucapin terima kasih kepada Pak Tara yang menolong anak Tante.”

Pais baru sadar, ternyata pelanggan debut ini adalah mama Naya. Dia pun langsung ikut duduk di sofa, memberikan ponselnya.

“Pakai nomor saya aja, Tante. Biar past response.”

Ajeng pun menerima telepon Pais dalam kondisi dialing ke Bang Jago. Ketika telah tersambung, Ajeng seperti berada berhadap-hadapan dengan Tara. Entah, rasanya dia begitu dekat, hingga dia merasakan seperti sedang ngobrol berdua tanpa perantara apa-apa.

“Pak Tara—”

“Panggil saja aku Tara,” potong Bang Jago terdengar ramah.

“Terima kasih, Tara. Tanpa bantuan kurirmu, mungkin Naya nggak tertolong karena kehabisan darah,” kata Ajeng tersendat-sendat karena tanpa diminta air matanya keluar. Dia kembali sesenggukan.

“Dia bernama Raja. Raja Bathara. Dialah yang menyelamatkan nyawa Naya. Akujuga siap membantumu, Jeng. Membantu Naya.”

“Kenapa? Bahkan kita baru saja kenal?” tanya Ajeng alih-alih curiga, dia justru penasaran.

“Aku sudah kenal Kakek Saka lama. Beliau sudah aku anggap sebagai ayahku sendiri. Bagaimana mungkin aku tidak membantu keluarga sendiri? Dan, kamu tak usah khawatir. Keadaan Naya juga baik-baik saja. Dia akan sadar walau mungkin butuh waktu sedikit lama.”

“Kamu juga yakin, Naya akan sadar?” tanya Ajeng seperti mendapat sebuah harapan.

“Sangat yakin. Tuhan mendengar doa hamba-Nya, Jeng.”

“Tapi, aku tidak pernah berdoa. Apa Tuhan tetap mendengarku?” tanya Ajeng pasrah.

“Tuhan selalu menunggumu, Jeng. Berdoalah. Berubahlah demi Naya. Nanti, saat Tuhan memberikan kesempatan kedua kepadamu untuk Naya, pergunakanlah sebaik-baiknya.”

“Andai Naya bisa melupakan dan memaafkan semua keegoisanku, Tara ....” Ajeng menangis lagi. Penyesalan di masa lalu menusuk-nusuk dadanya. Seperti jarum-jarum kecil yang sengaja ditancapkan rata di hatinya.

“Tidak ada yang tidak mungkin untuk Tuhan, Jeng,” jawab Bang Jago begitu tenang. Begitu jernih. Seperti dia sedang menghipnotis seseorang.

“Aku berjanji akan menjaga kebahagiaan Naya. Terima kasih, Tara. Terima kasih,” ujar Ajeng dengan senyum lapang meski tetap bersimbah air mata.

Rasanya  baru  saja  Ajeng  berbicara  dengan  seorang  malaikat. Kelegaan memenuhi dada Ajeng sekarang. Pada saat-saat berat seperti ini, Tara datang dengan dukungan dan tempat mengadu walau sebentar. “Terima kasih,” ucap Ajeng lembut tak tahu harus berkata apa lagi.

Panggilan Ajeng pun dimatikan. Suasana kembali hening karena suara Tara tak terdengar lagi. Namun, keheningan itu dirusak oleh suara cempreng Pais yang menyebalkan.

“Tante, maap, itu hape saya masih presh baru beli,” ucap Pais tiba- tiba karena Ajeng tetap menggenggam ponselnya. Kalau sambil nyengir senyum gitu, sih, jatuhnya lucu. Lha ini, Pais meminta hapenya dengan bibir kaku dan wajahnya yang seperti papan.

* * *

Memori Ajeng itulah yang mengisi kepalanya saat mendengar nama Raja  Bathara.  Ternyata  remaja  bermata  tajam  inilah  yang  telah menyelamatkan hidup Naya. Selama tujuh bulan menjalin pertemanan dengan Tara, Ajeng tak pernah satu kali pun dikenalkan dengan sosok Raja. Alasan Tara selalu saja sama; Raja sedang menjalankan misi di kota jauh bernama Sasvata dan mungkin akan kembali setelah Naya sadar.

Dan janji Tara benar, orang yang melepas kaus untuk perban luka Naya sekarang ada di hadapannya. Ajeng menangis sendiri. Apalagi baru saja dia mendapat kabar duka dari Tara. Kakek Saka telah tiada akibat serangan jantung di rumah. Rasanya dia ingin roboh saat itu juga. Kenapa Tuhan tidak memperbolehkannya istirahat sebentar saja dari cobaan ini?
Tetapi demi Naya, Ajeng harus mencoba tegar.

“Benar Ma, Raja yang nolong aku saat kecelakaan?”

Ajeng hanya mengangguk mencoba menyembunyikan air matanya yang ingin jatuh lagi.

“Tolong Tan, bantu Tante ngurus admin rumah sakit dan bawa barang-barang ke mobil, ya,” ucap Ajeng cepat-cepat menghapus air matanya. Ajeng sengaja menyembunyikan kabar  duka  Kakek  Saka kepada Naya. Dia takut Naya belum siap mendengarnya sekarang. Mungkin nanti saat perjalanan pulang.

Muka Tan berubah masam, enggan meninggalkan Naya berdua dengan Raja.

“Ja, titip Naya sebentar, ya. Nanti ikut anter Naya pulang ke rumah. Bisa? Tara nanti juga ada di sana, kok,” tambah Ajeng yang dibalas anggukan lemah Raja. Dia pun keluar ruangan bersama Tan, meninggalkan Naya dan Raja sendirian.

“Naya mau pulang?” batin Raja sambil menggenggam kuat ponsel Pais yang berisi rekaman terakhir Kakek Saka.

Bagaimana   kalau   Naya   mendengarnya?   Apakah   dia   akan menemukan air mata lagi dari matanya? Apakah ini akan menjadi duka pertamanya setelah ter-factory reset? Kehilangan sosok yang dekat dengannya? Tapi, bukankah lebih baik jujur walau menyakitkan?

Raja pun telah mengambil keputusan. “Nay, gue ada kabar duka,” kata Raja sambil mempersiapkan diri untuk melihat air mata Naya. Dan baginya, itu hal yang sangat menyiksa. “Kakek Saka, meninggal hari ini. Dan sebelum meninggal, dia menitipkan pesan kepada Bang Jago buatmu.”

“Mbah ... Mbah Saka meninggal?” bisik Naya tak percaya.

Dia  mendadak  kaku.  Tubuhnya  beku.  Air  matanya  perlahan mulai membentuk bulir. Pelan. Sangat pelan. Gerakan air bening itu seperti adegan slow motion di mata Raja. Membuatnya merasa disiksa perlahan-lahan. Hingga bulir pertama itu jatuh, Raja tak sanggup lagi untuk melihatnya. Dia lalu mendekap Naya yang mematung terluka.

“Mbah ...,” bisik Naya lemah di pelukan Raja.

Dan, ketika bulir air mata Naya menetes dan tepat jatuh di leher Raja, suatu keajaiban terjadi. Naya terlempar di waktu lampau saat air matanya menetes dan menyentuh kulit Raja. Kepingan memori yang hilang itu terasa menyusup pori-pori. Suara-suara tak jelas silih berganti, menabrak telinganya berkali-kali.

“Patih menyimpan rahasiamu ....”

“Rahasia kelammu ....”

Suara itu terus mendesak, lalu perlahan memudar, dan berganti layar lebar.

Di sana, Naya terisap jatuh ke dalam sebagai bayangan. Ajaibnya, dia tak sendiri. Raja ikut menemani menjelajahi memori. Kini mereka berdua berjalan dalam kenangan Naya. Memori yang tak bisa diingat tampak hidup lagi. Awalnya buram, perlahan-lahan jernih kemudian.

Bersambung....

Author Note :

Halo, Dek. Apa kabar kalian? Sudahkah kalian menistakan Pais hari ini? *eh... Canda Is. Jan senyum gitu dong. Hahahaha.

Nggak bosan, aku ingetin buat kalian minum segelas air putih setelah membaca Factory Reset. Lalu, catat deh, minimal satu hal yang membuat kalian bersyukur hari ini. :)

Dek, setelah baca chapter spesial hari Sabtu kemarin, sudah ada belum, yang berdoa kalau denger ayam jago berkokok? Atau berbuat kebaikan di waktu itu?

Wah, kalau sudah, semoga doa kita bisa dihantarkan sama malaikat yang sedang turun ke langit ya. Plis, minta usul kalian dong. Atau request kalian, kira-kira special chapter buat minggu depan enaknya diisi apaan? Komen ya di sini :)

Terakhir,

Aku ingin minta doa kalian, Dek. Khusus buat teman dan juga editor saya Denny Herdy yang telah berpulang sore ini kembali kepada Tuhan. Semoga amalan-amalan dia diterima, dan diampunkan segala dosa-dosanya. Amiin.

Terima kasih ya, Dek. Tetap Semangkok!

Salam hangat,

Nara

IG : @naralahmusi

Wattpad : @naralahmusi

Publisis : @dilisabook

@factoryreset__

Supported by:

@wattpad_storyyyy @catatanwattpad_id @wattpad.diary @wattpadandmovie @wattpadquotes_id

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro