Chapter 8. Handphone Naya
Kamu tahu satu rahasia langit yang hanya diketahui para
malaikat? Bahwa sesungguhnya, Tuhan sangat mencintaimu.
Sangat menyayangimu ....
(Malaikat Magang —Raja)
Angin menampar keras wajah Raja dan Pais ketika malaikat itu menukik tajam untuk mendarat. Kecepatan malaikat itu membuat sosoknya tak bisa dilihat. Bahkan, Kakek Saka sampai memejamkan mata mengira tamannya sedang terantam angin badai. Sementara itu, Raja dan Pais merasa inilah akhir hidup mereka sebagai malaikat magang. Mereka sudah siap untuk mati diadili. Namun, ketika malaikat itu mendarat kilat dan menyembunyikan sayapnya, mata Raja melihat sosok malaikat senior yang sudah dikenalnya.
“Bang Jago?!” ucapnya kaget.
Tetapi, Bang Jago tak menganggap Pais dan Raja ada. Seolah tidak mendengar panggilan Raja, dia fokus dengan Kakek Saka. Dengan senyum yang indah dan terlatih, Bang Jago mendekati Kakek Saka. Dia datang seperti manusia biasa, mengulurkan tangan untuk meraih jari jemari keriput Kakek Saka dan menyalaminya seperti kawan lama.
“Kapan gue bisa senyum sedahsyat itu, ya Tuhan?” bisik Pais mupeng.
“Ah, akhirnya kamu datang, Tara. Tapi, maaf janjian kita bertemu di taman harus berantakan karena dua bocah bermasker ini. Mereka perlu diajarin sopan santun. Dua-duanya nggak ada akhlak,” ujar Kakek itu kepada Bang Jago.
“Yah, malah ngadu ini, Kakek.” Raja menggerutu.
“Biar nanti saya yang kasih mereka pelajaran, Kek. Masih ingat kedatangan saya ke sini, Kek?”
Kakek Saka mengangguk, tahu ke mana Bang Jago akan membawanya.
“Sekarang sudah saatnya Kakek terbang sama saya.”
Raja dan Pais terkejut melihat sisi lembut Bang Jago. Dia begitu santun, hangat, dan penuh senyum. Bahkan, dia begitu sabar membimbing targetnya menuju ajal.
“Ke tempat bernama Sasvata, kan? Tapi, kalau kita perginya lama, bolehkah aku pamitan dulu sama Non Naya. Dia sudah sadar hari ini. Aku tidak ingin membuatnya khawatir.”
Bang Jago menyikapi permintaan Kek Saka dengan bijaksana. “Tentu saja boleh. Tapi, nggak bisa bertemu langsung. Waktu keberangkatan sebentar lagi. Kek Saka rekam saja ya pesan buat Naya. Nanti, saya yang sampaikan,” ujar Bang Jago ramah. “Is, siniin hape lo,” kata Bang Jago mendadak tegas ke arah Pais.
Tadi ngomong sama Kakek halusnya kayak ngomong sama ratu, giliran ngomong ke gue sudah kayak ngomong sama babu. Pais cemberut sambil merelakan ponselnya dipinjam.
Kakek pun tampak bahagia dan semangat. Kemudian, Bang Jago mulai merekam suara Kakek Saka dengan ponsel. Air mata Kakek mengalir, saat mengingat kenangan-kenangan bersama Naya selama hidupnya.
“Maafkan, Mbah ya, Non. Sudah waktunya Mbah pulang. Mbah selalu berdoa, semoga ada malaikat baik yang selalu menjaga Non,” kata terakhir Kakek kepada Naya.
Raja ikut sedih. Tapi, dia tidak tahu kenapa malaikat tidak bisa mengeluarkan air mata. Padahal, hatinya merasa berduka. Raja jadi penasaran, apa rasa sedih yang paling menyayat sehingga dia bisa mengeluarkan air matanya?
“Non Naya pasti tambah kesepian. Kasihan dia, Tara. Dia sudah seperti nggak punya siapa-siapa lagi,” ucap Kakek Saka sedih. Dia seolah sudah tahu hari ini adalah hari kematiannya. Dengan lemah, dia berjalan mendekati taman. Dia ingin berpamitan dengan taman yang sudah puluhan tahun dia rawat seperti anak-anaknya sendiri. Pohon angsana yang dulu kerdil dan kini makin tinggi itu, tampak sedih. Pohon itu seperti ikut melepas kepergian sang kakek, orang tuanya.
“Sekarang, Kakek istirahat dulu di dalam rumah ya, sebelum kita berangkat ke Sasvata,” ucap Bang Jago kepada Kakek yang sudah kepayahan bernapas.
Kakek Saka menurut. Dia lalu berjalan pelan, dengan tangan mencengkeram dada kirinya, menuju rumah Naya. Raja dan Pais saling tatap saat Bang Jago berdiri di depan mereka.
“Untung gue yang lihat kalian bikin kesalahan. Kalau malaikat senior lain gimana? Jangan pernah ulangi lagi, atau kalian dipecat dan mati,” pesan Bang Jago marah.
“Maaf, Bang,” ucap Raja dan Pais kompak.
“Sekarang ke rumah sakit. Kembalikan ponsel Naya yang sudah direset, dan sampaikan kabar duka ini,” perintah Bang Jago mengembalikan hape Pais, sebelum memelesat cepat ke arah Kakek.
“Jadi, Kakek Saka hari ini akan ....”
“Wapat,” timpal Pais. “Ini kesempatan lo lebih unggul dari ripal lo,” kata Pais sambil menyerahkan ponselnya yang berisi suara pamit Kakek Saka kepada Raja. “Ingat, ini senjata! Jaga baik-baik.”
“Terus mana hapenya Naya? Nggak lo kasih sekalian?” tangan Raja sudah dalam posisi meminta. “Rencananya sampai RS, gue mau telepon nomor misterius ini dari hape Naya. Gue bakal buktikan kalau orang yang ada di TKP saat Naya loncat adalah dia.”
“Sabar dulu. Hape Naya ini perlu di-charge dan diisi paket data,” kata Pais menahan ponsel Naya.
“Oke, kalau gitu lo yang urus baterai dan paket datanya,” ucap Raja seperti memerintah junior.
“Heh! Nggak ada sopan lo, Ja.” Namun sayang, lagi-lagi dia ngomong sama udara karena Raja sudah dulu memelesat ke RS Tara Health tempat Naya dirawat. “Cebong!” rutuk Pais kesal.
* * *
Di ruang intensif Tara Health, tiba-tiba Naya terbangun. Dia seperti ponsel yang direset. Meninggalkan memori yang hanya dia inginkan. Satu-satunya yang menjejali otaknya saat ini adalah nama Patih. Entah kenapa, Naya sendiri tidak tahu siapa Patih? Dan, seperti apa dia? Seolah nama itu dipaksa masuk dan tinggal lama di otaknya.
“Nay! Lo sudah sadar?!” tanya cowok di sebelahnya terkejut. Matanya tiba-tiba basah. Wajahnya yang lembut tersenyum, antara bahagia dan lega, melihat akhirnya Naya sadar.
Naya pun menoleh ke arah cowok yang duduk menunggunya. “Lo ... Patih? Lo yang namanya Patih?” tanyanya lemah dan terdengar ragu.
“Lo nggak ingat gue?” kata cowok itu dengan wajah muram.
Naya menggeleng. “Gue cuma ingat nama Patih. Tapi, gue nggak ingat kayak apa dia?” tanyanya tersiksa. “Rasanya nama itu sengaja diucapkan berkali-kali di kepala gue. Tapi, kenapa, kenapa gue nggak ingat apa-apa tentang nama itu. Sori ya, Pat,” ucap Naya tanpa sadar menangis. Dia yakin, yang sedang diajak bicara adalah Patih.
“Gue bukan Patih,” jawab cowok itu dengan bibir bergetar. Wajahnya tiba-tiba pucat. Seperti dia sedang menutupi sesuatu. Naya tahu persis itu.
“Lihat,” ucap cowok itu memperlihatkan foto mereka dari dompetnya.
Mata Naya membulat indah. Seperti ada cahaya menyala di sana. Dia merengkuh dompet itu cepat, memandang foto itu dengan senyum manis. “Ini gue, kan?” ucapnya girang seperti menemukan dirinya yang lama hilang. “Gue tampak bahagia banget. Dan ini ... lo?” ucapnya sambil menatap lekat cowok itu.
“Dulu kita sering renang bareng,” sela cowok itu memulai ceritanya.
“Jadi, gue jago renang?” Naya bahkan lupa dirinya bisa renang.
Cowok itu mengangguk.
“Dan nama lo?” tanya Naya akhirnya. Entah kenapa, dia merasa nyaman dan aman berada di samping cowok ini. Mungkin, dulu dia adalah orang terdekat di hidupnya. Seperti yang ada di foto.
“Sultan. Lo biasa panggil gue, Tan. Karena banyak temen kita dulu manggil gue Sule. Dan, lo kesel abis karena gue disamain sama komedian itu,” jawab cowok itu tersenyum janggal.
“Tan?” ulang Naya mencoba mengisi memorinya dengan nama baru dan wajah kalem cowok ini. “Lo dulu sahabat gue?” tanya Naya ragu.
“Lo dulu selalu percaya sama gue,” jawab Tan menatap tajam kedua mata Naya. “Dan, satu hal yang harus lo ingat. Jangan lagi ingat nama Patih. Dialah yang menyebabkan lo ada di rumah sakit ini. Lupain dia. Dia berbahaya,” seru Tan dengan kilatan mata marah.
“Berbahaya?” ulang Naya mengerutkan kening.
Tan mengangguk yakin. Matanya tidak lepas sedikit pun dari Naya yang tampak semakin penasaran.
Naya bergeming, mencoba memikirkan apa yang dikatakan Tan. Kebenaran tentang fakta bahwa Patih yang menyebabkannya ada di rumah sakit ini. Jika Patih benar semengerikan itu, kenapa justru namanya teringiang-ngiang terus di kepalanya? Kenapa dia merasa ada ikatan kuat dengannya?
Akan tetapi, sebelum pertanyaan-pertanyaan itu berhasil diucapkan Naya, suara ponsel Tan berhasil memecah konsentrasinya. Lagu “A Whole New World” terasa tak asing baginya. Sangat nyaman di telinganya, seolah kedua kakinya terangkat dan dia mulai terbang bersama alunan magisnya. Namun, bagi Tan, lantunan lagu “A Whole New World” seperti mata pisau yang siap menusuknya.
“Kenapa gugup gitu, Tan? Angkat aja. Gue nggak apa-apa, kok, sendiri,” ujar Naya tersenyum. Dia heran Tan seperti enggan mengangkat panggilan itu. Wajahnya juga mendadak memucat seperti melihat hantu.
“Oke, gue angkat dulu,” jawab Tan dengan suara bergetar. Dia berusaha menyembunyikan keresahan.
Sebelum menerima panggilan itu, dia memandang Naya waspada.
Di layar ponselnya nama NAYA menyeringai menatapnya. Dia penasaran, siapa yang menggunakan ponsel Naya?
“Ha-halo?” ucap Tan gugup, setelah menggeser tombol hijau di ponselnya.
“Jadi lo yang ada di TKP saat Naya jatuh dari loteng?” ungkap Raja sambil membuka kenop pintu ruangan tempat Naya dirawat. Dengan ponsel Naya di telinga, dia berdiri tegak di depan pintu, menatap lurus Tan dengan senyum kemenangan. Dia kemudian berjalan ke arah bed Naya dengan kesombongan khasnya.
Tan langsung menoleh dan menatap Raja geram. Dia kini ingat siapa tamu tak diundang ini. Dia tahu mata itu. Tan belum lupa meski waktu itu dia memakai masker dan tudung hoodie.
“Siapa lo?” tanya Naya ketika cowok berambut lurus dengan kulit seputih susu itu masuk dan kini berjalan mendekat ke arahnya. Baru kali ini Naya melihat cowok se-glowing ini. Kulitnya seperti memancarkan cahaya dari dalam. Dia merasa terkena rapalan mantra dengan pesona cowok ini. Apa dia dulu juga mengenalnya? Atau bahkan dekat? Ah, kenapa Naya merasakan sensasi denyar aneh di dadanya?
“Gue Raja,” jawab sang tamu kepada Naya dan Tan, lewat ponsel Naya yang dia pegang.
“Raja?” tanya Naya bingung. Dia mencoba mengingat nama itu. Tapi gagal. Tidak ada nama Raja di sisa memorinya yang tertinggal. Namun, kenapa rasanya Naya sudah kenal juga dengan cowok ini?
“Lo emang nggak pernah punya teman bernama Raja,” jawab Tan sambil memutus panggilan telepon Raja.
“Tapi, gue kok aneh ya, seperti sudah pernah kenal sama dia, Tan,” ucap Naya merasa Raja adalah sahabat dekatnya seperti Tan.
“Mungkin itu hanya perasaan lo aja. Buat mastiin, kita coba tanya Tante Ajeng, ya,” ucap Tan lembut. Dia kemudian menelepon mama Naya untuk segera datang ke ruang perawatan.
“Hati-hati dengan Tan, Naya. Dia berbahaya. Lo harus lupain dan jauhin dia,” pesan Raja melirik Tan. Seolah dia tahu Tan adalah Patih.
“Buat apa hati-hati sama gue? Harusnya Naya hati-hati sama lo!”
balas Tan setelah berhasil menghubungi Ajeng. Dia kemudian bungkam karena dari balik pintu mama Naya telah datang bersama dokter dan satu perawat.
Dokter kemudian memeriksa Naya. Ujung stetoskop Dokter, memeriksa semua bagian-bagian vital Naya. Dokter dibuat heran. Kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya dengan kasus yang baru kali ini dia temui.
“Dari semua hasil, lab, CT-scan, foto organ vital, tidak ada masalah. Keluhan beberapa ingatan yang menghilang, mungkin efek traumatis dari kecelakaan yang menimpa Naya,” ucap Dokter yang sudah beberapa kali disampaikan kepada pihak keluarga Naya.
Memang ganjil. Kondisi Naya selama tujuh bulan bagus dan stabil. Dia hanya butuh infus, suntik makanan, dan masker oksigen untuk menjaga saturasinya agar tidak drop seperti saat kali pertama dirawat. Itulah kenapa Ajeng tetap ingin Naya dirawat di Tara Health, karena dia dan Tara yakin Naya akan sadar.
“Kalau begitu saya bisa pulang hari ini, kan, Dok?” tanya Naya yang sudah terbebas dari tusukan infus.
“Tentu saja. Kamu sudah terlalu lama terkurung di ruangan,” jawab Dokter itu kemudian pamit setelah menambahkan lagi beberapa pesan untuk kesehatan Naya.
Setelah Dokter keluar dari pintu ruangan Naya, Ajeng segera memeluk Naya erat dengan rasa bahagia yang tak terbendung. Air mata haru yang sedari tadi ia tahan saat dokter memeriksa Naya, akhirnya tumpah keluar.
Sementara itu, Tan sudah tidak sabar mencoba membongkar jati diri Raja.
“Sekarang kebenaran bakal terungkap, Nay. Tante Ajeng pasti nggak kenal manusia yang bernama Raja ini. Atau jangan-jangan dia sengaja dikirim Patih?”
“Lo jangan memutar balikkan fakta!” bantah Raja geram.
“Ada apa, sih, ini ribut-ribut?” tanya Ajeng sambil menyeka air matanya.
“Mama kenal mereka?” tanya Naya langsung ke inti persoalan dua cowok yang saling memaksa kenal dekat dengannya.
“Tan ini teman dekat kamu,” jawab Ajeng. Dia menatapTan yang mengangguk seperti mengucapkan terima kasih.
Raja jadi berpikir kalau kata-kata Pais benar. Tan mungkin dikirim Patih. Atau dia sebenarnya Patih yang menyamar dengan memanfaatkan hilang ingatannya Naya, dan bekerja sama dengan Ajeng?
“Kalau ini siapa, ya?” tanya Ajeng ke arah Raja. Dia mengamati Raja dari atas, tengah, lalu bawah, ke tengah lagi, ke atas lagi. “Mama kayaknya belum pernah ketemu,” ucapnya kepada Naya.
Mampus gue! Masa baru awal-awal gue udah gagal!
“Raja yang nemuin hapeku, Ma.”
Ajeng tersenyum ke arah Raja. “Terima kasih sudah mengembalikan ponsel Naya,” ucapnya seraya mengingat-ingat nama Raja. “Siapa nama lengkapmu, Nak?” tanya Ajeng kini serius menatap Raja.
“Raja Bathara, Tante,” ucap Raja datar.
Ajeng lalu menutup mulutnya sendiri dengan kelima jarinya seakan tak percaya. “Raja Bathara ...,” bisiknya mengulang nama Raja dengan hati yang haru. Tak diduga, Ajeng lalu memeluk Raja dengan erat. Tangis pilunya tiba-tiba terdengar menyayat. Sesekali Ajeng menangkup pipi Raja yang tirus dengan kesepuluh jari jemarinya, menatapnya penuh sayang, lalu memeluknya lagi.
Raja hanya bengong dan membeku. Ini maksudnya apaan, sih?
Lanjut besok, ya, Dek!
Author Notes :
Alhamdulillah, masih bisa berjumpa dengan kalian, Dek. Kesempatan yang patut disyukuri. Karena terkadang, tiap detik, menit, jam, hari, dalam hidup kita tak bisa kita prediksi. Tak bisa semua kita kendalikan. Aku juga masih belajar sih, Dek. Berusaha bisa memisahkan dua hal yang bisa kita kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan. Misal nih, di luar lagi hujan deres banget. Kamu bete! Kesal!
Lalu gerundel, "Kenapa sih ujan mulu. Udah becek, nggak ada ojek! Ih, Gelay!"
Itu nggak salah. Mungkin sebuah pelepasan emosi sesaat. Tapi, coba renungkan lagi, Dek. Buat apa ya, kita mengeluh hari ini hujan kalau kita tidak punya kekuatan buat mengendalikan cuaca? Kayak, energi kita habis nggak sih cuma buat marah-marah.
PADAHAL, kita bisa mengendalikan RESPONS kita lho, Dek. Berusaha tetap santuy kayak di pantuy.
"Wah, hujan. Aku harus bawa jas hujan, atau payung, biar nggak kehujanan."
Karena diri kita, ya kita yang kendaliin, bukan masalah. Apalagi mantan :((
Itu baru persoalan hujan. Belum teman yang julid, guru yang nyebelin, pacar yang nggak peka, sahabat yang kalau dicurhatin malah curhat balik, teman yang ngamuk gara-gara lupa ditag di fotonya di IG, atau anggota geng yang marah karena kamu post fotonya pas kelihatan jelek, padahal lo cantik banget.
Sabar.... Sabar.... Orang sabar, banyak.... Hahaha
Yok, absen dulu nih? Siapa yang udah minum satu gelas air putih dan nulis catatan syukur? Aku nggak akan bosan buat ingetin itu. Ini bukan buat aku, tapi buat kamu, Dek, demi kesehatan jiwa dan ragamu. Eaaaa. Semangkok.
Aku pamit istirahat dulu ya, Dek.
Salam hangat,
Nara
IG : @naralahmusi
Wattpad : @naralahmusi
Publisis : @dilisabook
@factoryreset__
Supported by:
@wattpad_storyyyy @catatanwattpad_id @wattpad.diary @wattpadandmovie @wattpadquotes_id
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro