Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10. Bakat Raja

Kata -kata baik yang datang kepadamu saat kamu tak
punya harapan apa -apa, bisa saja akan menjadi pegangan
hidupmu.

(Malaikat Magang —Raja)

SMA Harapan Bunda satu tahun lalu

Kolam renang gimnasium SMA Harapan Bunda ramai oleh siswa- siswa  kelas  X.  Namun,  tidak  ada  yang  benar-benar  berenang. Pelajaran renang hanya tertib saat masa penilaian. Di luar itu, mereka hanya perlu berganti pakaian renang dan masuk ke kolam, untuk mendapatkan nilai presensi kedatangan. Mau renang silakan, mau bermain air juga tidak dilarang.

“Naya! Sudah hampir satu semester kamu bolos terus pelajaran renang. Mau dapat nilai telur mata sapi atau dadar?!” tanya Pak B alias Bagyo, guru Olahraga, kepada Naya.

Naya hanya diam. Setelah mengisi buku absen, dia ingin cepat- cepat menghilang dari area kolam.

“Kalau diajak ngobrol tuh ngomong,” tambah Pak B jengkel.          “Bapak ngajak ngobrol, kok, ngegas gitu? Itu ngajak berantem,
Pak?”

“Jangan suka buruk sangka dulu. Ini tandanya Bapak semangat!” ucap Pak B masih degan nada keras.

“Lebih baik negatifthinking, Pak. Siap menerima keadaan terburuk. Daripada terlalu berharap dan malah jadi terpuruk!” bantah Naya.

“Terserah kamu, Nay. Bapak cuma penginnya kamu ikut pelajaran. Demi nilai rapor Olahraga kamu. Pokoknya buat hari ini, nggak mau tahu apa alasannya, cepat ganti baju dan nyebut. Eh, nyebur maksudnya!” ucap Pak B tegas dan keras. Bikin kuping budek kalau nggak jaga jarak.

“Bapak nggak bisa maksa gitu, dong,” ucap Naya gagal menahan emosi, jari-jarinya sudah mengepal siap bertarung.

Petinju  SMA  Harapan  Bunda  ini  memang  bukan  profesional, tapi meski amatir, dia penyumbang medali petinju remaja putri satu- satunya di sekolah. Semua orang nggak tahu aja, motivasinya menekuni tinju untuk meluapkan rasa sakit.

“Nay, sungguh, Bapak sudah nggak bisa lagi membantu. Ini bukan lagi masalah tinju. Tapi, di sini Bapak sebagai guru Olahraga yang harus menilai pelajaran renang murid-muridnya.  Bapak tidak bisa berbuat apa-apa lagi kalau nilai renangmu nol. Kecuali ada malaikat dari langit yang bantu kamu,” kata Pak B jujur. Dia memang pelatih Klub Tinju SMA Harapan Bunda, tapi tidak mungkin dia memberi nilai kepada siswi yang tidak mengikuti pelajaran. Meski Naya adalah siswi kesayangannya.

“Mana ada malaikat sore-sore begini lewat, Pak,” dengus Naya malas. “Di kolam renang lagi. Malaikatnya hobi renang?”

“Kalau begitu ikhlas, nih, Bapak kasih aja nilai telor?”

Belum Naya menjawab TERSERAH, tiba-tiba Patih sudah berdiri di antara mereka dengan hanya memakai celana renang. Tentu, Naya langsung membuang muka. Padahal, postur cowok kayak Patih ini adalah tipe idealnya.

“Sori, Pak B. Ini surat izin sakitnya Naya. Kayaknya tadi terjatuh,” ucap Patih tersenyum tulus. “Kalau ada surat izin sakit, Naya bisa kan nggak ikut penilaian?” tambah Patih sopan.

“Astajim!  Sakit  apa  sih  kamu,  Nay?”  kata  Pak  B  cemas,  lalu mengambil surat izin sakit Naya. Dia membacanya dengan sangat serius. “Ha? Sejak kapan kamu punya sakit ambeien, Nay?” tanya Pak B meminta penjelasan kepada Naya.

AMBEIEN?!

Naya memelotot hampir menonjok Patih. Kenapa cowok ini pilih penyakitnya random banget, sih?  Demam kek, flu, batuk. Astaga, ambeien! Tapi, Naya berusaha menahannya, ini juga demi dia bisa bolos.

“Bapak nggak lihat cara jalan saya sudah tersiksa begini. Apalagi suruh  renang  gerakan  cebong  di  kolam,  duhhh!”  Naya  meringis kesakitan dan terlihat memilukan.

Tanpa sadar, melihat Naya menggigit bibir kesakitan, Pak B ikut meringis membayangkan betapa sakitnya.

“Ya udah, sana! Kamu bebas Naya. Kalau ada surat dari dokter, lengkap tanda tangan dan cap rumah sakit gini, kan, aman. Bilang makasih tuh sama Patih,” ucap Pak B yang tak dihiraukan Naya lagi. Karena dia sudah menjauh dari kolam mengerikan itu. “Lho, lho, lho, itu jalanmu kok biasa, Nay?! Ambeienmu gimana?!” teriak Pak B melihat Naya berjalan normal.

“Oh, lupa, Pak!” jawab Naya, lalu sedikit menyeret kakinya aneh sambil melek merem menahan sakit.

“Kok, sakit bisa lupa ya, Pat?” gumam Pak B heran kepada Patih.
“Siapa bilang manusia nggak bisa lupain rasa sakit, Pak?” celetuk Patih, lalu pamit dan berlari mengampiri Naya yang masih jalan sok terseok. Padahal, sehat walafiat.

Setelah berada jauh dari radar Pak B, Patih mendekati Naya. “Yes! Kita berhasil, Nay!” ucap Patih berusaha merayakan keberhasilan kecil mereka.

“Lo mau gue bilang makasih sama lo, kan?” kata Naya to the point saat Patih berusaha berjalan di sisinya. Tentu saja, tanpa repot-repot menengok. Lagian ini cowok mau pamer perut roti sobeknya atau gimana, sih? Nggak pakai handuk dulu atau baju dulu! Naya, kan, jadi nggak nyaman.

“Kalau ngomong itu lihat yang diajak omong,” jawab Patih sabar. Senyum bayinya merekah lagi.

Naya cuma mendengkus kesal, tapi Patih masih berusaha bicara, “Lagian, aku nggak minta kamu berterima kasih kok, Nay. Cuma mau bilang aja, kalau kamu butuh surat sakit, aku siap bantuin. Besok mau sakit apa lagi? Wasir?” tambahnya tenang.

WASIR?! Ya Tuhan!

Kali ini, Naya nggak bisa diam saja. “Kenapa lo harus peduli, sih? Gue mau renang kek, enggak kek, itu urusan gue. Kita kenal sebatas cuma karena satu kelas. Jadi, jangan sok asyik. Kalau nggak mau gue tonjok,” semprot Naya terpaksa menghadap Patih. Ditatapnya lekat- lekat cowok alim ini. Lalu, membuang muka. Dia tidak mau tersihir dengan mata jernih Patih.

“Jangan ge-er. Niat gue cuma mau bantu, kok. Gue masih punya blangko kosong surat dokter. Jadi, lebih baik gue kasihin orang yang kepepet membutuhkan. Lo, misalnya. Tapi, kalau lo tetap mau dipaksa renang ya, lupakan bantuan gue ini.”

“Lo mau renang, kan?” potong Naya sudah nggak tahan.

“Pengin ikut bolos sama lo.”

“Terus kenapa lo nggak pakai baju dulu?”

“Eh?” Patih baru sadar dia masih dalam kondisi siap berenang. Dia pun menepuk jidatnya sendiri, lalu tersenyum manis. “Berarti, gue diizinin bolos bareng lo, nih?” tanyanya tetap mempertahankan senyum simetrisnya.

“Enak aja. Gue nggak mau mata gue kena polusi aja.”

Akan tetapi, Patih tidak peduli. Dia lari ke tempat loker murid cowok buat mengambil seragamnya. Dan, sebelum Ketua OSIS ini ngikutin dia beneran, Naya cepat-cepat cabut dari kolam renang in door sekolahnya menuju tempat latihan tinju.

Naya cukup berjalan sebentar agar sampai ke tempat latihan tinju. Gimnasium SMA Harapan Bunda memang berada di paling belakang gedung sekolah, tapi tempat ini selalu paling ramai jika sudah jam pulang sekolah. Kolam renang in door berada di paling ujung kiri, lalu tinju, basket, voli, bulu tangkis, tenis, futsal, dan diakhiri dengan tempat memanah yang terletak paling kanan. Bentuk gimnasium sedikit melengkung, mengikuti track lapangan lari maraton yang dibangun persis di depannya. Dan di tengah-tengah track lari, ada lapangan sepak bola yang tiap Senin digunakan untuk upacara bendera.

“Sore, Kak Naya,” sapa adik-adik kelas Naya dengan takut-takut saat Naya masuk ke ruang pelepasan emosi negatifnya. Klub Tinju!

“Mau latihan, Kak?” tanya basa-basi adik kelasnya saat hendak akan menyingkir sejauh-jauhnya.

Naya nggak menjawab. Lagian sudah terkenal seantero Harapan Bunda, kok, kalau yang namanya Naya itu patut dihindari. Serem berurusan sama dia. Kabarnya, perkara nggak mau buang sampah di tempatnya saja, adik kelas sampai babak belur karena pukulan Naya. Demi muka tetap aman, mulus, dan glowing, para anggota klub baru lebih memilih menghindar saja dari Naya.
Naya memutuskan duduk di salah satu kursi panjang, membuka tasnya,  dan  mulai  membebat  tangannya  dengan  kain.  Dia  ingin memukuli samsak yang tergantung di tempat latihan gara-gara Ketua OSIS caper itu.

“Sudah gue duga lo di sini.”

Sial! Suara cowok yang seenak udel bilang dia ambeien datang. Kali ini Patih sudah mengganti baju renangnya dengan seragam. Panjang umur juga dia!

“Lo nggak takut dekat-dekat gue?” ceplos Naya nggak suka basa- basi.

“Lo pikir lo siapa? Sodaranya kuntilanak? Ditakutin segala?” canda Patih terkekeh.

“Ya, aneh aja. Baru lo yang mau ngajak gue ngobrol. Pakai bantuin ngasih gue surat keterangan dokter segala. Lo mau apa, deh? Langsung bilang aja motif lo,” kata Naya sudah siap dengan tangan tertutup sempurna.

“Gue mau jadi teman lo,” ucap Patih tersenyum. Sialnya senyum itu memikat, membuat Naya hampir ingin menjotos mukanya. Reaksi gemas Naya emang kadang semengerikan itu.

“Jujur, gue nggak suka lo sok manis-manis gini—”

“Tunggu, tunggu. Soknya coba diilangin, deh.”

Buggg!

Suara samsak yang dipukul keras Naya membuat Patih mematung tegap saking kagetnya. Adik kelas serentak menelan ludah, lalu kabur begitu saja.

“Lo mau gue kayak Aura? Teman rasa pacar lo itu?” kata Naya tegas. Dia tidak ingin tertipu dengan sikap dan ucapan manis cowok. Ya, meski memang baru Patih yang berani mendekatinya seperti ini.

“Wah, ternyata lo perhatiin gue juga ya, di sekolah.”

“Mau sombong kalau lo ketua OSIS?” serang Naya kesal. Mana mungkin tidak ada yang tahu Patih? Sang Ketua OSIS yang dikejar- kejar banyak cewek, sampai rela memberikan bekal makan siangnya? Yang hanya dekat dengan Aura, Wakil Ketua OSIS itu? 

“Nay, niat gue cuma bisnis. Dengan gue dekat sama lo, gue nggak perlu lagi diganggu cewek-cewek yang deketin gue. Mana ada yang berani lawan lo, sih? Nah, sebagai imbalannya, urusan bolos renang lo bakal aman. Adil, kan? Pikirin, deh,” tawar Patih.

Naya diam sejenak buat berpikir. Alasan Patih logis mendekatinya. Lagian, mana mungkin Patih tertarik dengan cewek bermasalah seperti dirinya?

“Kalau mutualisme gini gue demen. Jadijelas, lo ada maunya. Nggak sok jadi malaikat penolong,” ucap Naya. “Gue benci sama malaikat!”

“Nah, kalau lo setuju, nih tanda tangan. Gue juga sudah buat surat perjanjian di atas materai sepuluh ribu,” ucap Patih mengeluarkan surat perjanjian yang dia tulis sendiri di meja rehat anak Klub Tinju. “Biar simbiosis kita awet dan sesuai jalur.”
Naya pun menerima bolpoin dari Patih dan menandatanganinya seketika. Akhirnya, dia dan Patih resmi berteman.

* * *

Bayangan Naya dan Raja sekarang berpindah, meloncat dari memori satu ke memori lain. Setelah menyaksikan kenangan pertama Naya menjadi teman Patih, mereka sekarang berada lagi di kolam renang, tapi dengan nuansa dan tokoh yang berbeda. Kenangan itu seperti film nyata yang terjadi di depan mereka.

* * *

“Ayo, turun ke air, Nay! Nggak usah malu-malu. Temani kamilah,” suara Perkasa terasa mengganggu Naya. Namun, dia berusaha menahannya. Dia tidak mau dihukum BK lagi. Papa mengancam nggak akan pulang dari offshore kalau Naya buat kesalahan lagi. Begitu juga dengan siswa lain. Mereka lebih baik menyelamatkan diri sendiri daripada terlibat dengan Perkasa.

“Ganti baju renang, Nay. Mau lo gue ceburin paksa pakai seragam itu?” tambah salah seorang anggota geng Perkasa.

Membayangkan masuk ke kolam, keringat dingin muncul dari dahi Naya. Dia susah payah mengendalikan diri untuk tidak melawan. Namun, ekor matanya lurus memandangi Perkasa lewat layar ponselnya. Dia diam-diam merekam semua pelecehan verbal itu.

“Gue lagi dapet!” ucap Naya tegas, walau tubuhnya mengatakan sebaliknya.

“Dapet wasir?!” teriak Perkasa mengejek. “Gue tahu lo bohong. Mau gue laporin ke pihak sekolah?!” tawa satu geng Perkasa menjadi musik latar.

“Lo   pikir   gue   takut?”   tantang   Naya   mencoba   meredam keresahannya.

“Muka lo yang bilang kalau lo takut,” balas Perkasa.

Dia kemudian berjalan mendekat ke arah Naya. “Sini, pegang tangan gue,” ucap Perkasa mengulurkan tangannya untuk Naya.
Tangan  Naya  bergetar.  Tubuhnya  terasa  kedinginan.  Senyum Perkasa seperti katana yang menebas jiwanya. Dia tetap merekam, walau ponselnya telah dimasukkan ke dalam kantong seragam.

“Jangan sok jual mahal.  Lo sudah biasa, kan?” suara  Perkasa terdengar menjijikkan dari video itu. “Kita bisa enak-enak di ruang ganti.”

Naya  kini  menangis.  Tubuhnya  bergetar  hebat.  Seperti  ada ketakutan yang mati-matian dia lawan.

“Jujur, gue penasaran ‘nyobain’ petinju terbaik sekolah ini,” goda Perkasa menjulurkan tangannya untuk menggapai lengan berotot Naya.

“Jangan kurang ajar!”

“Gue tahu  skor poin pelanggaran lo,  Nay.  Sekali ada laporan kesalahan, lo akan dikeluarkan,” bisik  Perkasa membuat Naya tak punya pilihan. “Gue nggak akan lapor ke BK, asal lo ikutin apa kata gue,” ancam Perkasa lembut. “Berikan tangan lo, Naya. Kita cari tempat sepi ....”

Naya tak punya pilihan lain. Dia terpaksa mengulurkan tangannya yang bergetar.

“Nah, gitu dong,” jawab Perkasa menerima uluran tangan Naya dan menggenggamnya erat. Dia tersenyum menang atas Naya.
Akan tetapi, sedetik kemudian Naya menarik kuat tangan Perkasa dengan tangan kanan. Tangan kirinya memukul tepat di perut. Naya menutup gerakannya dengan menendang satu kaki Perkasa, hingga tubuh cowok itu  sudah terpelanting  sempurna  di bibir kolam. “Jangan pernah sentuh gue atau cewek mana pun di sini. Kalau nggak mau rekaman video ini nyebar ke seluruh sekolah!” ancam Naya sambil memperlihatkan video Perkasa mendekatinya barusan.

AUTHOR NOTE :

Dek, aku paling suka diceritakan tentang peristiwa luar biasa ini, Dek. Apalagi aku masuk anak yang suka tokoh-tokoh superhero Marvel. Jadi, sambil bayangin gitu, walau peristiwa ini sungguh nggak akan bisa dibayangin oleh otak manusia. Apalagi anak kecil kayak aku dulu!

Aku yang dulu imut dan lucu khusyuk bersila mendengarkan guru ngaji bercerita. Tentang Isra, perjalanan Nabi Muhammad dari Arab Saudi ke Yerusalem. Lanjut perjalanan Mikraj, dari Yarusalem naik ke atas langit hingga langit ketujuh. Kedua perjalanan itu dalam SATU MALAM! Iya, Dek, satu malam!

Gimana otakku yang dalam masa ngembang nggak gelisah coba memikirkan itu.

Sebelum tidur aku terus memikirkan tentang Burak, hewan yang Nabi Muhammad tunggangi. Aku dulu mikirnya Burak kayak pegasus; binatang menyerupai kuda bersayap dan berwarna putih yang punya kecepatan terbang : Hush!! Melesat melampaui kecepatan cahaya. Captain Marvel mah kalah jauh!

Aku juga terus memikirkan ketika Nabi Muhammad bersama Malaikat Jibril berhenti di pintu-pintu langit seperti sebuah bangunan semesta bertingkat. Lengkap dengan pintu dan penghuni nabi-nabi dan para malaikat. Lalu Malaikat Jibril mengetuk satu pintu ke pintu lain untuk Dia dan Nabi masuk dan menjumpai nabi-nabi sebelumnya. Setiap masuk pintu tingkatan langit, Nabi selalu mendapat doa kebaikan dari para nabi sebelumnya yang menghuni tiap tingkatan langit.

Hingga sampailah Nabi dan Malaikat Jibril ke tingkat langit tertinggi, ke-tujuh.

Di sana, Nabi Muhammad melihat keindahan yang tak tertandingi di dunia. Luasnya langit ke-tujuh itu seperti tak hingga. Bahkan setiap hari bisa memasukkan 70.000 malaikat. Pohon-pohon di sana seperti raksasa, dengan daun sebesar telinga gajah, dan buah sebesar tempayan. Di sanalah, Nabi Muhammad mendapatkan perintah langsung dari Allah untuk salat yang dari lima puluh kali sehari, lalu diringankan menjadi lima kali sehari seperti yang umat muslim tunaikan sampai sekarang.

Dek, setelah aku dewasa dan membaca kisah itu lagi, aku semakin sadar. Betapa aku ini sangat kecil. Sangat amat kecil sekali.

Dibanding alam semesta ini....

Dibanding rahasia-rahasia gaib Tuhan yang ajaib...

Dibanding sang Pencipta yang maha besar dan segala-galanya ini....

Terim kasih ya, Dek.... Kalian telah ikut mengisi ruang hampa semesta kecil hidupku. Semoga juga sebaliknya denganmu. Amiin.

Semangkok menjadi lebih baik!

Salam hangat,

Nara

IG : @naralahmusi

Wattpad : @naralahmusi

Publisis : @dilisabook

@factoryreset__

Supported by:

@wattpad_storyyyy @catatanwattpad_id @wattpad.diary @wattpadandmovie @wattpadquotes_id

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro