31. Rapat Dadakan Jilid 2
Sebagian besar orang memandang Jeongwoo tidak percaya, mereka menggeleng pelan. Diantara mereka, hanya Jeongwoo dan Jihoon yang tampak tidak paham permasalahan wisata luar kota. Jihoon pasti sibuk berbenah dan menyiapkan rencana jangka panjang selama waktu diskorsingnya, wajar jika tidak tahu, tapi Jeongwoo seharusnya tahu tentang hal itu.
"Wali kelas menguhubungi orang tua dan wali kita, ibumu tidak bilang padamu?" Haruto bertanya padanya.
Jeongwoo tampak berpikir sejenak. "Sepertinya ada, tapi aku tidak menyimak."
Haruto mendecak.
Jeongwoo meringis. "Maaf... Aku sibuk menyeimbangkan realita kehidupanku waktu itu." Rasanya agak malas harus mengulang kalimat yang sama berulang kali. Tapi intinya, Jeongwoo benar-benar mencoba menyeimbangkan informasi, fakta, bukti, serta rekam jejak yang sudah dilaluinya sejak malan kemarin. Dan itu bukanlah hal yang mudah.
"Sudah-sudah, jangan dibahas lebih lanjut lagi." Mashiho menengahi. Kemudian dia berpaling menatap Jisoo. "Tapi bukankah semalam dibilang jika hanya para dua belas dewa-dewi utama yang tersisa? Kenapa monster masih berkeliaran?"
Yoshi lantas menangguk. Dia menambahkan. "Apa makhluk jahat tidak musnah dan Erebos mempunyai sekutu? Penjelasan kemarin tidak lengkap," katanya. "Dan meskipun kami sudah menduga itu semua, rasanya akan lebih pas lagi jika Jisoo sendiri yang mengkonfirmasi kebenarannya."
Jisoo sedikit menghela napas. Dewi Perapian Yunani itu menjawab, "Itu detil peting yang benar-benar harus dielaborasi kemarin, tapi kami tidak sempat melakukannya karena waktu dan juga kekuatan yang semakin berkurang. Maaf karena sudah mempatkan kalian dalam bahaya."
Lalu... Hening sejanak.
Jisoo benar-benar sangat merasa bahwa misi ini tidak semestinya mereka emban. Jisoo merasa bahwa rencana saudaranya, Zeus, sudah benar-benar sangat merugikan, seharusnya dia dengar saja kata Athena yang melarang menjadikan keduabelas pemuda ini sebagai wadah dewa-dewi, bukannya menuruti perkataan Zeus---tapi semuanya sudah terlambat. Jisoo perlahan mulai kehilangan saudara dan keluarganya, lalu yang tersisa masuk ke dalam wadah masing-masing, tinggal menunggu waktu saja untuk menunggu semuanya musnah dan begitu juga dengan dirinya.
Jihoon sudah memberikan kata pada Jisoo untuk membantunya, tapi jika itu hanya dilakukan seorang diri tidaklah cukup. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada anak-anak ini sekarang, sungguh Jisoo tidak sanggup rasanya untuk memafkan dirinya sendiri. Jisoo mengutuk dirinya sendiri yang selalu menjadi dewi yang lemah, yang tidak bisa ikut berperang karena seumur hidupnya yang dia lakukan hanyalah duduk di depan perapian dan menjaganya agar tetap menyala hangat.
Jisoo merasa tidak berguna. Sangat tidak berguna.
Dan yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah pasrah.
Ya... begitulah bentuk seseorang yang mengatakan dirinya sebagai seorang dewi tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Sungguh payah.
"Aku merasa kau mulai menyalahkan dirimu sendiri saat ini." Hyunsuk bersuara, dan itu tertuju untuk Jisoo.
Mata hangat bagaikan perapian yang menghangatkan di musim dingin, menoleh Hyunsuk dengan nyala redup. Terasa menyedihkan. Jisoo bertanya-tanya bagaimana Hyunsuk bisa tahu tentang itu. Apakah terlihat jelas?
"Kami akan membantumu, besok kita laksanakan misinya," kata Hyunsuk. Absolut.
Sontak junkyu melotot. "APA-APAAN ITU?!" dia berdiri dari duduknya dan menunjuk Hyunsuk tidak terima. "Aku masih ingat kemarin malam kau menolak dan mengatakan semua ini hanyalah omong kosong, lalu sekarang kau berkata 'iya'?!"
Jaehyuk mendecak. "Junkyu, hati orang bisa berubah---"
"Kau berpihak padanya?!" potong Junkyu. "JAEHYUK?!"
Jaehyuk meringis kecil. "Aku mulai beranggapan jika kita menyelesaikan ini semua maka kita akan secepat mungkin mendapatkan hidup normal kita kembali."
Junkyu masih sulit untuk menerima kenyataan. "Tapi---"
"Junkyu, tahu kah kau?" Jeongwoo dengan cepat menyela, "Pada tahun 1949, Joseph Campbell merumuskan 17 babak dari perjalanan kepahlawanan mitologi ataupun cerita yang berbau aksi petualangan. Sekitar setangah abad kemudian Christopher Vogler menyederhanakannya ke dalam 12 babak."
"Serius, kau memberi fyi ditengah-tengah kondisi pelik?" Haruto memandang Jeongwoo dengan tatapan penuh tanya. Keningnya menyerngit bingung.
Jeongwoo mengabaikan tatapan yang terasa penuh koreksi itu. Dia melanjutkan perkataannya, "12 babak itu adalah: dunia normal, panggilan menuju petualangan, penolakan terhadap panggilan, bertemu mentor, melewati ambang, latihan (sekutu, musuh), ketakutan terbesar, krisis, hadiah (biasanya menerima senjata), jalan untuk kembali, kebangkitan, lalu kembali ke dunia normal," jelasnya. "Saat ini sebagian besar dari kita ada dalam posisi penolakan terhadap panggilan, yang mana itu wajar karena semua ini benar-benar di luar nalar bagi manusia biasa. Tapi jika kita bisa optimis, akhir bahagia akan menghampiri, maka hidup normal kita akan kembali. Bukankah itu semua yang kita inginkan?"
Sialan. Junkyu rasanya ingin mengumpat sekarang. Kalimat akhir jeongwoo benar-benar harapannya saat ini, dan pastinya semua orang juga begitu menginginkan kehidupan normalnya kembali.
Junkyu pun menghela napas. Rasanya tidak ada jalan lain untuk menempuh terwujudnya harapan itu selain ikut dalam misi. "Aku akan memesan batu nisan mulai dari sekarang, untuk berjaga-jaga," begitulah katanya. Sarkas, tapi itu sarat akan dia mau ikut serta.
"Tapi bagaimana jika kita selamat? Batu nisannya tidak berguna, bagaimana caranya kau membatalkan pesanan?" tanya Asahi.
"Tinggal bilang saja monyet peliharaannya mendadak mati tapi hidup kembali setelah diberi cpr. Jadi nisannya tidak dibutuhkan," celetuk Jaehyuk sembari menyegir lebar.
Beberapa orang tertawa kecil mendengarnya.
Junkyu kembali duduk di tempat semula, mulai sedikit tenang dari sebelumnya.
Hyunsuk berdeham. "Tapi aku tidak melakukan ini secara gratis. Aku punya permintaan, jika kami berhasil membantu kalian, aku mau kalian pulihkan ingatan Jihoon. Itu permintaanku, yang lain silahkan pikirkan apa yang dinginkan."
Jihoon menoleh. "Kau---kenapa meminta itu?" Raut wajahnya agak sedikit sulit untuk dibaca. Kagum, terkejut, dan terharu bercampur.
Hyunsuk bergidik. "Aku memperhitungkan, kau mungkin tidak terpikir untuk meminta sesuatu. Hilangnya beberapa ingatanmu disebabkan karena adanya kekuatan dewata, aku pikir tenaga medis biasa belum tentu bisa membantumu, jadi harus kemampuan dewata lain yang mengembalikannya lagi."
Jaehyuk menggoda Hyunsuk, menyenggol bahunya berkali-kali sembari berkata, "Aw... teman kita satu ini perhatian sekali~ aku jadi iri."
"Kalau kau iri, kau bisa benturkan kepalamu sekeras mungkin sekarang juga. Biaya rumah sakit akan ditanggung Hyunsuk, dia teman yang perhatian," celetuk Asahi.
Selalu saja, selalu seperti itu. Asahi lebih sinis, jutek, dan segala hal buruk hampir selalu dilontarkan pada Jaehyuk. Hah... untung saja Jaehyuk rupawan dan sabar. Jika tidak, mungkin sudah dia pukul kepala Asahi, jadi Asahi yang menggantikannya masuk rumah sakit.
"Oke, kita rekap sejenak," kata Yoshi. "Besok kita berangkat. Pukul?"
"Pukul 9 pagi. Berkumpul di sini lebih dahulu," jawab Jisoo.
"Baiklah. Besok, jam 9, berkumpul di sini," ulang Yoshi. "Apa ada yang harus kita bawa?"
"Pakaian secukupnya tapi jangan sampai terlihat mencolok? Maksudku, tasnya jangan besar-besar..." usul Junghwan.
"Makanan?" tambah Doyoung.
"Uang?" Asahi menambahkan.
"Peralatan kebersihan?" Mashiho turut menambahkan juga. "Baik untuk diri sendiri maupun barang? Aku pikir jika pakaian secukupkan, pasti akan kita cuci agar bisa dipakai lagi."
Jihoon tidak paham yang satu itu. "Kenapa repot-repot mencuci sendiri? Tidak bisakah serahkan pada jasa cuci pakaian?"
Jisoo menjawab semuanya. "Semua usul boleh diikutsertakan. Dan untuk Jihoon, aku rasa kalian akan sulit menemukan jasa pencuci pakaian, jadi akan lebih baik mencuci sendiri."
Hm... jujur Jihoon tidak terlalu paham apa maksudnya sulit menemukan jasa pencuci pakaian, tapi biarlah, ikuti saja instruksi yang ada.
"Oke, aku ulangi: besok kita berangkat pukul 9, berkumpul di apartemen Jihoon, bawa pakaian secukupnya beserta keperluan lain yang sekiranya akan dibutuhkan dalam misi," jelas Yoshi. "Semuanya paham?"
"PAHAM!" semua menjawab, minus Jisoo yang hanya tersenyum haru merasa sangat berterimakasih atas bantuan pamrih yang mereka lakukan. Tidak apa, itu imbalan yang patut dipinta karena Jisoo dan keluarganya sudah menyusahkan mereka semua.
Di samping itu, Yedam baru saha menyelesaikan pekerjaannya. "TA-DA!" serunya dengan sarat bangga dan bahagia. "Pizzanya sudah bebas dari nanas!" dia meletakkan sumpit di lantai dengan gerakan yang dramatis.
Hyunsuk mengintip sedikit. Astaga, bentuk pizzanya tampak jauh dari kata normal. Topping nanas yang menghiasi sudah hilang, tapi bentuknya berlubang dan bahkan rusak yang dikarenakan ditarik paksa oleh Yedam sebab isian nanas benar-benar menyatu dengan adonan pizza. Masih layak dimakan tapi sayangnya tidak menggugah selera.
Hyunsuk merogok saku celananya. Mengambil ponsel pkntarnya, hendak membuat pesanan. "Aku pesan jajangmyeon saja untuk makanan tambahan. Yang lain mau makan apa?"
Dan terjadilah, pesan memesan makanan oleh hampir seluruh orang di tempat itu, mengiraukan wajah terluka Yedam yang usahanya sama sekali tidak dihargai. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro