
27. Petir
Tepat setelah Jihoon mendeklarasikan akan membantu Jisoo, ponsel Jihoon berdering.
Bich-i naneun sollo~
I'm going solo-lo-lo-lo-lo-lo~
Sejenak Jihoon terdiam.
Wauw, Jihoon tidak tahu jika dirinya seorang penggemar Kim Jennie sampai-sampai memasang nada dering dari lagu itu---itu asumsi yang dibuat sendiri. Dan anehnya, Jihoon tahu Kim Jennie tapi tidak tahu jika dirinya merupakan seorang penggemar. Ah, memusingkan sekali.
Jihoon mengambil ponselnya, melihat ada panggilan telepon dari Junkyu. Dia menerima panggilan dalam mode pengeras suara.
Di sebarang sana Junkyu berkata, "Jihoon, cepat datang ke sekolah sekarang! Kami di ruang musik butuh bantuan! Ini urusan hidup dan mati!" dan setelahnya panggilan terputus secara sepihak tanpa memberi kesempatan Jihoon untuk menyampaikan sepatah kata pun.
Jihoon menatap Jisoo dengan penuh tanda tanya. Entah kenapa dia merasa jika Junkyu dan yang lain sedang dalam kesusahan---mungkin juga dalam bahaya. Firasatnya mengatakan jika dirinya harus membantu jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
Sorot mata serius, Jisoo berkata, "Kau akan membantu?"
Dan bagi Jihoon, jika Jisoo berkata seperti itu merupakan sebuah pertanda: Junkyu sungguh butuh bantuan, Jihoon harus membantunya.
Kepala mengangguk sekali, Jihoon beranjak mengganti baju dengan celana olahraga serta jaket merah. Mengantongi ponselnya, dan kemudian menggenggam tongkat bisbol dari besi (entah kenapa Jihoon merasa harus membawanya, anggap saja sebagai senjata untuk berjaga-jaga), dan selanjutnya Jihoon keluar dari apartemennya.
Jisoo sudah ada di luar, menunggu dengan sabar. "Tidak sampai 5 menit," katanya. Jisoo menghitung lamanya durasi Jihoon bersiap.
"Aku tidak butuh berdandan, makanya sebentar." Jihoon mengunci pintu, dan sejurus kemudian dia berjalan cepat keluar dari gedung apartemen.
Jisoo mengikuti dari belakang. "Kau cepat memberikan keputusan. Kau tidak merasa aneh atau apapun itu?" dia bertanya, tapi Jihoon tidak menjawab dan terus memacu jalannya.
Mereka sampai di luar gedung apartemen. Jihoon melirik ke kanan dan ke kiri sejenak, keadaan jalan sedang ramai dan tidak akan sempat untuk menunggu bus atau kendaraan lain--- ditambah jika mendadak macet di jalan, maka target untuk sampai di sekolah dengan cepat tidak akan tercapai. Otak Jihoon jadi berpikir keras. Jika saja dirinya punya sepeda atau kendaraan pribadi pasti semuanya bisa teratasi, tapi masalahnya Jihoon tidak punya.
Jihoon pun berdecak. Katanya, "Tidak ada jalan lain." Dirinya pun sudah membulatkan tekad. Tangan kirinya memegang erat tongkat bisbol. "Lari saja!" lalu---wush! Dalam sekejap Jihoon berlari kencang.
Jisoo menggelengkan kepala. Anak itu... Jisoo tidak menyangka Jihoon akan memilih untuk berlari, mau tidak mau Jisoo harus tetap mengikutinya.
Jisoo berusaha menyamakan kecepatan larinya dengan Jihoon. Sambil mengatur napas JIsoo berkata, "Kau tidak berpikir panjang, malah nekat memilih berlari!"
Jihoon menjawab, "Jika aku banyak berpikir maka tidak akan pernah ada aksi!" dia menambahkan. "Terkadang ada banyak hal yang tidak perlu dijelaskan atau dipikirkan secara logika, seperti kau yang mendadak bisa ada di dalam apartemenku yang padahal pintu sudah jelas-jelas dikunci. Jadi jawabannya: hantam saja semua yang aneh ini!" dia tersenyum kecil, kemudian di detik selanjutnya teringat sesuatu. "Jisoo, kau 'kan Dewi. Apa tidak ada kekuatan agar bisa sampai ke sekolah dalam waktu singkat?"
Berpikir sejenak, Jisoo kemudian memberitahu, "Bisa." Wah, itu sebuah kabar baik. "Tapi aku dalam wujud manusia, sedang tidak memungkinkan. Kekuatanku juga disimpan untuk nanti, tidak bisa dipakai sembarangan karena terbatas." Dan selanjutnya munculah kabar buruk.
Ck! Gagal sudah punya jalan pintas magis. Tapi tidak apa, lari lebih sehat dan semoga saja Jihoon tidak terlambat datang memberi bantuan.
.
.
.
Akhrinya... sampai juga!
Jihoon dapat melihat gerbang masuk sekolah. Bibirnya tersenyum lebar, dia telah sampai!
Tapi beberapa saat kemudian langkahnya perlahan melambat. Senyumannya yang lebar berubah menjadi garis lurus menjurus melengkung ke bawah.
Dari kejauhan Jihoon dapat melihat keadaan gedung luar sekolah yang dipenuhi dengan makhluk aneh: atas seperti wanita, tapi bawahnya berekor seperti ular dan berwarna hijau. Mata Jihoon jadi terbelalak lebar. Dia berhenti total dari larinya. Jemarinya menunjuk ke makhluk tersebut dengan sedikit bergetar. "A-astaga... a-apa itu?"
Jisoo juga turut berhenti dari larinya. Matanya mengikuti arah jari Jihoon menunjuk. "Itu..." Matanya memicing. "Ah, mereka Scythian Dracanae."
Jihoon menyerngit. Apa kata Jisoo tadi? "Hah?"
Oh, iya, Jisoo lupa. Jihoon dan otaknya yang kurang pengetahuan tentang Yunani kuno. Mari persingkat saja maksudnya. "Sebut saja monster ular."
Jihoon mengangguk. Itu lumayan bisa dipahami. Tapi di detik selanjutnya dia menyerngit kembali.
Tunggu dulu... monster itu bisa menyebar banyak di luar gedung sekolah (anehnya, hanya ada di lingkup sekolah saja), dan tampak tidak ada satupun kendaraan yang terparkir di halaman atau apapun itu---apa tidak ada orang di sana? Tapi Junkyu menyebutkan jika dirinya sedang berada di sekolah, itu artinya perkara antara hidup dan mati yang Junkyu sebutkan tadi---... mata Jihoon terbelalak, dia baru paham. Holy cow! Junkyu dan kami yang disebut itu terjebak di dalam gedung sekolah dengan monster ular yang siap menyantap di posisi luar!
Mendadak Jihoon merasa sangat gugup. Tingkat kepercayaan dirinya jadi turun drastis. "B-bagaimana cara kita masuk ke dalam sana?" Ya, bagaimana caranya menyelamatkan Junkyu dan yang lainnya jika yang harus dilewati adalah sekumpulan monster ular hijau berkedok wanita?
Jisoo tampak berpikir.
"Tidak bisa menggunakan sihir atau kekuatan Dewi-mu?" tanya Jihoon.
Jisoo menggeleng, itu sungguh membuat Jihoon kecewa.
"Kenapa orang-orang yang tinggal di sekitar sekolah terlihat biasa saja?" Jihoon menoleh ke kanan serta kiri, dan menemukan jika ada beberapa orang serta kendaraan yang lewat melintasi sekolah tapi tidak ada satupun orang yang menyadari adanya monster ular di dalam sana. Jika mereka bisa melihat monster ular itu, sudah pasti akan terjadi kehebohan.
"Itu karena manusia biasa tidak bisa melihatnya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya, contohnya kau yang berposisi sebagai wadah dewa," jelas Jisoo. "Kita tidak bisa langsung masuk begitu saja. Mereka pasti bisa langsung tahu jika aku adalah Hestia, dan mereka juga bisa menyangka jika kau adalah demigod."
Loh? Bukan wadah tapi demigod?---tapi, ngomong-ngomong, demigod itu apa? Maklum, Jihoon sebenarnya banyak pikiran setelah diberi banyak kejutan, jadi tidak ingat lagi apakah ada yang pernah menjelaskan apa itu demigod atau tidak.
"Saat menjadi wadah tubuh kalian akan tercium seperti demigod, tapi kalian bukan golongan itu. Monster tidak tahu persoalan tersebut dan tetap memburu kalian, memakan kalian untuk meningkatkan kekuatan mereka," jelas Jisoo lagi.
Ugh... dimakan monster ular? Jihoon sungguh tidak bisa membayangkannya. Intinya dianggap sebagai demigod atau apalah itu, sama-sama saja berdampak tidak bagus alias buruk.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Jihoon berguman pelan.
Kemudian, set!--- Jisoo menyambar sebelah tangan Jihoon dan menyeretnya untuk masuk ke dalam area sekolah, tapi tidak sampai di dalam, mereka malah bersembunyi di belakangan pepohonan dekat pos jaga. Wilayah yang cukup aman, sebab monster ular itu tidak menyebar sampai ke pos jaga.
Jisoo mengeluarkan sebuah ide. "Jihoon, coba keluarkan petir seperti waktu itu."
Jihoon menyerngit. Dia tidak salah dengar, kan? "A-apa?"
Jisoo mengulangi kalimatnya. "Coba keluarkan petir seperti waktu itu."
Nah, kali ini Jihoon tidak salah dengar. Ingin rasanya dia mengumpat saat ini juga. "Bagaimana bisa? Aku tidak tahu caranya?!" dia menunjukan tangan kanannya. "Luka yang ini juga belum sembuh---...."
"Iya, aku tahu," Jisoo memotong. "Tapi itu satu-satunya cara agar bisa masuk dengan mudah. Jika kita memaksa masuk sekarang, kita kalah jumlah dan kemungkinan besar kita bisa mati."
Jihoon berdecak. Yang dikatakan Jisoo ada benarnya juga. Tapi masalahnya, Jihoon tidak tahu cara mengeluarkan petir tersebut. Kejadian di kantin waktu itu benar-benar langka, kekuatan itu muncul---tunggu, Jihoon mulai mengingat sesuatu.
Jihoon mencoba mengingat kembali bagaimana cara kerjanya petir itu bisa keluar. Saat itu Jihoon kesakitan karena dipukul si ganas: rasa sakit, kekalahan, ketidaksenangan semua berkumpul menjadi satu. Lalu kemudian dia merasa ada sesuatu yang mengalir di tiap nadinya, sesuatu yang besar dan kuat hingga akhirnya petir itu keluar dari tangannya. Mungkinkah... dewa---siapa namanya, Zeus? Apa mungkin Zeus yang memanggil petirnya? Jika iya, sekarang bagaimana caranya agar Zeus memanggil petir itu kembali?
Dan seakan tahu apa yang Jihoon pikirkan, Jisoo berkata, "Kau sendiri yang memanggilnya, bukan Zeus. Saat kau merasa ada sesuatu yang mengalir, itu pertanda bahwa Zeus sedang meminjamkan sedikit kekuatannya. Itu bisa terjadi pada wadah, tapi kekurangannya tubuh kalian tidak kuat menahan kekuatan itu, dan jika terlalu berlebihan kalian bisa mati."
Ha! Bagus sekali. Selamat tinggal rencana hidup panjang umur sampai tua...
"Tapi tenang saja. Aku punya sesuatu yang bisa mengobati kalian dengan cepat," tambah Jisoo.
Jihoon berpikir sejenak. Dia merasa tidak yakin jika memang dirinya sendiri bisa memanggil petir. Tapi rasanya itu patut untuk dicoba. "Oke..." katanya dengan ragu. "Pertama apa yang harus aku lakukan?"
Mengambil alih memegang tongkat bisbol secara sepihak, Jisoo menjawab, "Konsentrasi."
Oke, konsentrasi.
Jihoon memusatkan pikirannya pada satu hal: Petir. Petir. Oh, petir. Munculah, kau dipanggil!
Dan ajaibnya setelah itu langit yang tadinya cerah langsung berubah menjadi gelap. Awan-awan hitam dan mendung berkumpul menjadi satu. Kilat bermunculan, suara gemuruh terdengar. Di detik selanjutnya---
Jedar!
---petir keluar menyambar kedua tangan serta seluruh tubuh Jihoon.
Dan entah karena refleks atau entah apapun itu (atau ini efek terlalu banyak menonton film Thor), Jihoon jadi tidak merasa panik. Lantas secepat kilat pula dirinya mengarahkan tangan ke seluruh penjuru luar gedung, menintah petir untuk melahap habis para monster ular.
Boom! Boom! Baam!
Entah bagaimana harus mendeskripsikan suaranya, intinya itu adalah suara yang memilukan. Suara cambukan petir yang berpadu dengan suara teriakan monster ular. Mereka semua mati, hangus menjadi abu dan kemudian menghilang terbawa angin.
Jihoon tersenyum. Dia merasa puas bisa mengalahkan monster sebanyak itu. Tapi saat matanya tidak sengaja melihat kedua tangannya---, "ASTAGA NAGA!" dia terluka, tangannya mendapat luka bakar lagi, bukan hanya satu tapi KEDUA-DUANYA!
Set!
Jisoo dengan cepat mengeluarkan sesuatu dari balik jaket yang dikenakan. Dibungkus dengan buntelan kain, isinya banyak serta berukuran kecil sewarna cokelat. Jisoo menyuapkan Jihoon beberapa potong dari isi buntelan tersebut, dan seketika rasa manis yang enak bagaikan perpaduan cokelat serta makanan manis lain memenuhi kerongkongan Jihoon. Anehnya, ketika memakan dan merasakan rasa manis, perlahan luka Jihoon menghilang hingga tidak berbekas sama sekali.
Wah. Benda yang ajaib!
"Apa itu tadi?" tanya Jihoon.
"Ambrosia," jawab Jisoo.
Jihoon mengangguk. Hm, sudah diberi tahu Jihoon tetap saja tidak tahu apa itu ambrosia. Tapi sudahlah, yang penting lukanya sembuh.
Ah... andai saja Jihoon punya yang seperti itu saat kejadian mengeluarkan petir di kantin. Tangannya tidak akan terkena luka bakar.
"Ini." Jisoo memberikan kembali tongkat bisbol pada Jihoon. Jihoon mengambilnya, menggenggam dengan kedua tangan. "Sekarang kita masuk, tapi tetap waspada. Menurutku di dalam juga ada monster ular betina itu, dan kau tidak mungkin menggunakan petir di dalam gedung: takutnya temanmu yang malah terkena sasaran. Jadi kita akan lawan sebisa mungkin dengan senjata seadanya."
"Tapi kau tidak bawa senjata atau barang lain? Bagaimana bisa melawan?" tanya Jihoon lagi.
Jisoo menggeleng. "Jangan khawatirkan aku. Semua akan baik-baik saja."
Baiklah. Kalau itu yang Jisoo katakan.
Nah, sekarang mari bertindak nakal: awas kalian monster ular menjijikan! Jihoon datang untuk menghancurkan kepala kalian! []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro