
F Class Heartventure!!
Nilai... dan peringkat..
Dunia manapun itu.
Pendidikan, pekerjaan, penjualan.
Kantor, sekolah, universitas.
Menggunakan angka sebagai tolak ukur hal yang dianggap 'bernilai' oleh mereka.
Orang lain penat, lelah dengan semua itu.
Aku pun begitu..
======================
"Jika sebuah lampu dipasang pada tegangan 220 volt."
Kapur putih berdecit diatas papan.
"Dan menghasilkan kuat arus listrik sebesar 0,25.."
Alur mulai membingungkan digambarnya.
"Berapa energi yang digunakan lampu dalam 12 jam?"
Tanda tanya akhirnya berhenti disana.
Semua menunggunya membeberkan rumua dan jawaban benar.
"Jawabannya 2.367 x 10³ Joule."
Beberapa mulai mengeluh kesal, sebagiannya meringis senang akan jawabannya yang benar.
Sayang sekali, aku masuk yang mengeluh saja. Satu nomer kucoret salah—lagi.
Ini sudah yang ke-16 kali sampai nomer terakhir, 20. Dari pretest yang diadakan guru-guru hari itu—sudah kupastikan nilainya akan jadi penimbangan 'pemutaran kelas' selanjutnya.
Hanya empat soal yang benar, dan itu sudah jadi pemandangan biasa bagiku.
Punggungku bersandar lelah.
Tatapku putus asa ke langit kelas.
Hela ku mengikuti pastinya.
Ini masih separuh jalan dari jadwal kelas sehari.
Dan sudah kurasakan sekarang simulasi menjadi 'sampah' yang 'pasrah'.
Guru ini bergilir dengan guru lain.
Begitulah siklusnya setiap pelajaran berganti.
Suara mereka melontar pelajaran membosankan.
Bukan bosan karena sudah paham.
Aku bosan selalu menjadi 'si paling tak paham'.
Menyerah dengan semuanya.
Kenapa juga harus berusaha?
Kalau hasilnya sama saja.
Menjadi yang terbawah, dibawah coretan garis merah—tanda salah.
Semua anak mengangkat alat tulisnya. Kembali menulis mendengarkan guru dengan khidmatnya.
Hey, katakan padaku.
Untuk apa kalian berusaha, walau tau kalian hanya akan terus dibawah?
==================
"Benar kan?"
Hasil rata-rata nilai ujian kuterima. Dan jelas mengatakan, aku kembali meraih peringkat bawah.
Pembagian kelas peringkat masih belum muncul, tapi sudah kupastikan dimana letakku nantinya.
"Pasti juga tetap kelas E. Peringkat 30(paling akhir)."
Bangkit dari bangku. Teman sekelas E-ku muncul terhela-hela.
"(Y/n)! Aaah...! Kau... Kau sudah lihat?"
Alis kananku terangkat.
"Lihat apa?"
Dia menenangkan dirinya, sebelum melemparkan berita yang memukul detakku.
"Hasil kelas peringkat sudah dipampang di depan!"
Meski aku sudah tau akan berakhir dimana. Tetap saja melihat nilai selalu jadi hal buruk yang harus kusampaikan nanti pada ibu.
Aku segera berlari menuju papan utama yang berada di lorong paling depan.
Banyak sekali anak yang berdiri disana.
"Duh—permisi! permisi!"
Beberapa menepi, membiarkanku mencari nama di nomer terakhir di kelas E.
"(Y/n) (f/n)... (Y/n) (f/n)... mana namaku?"
Aneh, seharusnya aku di peringkat terakhir, kan? Kenapa tidak ada?
Ya kali aku naik peringkat, nilaiku saja lebih jeblok dari sebelumnya. Mana ada—
"Sebelahnya, (y/n)!"
Seru kawanku dari balik kerumunan.
Lirikku bergeser, tepat disampingnya, sebuah kerts tertempel dengan deret kelas berbeda.
"G-gi..."
Sejak kapan ada disana?
"Gimana..?"
Setauku hanya sampai kelas E saja.
"Sejak kapan ada kelas F?"
Ucapku dalam horor mimpi buruk yang begitu nyata.
===================
Sekolah ini terkenal akan kelas peringkatnya yang memajukan peserta didik untuk terus berkompetisi.
Kelas A dan B,
Mereka adalah kebanggaan sekolah ini.
Bahkan nama mereka bukanlah 'Kelas Peringkat' tetapi 'Kelas Unggulan Prestasi'
Kelas C dan D,
Tempat anak-anak berpengetahuan mencakupi ada disini.
Nama mereka tak begitu terkenal. Hanya saja anak-anak disana terkenal masih mengejar ambisi.
Selanjutnya kelas E,
Ini sudah menjadi bentuk 'malu' bagi setiap individu.
Bahkan dalam kategori nilai— E adalah hal yang harus diulang kembali untuk hasil lebih baik.
Kupikir ini sudah titik paling terendah yang ada di sekolah ini.
Tapi aku salah..
Satu kelas lagi ada. Namanya saja yang tak pernah disebutkan.
Mereka adalah bentuk 'kegagalan' dari semuanya.
Rasa malu yang diemban oleh sekolah maupun keluarga.
Bahkan anak didalamnya pun dianggap tak berguna sudah oleh dunia.
Kelas F, 'Kelas Buangan'
Ini adalah kelas terendah dari semua kelas peringkat.
Konon, siapapun yang menjadi penghini di kelas ini, tak akan mampu bersaing lagi untuk bergerak naik ke kelas E, D, C, B bahkan A.
Mereka terjebak disana.
Bersama 'sejenisnya'.
=====================
Aku tak bisa menolak kenyataan.
Salah juga. Salahku juga mengabaikan adanya kelas buangan.
Memoriku payah. Tidak, aku yang payah.
"Kelasnya dimulai besok senin." sebutnya mengingatkan.
"Ya, terima kasih." jawabku lesu. Pundakku diusapnya.
"Sudah, sudah, jangan terlalu dipikirkan. Aku yakin kau pasti bisa bangkit, (y/n)!"
"Ah.. iya.."
Kawanku menatapku takut.
Bagaimana tidak? Rasanya semangat hidupku sudah disedot habis oleh hasil tadi.
"Kelas F, kau sudah tau rumornya, kan?"
Ucapku muram pada temanku yang sok optimis itu.
Beruntungnya dia baik ke kelas C.
Alisnya mengerut, senyumnya masih disana. Dia menepuk pundakku.
"Kau akan baik-baik saja. Kelas F tak selamanya buruk, mungkin bisa jadi koreksi dirimu nanti. Yuk bisa yuk!"
Dia menggoyang tubuhku yang lesu.
"Perasaan semua tentangku sudah buruk. Mau dikoreksi bagaimana pun, bukannya itu buang-buang waktu." helaku tanpa semangat, bersuara nyaris berdesis.
Singkat cerita, aku dan dia mau tak mau berpisah.
Meski dia berkata akan tetap menjadi temanku di luar kelas ataupun ngantin, tetap saja..
"Aku tak sebaik dirinya."
Malam sepulang sekolah, seperti biasa ibu menampakkan kekecewaannya.
Ayah mulai melontar kalimat pedas tentangku yang kalau masih terus berlanjut begini, sekolahku akan diberhentikan.
Entah, kenapa aku masih tak ingin pendidikan ini ditarik dariku.
Padahal aku tau, hasilku tak pernah bisa dijadikan rasa bangga.
Aku tak pernah lepas dari 'kegagalan'.
Air mata satu-satunya teman.
Untuk apa mengeluh pada kawan lainnya?
Kalau melihat mereka saja, aku sudah terluka.
Mereka bisa tersenyum dan menerima apapun kondisiku.
Tetapi aku hanya bisa kesal dan kecewa, tidak bisa menerima diriku.
Aku benar-benar bentuk rasa 'malu'.
================
Senin.
Siapa yang bahagia dengan hari itu?
Tidak ada. Paling anak ambis saja.
Atau mungkin mereka berpikir hal yang sama?
Ruang kelas F yang berletak paling ujung. Dengan gerombolan anak yang tak pernah tak menutupi jalan. Aku membuka pintunya.
"Permisi." ucapku begitu kecil.
Kulihat tak ada yang memperhatikan.
Mereka sibuk berbincang, bermain kartu remi, bahkan beberapanya melakukan hal tak senonoh seperti cowo menyentuh paha cewe—langsung kuabaikan.
Tanpa kuperhatikan lagi, aku mencari kursi.
Hingga seorang memanggil.
"Hey kau!"
Seorang gadis dengan riasan di wajahnya.
Tidak menor. Hanya saja aku tau dia mengenakannya.
"Anak baru, ya?"
Aku mengangguk sunyi. Dia meringis.
"Cakeeep!! Sini, sini, duduk sini. Kebetulan banget, kawan aku naik ke kelas E. Siapa ngira ambisnya dia beneran kebayar? Walau katanya peringkat paling bawah sih."
Keningku mengedut kesal.
'Oh, jadi anak teman ini yang menggeser nomer akhirku di kelas E?'
Kursi disebelahnya kupandang, sebelum kuletakkan tas ku disana.
"Terima kasih."
"Hm? Buat apa?"
"Buat mbolehin duduk disebelahmu."
Tak biasa saja seorang anak memperbolehkanku duduk di sebelah mereka.
Biasanya mereka akan berkata kalau sebelahnya sudah di-booking teman, untuk menghindariku.
Mereka tau nilaiku selalu jelek. Tak sedikit juga hasrat jahatku ingin mencontek juga tinggi, asal hidupku selamat untuk satu nilai saja.
Aku yang dikiranya berniat mencontek.
Kebiasaan itu sudah mulai ku kurangi sejak di kelas E. Makanya semangatku jadi turun karena tanpa itu nilaiku akan sama saja.
Kejujuran itu pahit.
Anak ini tersenyum.
"Namamu siapa?"
Kepalaku menoleh.
"(Y/n)... (F/n)."
Dia memerhatikan wajahku sejenak. Entah sisi mana saja yang dilihatnya, seakan dia tahu segala detailnya.
"Wajahmu bagus juga nggak begitu berminyak. Pake skin care apa nih? Kasih tau dong~ Serum apa? Masker? Atau... oh, kamu ikut facial?"
Huh? Skin care?
Skin care apa? Facial apaan?!
"U-uuhh... cuma sabun mandi."
Maniknya mengedip berkali-kali.
Uhm... apa aku salah jawab?
==============
Bel masuk terdengar nyaring. Meski begitu kelas ini belum juga tertata rapi, apalagi terisi.
Heran, rasanya liberal sekali disini.
Bahkan saat guru datang pun tak semua anak membalas sapanya.
Nyaris tak semua mengangkat alat tulisnya dan fokus mendengarkan pelajaran dengan taat.
Bisa dihitung bahkan, lima anak termasuk aku dari total 30 anak disini.
Tidak, tidak, aku tidak boleh terpengaruh!
Pokoknya mau tak mau setelah ini harus naik peringkat.
Kalau tidak, kalau tidak...
Batang pena kucengkram.
Skenario terburuk akan sungguh terjadi.
=============
Hari pertama aku sudah lelah dengan kelas itu.
Seharian suntuk yang kudengar hanya keramaian anak lain dengan bahasa yang sangar tanpa ketenangan sama sekali untuk fokus belajar.
Apalagi konsetrasiku benar-benar jangka pendek. Selalu saja berakhir menoleh ke anak lain dan mengabaikan guru (juga) pada akhirnya.
Oke, ini mungkin sudah ujianku di kelas F.
Semangat! Semangat! Aku tak boleh menurunkan ambisiku untuk naik peringkat kali ini.
Pintu kelas hendak kubuka, sebelum itu aku menarik nafas 'tuk tenangkan diri.
Dan saat terbuka, aku sudah harus dalam keadaan si—
—apa dia?
Manik ungu menawan.
Anting di telinganya itu.
Kulit gelap yang menyatu eksotis dengan surai terangnya.
Aku... tau dia.
DIA ANAK KELAS INI??!!
Bagaimana bisa? Tunggu—jangan bilang kemarin dia absen..
Pandangnya melirik padaku yang baru membuka pintu.
Sontak kuabaikan, keburu menuju bangku, menundukkan wajah, pura-pura tak menyadarinya ada disana.
Buku kubuka lembarnya, kubaca meski tak satupun kata kupahami.
Nggak nggak nggak
Masa' sih dia di kelas F selama ini?!
Aku gak pernah ngelihat dia.
Doki Doki!
AUGHHH!! Kenapa ku nggak bisa tenang gini?
Dia lirik sini, kah? Nggak, kan? Nggak, kan?
Tap! Seorang menepuk pundakku, sontak ku terkejut nyaris melompat dari kursi.
Ah, ternyata teman sebangku.
"(Y/n)? Kau baik-baik saja?" matanya berkedip-kedip.
"H-huh? Hah? Hahaha, nggak kok. Kaget aja tetiba kau disini."
Oh astaga, ketawa macam apa itu?
Kawan sebangku ini menatapku curiga, bahkan sampai memicing, memajukan tatapnya begitu dekat.
"Benarkaaah?~ kek nya kamu kayak kesambet sesuatu nih."
"A-apaan? Nggak, nggak, nggak ada." tatap langsung saja kupalingkan. Kalau lebih kubalas tatapnya makin—
"Kau nyukain anak ya?"
SUKSES 100% AKURAT!!!!
Kawanku langsung menutup mulutnya mendapatiku semakin salah tingkah.
Apa seaneh itu wajahku saat menyukai seseorang?
"Beneran..? IH, BENERAN LU?!"
Dia sampai mengguncangku tak percaya sebelum berbisik disamping telingaku.
"Memang anak yang mana?"
Duh... Mulai nih.
Soal urusan begini, mana ada yang percaya orang lain pas ngebeberin? Gimana kalau beneran kebeber ntar?
"(Y/n), ayolahh. Inisialnya sajaa."
Tatap kubuang lagi darinya.
Gimana bisa jawab kalau belum nyebut saja detakku sudah nggak karuan gini?
"(Y/nnnn)~"
Dia memohon terus padaku. Lama-lama kesal juga aku.
"Tck, iya dah iyaa. Tapi jangan kasih tau anaknya."
Kawanku tersenyum, dia memberikan jari kelingkingnya.
"Janji."
Barulah kami melingkarkan jari sebelum kubisikkan inisial itu padanya.
"I K"
Dia terdiam sejenak. Berpikir. Memproses siapa.
Sampai liriknya jatuh pada sosok tepat di barisan kami yang duduk paling belakang tengah berbincang dengan komplotan satu gengnya.
"OOH!"
Suaranya cukup kencang membuat anak itu menoleh. Syukur saja langsung kubungkam mulutnya.
"Maaf, maaf. Mulut toa'."
Tawa miringku terlepas juga pada anak itu. Jelas banyak kelihatan bodohnya.
"Jangan keras-keras." Bisikku menggertakkan gigi.
Manik kawanku tersenyum. Dia terlihat senang sekali, sementara aku panik setengah mati.
Singkatnya, guru datang kembali mengajar di kelas.
Mirip sehari yang lalu, anak-anak banyak yang memerhatikan pelajaran.
Tetapi berbeda dari hari yang lalu, kali ini aku JAUH lebih tak bisa fokus di kelas.
Tau sendiri apa alasannya.
Sedari tadi aku bisa merasakan tatapnya meski lewat balik punggung.
Dan meski aku tak tau kemana tatapnya mengarah, kenapa aku selalu merasa dia menatap kemari?
Aaaaaaaaaaaah..
Jangan lihat kesini. Jangan lihat kesini.
Kau tau tidak daritadi aku kepanasan disini menahan semuanya?
Lepaskan penderitaan hukuman-ku ini..
((Aku menganggap adanya dirinya sebagai hukuman di kelas F ini—karena nilai jeblok, aku berakhir dan terjebak disini sampai pergiliran selanjutnya.))
Seusai kelas, jam istirahat datang.
Teman kelas E ku dulu masih ingin mengajakku makan siang bersamanya.
Syukurlah... Aku tak kehilangan teman karena nilai ini.
Itu karena 'katanya'.
===================
--- Rumah, flashback ---
"Maaf, hiks!"
Air tangisku jatuh di depan kertas rapot yang sudah diremas. Bersatu dengan sampah yang di sapu-nya.
Setelah dia tak kuasa melihat nilaiku yang berakhir mengenaskan, dia meremas dan melemparnya ke lantai.
"Nilai kayak gini nggak ada yang mau, (y/n)."
Seribu maaf kulontarkan. Semuanya tak ada yang berkesan. Dia tampak menyerah pada IQ ku yang rata-rata, tak seperti anaknya yang lain.
"Teman-temanmu dapat berapa?" tanyanya.
Kujawab seingatku.
Seingat memori pendekku akan kawanku yang kurayu untuk membeberkan nilai-nilainya.
Dia menghela.
"Aku dengar ibunya **** dapat nilai A."
Deg!
Satu kata berhasil menusuk.
"Ibunya si ***** bilang anaknya masuk 3 besar. Ibunya *** anaknya dapat nilai jelek, tapi dibanding denganmu—tck, hah!"
Dia membanting batang sapunya di depanku. Kesal, menyerah, pasrah, amarah—aku merasakan badai emosi itu berputar jelas di mataku.
Badai ter-mengerikan di hidupku daripada badai sesungguhnya.
"Teman-temanmu saja nilainya segitu."
"Kalau begini terus, kau bisa berteman darimana?"
Nilai.
Nilai.
Nilai.
Peringkat.
Peringkat.
Peringkat.
Kalau aku tak mendapatkannya, dunia akan memalingkan wajahnya.
Tak akan ada yang mau mendekatiku.
Benar... bukan?
Mereka menjauhiku.
Mereka takut padaku—seperti aku wabah yang tak mereka inginkan.
Sampah. Tak ada yang menginginkannya.
Bahkan sapu yang menyapu nya sudah lelah membersihkannya.
Batinku terjatuh, tersingkir seperti sampah yang dibuangnya ke tempat akhirnya bersama kertas rapot yang ada disana.
Aku... tak ada bedanya dengan...
S̸̨̡̡͈̞̣̤̃̿̂̓̀̑̈́͠a̵̡̠̣͖͐̿̑̐̓͂͐́̇̾m̶̝̪̫̠̝̳̂̑̋̓̈́͝p̵̛͈̞̈́́̓̕ä̸͙̜̰̮͖̟̮̬͝h̷̨̛͍̺̒
====================
"(Y/n)?"
"Hm? Ya?"
Lamunanku terpecah. Tanpa kusadari daritadi aku membiarkannya terdiam cukup lama. Bahkan saat makan di kantin tadi—aku nyaris tak ingat apapun.
"Kau banyak pikiran?"
Ah, pasti tadi terlihat sekali.
"Ah, cuma kelas F. Aku belum kebiasa sama lingkungannya."
Senyum ku palsu.
Begitupun kebenaran yang kubalur tipu.
Ujung manikku nyaris menangis—menangis melihatku memaksa membohongi diri sendiri—rasanya seperti merusak emosi sendiri.
Dia meng "ooh" kata-kataku, "Jangan terlalu dipikirkan. Kau selalu memikirkan banyak hal lebih dari anak lain. Santai (y/n), sedikit saja."
Santai kepalamu!
Kau saja yang tak pernah ada di posisiku.
Bagaimana kau bisa paham rasanya jadi aku?
Bel masuk terdengar kemudian. Aku dan dia berpisah. Hendak ku kembali ke ruang kelas—di depan pintunya, halangan lain mengacak-acak siklus emosiku lagi.
Izana.
Dia di depan pintu bersama kawanannya.
Bersenda-gurau dengan santainya.
Enak sekali dia.
Punya banyak teman meski di kelas bawah begini. Bagaimana bisa? Kenapa aku tak bisa?!
Ku acuhkan keberadaannya, langsung memasuki ruang kelas dengan kepala tertunduk.
Di bangku, buku pelajaran kusambar. Pikiran akan hubungannya nilai dan pertemanan itu masih menggangguku—aku tak boleh gagal, seakan itu jawabannya.
Kawan sebangku juga kuacuhkan. Setiap dia berniat membuka topik, ku selalu menggigit bibir, "Anu, sori, aku lagi baca." balasku.
Dia langsung menarik diri, "E-eh? Oke. Sori ya, ganggu." kemudian dia beralih ke anak kelas yang lain.
Inginku mengawang, membayangkan aku bisa berbicara dengan asiknya dengan mereka.
Tapi kenyataannya, aku terjebak disini.
Meski buku ini kubuka, tak satupun yang kupahami di dalamnya.
Seperti membaca bahasa alien—aku tak mengerti satupun maksudnya, hanya melihat-lihat gambar yang tak kuketahui apa itu.
Kantuk selalu menyerang di saat itu. Dan tak lama, aku pasti tertidur diatas buku.
=====================
Hari yang baru lagi. Hela nafas, ketidaktenangan masih menghantuiku sejauh ini.
Akan ada apalagi di kelas hari ini?
Keributan lagi? batinku sambil membuka pintu dengan tatapan semua orang mengarah padaku.
Semua cewe membisikkanku.
Pandangan kuedarkan.
Tanpa sengaja aku bertemu dengan tatapan lensanya.
"Cieeee~"
Seru semua anak di kelas itu. Bahkan para cowo menyiulkan bibir mereka.
((Bahkan karena kelas ini, gaya bahasaku berubah. Sial..))
.....bohong.
Ini semua bohong, kan?
Tebakan terburukku kemungkinan besar jadi kenyataannya.
Kembali lagi aku menoleh padanya.
DIA TERSENYUM.
Serangan panik langsung menyerbuku. Tempat duduk kugunakan sebagai alasan memunggunginya.
Bangsatbangsatbangsatbangsat
Anjir dia tau anjir!!!
Kelar idup gue, udah kelar udaahhh..
Bahkan topangan tangan tak bisa menghentikan derasnya keringat dingin dari dahiku.
Ini semua karena hari itu.
=================
--- Semester awal, depan papan, flashback ---
Baru kali ini sekolah ini menggelar yang namanya 'Kelas Peringkat'.
Katanya setiap anak akan digolongkan sesuai nilai yang keluar dari tes minggu lalu.
Duuhh... moga aja kelasku nggak bawah-bawah amat.
Siapa bilang papan pengurutan kelas sepi?
Malah kebalikannya.
Memang seharusnya aku tunggu saja sampai agak sepi.
Tapi gimana lagi? Anak kelas sudah bikin semuanya buru-buru ngelihat pembagiannya yang sampai menyangkut 'pemilihan kursi' nanti—aku nggak mau duduk sendiri lagi di sebelah anak laki-laki.
Mana ya namaku?
(Y/n) (f/n)...
(Y/n)(f/n)...
Ah, itu dikelas—Bruk!
"Urgh!!"
Seorang bertubuh besar tiba-tiba saja mendorong pundaknya begitu keras padaku.
Jelas banyak tersingkirnya aku, ditambah anak-anak lain yang tiba-tiba saja menggila saling dorong untuk berebut melihat papan.
Kakiku yang kecil terinjak oleh kaki anak lain begitu berat. Seketika tubuhku kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh—
"Eh?"
Seorang menangkap tubuhku yang nyaris jatuh ke samping-belakang.
"Kau tak apa?" tanyanya begitu tenang.
Pandang kudongak keatas. Bertemu dengam manik keunguannya.
Dirinya yang berdiri di belakang—menyelamatkanku, bahkan tanpa disengaja aku bersandar di dada bidangnya.
Deg deg...
Suara jantungku terdengar, tubuhku bergetar sekilas.
Dia dengan senyumnya.
Saat ku katakan terimakasih dan "Aku baik-baik saja."
Wajah hendak kupalingkan, sebelum akhirnya dia berkata, "Kau sudah melihat kelasmu?"
Pandangku menunduk. Aku tak terbiasa berbicara dengan lelaki.
"T-tadi sudah, tapi tidak jelas."
"Hm? Kenapa?"
"Kedorong kan tadi."
Kecewa mulai terlukis di rautku.
Sepertinya aku akan pasrah saja kembali duduk acak lagi. Menunggu sepi baru pindah kelas.
Sosok ini melihat kertas papan yang diramaikan anak-anak lain.
"Aku bantu."
Ucapnya tanpa berkata apa-apa lagi, bahkan sebelum kujawab sekalipun—dia membawaku maju, mengamankanku agar tak kembali tergeser desakan anak-anak lain dengan tubuhnya yang tegar.
Sejenak kudapati diriku terfokus memuji peraganya dalam diam.
Sampai akhirnya aku sampai di titik terdepan. Dengan punggungnya yang menjadi dinding pembatasku dari anak lain.
Sampai tak dipedulikannya keramaian yang mencemooh serobotannya—dia hanya ingin di depan, sesimpel itu.
"Mana namamu?" katanya.
Kembali lagi kupusatkan perhatian pada kertas pengumuman daripada dirinya.
Ku cari lagi namaku diantara ratusan nama. Hingga kutemukan satu—di kelas E..
"K-kelas E..?" bisikku kecewa.
Seakan dia mendengarnya. Dibacanya nama dadaku, yang dia tunjuk namaku di nomer pertengahan kelas E.
"Yang ini?"
Sedikit terkejut dia mengetahui itu. Tapi aku mengangguk, membenarkannya. Dia tersenyum.
"Kuantar ke kelas."
H-huh? Apa katanya?
Lelaki ini..
LELAKI INI BAIK SEKALI!
Aku tak tau namanya, tapi baru kali ini ada yang mengulurkan tangannya sampai sebanyak ini.
Lelaki ini SUNGGUH menemaniku sampai kelas E.
Ku masih belum bisa percaya dia mampu melewati kerumunan itu begitu saja—kalau itu aku, wah, entah apa jadinya keluar-keluar dari sana.
Singkatnya, kami sampai di depan pintu yang menggantung nama 'Kelas E'.
"Anu." ucapku, menarik perhatiannya.
"Terima kasih banyak, untuk yang tadi!" bahkan aku sampai berkali-kali membungkuk. Dia kembali dengan senyumnya.
"Bukan apa-apa. Aku lega kau tak sampai terinjak-injak tadi."
A-ah... apa aku berakhir semalang itu?
Tapi karenanya, hal itu terhindarkan.
"Aku kembali dulu. Dah, (f/n)."
Dia pergi beralih entah kemana. Syukurlah aku sempat membaca nama dada miliknya tanpa sepengetahuannya.
((Cocok nih aku jadi spy))
Izana Kurokawa.
Nama yang indah.
E-eh? Tunggu.
Aku tak menaksirnya, bukan?
Tidak, tidak.
Tapi...
Punggungnya masih kupandang sepergi dirinya.
Dan setiap melihatnya, degub itu kembali terdengar.
Aku menyukainya, sepertinya(?)
================
hadjahsjskshjsjshs
DAN ITU YANG TERJADI SEKARAAANGGG!!!
Gimana ini? Aduh, gimana niiiiieehhh???!!
Dia pasti sudah tau.
Dia pasti sudah tau.
Aaaahhh.... mau dikemanakan aku sekarang?
Tap tap..
H-huh? J-jangan bilang dia kemari—jangan bilang...
Izana SUNGGUH berjalan mendekat.
AAAAAAHHH JANGAN PANGGIL AKU.
Ternyata itu hanya pikiran berlebihanku.
Nyatanya dia hanya berjalan melewatiku, menuju pintu kelas dan keluar dengan raut santainya.
.....
Barusan apa?
Dia berniat mengejutkanku?
Oh, astaga, ya ampun.
Bumi pada jantung, apa kau masih disana?
Kalau mau mati bilang dulu, oke?
====================
Sejenak aku bisa bernafas damai. Pelajaran berjalan normal karena guru kali ini sangat menuntut ketenangan—semua terpaksa diam, bahkan dia sekalipun.
"Baiklah, pertemuan selanjutnya akan jadi presentasi proyek kerja kelompok."
"Setiap kelompok isi dua anak. Dan pasangan kelompok saya acak."
Semua anak mengeluh. Mereka tak bisa memilih komplotan atau teman mereka sendiri, melainkan pasrah dengan pilihan guru.
Guru menggunakan kertas absen yang dituliskannya secara acak di papan dan berpasangan.
Dia sengaja menuliskannya dari kelompok paling terakhir, kemudian ke paling awal.
Jantungku semakin di pompa.
Kelompok 6...
Kelompok 5...
Kelompok 4...
Namaku ditulis paling awal.
Degubku kembali terdengar. Firasatku mulai tak enak. Dan kebanyakan selalu terjadi betul—dah kayak cenayang.
Dan firasatku dengan kencang menyebut nama 'IZANA KUROKAWA' sebagai nama kedua di kelompok 4.
Panik kembali kurasakan.
Tolong jangan Izana.
Jangan izana, jangan izana, jangan kurokawa pokoknyaaaa..
Guru mengamati nomer absen yang belum dicoret(belum dipilihnya), lantas menulis nama lain di bawah namaku.
Kelompok 4
'(Y/n) (F/n)'
'Izana Kurokawa'
Beberapa anak kelas meringis, menertawakanku yang membeku oleh angin dingin keterkejutan.
Mampus gue..
Ku intip sedikit dirinya yang duduk di belakang. Dia membalas tatapku.
Sontak kualihkan lagi, pura-pura sibuk mbuka buku tulis, tulis tulis tulis tulis!!
Agak tenang suasananya. Kayaknya dia dah nggak lihat sini. Kulempar pandangku ke belakang—dia sudah nggak di bangkunya.
"Eh, elu kok gak bilang dia dah ngilang?"
Sambil tepuk pundak teman sebelahku, tapi terasa berbeda.
Firasatku tak enak.
Yang benar saja, saat kepalaku menoleh ke samping, bukan sosok temanku yang ada disana.
Tapi dirinya..
Dia yang tiba-tiba duduk di sebelahku, menyeringai.
Kusadari apa yang baru kukatakan tadi, sungguh bodoh sekali.
'Cooook...' batinku—itu ngilunya.
Kupandang kawanku yang sudah berkumpul dengan komplotannya, tertawa diatas penderitaanku.
Bahkan tak hanya mereka, tapi seluruh anak satu kelas.
Astaga, ya tuhan, boleh nggak sih aku kabur ke atap, terus lompat, terus ngilang?
"Mohon kerjasamanya ya, (f/n)." ucap Izana padaku. Aku hanya mampu membatu dan mengangguk.
Kemudian dia beralih pergi, kembali menuju kawan-kawannya yang mengajaknya keluar.
Kawan sebangku ku berjalan kemari, dengan teman-temannya juga jelasnya.
"Gimana, gimana tadi?" antusiasnya dengan yang lainnya.
Aku terdiam.
"(Y-y/n)? (Y/n)? Kau baik-baik saja?! Wajahmu merah parah!!"
Ya aku tau, rasanya panas dari telinga sampe tengah.
Habis ini kayaknya nyawaku yang hilang.
==================
Jam pulang sekolah selalu jadi jam untuk mengerjakan tugas kelompok bersama.
Kecuali aku...
Daripada aku senam jantung tiap ngerjain tugas ini harus dengannya. Maka akan kuputuskan..
AKAN KUKERJAIN SEMUANYA SENDIRI!
PERSETAN KAU DATANG ATO NGGAK!
KESEHATAN JANTUNGKU NO.1!!
Jadi sebelum bel pulang sekolah berdering—dua sesi istirahat kugunakan semaksimal mungkin biar cepet kelar nih kerjaan.
Gampang juga bikinnya.
Mumpung juga kan dia lagi keluar sama geng-nya dia.
((Aku tau soal geng sekolah sejak awal masuk. Tapi aku baru tau dia punya geng saat di kelas F ini.))
Dua sesi istirahat selesai, hingga jam sekolah tiba juga.
PAS! selesai juga proyek kerkel nih.
Nah, BENERKAN DIA MUNCULNYA PAS PULSEK.
"Jadi kerja bareng?" tanya nya.
Dengan bangga kujawab, "U-udah kelar, kok! Tinggal besok presentasinya. Duluan ya!"
Dia memandangku agak cemberut saat kurapikan segala perkakas yang kutemukan di sekolah. Tapi sudah kutinggal dulu dirinya, tanpa kuperhatikan lagi.
Di tengah perjalanan, langkahku melambat..
A-ah... apa aku salah bicara?
Rasanya, aku baru saja membuatnya kecewa tadi.
==================
DAN INI ADALAH KEESOKAN HARINYA, SAUDARA-SAUDARA!!
Pelajaran kemarin jadi jam pertama hari ini dan guru meminta semua kelompok untuk duduk sesuai dengan pasangannya.
PAGI-PAGI UDAH SENAM JANTUNG AJA.
Setelah duduk berkelompok. Guru memanggil kelompok pertana untuk presentasi lebih dahulu.
Aneh, bukan dua orang yang bicara, tapi seorang saja.
Apa disini memang sering seorang kerja, seorang titip nama aja?
Menarik. Tapi bukan saatnya fokusku hilang disini.
Aku harus memerhatikan dengan baik kalau nggak ingin tinggal di kelas ini terus. Apalagi sampe disemprotin ibu.
Dan sedari tadi aku memerhatikan penjelasan tiap kelompok dengan serius, tanpa kusadari Izana tak memerhatikan depan.
Tetapi padaku.
Dia melihat sekitar dan menemukan raut serius ku yang dianggapnya paling menarik.
Seperti tak ada anak kelas yang seserius itu dan selucu itu mimikku di matanya.
"Bagus kelompok 3, sekarang kelompok 4."
Tanpa sadar cepat sekali giliran berganti. Aku dan Izana bangkit bersamaan. Kami berdiri di depan—nyaris berdekatan, kalau aku tak ambil jarak.
Mulailah aku membuka presentasi, menjelaskan segala detail dalam proyeksi kerja kelompok yang rasanya individu itu kukerjakan.
Yah setidaknya aku masih baik kan menyelesaikannya lebih cepat?
Sedari tadi ku serius menjelaskan.
Izana hanya diam dan tersenyum-senyum disampingku kayak...
Astaga, harus istighfar berapa kali aku, biar gangguan setan ini hilang dari kepalaku?!
Seusai itu, aku dan dirinya kembali ke bangku.
Kudapati lagi kawan sebangku ku yang meringis dengan komplotannya setelag melihat penjelasan kikuk ku tadi.
'Kurang ajar' bisikku meringis menahan salah tingkah.
===================
AKHIRNYA.... jam istirahat..
Tak kusangka jam istirahat sungguh seberharga ini di saat begini.
Sudahi saja penderitaan manis ini astagaaa..
Aku sudah nggak kuat lagi ngadepin salah tingkah.
Setelah kelas tadi, kudapati Izana tengah berdiri dengan geng nya di lorong dekat pintu kelas. Ngobrol sambil nutupin jalan.
Dan hal itu membuat geng kelas sebelah terganggu.
Mereka mulai cekcok satu sama lain, sebelum akhirnya berakhir adu fisik satu sama lain.
Ya ampun.
MAU NGANTIN AJA SUSAH BANGET ASTAGAAA!!!
Ku berusaha mencari celah untuk melewati kerusuhan itu tanpa ikut campur didalamnya.
Sedikit lagi aku bisa kabur melewati kerusuhan ini—langkahku terhenti.
Satu momen kudapati seorang berusaha menyerang Izana yang tak sadar akan serangan itu dari belakang-samping.
Temannya—Kakucho—masih sibuk menghajar anak lain.
Sedetik, instingku ditarik.
Untuk melindunginya.
Dengan insting saja kujatuhkan 'tendangan bola' abal-abal pada anak itu.
Mendorongnya meski tak begitu jauh dan tak rubuh.
Menyadariku ikut campur, anak itu hendak membalasku dengan serangan tangannya.
Tepat saat itu, Izana menahannya!
Dalam hitungan detik, dia membabak belurkan anak itu tanpa ampun.
"(F/n)?!"
Aku membatu.
Semua ini.
Semua kekacauan ini..
Dan orang-orang yang berjatuhan begini..
Aku tak bisa!
Kawanan anak itu membawa bala bantuan lain. Seorang membawa sesuatu.
Tembak kejut!
Dia menodongkan benda itu, menarik pelatuknya yang diarahkan pada sasarannya.
Tapi bukan pada Izana—
"AAAKKHH!!!"
Manik Izana membelalak. Bahkan tak hanya dia yang terkejut—satu gengnya, melihat detik itu.
Seorang dari geng Izana langsung menjatuhkan senjata dan pelaku penggunanya.
Meski aliran listrik cukup tinggi sudah lebih dulu mengalir di pembuluh darahku.
Pandanganku memudar dan membayang.
Keseimbanganku mulai menghilang.
Kepalaku pusing sekalii...
Tidak. Bertahan!
Jangan jatuh, jangan!
Kau bukan gadis lemah, aku bisa mengatasi pusing ini!!
Tarik nafas... tenangkan diri...
"Haah... Huff.. Haah... Huff.."
Bernafas, (y/n).
Bernafas.
'Aku baik-baik saja!'
Manikku perlahan terbuka. Dan tubuhku berhasil bertahan berdiri.
"(F/n)..?"
Pandang kuedarkan sekitar.
Semua orang terdiam, membelalak.
"Nggak mungkin.." ucap Kakucho yang baru berniat menghabisi anak terakhir.
Diantara keterkejutan itu, Izana justru meringis.
"Ahaha~ menarik, (f/n)."
Dia menatapku tak biasa—kagum, mungkin?
"Bagaimana bisa kau menahan sengatan tadi?" tanyanya yang juga tak kuketahui jelas jawabannya.
"Kau juga tadi menolongku, benar?" tanya.
"U-uhh, aku hanya berusaha, aku tak suka kecurangan."
Bohong.
Buktinya aku masih mencoba untuk menyontek saat ujian.
"Tapi kau tetap menolongku tadi." ujarnya. Yang tak bisa kusalahkan juga.
Baru kusadari, aku sudah masuk ke dalam permasalahan per-geng-an ini. Hanya untuk menyelamatkan seorang yang kuanggap spesial ini.
"(F/n), performamu tadi. Hebat sekali."
Pujiannya menarik tatapku untuk melihat padanya.
Belum sempat kuucap terima kasih, dia mengulurkan tangannya.
"Bergabunglah dengan Tenjiku, (f/n)."
"Kemampuanmu dibutuhkan oleh Tenjiku. Aku yang akan melindungimu dari serangan balik geng itu." jalannya mendekat.
Semua orang jelas tak percaya, apalagi aku.
Anggapannya seorang yang hanya lewat dan tak sengaja menyelamatkan orang lain—dirinya sudah dianggap 'pahlawan' oleh seorang petinggi.
Terlalu cepat.
Dan soal ikut serta dalam geng—akan langsung mengubah hidupku berketerbalikan yang hanya menjadikannya lebih berbahaya nanti.
"Maaf."
Satu kata kulontarkan.
"Aku nggak mau gabung dengan kelompok yang nggak jelas kerjaannya."
Mereka semua tak berbicara. Hanya aku yang berjalan melewati Izana, mendekati gerombolan anak lain.
"Minggir, mau ngantin." sinis ucapku.
Mereka memberi akses jalan.
Izana tak mengejar. Dia terdiam disana. Denganku yang berjalan semakin jauh darinya, semakin cepat berlari menuju kantin.
"Aahh... Haahh...!!"
Semuanya akan baik-baik saja, kan?
Dia nggak dendam gegara kutolak, kan?
Dia nggak bakal ngehadang pas pulang nanti, kan?
Nggak bakal di santet juga, kan??!!
1000 khawatirku semakin menghujam.
Dan kepanikan tak bisa lepas dariku sejak itu.
==================
Setelah kejadian itu, batas mulai kubuat untuk siapapun penghuni kelas F.
Bahkan temanku bingung akan perilaku ku yang tiba-tiba.
Dia bahkan berani bertanya kepada Izana—mengiranya melakukan hal yang tidak-tidak padaku sampai aku jadi begini. Izana tak menjawab.
Dia hanya diam melihatku kabur setiap bertemu dengannya. Kecuali saat jam pelajaran kelas.
Aku tak bisa melihatnya lagi.
Hanya akan ada tumpukan khawatir yang menerkamku.
Nilai jelekku.
Kelas F itu.
Omelan ibu.
Ancaman balas dendam geng sebelah.
Apa yang Izana pikirkan hari itu.
Dan lain sebagainya.
Rasanya kepalaku semakin berat jadinya. Kuputuskan untuk kembali ke ruang kelas karena tempat lain berpotensi ditempati geng kelas lain.
Kebetulan sekali kelas begitu sepi—tak biasa. Tak ada siapapun disana. Lebih longgar.
Kuistirahatkan diriku di bangku. Kubenamkan wajahku, frustasi dengan semua ini.
Hingga tiba-tiba kurasakan keberadaan Izana di dekat pintu kelas.
Kepalaku bangkit, mencari dirinya, namun dia tak ada disana.
'Apa dia juga pergi sepertiku?' batinku.
'Mungkin... mungkin dia juga sama bingungnya denganku.'
Air mataku menitik. Kuusap lengan seragam.
Namun tak kunjung berhenti.
==================
Dan author pun terbangun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro