Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Plan 17

Beberapa proposal terbuka di layar laptop bersamaan. Hampir akhir tahun, tapi salah satu projek Kalula's Organizer ada yang belum rampung. Nikah gratis untuk pasangan-pasangan kurang beruntung di luar sana. Harusnya, setiap tahun KO menyelenggarakan pernikahan gratis untuk minimal enam pasangan. Namun, hingga pertengahan November, kami baru bisa mengadakan empat pernikahan gratis.

Program ini tercetus dari banyaknya pasangan menunda pernikahan karena biaya yang terus melonjak. Selain itu, ada juga yang menyelenggarakan pernikahan dengan sangat sederhana. Jangankan pesta, tasyakuran saja tidak ada. Hal itu mendorongku ingin berbagi agar hari bahagia mereka semakin istimewa.

Mulai dari dekorasi, makanan, wardrobe dan make up artist, tenda pengantin, ditanggung penuh oleh Kalula's Organizer. Tentu saja, aku tidak bisa memberi layanan mewah di hotel bintang lima. Bisa bangkrut nanti.

"Ya ampun, kasihan banget .... " Aku mendesah lirih membaca proposal yang dikirimkan oleh seorang perempuan bernama Dahlia. Dia merekomendasikan temannya agar jadi salah satu klien nikah gratis KO. Nah, ini yang membuatku terharu. Kebanyakan proposal nikah gratis, tidak ditulis oleh calon pengantin itu sendiri, melainkan orang lain. Biasanya kerabat atau sahabat dekat.

"Fix, gue ambil pasangan ini. Dapet musibahnya kok bisa beruntun gitu .... " gumamku.

Jadi, calon pengantin ini harus mengundur tanggal pernikahan mereka karena rumah sang mempelai lelaki terbakar habis. Padahal, tiga bulan sebelumnya, ayah dari mempelai wanita mengalami kecelakaan dan membutuhkan banyak biaya untuk operasi. Sudah uang habis untuk perawatan pasca operasi, rumah ludes lagi. Aku tak bisa membayangkan banyaknya kesabaran yang mereka punya dalam menghadapi cobaan tersebut. Apalagi menurut Dahlia, mereka tidak tahu sampai kapan akan menunda pernikahan.

"Aku mohon banget, Kak ... danai pernikahan mereka. Buat nikah di KUA sama tasyakuran aja, udah nggak ada duit temenku itu."

Aku lalu mengirimkan file proposal itu ke e-mail Mbak Jum, agar segera ditindak lanjuti. Kalau bisa, akhir Desember pernikahan mereka terlaksana.

Sambil membetulkan ikatan rambut, aku keluar ruangan, menuju kubikel Mbak Jum yang ada di seberang ruanganku bersama staf-staf lain.

"Mbak, udah baca e-mail gue? Pokoknya itu CP-nya buruan dihubungi. Baru dapet lima kan kita? Sisanya lo yang cari. Kalau nggak nemu, tahun depan harus nambah satu kuota nikah gratis."

Mbak Jum mengangguk. "Siap, gue mau baca proposalnya dulu. Nanti gue hubungi CP-nya. Gue usahain minggu ini bisa ngobrol sama capengnya, biar dapet tanggal acara."

Aku mengacungkan jempol padanya, sebelum memutar tumit meninggalkan ruangan. Kebetulan sekali, kediaman calon pengantin itu berada di Bandung. Jadi aku punya alasan pulang.

***

Tiga buah test pack berceceran di meja belajar berkaki pendek dengan beberapa gumpalan tisu. Aku terduduk di lantai, menatap nanar benda-benda tersebut. Pikiranku kosong. Dua garis merah yang timbul di sana mengguncang duniaku. Apa yang sudah kulakukan? Apa yang harus kulakukan?

Aku mengantuk-antukkan kepala ke tembok beberapa kali. Kenapa harus begini? Azka bahkan bukan pacarku lagi. Lelaki itu sudah mencampakkanku sebulan lalu. Setetes air mata bergulir ke pipi, yang kemudian disusul setetes demi setetes tanpa henti. Dadaku sesak, aku seperti kehilangan kemampuan untuk bernapas.

Sudah berapa bulan usia kandunganku? Apa masih bisa dihilang---

Please, Lula ... jangan sampai kepikiran untuk gugurin kandungan. Kamu mau jadi pembunuh?

Isakan keras lolos dari tenggorokan. Aku membuka mulut, berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin untuk mengusir sesak di rongga dada. Rasanya, seperti ada dua tembok yang menghimpitku bersamaan. Tanganku terjulur untuk meraih ponsel yang tergeletak di kasur. Meski pandanganku mengabur, aku mengetikkan nomor mama yang kuhafal di luar kepala. Saat akan menekan tombol untuk memanggil, jariku berhenti di tengah udara begitu saja.

Nggak, nggak bisa. Aku nggak bisa hubungi mama. Aku harus bilang apa ke mama nanti? Ma, anakmu hamil, gitu?

Azka ... Azka pasti mau menerimaku kembali, kan? Bagaimana pun ini adalah anak kami. Ya, betul ... aku harus menemui Azka sekarang. Lagi pula, hubungan kami berjalan lima tahun, tidak mungkin perasaannya padaku langsung hilang begitu, saja, kan? Aku yakin, lelaki itu tak akan tega membiarkanku melalui ini sendirian.

***

"Hape lo bunyi terus tuh, Mbak ... " lapor Hani padaku, sesaat aku kembali dari toilet. "Bang Ndaru palingan."

"Kenapa yang dibahas Ndaru lagi, sih? Ini udah gue traktir bebek peking, masih kurang bersyukur lo?" semprotku sembari mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja.

Sorakan dan tawa langsung pecah membuat beberapa pengunjung restauran menoleh ke arah meja kami. Sebagai bos yang baik, aku sengaja menutup kantor lebih awal untuk mentraktir pegawai Kalula's Organizer makan malam. Okelah, sekali-kali kurela merogoh kocek cukup dalam demi mereka. Aku tidak mau kalah pamor dari Ndaru di mata pegawaiku sendiri.

"Hasna kenapa, nih?" Aku bergumam saat melihat daftar panggilan tak terjawab dari perempuan itu sebanyak tiga kali. Ia juga mengirim pesan Whatsapp yang tampak mencurigakan.

Kalula ... ada waktu nggak? Aku mau ngobrol sebentar sama kamu. Trims.

Merasakan ada sesuatu yang janggal, aku kembali meninggalkan meja, menuju teras yang lebih sepi. Dengan ponsel menempel di telinga, aku menunggu sambungan terhubung. Aku menyandarkan tubuhku pada tiang berlapis marmer.

"Assalamu'alaikum .... "

"Waalaikum salam, Hasna ... maaf tadi gue di toilet. Kenapa nelepon?"

"Ehm, sebelumnya gue mau minta maaf, La. Gue mau minta tolong sebenarnya, La .... "

Aku mengernyit. "Minta tolong apa?"

"Anak kedua gue, Enola ... " Terdengar helaan napas dari seberang, memupuk kekhawatiran, rasa penasaran, dan kepanikanku semakin menggunung, "Gagal ginjal akut. Dokter bilang, transplantasi jalan terbaik saat ini."

Jantungku seakan merosot ke lantai. Lututku langsung lemas, untung saja aku bersandar pada tiang marmer yang kokoh ini.

"G-gimana bisa, Na?"

"Ginjal polikistik. Itu kelainan bawaan. Baru kedeteksi waktu Enola umur tiga tahun."

"Sekarang umur Enola berapa?"

"Almost seven." Suara Hasna tercekat.

"Oh, I am so sorry, Hasna .... " Aku dapat merasakan kepiluan dari setiap helaan napas yang terdengar dari temanku itu.

"Maaf banget, La ... gue hubungi lo waktu gue susah. Gue nggak ngerti lagi harus ke mana. Vino udah nggak bisa pinjam bank lagi, jadi gue, gue ... "

"Na, tenang ... lo harus tenang," potongku karena Hasna mulai tergagap. "Lo butuh berapa?"

"Beruntungnya gue ikut asuransi kesehatan, jadi sebagian biaya udah ter-cover. Tapi, tetap aja sisanya itu jumlah yang banyak, bagi gue," tutur Hasna. "Kalau lo bisa, gue butuh 75 juta. Tapi, kalau lo nggak punya, seadanya aja, itu tetep bantu gue banget."

"Kirim aja nomor rekeningnya. Gue usahain kirim malam ini."

"Makasih banyak, Kalula ... m-makasih banyak."

"Sama-sama, Na. Kalau ada apa-apa, please jangan sungkan buat WA gue. Btw, kapan jadwal operasi Enola?"

"Minggu depan. Rabu pagi."

"Yang kuat ya, Na ... gue tahu itu nggak gampang, tapi gue yakin lo bisa. Enola needs you the most."

"Makasih banyak Lula, kalau nggak ada lo. Gue nggak ngerti lagi, harus ditunda sampai kapan operasinya. Gue malu banget, harus hubungin lo dengan kondisi begini."

"Hei, kenapa malu? Normal kan, seorang ibu berjuang demi anaknya? Gue tahu banget, lo bakal lakuin apa pun biar anak lo sembuh. Itu naluri seorang ibu."

Hasna kembali mengucapkan terima kasih sebelum panggilan berakhir. Aku menutup mata dan memutar kembali percakapan dengan Hasna barusan. Cobaan terberat seorang ibu adalah mendapati sang buah hati kesakitan. Hatiku teriris membayangkan perjuangan apa yang telah Enola lalui untuk bertahan selama ini.

Jarum jam yang terus berputar bagaikan bom waktu. Dada terus diliputi perasaan frustasi, bingung, marah, lelah, dan takut menanti-nanti kapan bom itu akan meledak. Aku mengerti perasaan macam apa yang menelusup pada dada Hasna saat ini. Apalagi saat menilik bagaimana mama mendampingiku dulu, adalah bukti nyata seorang ibu tak pernah rela anaknya menderita sendirian.

Bergegas ke ruangan, aku mengambil sling bag yang tertinggal di kursi. "Guys, ada tambahan lagi nggak? Kalau nggak gue bayar sekarang."

Mereka menggeleng serentak. Aku langsung menuju meja kasir untuk membayar. Sesampainya di tempat parkir, aku baru menyadari jika Iqbal mengikutiku.

"Kenapa?"

"Amnesia lo?"

Aku mengernyit, semakin tak mengerti. "Lo nggak bawa mobil. Tadi nebeng mobil gue. Mau balik pakai apa lo?"

"Oh, itu ... " Aku memang tadi berangkat pakai ojek online karena mobilku sedang diservis, "Iya gue lupa."

"Ya udah, ayo! Tunggu apa lagi?" Iqbal membukakan pintu untukku.

"Loh, yang lain gimana? Kan bukan cuma gue yang tadi nebeng lo."

"Taksi banyak, kan?" Iqbal mengedikkan bahu masih memegangi pintu mobil agar tetap terbuka. "Lo mau ke mana? Kelihatan buru-buru banget."

"Gue mau pulang," jawabku sekenanya sambil terus menggulir layar mencari kontak nama seseorang. Setelah pantatku mendarat di jok mobil yang empuk, aku segera menekan simbol untuk memanggil. Sampai nada dering berakhir, tidak ada sahutan yang terdengar dari seberang. "Ke mana, sih? Kok nggak diangkat?"

Aku mencoba menghubunginya untuk yang kedua kali, saat mobil milik Iqbal ini bergabung jadi barisan kemacetan ibukota. Helaan napas lolos dari mulut, saat suara rendah lelaki memasuki gendang telingaku.

"Gue minggu depan ke Bandung. Lo ikut nggak?"

"Mendadak banget kayak tahu bulat."

"Gue serius, Ru. Lo ikut nggak?"

"Ikut. Ada apa, sih? Did something wrong happen?"

"Ehm ... bukan tentang gue. Nanti gue ceritain kalau kita ketemu."

Tatapan tajam dan penuh keingintahuan Iqbal menyambutku sesudah aku mengakhiri panggilan. Aku menarik napas dan memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu mengubah posisi dudukku menyerong ke arah lelaki yang berada di balik kemudi.

"Apa?" tantangku.

"Kenapa harus kasih tahu Ndaru kalau lo mau pulkam?"

"Because I want to."

"Ternyata kalian nggak pacaran. Nggak ada tuh orang pacaran ngobrol di telepon sewot begitu." Iqbal mendengkus. "Tapi, kenapa sok-sokan kayak orang pacaran?"

"Pokoknya, apa pun yang gue lakuin sama Ndaru, bukan urusan lo, Bal," balasku. "Dan, berhenti berharap sama gue. Gue bukan cewek yang lo pikirin."

"Emang lo tahu, lo itu cewek apaan di pikiran gue?" tantang Iqbal.

Aku menggeleng terkekeh kecil lalu menyandarkan kepala ke jok mobil. "Gue bisa jatuh cinta sama lo, kalau gue kasih lo kesempatan. Gitu, kan?"

"Emangnya nggak?"

"Nggak ... "

... karena mencegah hati untuk jatuh cinta adalah satu-satunya cara yang kutahu, agar tidak kembali terjebak di lubang hitam yang sama lagi.

***

"He threw me away, when I need him the most."

"Maksud lo apa, La?"

Aku mengembuskan napas perlahan. "Ya, dia pergi gitu aja." Dengan cepat, aku menghapus bekas lelehan air mata di pipi. Aku tak boleh terlihat lemah di depan siapa pun, terutama Ndaru.

"Azka ngomong apa waktu mutusin lo?" Dia menahan daguku dengan tangannya, agar wajahku tak berpaling.

Aku menarik napas panjang, lalu menceritakan bagaimana pengecut itu mengakhiri hubungan kami. Sumpah serapah meluncur dari mulut lelaki itu.

"Dia nggak ngomong mau nikah sama Diandra or anything?" Ndaru melepas daguku dan menyugar rambutnya.

Aku menggeleng. "Bahkan, Diandra nggak ngomong apa-apa ke gue. Padahal, waktu gue diputusin Azka, gue SMS Diandra. Gue curhat sama dia. Tapi ternyata, enam bulan kemudian, mereka nikah."

"Gue bisa ngerti Azka ngelakuin itu karena dia nggak sebaik yang lo kira, La. Tapi, Diandra ... gue kira lo sama dia itu sahabatan yang akrab banget gitu. Jadi gue nggak nyangka," tutur Ndaru

"Emang sakit jiwa kayaknya Diandra. Apa selama ini mereka main di belakang gue, tapi gue nggak tahu." Aku mendengkus, kebencianku pada perempuan itu kembali bercokol di dada.

"Gue bingung aja, apa lagi yang Azka cari padahal udah punya lo ... " Ndaru menggumam pelan, pandangannya menuju ke jendela lebar di sisi kanannya yang menampakan pemandangan malam kota Jakarta Selatan.

"Barusan lo ngomong apa?"

"Eh? Nggak. Bener kata lo, kayaknya emang Diandra sakit jiwa."

Ehm, sepertinya bukan itu yang kudengar tadi. Apa aku yang salah dengar, ya?

***

Ayo karungin klu-klu yang aku tebar malam iniini🤨😆🤔

Yang ga sabar dan langsung pengen baca sampai selesai bisa meluncur ke karya karsa ya.

Part terakhir adalah part 43+Epilog+Ekstra Part Special Plan (2 Part) +Ekstra Part Ndaru's Story (9 Part).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro