Plan 14
From: Ndaru
Temenin gue belanja.
To: Ndaru
Kan ada Fani kenapa harus sama gue?
From: Ndaru
Fani ada kerjaan ke luar negeri. Gue kelaperan. Kulkas kosong semua. Help.
To: Ndaru
Okelah. Jemput gue sekalian traktir makan.
From: Ndaru
Kapan gue ga traktir lo makan?
Kedatangan Ndaru bukan lagi momok bagiku. Aku berusaha menikmati kehadirannya dalam hidupku. Salah satunya memaksimalkan fungsi lelaki itu sebagai kekasih, yaitu meminta jatah makan. Pukul empat sore, Range Rover Ndaru terparkir di halaman kantor. Aku yang sudah menunggu di ruang tamu, segera beranjak menghampirinya.
"Fani kerja di mana?" Aku membuka percakapan setelah duduk manis di kursi penumpang.
"Kerja di brand make up. Gue lupa namanya apa. Ini mau studi banding apa, ya .... "
"Dan, lo udah kelaparan berapa hari?" Aku memberikan senyum mengejek.
"Dari kemarin tahu! Untung gue nggak mati." Ndaru mendengkus kesal.
"Lah, lo sendiri bertahun-tahun di luar negeri, harusnya udah nggak manja begini." Giliran aku yang mencebik sebal.
Ndaru melirikku sekilas, menghela napas. "Di Kanada, gue udah kebanyakan makan makanan cepat saji. Makanan yang gampang bikinnya. Kayak pasta, sandwich, mac and cheese. Sekarang lidah gue craving rendang, soto babat, sate, opor ayam. Ogah gue makan begituan lagi."
"Yang masak Fani?" Aku berdecak kagum. "Hebat banget adik lo."
"Fani? Masak? Bikin telur mata sapi aja gosong!" Ndaru mencebik. "Ada orang yang dateng buat masakin gue sama Fani. Tapi, yang belanja tetep Fani. Kabar buruknya, mbak yang biasa masak juga izin besok nggak masuk karena harus ngurus sesuatu ke bank gitu. Lo bisa masak kan, La?"
Oh, tidak... aku merasakan aura tidak enak dari cara Ndaru memandangku. Dia tiba-tiba tersenyum manis, sambil mengedipkan matanya beberapa kali.
"Gue cuma bisa masak Indomie."
"Nggak percaya. Masakin gue opor ayam, ya? Eh, apa tongseng daging, ya?" gumam lelaki itu. "Gulai juga boleh ... semur daging juga enak kayaknya. Terserah lo, deh!"
"Kolestrol lo, kebanyakan makan santan sama daging begitu!"
"Nggak, kan makannya pakai doa." Dia menyengir ke arahku, memamerkan rentetan gigi putihnya.
***
Sebagai wanita yang tidak terlalu akrab dengan urusan dapur, aku tidak punya pengalaman memilih daging berkualitas, ikan yang bagus, seafood yang segar. Menu andalan yang bisa kubuat adalah telur orak-arik, bakmi goreng, tumis-tumisan sayur, dan makanan simpel lainnya. Kalau sedang ngidam ikan bakar, semur daging, atau ayam panggang, aku lebih memilih beli di luar.
"Gue nggak ngerti daging yang bagus buat semur daging bagian apa." Aku menggerutu.
Ndaru mendesis sebal. "Terus, guna lo di sini apa?"
"Ya, tanya ke petugasnya aja, sih! Lo kira, semua cewek itu Chef Renata, apa .... " Aku berjalan mendahului Ndaru, dan sengaja menyenggol lengannya dengan bahuku.
Aku memanggil seorang petugas yang berdiri tidak jauh dari etalase daging sapi. Dengan senyum ramah, perempuan itu menghampiriku. "Ada yang bisa dibantu, Bu?"
"Kalau mau masak semur daging, pakai daging bagian mana ya, Mbak?" Aku meringis, malu sendiri, di usia ke 29 tahun, tidak tahu hal sepele seperti ini.
"Bagusnya pakai daging sandung lamur atau sengkel, Bu. Tergantung selera Ibu."
"Bedanya apa ya, Mbak?"
"Kalau sandung lamur, itu daging brisket. Ada lemaknya, jadi lebih juicy gitu. Kalau sengkel, banyak uratnya. Nah Ibu, suka makan semur daging yang kayak gimana?"
Aku menoleh ke belakang, melihat ke arah Ndaru yang masih sibuk memilih ikan. Kayak tahu aja. "Ru! Sini!" panggilku.
"Kenapa?" Dia melenggang dengan kaki jenjangnya. "Udah tahu dagingnya apa?"
"Lo sukanya semur daging yang dagingnya sedikit berlemak, apa yang banyak uratnya?"
"Yang berlemak aja."
"Oke." Aku kembali menatap petugas di hadapanku. "Mbak, pilihan dong sandung lamur yang enak, beli 3 kilo."
"Tiga kilo banyak banget, La..."
"Lo pikir, yang makan lo doang? Gue juga mau!" Aku mendengkus.
"Ya, sama lo juga. Tapi harus banget tiga kilo? Mau pakai daging semua?" Sepasang alis lelaki itu menukik ke tengah kening. "Sehari habis nggak, tuh?"
"Mau gue bawa pulang, dong ... gue orangnya ogah rugi!" Aku memutar mata.
Ndaru terkekeh kencang. "Terserah lo, deh."
"Lo mau beli apa lagi? Ikan? Ayam? Jamur? Anything, nanti gue nebeng."
Lelaki yang kini berdiri di sebelahku, tanpa aba-aba menarik kepalaku dan menggigitku! Aku bisa merasakan kerasnya gigi Ndaru berbenturan dengan tempurung kepala.
"Ih! Lo apa-apaan, sih?" Aku memekik, panik.
Dengan wajah santai, ia mengambil daging dari tanganku dan berjalan menuju troli yang tertinggal. "Gemes." Satu kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya, membuatku terpaku di tempat.
Satu jam kemudian, kami habiskan untuk berbelanja bahan makanan. Rasa kesalku pada Ndaru, entah menguap ke mana, karena aku dan dia sekarang malah mendiskusikan masakan apa saja yang enak untuk makan malam beberapa hari ke depan. Ndaru membuka browser di ponselnya, membacakan bahan-bahan yang dibutuhkan, sedangkan aku bertugas mencari bahan-bahan itu di rak.
"Wah, banyak banget ya, La! Kayak mau kasih makan orang sekampung!" seru lelaki itu setelah melihat belanjaan yang menggunung di troli.
"Ke mana aja lo, Mas?" sindirku. "Padahal lo yang dorong troli."
"Nggak sadar." Ndaru terkekeh. Kini kami jalan beriringan menuju kasir.
Awalnya, aku punya niat 'merampok' lelaki itu. Meminta jatah bahan makanan apa pun yang dia beli. Namun, aku sadar, sikapku cukup keterlaluan. Apalagi aku juga ikut membeli ini itu, untuk kebutuhan kulkas sendiri. Jadi, aku akan membayar belanjaanku sendiri. Toh, sebenernya aku tidak mata duitan, yang ngebet gratisan. Hanya saja, aku tadi agak kesal pada Ndaru.
"Eh, Ru ... lo bayar dulu, ya ... perut gue tiba-tiba sakit," ujarku.
Tanpa menunggu sahutan darinya, aku sudah mengambil langkah seribu menuju toilet. Tolong jangan berprasangka buruk padaku, aku tidak kabur dari kewajibanku membayar. Tapi, aku merasakan keram di perut bagian bawah dan sesuatu yang mengalir keluar.
"Ah, beneran mens," desahku begitu melihat noda merah di celana dalam.
Aku mengaduk isi tas, berharap menemukan pembalut, tapi harus menelan kekecewaan ketika tidak menemukan benda keramat itu. Ah, bagaimana ini? Aku memposisikan diri di atas kloset saat perutku kembali mulas. Ya, aku selalu mulas dan diare saat menstruasi datang. Setelah menuntaskan hajat, aku keluar dari bilik toilet, bersamaan dengan ponsel di tasku berdering.
"Halo, Ru ... "
"Lo belum kelar?"
"Gue lagi mens nih, Ru. Nggak bawa pembalut. Keluar banyak, langsung pulang aja, ya? Ke rumah lonya besok lagi."
"Lo keluar dulu dari toilet! Gue ke sana."
Sambungan pun terputus sebelum aku menyahut. Aku berjalan sambil menutupi bagian belakangku dengan sling bag, yang besarnya tak seberapa ini. Ndaru muncul tak lama kemudian. Ia meninggalkan troli di dekat pintu toilet, lalu melepas jaket.
"Pakai ini buat nutupin celana lo," tukasnya.
"Eh, nanti kotor, dong!"
"Bisa dicuci, kan? Nggak usah dibikin repot," balasnya santai. "Kita makan dulu di sini sebelum pulang. Lo tunggu di restauran, apa cari tempat duduk dulu?"
"Nggak usah, deh. Langsung balik aja," kataku bersikeras.
"Nggak apa-apa. Lo ke Sushi Tei aja, gue beliin pembalut. Nanti WA, biasanya lo pakai yang apa. Bersayap, atau yang ada buntutnya." Ndaru menepuk pundakku dan melenggang pergi.
"Ru! Emang lo nggak malu?" Aku berlari kecil ke arahnya dan berbisik.
Dia melirikku dan memutar mata. "Malu kenapa? Buruan lo ke Sushi Tei, pesen dulu. Biasanya kalau cewek dateng bulan, sakit perut. Kayak si Fani, tuh .... " Eh, dia malah ngedumel sendiri.
Menuruti perkataan Ndaru, aku mendorong troli menuju Sushi Tei. Lagi-lagi aku kembali dikejutkan oleh sosok Ndaru. Lelaki itu tidak terlihat jijik dengan menstruasi, dia bahkan dengan entengnya menawarkan membeli pembalut. Kenapa Ndaru gentleman sekali, Tuhan? Aku jadi sulit mencari alasan untuk membencinya.
Aku memesan seporsi tuna salad crispy mentai sushi roll, salmon enoki tempura sashimi salad, octopus takoyaki cheese, dan fried salmon skin, serta dua oca dingin. Semoga saja, Ndaru cocok dengan menu yang kupesan. Dua puluh menit kemudian lelaki berkemeja flanel itu memasuki resto, sambil menenteng kantong plastik di tangannya.
"Lo beneran nggak sakit perut?" Pertanyaan pertama yang meluncur dari mulut Ndaru setelah ia duduk, cukup membuatku tersentuh. Dia menyerahkan kantong plastik itu padaku.
Aku menggeleng. "Gue ke toilet dulu, ya ... gue nggak tahu lo sukanya apa, ini yang gue pesen buat kita. Tapi, kalau lo suka yang lain, pesen lagi aja."
"Gampang, lah!"
Aku bergegas ke toilet untuk memakai pembalut. Betapa terkejutnya aku, ketika tidak hanya menemukan pembalut, tapi juga satu kotak celana dalam dan tote bag di dalamnya. Pipiku memanas membayangkan Ndaru memilihkan celana dalam ini sendiri. Astaga .... Bagus sih, tindakan lelaki itu. Aku sangat menghargainya. Tapi, rasa malu ini, ah!
Selepas menyelesaikan urusanku di kamar mandi, aku kembali ke meja dengan wajah tertunduk. Entah kenapa, rasanya aku tidak bisa menatap wajah lelaki itu lagi, karena terlalu malu. Namun, beruntungnya diriku mendapati Olivia dan Zac duduk di hadapan Ndaru.
"Liv! Weh, kebetulan banget!" seruku senang. Paling tidak, aku punya Olivia untuk teman mengobrol, sehingga aku tidak perlu repot-repot berbicara dengan Ndaru.
"Nimbrung meja lo, ya ... biar nggak sepi-sepi amat." Olivia mengeluarkan ponsel, lalu menyerahkannya pada Zac. "Fotoin dong, Zac. Dikira followers gue, kita berantem, karena jarang post foto bareng."
Aku terkekeh kecil, kemudian berpose menghadap kamera. Berkat kepopuleran Olivia, banyak orang yang mengenalku dan Kalula's Organizer. Namun, karena akun Instagramku dulu selalu kugembok, jumlah pengikutku tidak berubah. Akan tetapi, sejak 'berpacaran' dengan Ndaru dan mengubah setelah akun Instagram menjadi publik, followers-ku meningkat pesat. Apalagi setelah Olivia memasang foto kami di Instagram Story, aku jamin akan banyak akun asing yang mulai mengikutiku.
"Olivia, artis?" Pertanyaan polos Ndaru membuat kami bertiga terbahak bersama.
"Serius, lo nggak tahu?" sahut Olivia. "Lula nggak cerita sama lo?"
Mata tajam Ndaru melirikku sepintas, dan menggeleng. Keningnya masih mengernyit, sambil terus menatapku dan Olivia bergantian.
"Bukan artis dia, mah. Cuma sok ngartis. Nggak usah dipeduliin. Buktinya, nggak ada orang-orang nyamperin meja kita buat minta tanda tangan dia, kan?" jawabku.
"Oh, gitu .... " Ndaru manggut-manggut.
"Walaupun gue bukan artis, subscriber YouTube gue hampir lima juta!" tandas Olivia angkuh. "Akun EO lo juga banyak pengikutnya karena gue endorse, ya!"
"Iya, iya! Yang lagi datang bulan tuh gue, kenapa lo yang marah-marah!" Aku mendengkus.
Pertengkaranku dan Olivia berakhir ketika pelayan mengantarkan makanan ke meja kami. Zac dan Olivia memesan sashimi dan sushi roll, sedangkan Ndaru spicy miso ramen. Ketika ketiga orang itu mengambil sumpit masing-masing siap untuk menyantap hidangan mereka, aku mematung di tempat. Sepertinya ada yang kurang.
"La, sendok garpu lo mana?" tanya Olivia sambil menyuapkan sepotong salmon ke mulutnya.
"Tadi gue udah rekues sih, tapi kok nggak ada, ya? Gue baru sadar." Aku menggaruk pelipisku.
Ndaru memberikan tatapan tak mengerti padaku. "Garpu buat apa? Kan ada sumpit?"
Olivia dan Zac tergelak. "Kalula nggak bisa makan pakai sumpit, Ru." Lelaki berwajah blasteran Melayu Turki itu bersuara.
"Ya, udah, sih. Lo makan pakai tangan aja. Anggap aja makan ayam geprek, pakai tangan." Perempuan itu menjulurkan lidah, mengejekku.
Aku mendengkus, memutar mata. "Gue bisa kok, pakai sumpit."
Ya, satu fakta memalukan lain tentangku adalah, aku tidak bisa menggunakan sumpit. Kenapa pula harus bersusah-payah belajar pakai sumpit, jika sudah ada garpu dan sendok? Buat apa? Aku menusuk sushi roll-ku dengan sumpit membuat Olivia menyemburkan tawa. Kurang ajar!
"Sini," Ndaru menarik piring sushi roll-ku, mengambil sebuah sushi dan menyodorkan padaku. "Aa .... "
Satu detik, dua detik, tiga detik .... Aku membeku di tempat. Ada apa dengan Ndaru hari ini?
"La, kenapa?" Keningnya mengerut. "Nggak mau? Mau ganti menu?"
"Mangap aja, La! Apa susahnya?" Olivia mengompori.
Dengan ragu-ragu, aku membuka mulut, melahap sushi yang disuapkan Ndaru. Aku langsung mengalihkan wajah dari lelaki itu dan meneguk oca dingin. Kenapa wajahku tiba-tiba terasa panas? Diam-diam, aku melirik ke arah Ndaru, lelaki itu melahap misonya dengan santai memakai sumpit yang sama! Oh My Goodness!
Tangan lelaki itu seperti sudah terpogram untuk mengambil sushi di piringku dan menyuapkannya padaku. Dia bahkan mengambil fried salmon skin untukku! Beberapa kali Ndaru juga menyuapkan sushi ke mulutnya sendiri.
"Enak juga. Gue udah lama nggak makan sushi," komentarnya sambil mengacak rambutku. Dan, apa-apaan itu? Senyum seribu mega watt tersemat pada bibirnya. "Oke ya, selera lo."
"Eh, oh ... " Kok aku jadi salting begini? "Pasti, dong!"
***
Sini baris yang baper sama Ndaru! Biar bisa diabsen satu-satu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro