Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Explosion

"Mas Genya,"

Namaku dipanggil secara mendadak tatkala aku akan pergi pulang ke rumah sehabis selesai dzikir setelah sholat shubuh.

Orang yang memanggilku tiada lain adalah Mbah Muzan, selaku kakek dari pelaku yang membuat istriku ingin cepat-cepat mudik.

"Iya Mbah? Ada apa?"

"Saya minta maaf,"

"Kenapa Mbah? Kok minta maaf? Kan belum lebaran,"

"Saya tahu, istri kamu pasti terganggu sama bau obat mercon dari rumah saya,"

"Ah itu, bukan apa-apa lah Mbah,"

"Saya sudah peringatkan ke Douma sama adeknya, tapi mereka tetap aja bandel! Saya hampir khilaf setiap kali ngomongin mereka, hampir batal puasanya,"

Waduh, sampe batal puasa? Segitu bandelnya kah mereka berdua?

Tak ingin begitu berlarut dalam permasalahan ini, aku lantas undur diri, mengucapkan ucapan seadanya sebagai penenang beliau yang sudah uzur dan kesepian setelah ditinggal istrinya.

Dan sekarang, justru harus merawat dua orang cucu bandel katanya dia.

Aku tak sanggup berkata apapun.

Setelah berpamitan, aku lantas pulang cepat guna bersiap-siap, yah meskipun habis ini tidak langsung berangkat sih.

Sampai di rumah, istriku yang jelita itu dalam pakaian daster hijau gelapnya tampak tengah meminum air putih di dapur.

Segera ia tanyai aku, seolah tahu ada kejadian yang begitu tidak nyaman yang terjadi sehabis sholat Subuh tadi.

"Ada apa mas?"

"Tadi, Mbah Muzan minta maaf ke kita,"

"Minta maaf? Soal apa? Perasaan dia nggak ada hutang sama kita,"

"Bukan, bukan soal hutang yang,"

"Terus? Apa kalau bukan soal hutang?"

"Soal petasan, dia minta maaf ke kita soal petasan,"

Sejenak istriku terdiam mendengar hal itu, hingga akhirnya ia mengeluarkan juga sifat ibu-ibu hamilnya.

"Ngapain minta maaf?! Yang salah kan cucu-cucunya yang biadab itu! Hah! Andai istrinya Mbah Muzan masih hidup pasti nggak akan ada bau belerang di sana-sini!"

Omelnya begitu kencang, tak dapat lagi aku hentikan ia untuk tidak berbicara lebih kencang lagi.

Tak apa, itu benar adanya. Istri Mbah Muzan memang wanita tua yang sangat keras, berani membentak siapa saja, bahkan berani berurusan dengan siapa saja.

Fisiknya tua, tapi akalnya selalu muda dan itu yang membuat semua orang tidak berani.

Dan sekarang, ya sudahlah orang dia sudah meninggal.

"Udah ngomel-ngomelnya, jadi pergi nggak kita ini?"

"Jadilah! Ya udah aku mandi dulu, kamu siapin tas ya,"

"Iya yank," jawabku sesingkat mungkin.

Sesuai keinginannya, aku menyiapkan semua barang yang akan dibawa. Tas ransel dan beberapa kantung kresek penuh makanan kering.

Ini kesukaan ibu mertuaku, kripik saleh, entah mengapa beliau begitu menyukai cemilan satu ini.
Mui bilang karena rasanya yang manis dan pas buat teman ngopi.

Tapi buatku, teman ngopi itu cocoknya sama roti lembut dan sebatang rokok.
Ya walau sekarang aku sudah tidak merokok gara-gara kakak iparku yang menyuruh dan mendikte.

Selesai menaruh semua barang di ruang tengah, aku lantas pergi mandi gantian dengan Mui yang sudah keluar dari sana.

Di dalam, pikiranku sendiri melayang memikirkan hal-hal aneh yang seharusnya tidak pernah terpikirkan.

Jadi, karena aneh aku anggap saja angin lalu.

Selesai dari sana, tujuan selanjutnya ialah kamar. Memilah baju yang cocok untuk digunakan.

Hingga akhirnya terpilihlah baju putih berlogo band Green Day dipadukan dengan celana panjang berwarna biru tua, tak lupa jaket tebal berwarna coklat.

Sementara istriku mengenakan semacam baju lengan panjang yang sedikit oversize, celana panjang yang cukup lebar pula, serta ia padukan bersama kerudung hitam yang membingkai wajahnya.

Baiklah entah mengapa ia menjadi tambah cantik saja hari ini.

Karena semuanya sudah tertata, kami segera melakukan perjalanan mudik ini.

Dengan satu tas beserta kresek penuh oleh-oleh di bagian depan, sementara satu ransel lainnya digendong oleh istriku kami memulai perjalanan ini menggunakan motor Supra andalan keluarga.

"Jangan cepat-cepat mas,"

"Iya tahu,"

Motor lalu mulai berjalan, menembus dinginnya udara fajar. Matahari pun juga masih tampak malu untuk keluar, dan kabut juga masih singgah di beberapa tempat.

Kami lantas berhenti di perempatan pasar karena lampu merah, dan tepat ketika berhenti itulah sebuah suara ledakan mengejutkan semua orang di tempat ini!

Semua orang! Bukan hanya kami saja!

Kondisi pasar yang tadinya diisi oleh tawar menawar antara pedagang dan distributor bahan pokok kini terdiam, dan mulai menengok asal suara ledakan.

Namun hal yang kini membuat kami semua merinding saat itu juga, tatkala sebuah objek setengah lingkaran terbang dan jatuh tepat di depan motorku.

Benda itu, tak lain adalah sebuah kepala.

Kepala yang sudah terbakar dan hanya tersisa setengahnya saja.

Semua menjadi ribut kala itu, akupun memilih untuk menepi sejenak, mencoba mengolah kejadian yang baru saja terjadi.

Hingga kami mendapat kabar kalau rumah Mbah Muzan telah meledak akibat terbakarnya stok obat petasan yang disimpan oleh cucunya sendiri.

Tak hanya menghancurkan rumahnya saja, tapi juga rumah disekitarnya juga ikut terkena dampaknya.

Sampai sini, aku rasa perjalanan mudik ini ada manfaatnya juga.

.
.
.
.

End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro