Belerang
"Aku ingin tidur di rumah Ibu,"
Permintaan itu lolos dari istriku sendiri, Muichiro yang kini tengah berbadan dua, hasil pernikahan kami berdua tiga tahun lalu.
Aku kembali geleng-geleng kepala lagi, pusing memang kepalaku menghadapi rengekannya akhir-akhir ini.
"Biar ku tebak, gara-gara bau bubuk mesiu kan?"
"Iya, baunya busuk,"
Yah, bubuk mesiu.
Kami tinggal dengan salah seorang tetangga kami yang memang kebetulan sering meracik mercon kertas untuk setiap perayaan Idul Fitri.
Di awal-awal kami tinggal, istriku tak banyak berkomentar soal bau bubuk mesiu ataupun suara keras mercon yang diledakan.
Paling-paling dia hanya mengomel selayaknya kebanyakan perempuan pada umumnya.
Dan sekarang ia mulai risih tatkala anak kami menghuni rahimnya. Seolah-olah, ia selalu saja diberi peringatan berbahaya akan mercon itu.
"Emang nggak bisa ditahan lagi apa?" tanyaku mencoba menenangkannya.
Ia kemudian merajuk, tangannya ditekuk di depan dada dan raut mukanya seketika ia tekuk.
Bersamaan dengan hentakan kaki rampingnya itu.
Baiklah aku mengerti, ini seperti yang sering diceritakan kakakku soal istrinya jika hamil.
Katanya ada peningkatan hormon di tubuh mereka, sehingga membuat mereka menjadi lebih sensitif terhadap apapun. Itulah sebabnya, aku disuruh untuk lebih sabar dalam menghadapi istriku sendiri.
Aku lantas berdiri dari kursi ruang tamu, kubenarkan posisi sarungku dan baru setelahnya memeluk istriku yang imut ini seraya mengusap-usap ubun-ubun kepalanya.
"Udah, udah sabar ya, besok kita bakalan pergi kok, tenang aja ya,"
"Kamu udah bilang begitu dari kemarin lho!" rajuk istriku semakin menjadi-jadi.
"Iya, ini beneran kok, tenang aja,"
"Janji?"
"Janji deh aku,"
Dilepasnya pelukanku, wajahnya itu kembali berbinar senang, netra matanya yang selalu kalem kini tampak begitu bersemangat tatkala aku ucapkan janji.
Ia lalu pergi menuju kamar, entah apa yang akan dia lakukan.
Tapi ya, janji adalah janji.
Mau tak mau aku harus tepati, meski aku harus menjadi pemberani esok hari.
Bukan karena tidak bisa melakukan perjalanan ke rumah mertua karena jarak rumah yang jauh, tapi ada hal lain yang tidak ingin aku umbar kepada mertuaku.
Bisnisku sedang down, dan tak dapat dipungkiri juga, bisa saja akan menyerempet ke arah gulung tikar.
Tapi.
Yah, buang saja dulu kekhawatiran itu.
Ini sudah malam ke 22 Ramdhan, siapa tahu, malam 1000 bulan tengah menanti keberuntungannya kepadaku.
Bismillah saja.
Aku susul istriku ke dalam kamar, dan tampak ia tengah mempersiapkan beragam baju yang akan dibawa ke sana, tak lupa ia juga menata baju-bajuku, dan semua yang ia pilih adalah baju yang benar-benar terbaik.
Betapa beruntungnya aku ini, istriku benar-benar perhatian, bahkan ketika ia sedang hamil sekalipun.
"Gercep banget kamu nata bajunya?" tanyaku basa-basi, sambil tiduran di atas ranjang.
"Biar besok kita tinggal berangkat mas," jawabnya santai.
"Hmmm iya juga,"
Setelah itu, aku kembali termenung soal bisnisku. Sementara itu, tak aku sadari sedikitpun jika istriku juga sudah naik ke atas ranjang.
Pekerjaannya sudah selesai, dan akhirnya satu kejutan ia beri padaku.
Satu ciuman ia daratkan pada pipi kananku.
"Lah? Cepet banget nata bajunya!" ujarku sambil sedikit kaget dibuatnya.
"Alah mas ini! Aku kan memang cekatan kalau soal nata baju!"
"Ya terserah lah, yang penting udah selesai,"
"Mas kenapa dari tadi melamun?"
"Tau dari mana kamu aku melamun dari tadi?"
"Nggak usah bohong lah mas, kamu akhir-akhir ini sering banget melamun lho!"
"Dahlah, ayo tidur biar bisa bangun pagi," ajakku mengalihkan pembicaraan.
"Tapi mas!"
Segera aku peluk tubuhnya, sambil sesekali mengusap pelan ubun-ubun kepalanya.
Menenangkannya sama seperti seorang bayi, dan ya, cara ini selalu saja berhasil.
Ia akhirnya terlelap tidur dalam pelukanku.
Hahaha, baiklah aku akan menyusulnya, tapi sebelum itu aku harus merencanakan susunan kebohongan lagi untuk hari esok.
Dasar.
Genya si bodoh.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro