Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE 5 -Sekutu


Happy Thursday Readers Mate~

Episode lima datang, nih!

Cuma mau bilang aja kalau Pai sangat suka karakter dan visual dari Yud-yud haha~

Dan di part ini Yudi cukup dapet scene banyak, meski gak sebanyak main lead sih. Eh, emang main lead-nya siapa sih?

Sebelum Pai pamit, boleh tahu gak? Adakah kosa kata baru yang Readers Mate dapet dari baca Expert Mate? Soalnya harapan crew mate cerita ini juga bisa nambah ilmu buat kalian semua >_<

 Okey, itu aja dari Pai~

~Selamat membaca~


Seliwer aroma masakan Mbok Yah belum menggoda nafsu makanku. Nanti, aku masih asyik membalas pesan Vivi yang bilang kalau dia mau menjadi informanku untuk Kevin.

Sebelum asal ceplos menembaknya begitu saja, aku perlu tahu banyak hal dan tak kusangka Vivi adalah sekutu yang berguna. Sungguh, calon peneliti seperti Vivi memang tidak bisa diremehkan! Bahkan sumber gosip pun sudah ia pastikan valid sesuai metode ilmiah.

Aku sendiri hampir tujuh belas tahun dan tidak akan mengulang kekhilafan masa lalu. Setelah mendapat pencerahan sana-sini, setidaknya aku tahu bahwa nembak cowok yang baru dikenal termasuk kategori nekat, sedikit punya malu.

Oh, sudahlah, waktu itu aku masih bocah. Mungkin terlalu optimis bakal diterima –kenyataannya diterima juga. Namun, kali ini jelas lain. Kevin yang tetap sedap dipandang meski sedang mengupil jelas berbeda dengan Baim. Dia pasti bukan cowok yang tergagap gugup saat kutembak lalu asal mengangguk.

Tidak menutup kemungkinan juga kalau Kevin sudah punya pacar. Itu gawat, tapi rasanya lebih gawat kalau Kevin masih ....

"Kevin free-sepik, Bell! GASSS!" seru Vivi dari pesan suara yang ia lepas. Ayunan kakiku di bawah meja terhenti seketika. Waduh? Masa iya? Cowok seganteng itu masih saja jomlo? Jangan-jangan ....

Jangan-jangan Kevin tipe ambis yang tidak mau pacaran sebelum sukses? Ah, mungkin saja, terlihat dari roh kecerdasannya yang begitu kinclong dan terawat. Dia pasti punya keseriusan besar untuk menyiapkan sesuatu demi masa depan.

Entah kenapa paru-paruku terasa menciut seketika. Bayangan jadian dengan Kevin dalam waktu dekat tiba-tiba sirna, yang terasa aneh karena ... targetku sebenarnya hanya Kevinez, 'kan?

"Sarapan, Non! Sudah Mbok kemaskan juga buat bekal. Yah, hari ini ada olahraga, pulang sore juga, 'kan?" tegur Mbok Yah menjadi yang paling tahu soal kesibukanku.

"Iya, Mbok ... Makasih. Biar dingin dulu," jawabku acuh tak acuh karena bising di kepalaku lebih riuh.

"Yah, Non, sambil dikipas saja! Daripada kesiangan," imbuh wanita setengah abad lebih itu. Perhatiannya tidak pernah berkurang meski aku sudah bukan balita yang baru belajar jalan.

Kadang aku tak pernah merasa kehilangan mama karena pengasuhku sejak kecil ini hampir mengabdikan sisa hidupnya untuk keluarga ini, untuk mengasuh dan mengawasiku sepenuh hati, sementara papa di seberang lautan sana menyelesaikan studi.

Rasanya juga tidak terlalu adil karena hingga banyak rambut Mbok Yah yang memutih, aku tak pernah memanggilnya dengan nama asli. Karena sedikit-sedikit bilang 'Yah', kami sekeluarga menyebutnya begitu, Mbok Yah ... dan ia sendiri tidak pernah protes.

"Yah, Non ... Jangan ditekuk terus, toh, muka cantiknya! Mbok yakin cowok yang mutusin Non sekarang enggak lebih bahagia!"

"Aduh, Mbok! Siapa juga yang lagi sumpek gara-gara itu?!" balasku tak sedikit pun terhibur, memilih segera melahap menu sarapan yang masih setengah mengepul.

"Yah? Terus kenapa? Kalau Non kesepian enggak usah galau, yah! Kemarin Non Salsa telepon, katanya mau pulang buat nyekar ...."

Ini baru suapan kedua dan nafsu makanku sudah hilang saja, hanya karena mendengar berita Sal salamander jadi-jadian itu bakal di rumah dalam waktu dekat.

"Cih! Tumben inget nyekar!" gerutuku sambil meninggalkan meja makan, mengabaikan Mbok Yah yang sudah ber-yah kesekian kalinya.

***

Langit cerah, lapangan rumput berembun basah, aku lebih ingin bergulingan di atasnya daripada bersenam. Barangkali separuh kekesalan yang jadi sarapanku hari ini bisa menguap bersama embun.

Anggap saja aku ada di tengah-tengah kalau soal aktivitas fisik, tak seantusias Amel atau pun semager Rian. Ah, cowok satu itu ... dia layak dinobatkan sebagai gamer terkhusyuk. Bahkan pantatnya seolah terpaku di kursi bila sudah main. Vivi selaku ketua telah gagal memaksanya baris keluar untuk kelas olahraga.

"Ssshh, udahlah, bilang aja ke Pak Aji, perutku mules!" kilah Rian tanpa sedikit pun melirik Vivi. Perhatiannya masih tersedot pada sekeping ponsel itu. Sejenak aku bisa merasakan mendidihnya ubun-ubun Vivi.

"Oke, Yan! Oke! AAMIIIN!" tegas Vivi segera balik kanan, menelan sisa kekesalan.

Terlepas dari itu aku tidak bisa menolak betapa berharganya roh kecerdasan yang dimiliki Rian. Andai saja cowok itu lebih tekun belajar selain bahasa Inggris juga, Rianez mungkin akan sama menawannya seperti Vivian. Aku bahkan hampir kepincut dengan Rian, tapi segera urung begitu tahu bagaimana dia memperlakukan cewek.

"Eh, titip belikan minum, dong! Lagi push rank, nih!" atau yang lebih parah .... "minta hotspot, yah! Sambil pijit pundakku sini juga boleh! Pegel banget mabar dari tadi!"

Ah, untung saja semua mantannya cewek baik-baik yang tidak cukup tega menuang racun di minuman Rian. Meski demikian, dia kadang masih bertanya-tanya, "Kenapa enggak ada yang mau jadi pacarku, sih? Nanti kalau ada item-ku yang laku pasti kukasih bagian, kok!"

Akhirnya kusimpulkan sendiri kalau cowok itu JELAS tidak tahu bedanya pacar dengan pembantu! Ya Tuhan, bukakanlah pintu hidayah untuk sohibku itu!

"Tuh, lihat! Adik Rian yang sama-sama iblis game online aja masih aktif gerak, Bell! Atlet basket sekolah malah! Lah, kakaknya? Ckckck!" kata Vivi yang masih saja menggerutu, menunjuk gerombolan anak kelas sepuluh.

Kebetulan jadwal olahraga kelas kami bersamaan dengan X MIPA 1. Bisa kulihat dari beberapa orang di bawah ring basket sudah memainkan bola. Salah satu yang ditunjuk Vivi memutar bola basket di telunjuknya.

"Yang itu? Adik si Rian? Enggak mirip banget!!!" balasku tak terima. Entah kenapa terlalu tidak masuk akal bocah bermuka pucat tapi sedikit sombong itu punya hubungan darah dengan Rian.

"Hm, sepertinya bukan adik kandung, sih! Mungkin sepupu atau apalah. Namanya juga sama-sama 'yan-yan' gitu ...."

"'Yan-yan' apaan?! Vian, kali!" sahut Ros untuk kesekian kali harus muncul suaranya dulu daripada wujudnya.

"Vian itu cuma partner gaming Rian, sama sekali bukan saudara! Awal semester ini dua orang itu emang lengket banget sampai dikira saudara. Kalau urusan gosip, harusnya kamu lebih percaya sama aku, Bell!" imbuh Ros pongah, tapi aku tak terlalu peduli.

Sejenak kulihat ada bayangan berselubung cahaya lembut dari roh kecerdasan bocah itu. Serius, deh! Mataku ini seolah punya sensor khusus terhadap sesuatu yang bercahaya dan yang ganteng-ganteng ... Eh! Ya ampun, demi apa?! Aku tidak boleh lupa dengan targetku saat ini! Kevin, Kevin mana Kevin?

Mungkin inilah hukuman gara-gara aku sempat melirik cowok lain? Kevin dengan seragam olahraga yang paling mentereng karena masih baru jelas menjadi pusat perhatian saat ini. Nafsu makanku yang hilang tadi pagi tiba-tiba kembali ... tiba-tiba ingin melahap cewek-cewek junior yang beraninya genit ke Kevin! Wah, minta dikunyah mentah-mentah!

Baru saja akan ambil langkah, siulan jahil lebih dulu menggangguku. Muka-muka tengil ini....

"Kak Bellaaa! Siswi teladan, follback aku ya!"

"Aku juga, Kak! Aku mau daftar jadi kandidat tahun ini, lho! Mentorin aku, dong!"

"Follback pokoknya, Kak! Follback!"

"Dih, apaan, sih? Emangnya kalian siapa punya hak maksa-maksa aku?" balasku sengit, kian tak berselera. Tidak hanya para cewek saja yang genitnya tingkat dewa, junior cowok juga sama saja! Aku benar-benar tak habis pikir dengan angkatan generasi di bawahku!

"Wih, gitu ya? Siswi teladan sombong amat! Enggak bisa jadi teladan lagi, deh!"

"Iya, gaulnya sama Kak Vivi, Kak Rian, sama yang pinter-pinter aja!"

"Wah, aku termasuk pinter juga, dong? Akhirnya ada yang sadar juga! Terharu, deh!" jawab Ros belaga mengusap air mata.

"Dengar ya, bocah-bocah!" tekan satu suara lain yang baru bergabung, "kalian kalau enggak tahu apa-apa soal Bella mending diem aja, deh! Bella ini bidadari yang hidup merakyat dan enggak pilih-pilih teman, tahu! Mau kaya, melarat kayak aku, pinter, atau lemot kayak Ros, semua dia rangkul, ngerti?!"

Sejenak aku tertegun mendengar hal semacam itu dari seorang Yudi. Tampang keledai receh yang biasa melawak garing itu sekarang bisa juga serius membelaku, terdengar begitu tulus meski faktanya aku tak pernah merasa merangkulnya dan ... yah, kalau Yudi sampai menarik lingkar kerah si bocah, terlalu berlebihan, sih! Haruskah segitu marahnya?

Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika Pak Aji tidak segera muncul, meniupkan peluit panjang.

"Iswahyudi! Kamu mau menindas adik kelas, hah?!" tegur beliau.

"Eh? Bukan, Pak! Saya cuma mau ... ini, lho! Benerin kancing seragam dia! Tadi kurang rapi, haha!"

"Iswahyudiii! Sejak kapan kaos olahraga ada kancingnya?!"

Aduh, aduh ... entahlah! Aku, Vivi, dan Ros lebih memilih pura-pura tidak tahu soal itu, cepat-cepat bergabung di barisan senam pemanasan. Semula kami merentangkan tangan, membuat jarak dengan orang di kanan-kiri, tegak.

Kemudian hadap kanan, merentang tangan lagi, saat itulah sentuhan singkat menyinggung ujung jemariku, dan setrum sekian volt terasa merambati saraf begitu kutahu ... YANG TADI ITU TANGAN KEVIN!

"Eh? Sorry!" cengir Kevin membuat lesung pipinya tercetak jelas.

Ah, iya! Enggak apa-apa! Sekali lagi juga boleh! Sayangnya aku hanya menyimpan kata-kata itu dalam hati, harus pintar-pintar menahan diri. Sepanjang sisa waktu yang kulakukan hanya tersipu-sipu.

Tak sadar ketika giliranku berhitung, yang kuserukan hanya 'satu, satu, satu ....' seolah aku tak mau waktu bergerak dan tetap di hitungan satu. Ya, aku bahkan tak dengar anak satu lapangan menertawaiku.

"Beb! Jangan salah tingkah abis kubelain tadi, dong! Sampe gagal fokus gitu!" seru Yudi yang berjarak sekian orang dariku dan celakanya ... Kevin turut tersenyum mendengar hal itu.

"Dia perhatian banget sama kamu ya!" komentarnya seketika menyudahi momen euforiaku. Tidak, Vin! Tidak! Jangan pikir aku dan Yudi ada apa-apa! Ini tidak bisa didiamkan!

"Yudi! Stop panggil-panggil aku 'Beb'! Stop bikin aku malu! Sekali lagi denger kayak gitu, jangan harap aku mau ngomong lagi sama kamu!" gertakku sebal setengah mati, membuat kami berdua berakhir dihukum.

"Kalian berdua, keluar dari barisan! Buat barisan sendiri di pojok sana biar bebas mau ngobrol apa saja! Ulang pemanasan dari awal!" perintah Pak Aji untuk pertama kalinya membentakku. Aaargghh! Yudiiii!!!


~Bersambung~


[This is She]

Sore semua,

She's here. Gimana episode ini? Seru nggak? Semoga selalu suka ya. Cuma mau bilang aja sih, kalau Pai lebih suka Yud-yud, bagaimana dengan Readers Mate? Apa mulai oleng ke Rian? Ada yang mau jadi ceweknya Rian? Atau mau jadi relawan buat cariin pacar buat doi? Haha

Kalian pasti juga semakin oleng karena pilihan visual buat karakter Rian gak kalah kece ^^

Tungguin aja update di Instagram kita @expertmate_ya. Untuk tebak-tebakan visual terkini baru kita up sampai Baim. Silahkan nantikan karakter yang lain juga ya ~

Mohon selalu ikutin Belia Writing Marathon 4.0 sampai akhir juga,

Supported by:@wattpad_storyyyy @catatanwattpad_id @wattpad.diary @wattpadandmovie @wattpadquotes_id



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro