EPISODE 4 - Reputasi
Tes, tes ... Readers Mate!
Yang kangen Bella bilang Hola!
Kangen Kevin pencet bintang
Kangen She ... emangnya ada?
Ah, sudahlah, here we go! Expert Mate Eps 4 edisi #Kangen
Singkat cerita, aku bukan seperti Vivi yang khusyuk baca buku-buku sains soal angkasa, apalagi antusias menceritakan isinya. Langit sudah membuatku menyerah.
Belantara bintang itu terlalu angkuh dengan diameter ribuan tahun cahaya, tak sedikit pun membocorkan di mana batas-batasnya, seolah rahasia soal batasan-batasan menjadi favorit semesta.
Termasuk batas usia, batas bahagia dan sengsara, semuanya disimpan untuk menjadi kejutan, padahal aku tidak suka dikejut-kejutkan! Entah kenapa belakangan ini aku merasa perlu tahu soal itu.
Mana tahu jatah hidupku berkurang gara-gara sering meminjam roh kecerdasan orang. Amit-amit, sih! Jangan sampai itu terjadi, tapi logikanya, segala hal pasti memiliki konsekuensi –wah, aku bicara soal logika!
Logikanya, telat sekali bila aku baru memikirkan konsekuensi. Terbukanya penglihatanku soal roh kecerdasan sudah terjadi selama 2 x 365 hari. Yah, jika dibandingkan dengan umur jagad raya, dua tahun itu hanya seperti sekedip mata.
Namun, sungguh tak kusangka. Dalam sekedip mata, reputasi yang kupoles sudah secantik ini, sampai-sampai aku cemas bila harus menengok ke belakang, pada diriku sebelumnya yang bukan siapa-siapa, yang bahkan ....
"Kamu tidak seperti Kak Sal, ya!"
Terperanjat, otot-ototku menegang hanya karena suara imajiner itu. Di antara monster laba-laba, guru killer Bu Nindra, atau bahkan Perang Dunia yang bisa meletus kapan saja, hanya perang dingin itu yang tak bosan meneror mimpiku.
"Tunggu sampai aku memenangkannya ...."
Tunggu sampai pasukan roh kecerdasanku kian lengkap. Aku hanya perlu Kevinez untuk menggantikan Imba, untuk sementara tak peduli apa pun konsekuensinya.
***
Sesaat aku menyesal berharap judesnya Bu Nindra turut menghantui mimpiku. Di alam nyata saja beliau sudah setega ini, menagih PR matematika yang baru diberikan kemarin, sepuluh soal isian yang bahkan belum kusentuh.
Kupikir tenggat waktunya masih minggu depan dan Bu Nindra tidak pernah bilang tentang deadline PR ini. Seperti itulah maksudku, kejelasan tenggat waktu memang sesuatu yang penting!
"Ibu hanya ingin lihat siapa yang paling sadar belajar, yang mengerjakan PR tanpa menunggu akhir deadline!" tegas guru senior itu. Beruntungnya beliau dipanggil kepala sekolah ke kantornya, berjanji akan segera kembali ... dan tebak saja, betapa Yudi dengan sigapnya memanfaatkan jeda 'segera kembali' itu.
"Nih, kalau mau disontek, Beb! Juni udah ikhlas!" kata Yudi sekembalinya dari bangku Juni, berbagi buku PR yang menjadi imam sontekannya.
Aduh, mana bisa? Isabella Maharani menyontek? Bikin jelek reputasiku saja! Itu amat pantang untuk kulakukan!
Bukannya tertular prinsip Vivi yang anti-curang, menolak memberi atau diberi sontekan, tapi sekali lagi aku ingin berbangga diri. Aku punya cara yang lebih praktis dan lebih bersih daripada menyontek.
"Vivian! Vivian! Vivian!"
Ya, cara yang mana lagi jika bukan 'sebut namanya tiga kali'. Semoga Vivian bisa berbuat banyak sebelum Bu Nindra datang.
"Hai, Bella! Butuh bantuan?" tanya Vivian yang kian hari kian cantik, lebih cantik dari Vivi malah!
"Halo! Iya, nih! Aku tahu kamu selalu bisa kuandalkan!" jawabku.
"Aku juga senang bisa bantu kamu walau hanya lima menit, Bella!"
"Ya, lima menit juga ... APA?!" pekikku kaget begitu menyadarinya, "kamu bercanda ya? Lima menit?!"
Seperti biasa, Vivian hanya tersenyum tipis tiap kuprotes soal ini. Waktu itu sepuluh menit, sekarang semakin berkurang menjadi lima. Ada apa ini? Vivian tidak sedang bermasalah denganku, 'kan? Aku tidak berbuat salah pada Vivi, 'kan? Oh, hal itu mana sempat kutanyakan karena urusan PR matematika lebih darurat.
Lumayan gawat karena aku cuma bisa sempat menyelesaikan tiga soal dalam waktu lima menit yang diberikan Vivian. Dia tidak bisa kupanggil lagi untuk beberapa waktu. Rianez yang spesialis bahasa Inggris pun tidak terlalu pintar matematika, tapi harus kupaksa juga.
Semula memang kupikir karena Vivi diam-diam marah kepadaku –entah karena apa– sehingga itu memengaruhi sikap Vivian, tapi ternyata Rianez juga sama-sama bisa membantuku hanya dalam lima menit. Mana mungkin Vivi dan Rian diam-diam sepakat marah bersamaan?
Coba-coba kusebut nama Kevinez tiga kali, tapi dia tidak mau muncul juga. Ah, sepertinya dia memang tidak suka nama itu ya? Pada akhirnya semua roh kecerdasan pemegang peringkat sepuluh besar kumintai tolong satu per satu. Junian, Ameliaz, Farisian, Firdain, dan yang lain, ternyata juga bersikap sama.
Meski pada akhirnya PR-ku selesai sebelum Bu Nindra datang, kekhawatiran tetap mengaduk-aduk pikiranku. Ada apa dengan sikap roh-roh kecerdasan itu?
Cobaan tidak berhenti di situ. Bu Nindra malah membagi tugas baru, meminta kami membentuk sepuluh kelompok dengan pemegang peringkat sepuluh besar sebagai ketua. Artinya, aku dan Vivi atau Rian tidak bisa berada di kelompok yang sama, tapi tidak menutup kemungkinan bagiku untuk satu kelompok dengan Kevin.
Bagus, ini kesempatan lain agar kami bisa lebih dekat. Aku yakin gombalan Kevin kemarin adalah lampu hijau darinya ... dan aku tidak mungkin pura-pura tidak peka soal itu. Karena terlalu sibuk cengar-cengir, aku tidak sadar Ros sudah menulis daftar anggota kelompok, berisi dirinya, aku, dan Yudi, terlanjur terkumpul di tangan Bu Nindra.
"Itu yang disebut gercep, Bel! Gerak cepat!" kata Ros nyengir lebar dan yang bisa kulakukan hanya mengelus dada. Kenapa anggota kelompokku harus para kentang yang tidak bisa apa-apa begini?!
"Aku juga berhak milih-milih anggota kelompokku, Ros!" ujarku kesal.
"Bebeb Bel enggak mau satu kelompok sama kita?" tanya Yudi pasang tampang keledai melasnya.
"Kalian enggak mau satu kelompok sama Vivi? Dia peringkat satunya, lho!" jawabku.
"Tapi kamu lebih asyik, Bel! Dalam kerja sama tim, kamu punya sesuatu yang Vivi enggak punya! Sekelompok sama Vivi bikin tegang, tahu! Sok serius banget, perfeksionis juga, harus serba benar!" jawab Ros dan aku hanya memutar bola mata tak berselera.
"Tapi enak, 'kan? Kalian kecipratan nilai bagusnya juga?"
"Satu kelompok sama Bebeb Bel bisa serius, bisa bercanda, bisa kecipratan nilai bagus. Yud-yud enggak butuh yang lain!" jawab Yudi membuatku bergidik jijik. Aku tak yakin mereka masih bilang hal yang sama andai tahu aku tidak bisa apa-apa.
Sejenak aku bersyukur karena tidak sekelompok dengan Kevin karena tak satu pun roh kecerdasan bisa kupinjam saat ini, sudah kumintai tolong saat mengerjakan PR tadi. Beruntungnya nomor urut tampil presentasi kelompokku paling belakang.
Tidak akan tampil hari ini, dua orang ini kusuruh santai saja, begitu juga diriku sendiri. Pada akhirnya kami bertiga hanya menyimak penampilan presentasi kelompok lain. Aku baru tahu Kevin akhirnya satu kelompok dengan Faris, peringkat lima di kelas, lumayan senang karena dia tidak satu kelompok dengan Vivi.
Oh, ya ampun, Kevinez tampak paling bercahaya, bahkan lebih terang dibandingkan Farisian. Kurasa Kevinez spesialis matematika, deh! Tapi aku yakin Kevinez punya kemampuan lain. Dia semakin menyilaukan ketika terjadi perdebatan antara Vivi dan Kevin. Cewek satu itu memang selalu diwaspadai tiap acara presentasi.
Dengan pikiran kritisnya, Vivi tidak segan-segan melontarkan berbagai pertanyaan yang kadang sulit dijawab, terlalu melebar dari topik, tapi Kevin jelas-jelas lawan yang seimbang. Cowok itu sama tenangnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan Vivi, selalu punya jawaban yang pas hingga Vivi tampak kehabisan celah.
Serius, deh! Padahal ini matematika, ilmu pasti yang menurutku tidak bisa jadi bahan bantah-bantahan, tapi keduanya teramat sempat meributkan soal nilai pi yang dianggap krusial dalam menyatakan besar sudut. Pi itu tiga koma empat belaslah, berarti pi radian setara seratus delapan puluh derajat ... oh, teserahlah! Cuma mereka berdua dan Bu Nindra yang paham!
Harusnya Vivi dan Kevin berakhir ribut setelah debat bernuansa tawuran tadi, tapi kenyataannya sama sekali tidak demikian. Keduanya malah semakin akrab dan itu terasa sepat di mataku.
"Keren banget, Vin! Aku sampai bingung harus bantah bagaimana lagi?!"
"Malah aku yang deg-degan, tahu! Kamu, kok, bisa-bisanya memperhatikan sesuatu sedetail itu, sih? Kalau aku enggak bisa jawab, mau ditaruh mana mukaku?"
Haha-hihi, tawa renyah keduanya lepas. Sejenak Vivi sadar aku mengawasinya ... dan aku tidak mengubah tatapan kesal. Biar saja, dia harus tahu! Tidak aneh bila Vivi mengejarku ke luar setelah bel istirahat berdentang.
"Eh, Bell ... Ke kantin, kok, enggak ajak-ajak, sih!" tegur Vivi seenaknya menempel di lenganku.
"Bukannya kamu lagi hemat? Mana, tuh, nastar buatan kamu yang bisa dipamer-pamerin ke Kevin?"
Ah, yah, aku tidak bisa mengerem kata-kata. Perasaanku sendiri memburuk melihat Vivi sempat terdiam, meminta maaf duluan.
"Aku enggak bermaksud bikin kamu kesal, lho, Bel! Jangan ngambek, dong!"
"Hehe, iya ... Aku enggak ngambek, kok! Biasalah, kebawa masalah dari rumah. Sorry, kamu jadi kena imbasnya !" kilahku. Iya, demi Vivian, aku tidak boleh ngambek, tapi mungkin wajahku bukan pembohong hebat.
"Aku cuma terlalu semangat karena akhirnya nemu lawan seru, sama sekali enggak ada niatan lebih, apalagi setelah aku tahu sahabatku suka cowok itu," kata Vivi ternyata cukup sadar diri.
"Kamu sendiri juga udah tahu kalau aku naksir berat sama Kak Jerome ...."
"Ha? Kak siapa? Dari kelas mana?" tanyaku buru-buru menegakkan telinga. Sungguh, aku belum tahu apa-apa, kaget betul ketika dengar pertama kalinya Vivi naksir cowok. Selama ini yang kutahu dia cuma bisa naksir buku-buku kimia organik, sih!
"Kak Jerome Polin, enggak bisa dicari di sini," jawabnya. Oh, ya ampun, ternyata Vivi tetaplah Vivi. Tiba-tiba aku merasa konyol karena sempat khawatir dia bakal menyaingiku. Ternyata memang tidak mungkin.
"Iya, Vi, iya ... Kayaknya aku pernah janji traktir kamu, deh!Sekarang aja, yuk!"
"Hayuk!" sahut suara yang sama sekali tidak kuundang. Dih, Rosalita ... Aku cuma mau traktir Vivi!
.Bersambung.
[This is She lagi #Kangen]
Hai, Readers Mate! Ketemu lagi kita minggu ini! Kadang She berasa lagi nulis buku harian, mengenang zaman pas sekolah masih offline. Tugas kelompok, debat, ekskul, jajanan kantin, perpus, wifi :v
Seingatku tepat hari ini, satu tahun lalu, pengumuman sekolah libur serentak dua minggu dan She nangis kejer padahal ujian udah di depan mata *srottt *curhat
Tapi tetap ada hikmah di balik itu semua, 'kan? Ujiannya ditiadakan, huhu!
Yah, malah keasikan cerita sendiri. Kalau Readers Mate gimana? Apa yang paling dirindukan dari masa-masa sebelum 'kejutan'? Share ceritanya, dong!
Tak lupa, Crew Mate ucapkan terima kasih untuk Readers Mate serta pihak-pihak yang mendukung berikut ini:
@wattpad_storyyyy
@catatanwattpad_id
@wattpad.diary
@wattpadandmovie
@wattpadquotes_id
Sampai jumpa part selanjutnya ya^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro