Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE 27 - Jarak

Bel pulang siang ini terdengar membahagiakan bagi beberapa orang. Bel yang sekaligus menjadi pertanda berakhirnya UAS harusnya juga membuatku merasa hal yang sama, tapi untuk pertama kalinya, ujianku terasa belum selesai, mungkin baru saja dimulai.

Harus remedi untuk hampir separuh dari mapel yang diujikan benar-benar bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, apalagi hanya untuk diketahui teman-teman. Keberadaanku di ruang remedi pasti bakal jadi bahan omongan sepanjang koridor.

Belum lagi reaksi papa setelah nanti tahu hasil scan raporku. Meski tidak bisa pulang, cepat atau lambat amukan dinginnya pasti akan segera sampai. Bisa jadi papa tiba-tiba rela pulang hanya untuk menghukumku. Demi separuh kewarasan, mungkin sebaiknya aku tidak menerima telepon orang itu dulu.

"Langsung balik aja, Beb? Biasanya kita ngumpul-ngumpul dulu tiap abis ujian gini," kata Yudi yang selanjutnya disempurnakan Rian.

"Biasanya selalu traktiran tiap abis ujian gini," timpalnya, benar-benar tak bisa membaca muka kusutku.

Beralasan tidak enak badan, tak banyak lagi yang kujelaskan sebelum angkat kaki, sementara Vivi dan Ros yang sama-sama tak menyuarakan apa pun hanya saling pandang. Entahlah, yang perlu kulakukan sekarang hanya pulang, cepat-cepat menemui bantal dan memendam segala kegelisahan di sana.

Namun, baru turun dari tangga, segera kusadari kalau ponselku tidak ada di saku, juga setelah kuperiksa di dalam tas. Terdiam lama setelah mengerjakan soal tadi, sepertinya aku belum memasukkannya lagi.

Mau tidak mau haru kembali mengambilnya, aku malah terhenti di ambang pintu dan tak sengaja mendengar semuanya.

"Fix, no debat! Bella semakin berjarak dari kita sejak ada Kevin! Cowok sok kegantengan itu ngerebut Bella dari kita!" kata Ros, sama sekali belum berhenti menyalahkan Kevin.

"Jangan nyangka yang enggak-enggak, dong! Bella bukan tipe orang yang ninggalin temen demi gebetan. Dulu masih pacaran sama ketua OSIS dia enggak kayak gitu, 'kan?"

"Makanya, Vi! Satu-satunya hal enggak beres emang ada di Kevin! Aku makin curiga kalau cowok itu enggak sebaik kelihatannya! Jangan-jangan ... Bella udah kena guna-guna?"

"Bebeb Bell terlalu suci buat kena guna-guna, tahu! Apalagi kalo selalu ada aku di dekatnya. Guna-guna mana pun enggak bakal mempan!" kata Yudi pongah, hingga detik berikutnya ia tiba-tiba merogoh laci mejaku, menyadari getar ponselku yang tertinggal.

"Hape Bebeb Bell ketinggalan dan ... calon papa mertua Yud-yud nelepon!"

Buru-buru kusambar, ponsel itu berhasil kuamankan tepat sebelum jempol Yudi sengaja menjawab telepon dari papa.

"Kamu mau ngirim aku ke neraka, ha?" semburku sebal, sementara getar ponselku belum mereda, sama seperti tatapan masam Ros sejak ia menyangka diriku yang tidak-tidak. Karena itulah, kupikir tak ada salahnya meninggalkan lebih banyak penjelasan ....

"Maaf, temen-temen ... Jarak yang kubuat ini bukan salah siapa-siapa. Aku juga berharap enggak ada yang berubah dari pertemanan kita," ujarku, tanpa sadar kian lirih hingga berubah menjadi bisik. "Untuk sementara ini, kasih aku ruang buat sendirian dulu ya ...."

Kasih aku ruang buat menerima diri sendiri dan berdamai dengannya. Kalian mungkin juga butuh waktu buat menerima diriku yang sebenarnya, sosok asliku yang ... bisakah kalian menerimanya?

"Iya, Beb!" tegas Yudi, lumayan mengejutkan karena menjadi yang pertama menjawabnya. "Yud-yud ngerti Bebeb Bell bukannya sengaja menjauh. Beberapa hal kadang emang cuma bisa diberesin sama diri sendiri, 'kan?"

"Enggak, salah banget! Kamu enggak bisa nyimpen semuanya sendiri, Bell! Sekecil apa pun, enggak usah sungkan-sungkan cerita kalau emang kita masih sedekat dulu! " bantah Ros, segera ditegur Vivi agar berhenti memaksaku.

Sayangnya, bagaimanapun situasiku sekarang, itu bukan untuk dicerita-ceritakan, tapi sepertinya aku terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Bisakah mereka menerimaku? Padahal aku sudah sangat diterima.

***

Mulai hari ini dering ponsel bisa membuatku terteror, hanya karena panggilan dari kontak papa. Mode senyap ponsel sengaja kuaktifkan demi menjaga ketenangan batin, tapi akhirnya kusesali karena telepon dari Tante Mama juga turut terabaikan. Tante Mama alias Tante Winda, mama Kevin yang sudah lama tak kutemui sejak sebelum UAS.

Buru-buru kutelepon balik, suara khas Tante Mama yang agak serak mengucap salam di seberang sana –duh, aku kesulitan memanggilnya selain dengan sebutan Tante Mama, jadi biarkan saja!

Dia mengundangku pagi ini agar membantunya bikin kue, tentu saja aku tak bisa menolak kesempatan istimewa itu!

"Bikin kue tar? Ada pesanan dari tetangga ya, Tante?" tanyaku.

"Bukan, sih ... Tante mau bikin buat ulang tahun Win sama Vin," jawab Tante Mama riang, membuatku tertegun seketika. Ulang tahun ... hari ini ulang tahun Kevin yang ketujuh belas? Seketika aku teringat satu nama, Guna-guna.

Jadi, sebentar lagi dia sudah menempuh loyalitas tujuh belas ya ... terikat dengan Kevin dan tak bisa berinteraksi denganku lagi, sayang sekali.

"Maaf udah pernah ngeremehin kamu ...," kata Guna setibanya aku di rumah Kevin, menyambut di teras depan. Wah, apa ini akan menjadi kata-kata terakhir? Salam perpisahan?

"Kupikir kamu enggak bisa berubah, Isabella ... tapi ternyata sampai akhir ujian kamu bener-bener nolak terlibat kecurangan. Bahkan Kevin yang dulu enggak sekeren kamu," imbuhnya, segera kusadari kalau tadi itu bisa dikategorikan pujian.

Ya, pujian pertama sekaligus terakhir kalinya ... dan aku bingung harus merespons bagaimana, terus saja tersipu-sipu sampai Guna versi nyata alias Kevin menegurku, mempersilakan masuk. Sepi, tidak ada teman-teman lain seperti yang kuduga. Seberapa layaknya aku merayakan ultah Kevin sendirian?

"Se ... selamat ulang tahun ya, Vin!" ujarku tanpa basa-basi lagi, disambung serentet doa dan harapan baik, juga bingkisan kecil yang kuulurkan.

Memilih kado dadakan, aku sempat khawatir itu akan terlalu biasa atau mungkin Kevin tak menyukainya, tapi ekspresi Kevin yang terbengong-bengong saat menerimanya lebih membuatku khawatir.

"Kamu dapat ide dari mana kalau hari ini ultahku?" tanyanya.

"Dari Tante Mam ... Tante Winda! Aku diminta bantu bikin kue tar buat ultah kamu, tapi ...."

Tapi Tante Mama tidak bilang kalau hari ini ultah Kevin. Benar, bisa jadi kue hari ini hanya untuk percobaan, 'kan? Atau ... sudahlah, bagaimana caranya meredam malu yang luar biasa ini?

"Enggak apa-apa, deh, Vin ... Kalau ultah kamu bukan sekarang, pasti dalam waktu dekat, 'kan? Simpen aja kado dari aku ya!" ujarku .

"Dalam waktu dekat? Yah, anggep aja bulan depan emang udah dekat. Makasih ya, Bell!" jawab Kevin dan aku harus terkejut mendengarnya. Bulan depan itu masih lama! Dan Tante Mama harus mencoba membuat kue seawal ini?

Oh, terserahlah! Omong-omong soal bulan depan ....

"Januari? Kalau boleh tahu, persisnya tanggal berapa, Vin?" tanyaku, semakin dibuat terkejut setelahnya.

"Tanggal sebelas, Bell ...," cengir Kevin, tampak terhibur dengan keterkejutanku. Dia tidak bercanda, 'kan?

Sebelas Januari, kami merayakan ultah bersama! Sebelas Januari nanti, masing-masing dari kami akan mensyukuri hal yang berbeda. Kevin dengan Guna dan loyalitas tujuh belasnya, itu pasti, sementara aku dan penemuan roh kecerdasanku –bisakah aku menemukannya?

Kekhawatiran itu lenyap saat Tante Mama muncul, menyapaku dengan segala ramah-tamah dan keceriaannya. Sudah lama tak bertemu, sepertinya beliau sehat-sehat saja, tidak lagi tertukar memanggil Kevin dengan sebutan Win.

"Kenapa beberapa minggu ini enggak main? Bukan karena berantem sama Vin, 'kan?" tanya Tante Mama, jelas-jelas lupa kalau minggu lalu pekan-pekan ujian, masing-masing dari kami harus sibuk belajar.

"Ujian malah udah selesai, Tante! Sebentar lagi pertemuan wali murid dan pengambilan rapor. Apa Tante yang bakal datang buat ambil rapor Kevin?" tanyaku.

"Ya iyalah, emangnya siapa lagi kalau bukan Tante?" jawabnya, baru akan kutanya soal papa Kevin. Barangkali papa Kevin yang tak pernah terlihat itu akan datang, tapi Kevin yang mengelap loyang di sebelahku lebih dulu berbisik.

"Papa udah enggak ada, Bell! Atau bisa dibilang enggak pernah ada?" lirih Kevin, akhirnya menjawab penasaranku tentang sosok ayah yang tak pernah terlihat tiap kali aku main ke sini, tapi ....

"Maksud kamu enggak pernah ada itu ... gimana?" tanyaku, sedikit ragu-ragu, khawatir pertanyaanku terlalu lancang.

"Sejak kecil hidup sama kerabat Mama di Semarang, aku enggak terlalu dekat sama keluarga ini ... juga enggak begitu paham. Mama yang cuma istri siri papa enggak bisa menangin banyak hal, apalagi setelah Erwin, anak laki-laki tertua papa meninggal," jelasnya. Setelah itu kupikir tak ada salahnya terus bertanya.

"Apa papa kamu enggak tahu kalau Erwin punya kembaran, kalau masih ada kamu?" tanyaku sama lirihnya sambil memastikan Tante Mama tak mendengar obrolan kami.

"Harusnya tahu, keluarga dari istri resmi papa juga, tapi mungkin ... demi menjaga harta warisan papa enggak terbagi buat aku, mereka pura-pura enggak tahu!"

"Ha? Kok gitu, sih? Bagaimanapun kamu juga punya hak buat itu, 'kan?!" protesku tak terima, tapi lagi-lagi Kevin hanya tersenyum kecil.

"Buat sekarang enggak ada yang lebih pantas kuperjuangkan selain Mama, selain menyembuhkan luka-lukanya. Aku pengin ajak Mama pindah ke Semarang, tapi dia enggak bisa tinggal sama aku atau saudara-saudaranya," jawab Kevin sejenak memandang langit-langit, juga beberapa bingkai fotonya yang berkaca mata ... atau sebenarnya foto Erwin?

"Mama lebih suka tinggal di sini, sama memorinya dengan Erwin di tempat ini ... dan aku enggak bisa maksa. Aku yang harus ngalah dan pindah ke sini buat jagain Mama ...."

"Iya, Vin! Aku yakin kamu bakal jagain Tante Mama dengan baik. Cepat atau lambat, Tante Mama pasti bakal ngelihat kamu sebagai Kevin seutuhnya! Percaya, deh!" jawabku, sebisa mungkin menahan diri agar tidak memeluknya. Anak baik dan tulus dengan segala ketegaran ini tak pernah berhenti menjadi teladanku!

"Makasih udah semangatin aku, Bell! Tapi tadi kamu bilang Tante ... Tante apa?" tanyanya tiba-tiba dan aku hanya memalingkan muka. Sepertinya hanya lidahku yang bisa kesleo tanpa menyadarinya.

"Kalian bisik-bisik apa, sih, dari tadi?" tanya Tante Mama, menjadi penyelamatku dari pertanyaan Kevin, tapi ... haruskah dia menyeruak di antara aku dan Kevin begini?

"Kevin, enggak boleh curang ya! Kamu bisa ngobrolin apa aja sama Bella tiap hari di sekolah, 'kan? Sekarang jangan rebut waktu Bella buat Mama!"

Duh, aku jadi rebutan di sini? Tante Mama memang paling bisa bikin GR, terlepas dari bicaranya yang kadang melantur, atau terlalu percaya diri seperti anak kecil yang mengaku tahu cara bikin kue, tapi rupanya tidak sama sekali. Kami pun benar-benar harus menyimak video panduan dari internet demi membuat kue yang bisa dimakan.

Obrolan kami di sela-sela itu juga mengalir begitu saja, berakhir pada giliranku yang bercerita soal mama yang sudah meninggal, termasuk papa yang sibuk dengan studinya di luar negeri.

"Wah, papa kamu pasti orang hebat! Pantas saja kamu pintar, mewarisi kecerdasan papa rupanya!" puji Tante Mama, tapi lebih terasa seperti tusukan menyakitkan bagiku. Jangankan mewarisi kecerdasan papa, sesendok teh isi otaknya saja tidak sama sekali.

"Kamu juga pasti bisa kayak papa kamu, Bell ... Percaya, deh!" bisik Kevin, tapi aku hanya terkekeh pelan. Demi apa pun, aku sama sekali tidak pernah kepikiran akan menjadi seperti papa, mungkin tidak mau, lebih tepatnya.

***

Matahari sudah mulai condong ke barat saat aku tiba di rumah. Beberapa iris kue mahakarya kami kubawa pulang, meski tak akan semuanya kumakan. Menghibur diri dengan Tante Mama memang begitu manjur melenyapkan daftar panjang kecemasanku.

Ternyata menyimpan semuanya sendiri dan selalu meratapinya bukan jalan terbaik, seperti yang pernah dibilang Ros. Omong-omong soal Ros, aku terkejut karena Mbok Yah bilang tadi Ros main ke sini.

"Sorry, aku tadi lagi keluar. Kamu enggak bilang dulu kalo mau ke sini, Ros. Ada keperluan apa?" tanyaku segera menelepon, khawatir ada kepentingan mendadak.

"Iya, Mbok Yah bilang kamu lagi rumah Kevin. Kupikir lagi butuh waktu buat sendiri, ternyata enggak ya?" jawab Ros di seberang sana ... dan dia mulai lagi!

"Jadi, enggak ada kepentingan serius, 'kan?" tanyaku

"Satu-satunya hal yang kupikir serius cuma masalah kamu, Bell! Kupikir gawat banget sampe perlu jaga jarak dari kami, tapi ternyata kamu emang enggak ada masalah apa-apa, cuma bertambah nyaman sama temen baru aja! Syukur, deh!"

Setelah itu Ros sama sekali tak memberiku kesempatan bicara, mengakhiri telepon begitu saja. Menghela napas sebal, aku tak pernah tahu jarak yang terlanjur kubuat akan melebar dengan sendirinya.

.Bersambung.


[This is She]

Hai, Readers Mate! She masih hidup di sini~ Terakhir kali bercanda soal bersin, She janji enggak bakal ngulangi lagi karena bersin yang diremehin kenyataannya bisa jadi musuh yang nyata :'D

Stay health ya Readers Mate, inget pandemi belum berakhir. Jangan remehin protokol kesehatan meski sesepele apa pun. Kalo bisa sehat ngapain nantang sakit ya kan? Love yourself and others!

Supported by:

@wattpad_storyyyy

@catatanwattpad_id

@wattpad.diary

@wattpadandmovie

@wattpadquotes_id

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro