Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE 22 - Win


"Yah ... Non Bella, hari ini sekolah libur, lho!" tegur Mbok Yah saat aku hadir di meja makan dengan rambut setengah mengering.

"Iya, Mbok ... sekarang hari Minggu, Bella juga udah tahu!" jawabku. Sekarang hari Minggu dan 'Datang ke rumah sebelum jam sembilan' adalah kata-kata Kevin yang paling kuingat semalam. Yap, aku ada janji menemuinya!

"Wah? Tumben libur sekolah Non tetep mandi pagi!" imbuh orang tua itu, untuk pertama kalinya berhasil menohokku dengan kata-kata, lanjut memberondongku dengan 5W+1H.

Mau ke mana, bareng siapa, ada keperluan apa, pulang jam berapa, naik apa, dan bla bla bla ... Daripada seperti asisten rumah tangga, dia lebih mirip guru bahasa Indonesia! Memangnya agendaku pagi ini bakal jadi teks berita?

"Yah, soalnya Non Bella cuma dandan cantik kalo mau keluar sama Mas Baim. Kalau bukan balikan, berarti ... Non mau ketemuan sama Mas Pengganti. Iya, 'kan?" tanya Mbok Yah dan otomatis tawaku pecah. Mas Pengganti dan tak terganti ... diam-diam hanya bisa kuamini dalam hati.

Dandan berjam-jam dan menyadari kehebohan yang tak semestinya, aku malah terdiam lama dan kembali ke pertanyaan Mbok Yah. Sebenarnya aku diundang untuk apa? Jika tak salah ingat, ini masih seputar misi berbagi aset pengetahuan itu, 'kan?

"Santai aja, enggak usah bawa apa-apa! Cek share loc dari aku ya!" kata Kevin dari pesan suaranya.

"Di rumah kamu ada siapa aja?" Pesan terakhirku itu hanya bertanda satu centang abu-abu.

Jawabannya baru kutahu setelah sampai di kediaman Kevin sendiri. Sekitar lima menit naik ojek, akhirnya aku tiba di alamat yang dia tunjukkan. Sebuah daerah padat penduduk dengan gang sempit menyelinap di antara rapatnya rumah-rumah.

Jika tanpa panduan rute, mungkin aku tak akan pernah sampai di rumah dengan pagar yang dipenuhi tanaman hias ini. Gerbangnya yang separuh terbuka memperlihatkan penuhnya teras dengan ... jajaran sandal anak-anak? Hei, bukan berarti Kevin punya adik sebanyak ini, 'kan?

Salah satu bocah yang keluar membuang botol susu menyadari keberadaanku, buru-buru masuk ke dalam setelah kulambai tangan akrab.

"Mas Guru! Di luar ada penculik!"

Keributan di dalam rumah pecah setelahnya, sementara lambai tanganku berubah jadi kepal. Cantik-cantik begini dibilang penculik ... TADI ITU ANAK SIAPA, SIH?

"Oh, Bell? Wah, lebih awal dari dugaanku, tapi yah ... Silakan masuk!" sambut seseorang segera meredakan kekesalanku. Kevin dengan buku terbuka di sebelah tangannya, sementara tangan yang lain membenahi posisi kaca mata, terlihat canggung tapi bukan berarti tidak ganteng.

Kevin mengenakan kaca mata ... aura geniusnya malah semakin kentara. Kaca mata yang identik dengan citra kutu buku benar-benar klop dengan penampilannya!

Entah dia memang rabun betulan atau tidak, tapi aku tak akan setuju kalau Kevin juga tampil seperti ini di sekolah! Bisa-bisa Vivi juga naksir sama dia!

"Bella? Dari tadi kamu denger aku ngomong, 'kan?" tanyanya, tanpa kusadari sudah membawaku masuk ke ruangan berisi sekian anak-anak.

"Adik kamu lagi ulang tahun?" tebakku, tapi Kevin hanya tertawa kecil, menyangkal bahwa dia punya adik kecil.

Sesaat kemudian kusadari tak ada satu pun balon atau hiasan khas ulang tahun. Yang ada malah meja-meja kecil di atas karpet tempat anak-anak itu duduk, serta papan tulis di belakang punggungku. Akhirnya baru kumengerti ... termasuk sebutan Mas Guru oleh si bocah tadi.

"Kamu ngajar bimbel anak SD ya?" ujarku sambil menyingkir dari depan papan.

"Iya, Bell! Mau ngajar anak kuliahan juga belum bisa!" jawabnya. Dih, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti bakal betul-betul bisa.

"Ih, tetep aja ... keren, tahu!" jawabku semakin punya alasan mengagumi Kevin.

"Oh ya? Mulai hari ini kamu juga keren, lho! Please, bantu aku ngajar mereka ya!" ajaknya tiba-tiba. Kevin ... memercayakan anak-anak ini padaku? Yang benar saja! Apa dia tidak bisa melihat kegagalanku menjadi mentor sebelumnya?

"Oh, jadi ini yang mau bantu Win ngajar?" sahut sebuah suara turut bergabung.

Sesosok wanita dewasa dengan mata seteduh milik Kevin, tersorot padaku. Mustahil bila aku tidak mengingat seseorang. Mama ... Seolah aku bisa melihatnya dari sosok mama siapa pun.

"Eh, iya Ma ... ini temen yang pernah kuceritain. Dia juara kelas, pinter banyak hal, lho!" jawab Kevin.

Belum sembuh dari keterkejutan, perutku mendadak kram karena narasinya. Pernah diceritakan ke calon mama mertua memang membuatku tersanjung, tapi tidak termasuk bagian palsu yang Kevin sendiri sudah tahu. Harusnya tidak perlu!

"Hai! Makasih ya! Kalau enggak dibantu kamu, Win pasti bakal kewalahan, ujung-ujungnya enggak sempet belajar buat diri sendiri! Apalagi mau ada anak SMP yang bimbel juga. Oh iya, nama kamu Bella ya?" tanya Mama Kevin, buru-buru kusadari kalau harus segera kusalami.

"I ... iya, saya Bella, Ma ... Eh, Bu! Eh, Tante ...."

Ya ampun, lidahku kesleo model apa? Seketika aku ingin pulang saja! Reaksiku pasti terlalu bodoh, sampai-sampai Mama Kevin tidak sungkan tertawa.

"Maaf, Tante ... Enggak bermaksud apa-apa, kok! Saya emang terbiasa panggil mama ke mama temen-temen yang lain! Tapi enggak sopan kalau enggak tahu batasan ya! Sekali lagi saya minta maaf!" ujarku sebisa mungkin menelan malu.

"Enggak apa-apa, mungkin kita merasakan hal yang sama! Tante bisa paham soal itu!" jawab Mama Kevin sebelum pamit ke belakang, meyiapkan minum meski sudah kubilang tak perlu repot-repot.

"Mulai hari ini Mas Guru dibantu Kak Bella ya! Harus sama-sama nurut biar ketularan pinter Kak Bella, ngerti?!" kata Kevin lanjut memperkenalkanku, padahal aku belum bilang setuju dengan tawarannya!

Hei, yang benar saja! Mengajari anak orang sekian banyaknya ... meski materi SD bukan masalah, tapi aku tak yakin punya cukup kesabaran menghadapi mereka!

"Kamu percayain anak-anak ini ke aku, Vin? Enggak salah?" tanyaku setelah kelompok anak-anak tadi pulang, sementara setengah jam lagi ada sesi untuk kelas lima ... dan di situlah Kevin memberiku ruang pertama.

"Kupikir kamu juga butuh mereka, Bell? Kamu butuh ladang untuk berbagi, 'kan?"

"Iya, sih! Tapi enggak harus nekat juga! Kamu sendiri tahu aku enggak kompeten, 'kan? Semua kemampuanku juga cuma kepalsuan!" bantahku, entah kenapa terlalu berisiko bila asal mengiyakan.

Masalahnya ... ini tentang reputasi Kevin yang bisa kurusak kapan saja. Mengambil alih murid-murid Kevin lalu tak sedikit pun membawa perubahan, otomatis tanggung jawab Kevin juga dipertanyakan, tapi Kevin sendiri tampak tak banyak keberatan.

"Kita sama-sama pernah palsu, Bell ... Segala citra bagus yang dulu cuma kepalsuan, harus dilunasi dengan usaha ... biar enggak selamanya jadi kebohongan!" jawabnya, diam-diam harus kusetujui.

Lagi-lagi aku harus berterima kasih atas jalan yang diberikan Kevin, sebuah kesempatan yang harus kumanfaatkan pada sisa dua bulan terakhir ini.

"Oke, deh! Untuk hari ini bakal kudampingi dulu. Santai aja sebelum mulai ya! Kalau mau lihat-lihat jurnal pengajaran juga boleh!" kata Kevin lanjut beres-beres, tapi aku lebih tertarik memperhatikan isi rumahnya, pajangan-pajangan di ruang tamu.

Sebingkai foto terlanjur menjadi sasaran pandanganku. Potret dua bocah dengan wajah kanak-kanak Kevin, mustahil bila aku tidak mengenalinya. Polos dan menggemaskan, pipi bulat bocah itu sekarang telah berubah menjadi garis rahang tegas yang membingkai senyum ramahnya.

Bergeser ke foto berikutnya, Kevin yang sudah mulai beranjak remaja mengenakan seragam marching band, kurasa saat dia masih SMP. Lalu anak yang berkacak pinggang di sebelahnya juga ... Kevin? Dengan pakaian biasa?

"Wah, foto tahun berapa, nih? Editing-nya natural banget! Jadi kelihatan kayak bener-bener ada dua Kevin!" komentarku setelah Kevin kembali.

"Bukan hasil editing, Bell ...," jawabnya sejenak menghela napas, kian lirih saat lanjut bicara. "Itu emang fotoku sama kembaranku ...."

"Kembaran? Kamu punya saudara kembar?" tanyaku lumayan terkejut.

"Almarhum saudara kembar lebih tepatnya."

"Oh? Gitu ... Turut berduka ya!" jawabku sama lirihnya, sambil berdoa dalam hati, semoga Kevin yang di sampingku selalu panjang umur.

Agak disayangkan kalau kembaran Kevin yang sama-sama gantengnya sudah tiada, padahal aku tidak keberatan kalau keduanya sama-sama jadi teman sekelasku dan roh kecerdasan mereka sama-sama bisa kuajak mengobrol. Ah, mantap ... padahal akan ada empat makhluk serupa andai kembaran Kevin memang masih hidup!

"Kalau boleh tahu ... dia meninggal kenapa, Vin?" tanyaku hanya dibalas senyap.

Tak ada jawaban sampai kusimpulkan Kevin tak ingin memberi tahu. Mungkin terlalu menyakitkan mengingat penyebab kematian saudaranya. Sama sepertiku ketika ditanya perihal kepergian mama. Yah, mungkin sebaiknya kami membahas hal yang lain saja.

"Anu, kembaran kamu itu ... namanya Adiguna ya?" tebakku, seketika membuatnya terkekeh lirih. Sepertinya Guna terlalu bar-bar jika dibandingkan dengan saudaranya ya? Terlalu tidak mirip?

"Kamu pikir nama roh kecerdasanku itu buat mengenang saudaraku yang udah meninggal? Enggak, sih! Aku udah kasih nama Guna jauh ketika Erwin masih ada!"

"Oh, hehe ... Jadi, nama saudara kamu Erwin!" jawabku lanjut menggumam nama keduanya bergantian, bagaimanapun terdengar mirip. Kevin, Erwin, Kevin, Er ... win? Eh? Sebentar ....

"Win, Mama mau ke supermarket dulu ya! Anak-anak sambil dibilangi, sandalnya jangan sampai naik depan pintu! Lepas sebelum keset ya!" kata Mama Kevin sebelum pergi sementara Kevin hanya mengiyakan.

Ternyata memang bukan hanya perasaanku ... kalau orang tua itu memanggil Kevin dengan sebutan Win. Jangan-jangan dia tidak tahu kalau salah satu anak kembarnya sudah meninggal?

"Emang seaneh itu, padahal mama juga lihat sendiri pemakaman Erwin, tapi kadang mama masih memperlakukan Erwin seolah dia masih ada ... dan aku enggak tega membantah tiap kali mama panggil aku Win. Kayaknya enggak masalah sesekali aku jadi Erwin di rumah ini," ujar Kevin sambil melepas kaca matanya.

Oh, ya ampun, tentu saja! Ternyata mama Kevin dan aku memang merasakan hal yang sama.  Kenyataan yang tak bisa kami terima ... ternyata malah menjadi luka bagi orang lain.

"Jangan khawatir, aku sama temen-temen lain bakal tetep panggil kamu Kevin, kok!" hiburku, menerbitkan kembali senyumnya.

"Tenang aja! Mama juga bakal tetep panggil aku Kevin ... kalau pas inget," jawab Kevin terdengar getir di ujung kalimatnya.

Sesaat kemudian mama Kevin kembali muncul di pintu, agak terbengong-bengong menatap kami berdua, atau sejatinya menatap Kevin saja?

"Ada yang ketinggalan, Ma?"

"Dompet Mama, Vin!" jawab wanita itu cepat-cepat masuk tanpa melepas sandalnya. Eh? Terserahlah!

.Bersambung.


[This is She]

Halo, Readers Mate! Gimana kesan kalian sama fakta baru di episode ini? :"v Biasanya ada konspirasi baru yang bikin She ketawa tiap cek komen paginya :'D

Ada yang mau les privat ke Kevin? Yok, borong aja biar kesempatan ngajar bocil-bocil semuanya dikasih ke Bella :'D

Oh iya, She mewakili Crew Mate mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Crew Mate dan seluruh Expert Chara mohon maaf sebesar-besarnya apabila ada salah ucap mau pun sikap (terutama karakter tukang ngegas kayak Vian sama Guna-guna :"v).

Semoga tadarus sama timbun pahalanya enggak kalah banter kayak baca cerita-cerita BWM sama timbun koinnya :D Terima kasih atas segala dukungan dan antusiasme.

Sampai jumpa episode selanjutnya~

Supported by:

@wattpad_storyyyy

@catatanwattpad_id

@wattpad.diary

@wattpadandmovie

@wattpadquotes_id


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro