Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE 21 - Festival Budaya


Aku sudah sangat menanti-nanti dipanggilnya Vian untuk unjuk bakat terbuka. Tak pernah memberi-tahuku apa pun yang dia tampilkan saat unjuk bakat tertutup, katanya itu akan menjadi rahasia sampai diungkap menjadi kejutan malam ini. Kerja bagus, dia benar-benar membuatku terkejut.

"Itu tadi penampilan unjuk bakat dari finalis terakhir. Kami sangat menyayangkan terdiskualifikasinya kandidat dari X MIPA 1 atas pelanggaran serius pada tata tertib debat," kata MC sok manis itu.

Tidak, aku tak bisa menyalahkannya. Kuakui Vian memang agak lepas kontrol, tapi tidak seharusnya dia disingkirkan seperti ini, bahkan sebelum kami melihat apa yang bisa dia tunjukkan.

Kuharap masih ada yang bisa kulakukan. Memprotes atau membujuk juri agar ada satu kesempatan lagi untuk Vian, tapi seseorang lebih dulu membaca gerakanku, menghadang sebelum aku menemui juri.

"Interupsi di saat-saat seperti ini jelas enggak sopan. Kupikir kamu udah tahu itu, adik ipar!" kata Edo. Ada pin satgas keamanan tersemat di kemejanya.

"Aku juga mau protes secara sopan. Kupikir enggak apa-apa, Do!" bantahku, akan mengomelinya belakangan atas panggilan menggelikan itu.

"Protes soal apa? Alvian melanggar aturan debat, dia nyaris mencemarkan nama baik sekolah di acara sebesar ini! Kalau kamu enggak mau dia dieliminasi, harusnya kamu mentori dia yang bener! Kasih tahu mana yang boleh dan yang enggak!" tegas Edo dan pundakku mengendur seketika.

"Jadi ... semua ini gara-gara salahku yang enggak bener?"

"Sorry, mungkin kamu udah kasih tahu Alvian ya? Tapi emang dasar dia suka cari masalah . Ya, semua orang juga tahu itu, tenang aja ... enggak bakal ada yang nyalahin kamu, kok!" jawab Edo yang segera kutepis tepukannya di pundakku. Jelas-jelas ada yang menyalahkanku barusan.

"Tapi tetep aja enggak adil! Kenapa Vian harus disingkirin sebelum dia tunjukin sesuatu yang dia bisa? Sesuatu yang bikin dia berhasil maju sejauh ini ... harusnya biarin orang-orang tahu kalau dia bukan cuma bisa rusuh!" bantahku sekali lagi, belum berhenti serius, tapi Edo malah tertawa setelahnya.

"Ya ampun, kamu bener-bener sepercaya itu sama Alvian, hm? Sesuatu yang dia bisa? Yang bikin dia lolos jadi finalis?"

Ekspresi Edo yang berubah datar tiba-tiba membuatku merinding.

"Sesuatu yang enggak seharusnya kamu tahu, Isabella ... Itu menyangkut nama baik sekolah ini dan orang-orang yang kulindungi. Kami selalu nyoba buat berdamai, tapi bahkan setelah dikasih kesempatan seistimewa ini ... Alvian tetep enggak bisa dijinakkan," jawab Edo.

Butuh beberapa saat sampai aku sedikit paham kata-katanya, sedikit sekali.

"Yah, aku enggak ngerti ada masalah apa atau siapa yang paling buruk," jawabku sekadar mengangkat bahu.

"Tapi ketika sekolah rela memfasilitasi satu kursi finalis buat suatu persekongkolan ... entahlah, aku seneng Vian enggak bisa dijinakkan. Ternyata emang enggak semua orang mau diperbudak ketenaran," imbuhku buru-buru pergi setelah tak sengaja melihat rahang Edo mengeras.

Tersinggung? Padahal aku sedang membicarakan diri sendiri ... diriku yang berusaha keras memperoleh ketenaran hanya untuk menyadari satu hal, ternyata bukan itu yang kubutuhkan. Ternyata ada hal yang lebih penting untuk dicari ... roh kecerdasanku sendiri.

"Halo, Kak Bell ... aku udah pulang, enggak usah dicariin!" kata Vian segera menjawab teleponku. Heh, pantas saja dia tak terlihat di mana-mana!

"Dasar bocah! Seenggaknya pamit dululah!" omelku.

"Ngapain? Emangnya kakak siapa? Setelah aku terdiskualifikasi, urusanku sama Kak Bella selesai ...."

"Alvian!"

"Kita bukan tim lagi ... dan selamat menikmati sisa festival! Mari balik lagi kayak orang enggak kenal!"

"YAN!" bentakku benar-benar tak tahan, setelahnya malah tidak tahu harus bilang apa.

Yang jelas aku paling benci kalau harus pura-pura tidak kenal, tapi bukan berarti senang bila harus selalu terlibat dengannya. Ya ampun, sepertinya bukan itu yang akan kukatakan.

"Hafalan pidato dukunganku jadi sia-sia, tahu! Juga Sekar yang susah-susah bikin naskahnya! Kamu malah kayak sengaja ngelanggar aturan biar kalah!" ujarku baru saja ingat.

"Aku udah bilang kalau Kak Bella enggak harus nyiapin itu semua, 'kan?" 

"Tapi kamu kelihatan serius! Ngaku ke Sekar juga kalau mulai termotivasi! Kita sebagai tim jadi semangat buat nyiapin dukungan, ternyata malah kayak gini ...," protesku masih tak bisa terima soal itu.

Sesedikit apa pun, harusnya dia tetap menghargai usaha kami. Minimal pamit sebelum pulang, bilang makasih atau apalah!

"Oh, jadi aku harus minta maaf?" tanyanya dan kenapa dia masih bertanya?!

"Enggak, Yan ... minta jajan!"balasku kesal.

"Hm, oke ... Maaf udah kelihatan serius, Kak Bell. Kita boleh tetep saling kenal, kok. Nanti kalau ketemu pasti bakal kumintai jajan."

Tak menunda lagi, segera kusudahi telepon ini. Untuk pertama kalinya kutahu ada model permintaan maaf seperti itu, tak terlalu tahan meladeninya lebih lama. Mungkin memang sebaiknya kami tidak saling kenal ... dan aku lanjut menikmati sisa festival.

Akhirnya aku bisa memerhatikan sekitar dengan leluasa tanpa bayang-bayang tugas. Baru kusadari kalau langit mulai gelap dan lentera-lentera gantung menyala satu per satu. Bentuknya tak banyak berubah sejak Festival Budaya pertama yang kuhadiri.

Dulu benda itu terlihat begitu tinggi tak tergapai, tapi sekarang seperti tergantung di atas kepala. Andai tumbuh sedikit lebih tinggi, mungkin bisa kugapai dengan mudah. Dulu halaman utama ini terlihat luas dan stan-stan jajanan di kanan-kiriku begitu raksasa.

Bahkan aku harus digendong mama agar bisa melihat sosis digoreng, sambil jaga jarak agar tak terkena cipratan minyak, tapi sekarang siapa peduli kalau aku malah menggoreng sendiri.

Ah, sepertinya jalan-jalan sendirian memang hanya memerangkapku pada masa lalu. Tak peduli tumbuh sebesar apa aku sekarang, yang terlintas di kepalaku hanya dulu dan dulu, padahal kalau mau menengok sekarang aku punya ... siapa? Teman-teman yang terhubung dengan kepentingan masing-masing?

Vivi dan acara keluarga, Ros dan klub teaternya yang tampil tak lama lagi, Yudi yang belakangan ini jarang terlihat karena semakin asik dengan band-nya, sementara Rian yang ... tidak, meski dia luang, mustahil kalau kami jalan berduaan saja. Tunggu, ada yang belum kusebut ....

Mbok Yah!

Baru saja kepikiran menjemput orang tua itu, tapi segera kuingat jam segini ada tayangan sinetron favoritnya. Aku tak akan tega menukar kebahagiaan sederhana Mbok Yah hanya untuk menemaniku di keramain yang sama sekali tak disukainya. Apalagi Mbok Yah mudah masuk angin. Separuh urusanku bisa repot kalau dia sampai sakit.

Pada akhirnya aku hanya duduk menepi tak jauh dari panggung, menghabiskan sisa jajanan, pura-pura tak mendengar siul genit yang sesekali menggodaku. Andai cowok-cowok kurang kerjaan itu gantengnya setingkat saja di bawah Kevin, mungkin aku bisa menegur mereka dengan lebih sopan.

Eh ... sebentar, tadi aku bilang apa?

KEVIN! Kenapa aku tidak menyadarinya? Dia masih tak terlihat di mana-mana! Sengaja tidak datangkah?

"Aku bingung harus ajak siapa, Bell. Katanya wajib bawa orang dari luar ya?" tanya Kevin setelah kutelepon.

"Enggak wajib, kok! Itu cuma imbauan! Aku juga datang sendirian, nih!" jawabku sekalian promosi.

"Bedalah, kamu jelas ada kepentingan jadi mentor, temen-temen lain juga ada kesibukan masing-masing, sementara aku? Anak baru, enggak kenal siapa-siapa ... gabut banget!" jawab Kevin, benar-benar harus diberi tahu kalau sekarang aku menganggur. Ya, dia jelas-jelas tidak tahu soal terliminasinya Vian.

"Makanya, datang ke sini kalau mau tahu. Bakal kuceritain semuanya!" ujarku merasa menang setelah Kevin mengiyakan. Rasa penasaran memang selalu menjadi pancingan bagus!

"Ke sini beneran? Sip, kutunggu ya, Vin!"

"Oke, aku ke tempat kamu ya!" jawabnya kali ini terdengar beda, suara Kevin mengganda. Satu yang tedengar nyata berasal dari samping ... DAN DIA SUDAH SAMPAI SAJA?!

"Kamu ... udah di sekolah ini dari tadi?" tanyaku, tak begitu siap disuguhi senyum khas Kevin lebih cepat. Mengenakan kemeja gelap berkerah dan topi berwarna senada, Kevin masih menyangga kamera yang dikalunginya.

"Udah datang sejak iring-iringan pembukaan, Bell ... Lumayan, ada banyak yang sempet kujepret," jawabnya sama sekali tak merasa curang.

"Tapi tadi kamu bilangnya ... Ah, berarti kamu juga udah tahu alasan Vian didiskualifikasi ya, Vin?"

Game over sebelum game dimulai adalah kata lain dari situasiku sekarang. Modus ketahuan, topik pembicaraan mendadak kadaluwarsa pula! Beruntunglah Kevin tak keberatan mendengar unek-unekku yang lain.

"Tiba-tiba aja mentoring itu udah selesai dan enggak ada satu pun hasil memuaskan. Aku harus gimana lagi setelah ini ya?"

"Setelah ini jangan berhenti usaha ... dan makasih udah bertanya. Kamu beneran mau ngelanjutin misi berbagi aset itu?" tanya Kevin, otomatis kubalas angguk.

"Besok pagi datang ke rumahku sebelum jam sembilan ya!" kata Kevin santai, tapi reaksi jantungku sama sekali tidak.

Mudah sekali dia bilang 'Besok ke rumahku ya!' sementara aku demi mengajaknya ketemuan begini perlu pasang seribu jurus (yang harus gagal dengan memalukan). Apa Kevin memang biasa mengajak teman cewek main ke rumahnya? Jangan-jangan Vivi sudah lebih dulu?

"Gimana, Bell? Kamu ada waktu?"

"Ada! Ada banget!" jawabku cepat-cepat. Demi apa aku bakal bilang sibuk? Bahkan kalau memang ada kesibukan, aku rela membatalkannya demi unboxing rumah Kevin. Eh, sebenarnya aku diundang untuk apa?

Untuk apa pun, yang jelas Kevin lagi-lagi berhasil menanggung kegalauanku. Mungkin juga mengalihkan perhatian, dia mengajakku mendekat ke panggung, menonton penampilan teater yang tak lama lagi dimulai. Jelas sekali dia antusias mengabadikan setiap momen.

Kevin mengizinkanku melihat hasil-hasil jepretannya, termasuk rekaman beberapa acara. Bisa kutebak dia akan membuat video dokumentasi untuk semua ini. Sama sekali tak ada yang aneh untuk kukomentari hingga ketika ... kutemukan ada fotoku juga.

Ada fotoku juga, kuulangi sekali lagi dan demi apa Kevin diam-diam memotretku? Keterkejutanku bertambah saat Kevin tiba-tiba merebut kameranya lagi, sesaat tampak salah tingkah hingga akhirnya mengaku.

"Maaf ... enggak ada maksud apa-apa, kok! Aku cuma ... kupikir, karena cuma ada kamu, jadi ya cuma kamu. Kalau ada temen-temen yang lain, pasti jadi sasaranku juga," kata Kevin ternyata bisa gugup, padahal kalau memang ada maksud apa-apa, aku pun tak keberatan!

"Kalau kamu enggak suka, aku bisa hapus sekarang juga ...."

"Eh, jangan! Sayang banget, eh ... maksudku, simpen dulu, nanti aku minta, oke?" balasku tak kalah gugupnya.

Canggung yang tidak nyaman itu perlahan memudar setelah MC mengumumkan dimulainya  penampilan klub teater. Sungguh tak kusangka Kevin juga membawa tripod di tasnya, cukup totalitas merekam pertunjukan berikutnya dari ponsel karena daya kameranya hampir habis.

"Ros pernah kasih lihat cuplikan naskah drama ini, lho! Lucu banget! Aku enggak sabar lihat penampilan langsungnya!" kata Kevin, benar-benar membuatku menahan diri agar tidak menusuk lesung pipinya! Kenapa dia teramat murah senyum?

Bahkan ketika adegan paling kocak yang membuat seantero penonton terbahak dia hanya tersenyum tipis. Mungkinkah karena dia sudah baca cuplikan naskahnya? Lalu, muka memerah itu demi apa jika bukan karena menahan tawa? Seingatku dia memang selalu begitu, 'kan?

"Ketawa ajalah, Vin! Enggak enak banget kayaknyanaha-nahan ketawa gitu!"

"Eh? Jangan, nanti suara ketawaku kena rekam juga, jadi jelek ...," bantahnya.

"Yah, aku udah ngakak berat dari tadi. Rekamanmu bakal jelek banget, maaf ya!" ujarku benar-benar merasa bersalah.

"Enggak apa-apa, kalau suara kamu enggak masalah ...."

Untung saja adegan di panggung memang sedang lucu. Pekik girangku separuh tersalur dengan pecah tawa.

Sepertinya malam ini aku bakal mimpi indah!

.Bersambung.


[This is She]

Hai, Readers Mate! Semoga kalian juga mimpi indah dan episode kali ini berkesan di hati.

Yak, Epin mulai kirim sinyal-sinyal begini, adakah Readers Mate semakin antusias? Selamat menunggu episode minggu depan buat kepoin acara Bella main-main ke rumah doi.

Fyi, side story soal Sekar udah meluncur di ig pribadiku, termasuk naskah drama Ros dkk. insyaallah juga bakal tayang di wattpad pribadi She, tentang parodi cerita rakyat yang pernah berjaya pada masanya :"v Boleh intip-intiplah ya!

Thanks for stay mate and see you~

Supported by:

@wattpad_storyyyy

@catatanwattpad_id

@wattpad.diary

@wattpadandmovie

@wattpadquotes_id


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro