Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE 20 - Terwujudnya Separuh Harapan


Sampai detik ini keherananku belum sedikit pun mereda. Kupikir fail pengumuman finalis siswa-siswi teladan yang diteruskan Edo sore itu hanyalah prank. Terlalu sulit dipercaya sebab dewan juri menjanjikan akan mengumumkan esok harinya.

"Jangan remehin aku soal begituan, Bell. Kalau urusan orang dalem, Edo selalu punya koneksi!" katanya sesumbar di depanku, tepat setelah pengumuman resmi benar-benar dirilis.

Persis, benar-benar tak ada yang berubah dari isi pengumuman itu, padahal aku berharap dewan juri khilaf menuliskan nama Vian lalu akan merevisi dengan nama Sekar.

Ya ampun, apa yang harus kukatakan pada gadis manis itu? Setelah semua optimisme yang kutanamkan padanya, setelah dia lebih banyak berusaha, kenapa Sekar tidak seberuntung Vian? Bahkan Vivi yang kupikir punya banyak kelebihan ternyata jug tidak muncul sebagai finalis. Sebaliknya, apa yang sudah dilakukan Vian sampai bisa merebut hati dewan juri?

"Maaf, Kak Bell ... aku enggak bisa kasih tahu! Dewan juri juga nyuruh aku buat rahasiain itu dari mentor," jawab Vian saat kutanya. Entah kenapa aku selalu punya firasat buruk dengan senyum miringnya.

"Biar jadi kejutan," imbuhnya.

"Jangan mengada-ada, Yan! Mana mungkin juri punya ide kayak gitu! Aku bener-bener bingung gimana harus menggiring dukungan buat kamu. Apa yang musti kupromosikan kalau kamu main rahasia-rahasiaan begini?"

"Enggak usah dipromosiin juga enggak apa-apa ... enggak butuh, kok!" jawab Vian remeh.

Sungguh, harusnya dia ikut nominasi 'Siswa Paling Menjengkelkan' saja. Namun, kurasa tidak sepenuhnya kata-kata Vian salah. Dia yang tak pernah memperhatikan arahanku saat mentoring kenyataannya bisa melangkah sejauh ini. Mungkin untuk tahap selanjutnya ... Vian memang tak membutuhkanku lagi.

"Ngapain pasang tampang butek gitu? Bukannya malah enak? Kak Bell enggak perlu ribet!" kata Vian tiba-tiba.

Sekilas memang terdengar menguntungkan, tapi bila orang-orang bertanya bagaimana caraku menjinakkannya, aku harus menjawab bagaimana? Kenyataannya tak banyak yang kuperbuat untuk Vian, termasuk motivasinya memenangkan kompetisi ini, termasuk apa pun yang dia lakukan di ruang seleksi, semua itu berasal dari Vian sendiri ... dan campur tanganku memang sedikit sekali.

Jadi, kesimpulannya ... mentoring kemarin tidak bermakna ya? Hatiku semakin menciut saja. Bagaimana kalau tujuan asliku dalam mentoring itu malah tidak tercapai? Berbagi aset pengetahuan untuk menggandakannya, kurasa tak ada yang mengganda ketika itu menjadi niat utama. Sepertinya aku memang lebih menadah hasil daripada menuai usaha.

"Apa pun yang udah kamu lakukan, makasih banget, Yan! Tim ini jadi punya kebanggan karena ada satu anggotanya yang lolos!" ujarku setidaknya harus mengakui hal itu, sekaligus mensyukurinya.

Mungkin ini bisa jadi kesempatan kedua bagiku, agar aku lebih ikhlas berbuat hal yang seharusnya. Tak peduli meski ada seribu rahasia atau Vian bilang tak butuh bantuanku, tanggung jawab sebagai mentor itu tetap ada ... dan mentor yang tak dibutuhkan ini akan terus campur tangan demi kemenangannya!

"Makasih, hm? Terus aku harus bilang apa? Sama-sama?" tanya Vian sejenak terdengar menggelikan, seolah dia baru pertama kali mendapat ucapan terima kasih.

"Oke, sama-sama, Kak Bell! Eh, bukan, harusnya ... Sama-sama Kak, traktirannya mana?" imbuhnya kembali ke mode menjengkelkan, tapi yah, mungkin tak ada salahnya merayakan kemenangan kecil ini.

Mengiyakan idenya, kami bergegas ke kantin tanpa melupakan Sekar. Kupikir cewek itu butuh hiburan setelah namanya tak tertera sebagai finalis, tapi ternyata tak ada yang kukhawatirkan karena Sekar sama sekali tidak kelihatan sedih. Dia bahkan turut mengucapkan selamat dan bilang akan terus mendukung Vian. Huhu, aku suka kekompakan macam ini!

"Kalian tunggu aja ya, biar aku yang pesen!" ujarku sebelum meninggalkan keduanya, untuk kemudian kembali beberapa saat dan mencuri dengar sesuatu.

"Yah, aku tahu kamu itu cuma males, bukannya enggak bisa apa-apa, tapi tiba-tiba ada niat pengin lolos ke lima besar tuh kenapa, sih, Yan? Kesambet apa gimana?" tanya Sekar mewakili rasa penasaranku. Selama mereka belum menyadari, aku hanya akan terus menguping seperti ini. Vian pasti tidak bisa jujur di depanku.

"Well, apa aku harus bilang makasih karena dapet predikat males? Tapi yah, ternyata kakak tembam itu emang enggak seburuk pasangannya ...," jawab Vian membuatku insecure seketika.

Tembam, heh? Jadi selama ini dia lebih banyak memperhatikan pipiku? Jangan-jangan badanku juga kelihatan gemuk? Kaki-tanganku bengkak? Tidakkk!

"Pasangan Kak Bella ... maksud kamu Kak Edo? Kayaknya kamu enggak suka banget sama orang itu ya, Yan? Emangnya kenapa, sih?"

Bagus, Sekar! Terus saja interogasi dia!

"Kar, denger ya ... yang benci sama Edo di sekolah ini bukan cuma aku. Kalau sekolah ngizinin, kita bisa aja bikin klub 'Ceburin Edo ke Laut' biar dia sama kemunafikannya tenggelam! Sayangnya, sekolah ini sama-sama enggak bener dengan selalu melindungi dia," jelas Vian sampai harus menggebrak meja. Beruntunglah keramaian kantin tak terlalu memedulikannya.

"Gara-gara itu kebencian ini terus aja menumpuk, enggak terlampiaskan dan bawaanku pengin gelut aja tiap ketemu Edo atau ada yang bahas soal Edo. Jadi, please ... enggak usah bahas belut parit itu lagi, paham?" tambahnya.

Sekar pun benar-benar diam dan aku semakin ingin berhati-hati. Aku tak siap bila harus dibenci sebesar itu andai Vian juga tahu sisi munafikku. Yah, aku tak siap dibenci siapa pun.

***

Menjadi siswi SMA Pelita Bangsa sudah menjadi impianku sejak SD. Alasannya bukan karena obsesi menjadi murid sekolah bonafid, tapi demi mengulang suatu momen. Momen yang jauh terjadi bahkan sebelum aku menjadi siswi sekolah ini.

Waktu itu aku masih kelas 3, tak sengaja mem-format harddisk komputer papa, kesalahan besar yang membuat papa murka. Masih kuingat betapa papa marah hingga tak bisa kukenali, hingga mama harus mengungsikanku malam itu juga.

Kami sama-sama tak tahu harus pergi ke mana, tiba-tiba saja berakhir di suatu kerumunan, pasar malam di sekolah menengah! Di sanalah aku dan mama sama-sama menghibur diri, menonton pertunjukan wayang orang sambil makan jagung bakar, menyedot minuman blender kesukaanku.

Malam itulah ... pada momen itulah aku benar-benar memiliki mama tanpa perlu berbagi dengan Sal. Tentu saja aku selalu ingin mengulang momen itu, harus sedikit kecewa setelah tahu kalau pasar malam di sekolah SMA ini hanya ada setahun sekali. Semakin besar semakin kuketahui kalau namanya Festival Budaya ... program tahunan SMA Pelita Bangsa.

Kupikir dengan menjadi siswi sekolah itu, aku bisa tampil menjadi salah satu pengisi acara, mengajak mama datang untuk menonton apa pun yang kutampilkan, menyambutku turun dari panggung dengan aplaus dan acungan jempol.

Sepertinya ... harapanku itu hanya separuh terwujud ya! Justru setelah menjadi siswi SMA Pelita Bangsa, gapura festival ini tak pernah sekalipun kulewati bersama mama. Baiklah, selamat datang, diriku seorang!

Teknisnya, Festival Budaya baru dimulai pukul tiga sore, tapi aku datang satu jam lebih awal karena harus bersiap dengan tim, mendandani Vian sedemikian rupa agar tampak teladan. Meski satu jam lebih awal, ternyata halaman utama sudah ramai dengan hilir mudik siapa pun yang bersiap.

Stan-stan bazar jajanan yang mulai dihias, juga anak-anak OSIS yang ribet di sekitar panggung mengecek sound system dan segala macamnya. Baim yang terlihat paling pusing begitu mudah kukenali dari gelagatnya. Ternyata tebakanku tidak salah, jas almamater inilah yang dicarinya, yang harus dipakai saat sambutan nanti.

"Waktu itu ketinggalan di rumah, dasar teledor!" ujarku saat menyerahkannya.

"Ya ampun, udah berapa hari, Bell? Kenapa baru bilang? Aku bingung banget carinya ke mana-mana, huhu! Pin ketua OSIS-nya enggak ilang, 'kan?" jawab Baim begitu lebaynya, perlu kuingatkan untuk berteima kasih.

Seketika bisik-bisik dan lirik-lirik di sekitar terlalu banyak untuk kusadari. Apa adegan mengembalikan jas yang tak pernah kupinjam ini terlalu menarik untuk jadi bahan gosip?

Tak berlama-lama kuladeni, telepon dari Sekar lebih dulu memberi tahu kalau dia dan Vian sudah bersiap di kelasnya. Aku tiba di sana bersamaan dengan Ros yang menjanjikan setelan jas untuk Vian.

"Cepet siap-siap, Yan ... semua finalis ikut tampil di pembukaan," ujarku tanpa banyak bicara, merebut ponsel yang dimainkannya.

"Yah, Kak Bell ... tanggung, dikit lagi! Lagian masih kurang satu jam. Kalo cuma ganti baju, lima menit aja beres, 'kan?"

"Cuma ... apa? Tolong kesadarannya ya! Kamu bakal tampil di pembukaan mengiringi kepala sekolah sama jajaran waka, tamu-tamu dari muspika juga!" balas Sekar.

"Cuma ganti baju aja ... emangnya mukamu yang licin sama minyak itu enggak perlu diurus? Rambut semrawut itu juga ... ya ampun, karena kamu enggak potong rambut, itu bakal jadi PR-ku buat merapikannya!" sahut Ros mulai mengaduk-aduk tas kosmetiknya. Sekar hanya terkikik pelan menyetujui kata-kata Ros.

"Singkat cerita, aku bakal dirias? Geli banget, ih! Emangnya salah ya kalau mau tampil apa adanya?"

"Menurutku memantaskan diri juga enggak ada salahnya. Lagipula ... apa adanya juga ada tempatnya," balas Ros mulai melakukan tugas sambil sedikit kubantu.

Mungkin ini kesempatan pertamaku melihat Ros menggunakan roh kecerdasannya. Sosok tembus pandang yang terlihat ringkih itu memancarkan cahaya lembut, sama seperti roh kecerdasan Vian di lapangan basket. Yah, aku semakin tidak ingin meremehkan siapa pun.

"Awas aja kalau gara-gara dempul Kakak mukaku sampai jerawatan!" gerutu Vian, masih terlihat setengah hati.

"Kalau riasan Ros bermasalah, anak-anak teater enggak bakal cakep-cakep! Udahlah, jangan berisik! Aku enggak mungkin pilih orang yang salah!" sahutku.

"Oh, anak teater, hm? Jago drama, dong? Seberapa sering praktik di kehidupan nyata, Kak?" tanya Vian jelas-jelas hanya meledek.

"Enggak jago-jago banget, aku cuma di tim tata rias sama busana. Lagian enggak usah terlalu memuji! Semua orang bisa drama, kok! Bahkan bisa lebih jago dari anak teater!" kata Ros tanpa sengaja malah memujiku, semakin terdengar tidak enak setelah Vian dan Sekar meyetujuinya.

Kupikir mereka bisa akur beberapa saat ... hingga akhirnya ada saja sesuatu yang Vian ributkan, mulai dari menolak pakai hairspray sampai lip balm. Kami bertiga harus sekompak mungkin memaksanya.

"Lagian ini cuma lip balm, warna natural. Biar ada sentuhan warna dikiiit aja. Bibir kamu pucet banget, tahu!" paksa Ros, lebih mirip memaksa balita minum obat.

"Mau lip blam, lip bloss, lip butler, pokok yang ada lip-lip-nya jangan paksa aku buat make, deh!" kata Vian sudah siap-siap kabur. Seseorang yang datang berikutnya seolah otomatis menghentikannya. Bagus, tepat waktu!

"Yo! Rame banget kayak ada arisan!" sapa Rian muncul sambil mengunyah permen karet, lanjut berkomentar. "Bisa kelihatan cakep juga kamu ternyata ya, Yan!"

"Amit-amit, Mas ...," jawab Vian memalingkan muka.

"Bukannya naksir, woi! Tapi kalo abis ini kamu diuber banyak cewek, boleh dihibahin satu buat Mas, 'kan?"

"Gampanglah!" balas Vian tak berselera, akhirnya pasrah saja saat bibirnya dioles lip balm, seolah memberontak di depan Rian adalah suatu pantangan. Sepanjang sisa persiapan benar-benar mulus tanpa perlawanan berkat adanya Rian.

***

Syahdu irama gamelan mengiringi masuknya barisan orang-orang penting dan tamu kehormatan. Festival Budaya baru akan resmi dimulai setelah sambutan kepala sekolah sebentar lagi, setelah Baim selaku ketua panitia selesai dengan prakatanya.

"Mas Baim kelihatan berwibawa banget ya tiap di depan umum, padahal aslinya tukang jebol lemari!" komentar salah satu anak OSIS, tak sengaja kudengar.

Entah kenapa aku sangat setuju dengan kata-katanya. Agak sebal juga melihat ekspresi Baim yang tenang dan sok serius itu, padahal nanti setelah turun panggung bakal gemetar juga.

Kuakui itu tetap keren, sih! Andai aku juga bisa mengendalikan kegugupan yang sama saat menyampaikan pidato dukungan untuk Vian nanti. Itulah tugas terakhirku sebagai mentornya, menggiring dukungan dengan membeber citra-citra positif Vian ... citra positif yang semalam lalu kukarang bersama Sekar. Ya, memang harus dikarang.

Tak pernah tampil baik dan menawan secara alami, Vian terlalu blak-blakan dengan ide dan apa pun yang terlintas di kepalanya. Dalam sesi debat terbuka ini ... entah mungkin hanya perasaanku saja, kurasa dia terlalu mengkritisi sekolah atas beberapa hal yang tidak adil di matanya.

Hampir mirip seperti Rian, tapi sepertinya Vian tidak punya rem untuk membahas mana yang harus dan tidak harus. Ketika dia tidak lagi dipanggil saat sesi unjuk bakat, saat itulah kekhawatiranku terkonfirmasi.

Vian didiskualifikasi ... dan dia tak kutemukan di mana pun setelahnya.

.Bersambung.


[This is She]

Halo, Readers Mate! Festivalnya belum kelar, jadi jangan bubar.

Yok, doinya digandeng *eh ... temennya digandeng lebih kenceng biar enggak ilang karena masih banyak keuwuan menanti di episode selanjutnya. Jadi, stay mate terus ya!

Karena scene festival budaya ada di dua episode, berarti tripel koin juga berlaku di dua episode? Iyup, kurang baik gimana coba? Jadi, buat kode referal yang muncul di episode 20-21, sama-sama bernilai koin tiga kali lipat lho!

Koinnya buat apa? Yang jelas buat dapet beragam hadiah dari Crew Mate dong!

Oke Readers Mate, makasih udah selalu pantengin Expert Mate sampai episode ini dan seterusnya :"v Kita ketemu lagi next part dengan lebih banyak keseruan. Sampai jumpa~

Supported by:

@wattpad_storyyyy

@catatanwattpad_id

@wattpad.diary

@wattpadandmovie

@wattpadquotes_id

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro