EPISODE 16 - Putus
Dulu saat masih kecil, kupikir aku takut gelap, merengek payah di pelukan Sal ketika lampu kamar tiba-tiba padam. Namun, Sal bilang kalau sebenarnya aku hanya takut sesuatu di balik kegelapan, hal-hal jahat yang tak bisa kulihat.
Terbukti setelah Sal menyalakan lilin, mengusir sebagian pekat dan akhirnya ada sesuatu yang kulihat, bayang-bayang kami. Ternyata itu tidak menyeramkan. Ternyata tidak ada monster jahat di kamar kami.
Gelap yang semula membungkusku semakin tidak menakutkan setelah mama datang membawa lilin yang lain, lalu kami bermain teater bayangan selama hampir separuh malam. Sejak saat itu aku malah menyukai suasana gelap dengan titik-titik cahaya mengelilingi. Rasanya seperti ada di antara bintang-bintang.
Sudah lama sejak terakhir kali aku bersama mereka. Hingga tadi Guna menyambutku dalam dimensi khususnya. Kilau lembut dari bola-bola aset pengetahuan Guna sama halnya seperti bintang-bintang di atas sana.
Kilau-kilau lembut yang entah kenapa sesekali masih berseliwer dalam padangan. Sesekali kukucek mata, kupastikan memang ada yang tergeletak di sebelah tangan, atau terbang di sekitar papan, tapi segera lenyap setelah mataku berkedip. Terus saja berulang seperti itu.
"Kamu enggak apa-apa, Beb?" tanya Yudi ternyata menyadari gelagatku. Gelengan sebagai jawabanku terhenti karena tiba-tiba tangannya menempel di dahiku.
"Agak panas ...."
"Enggak usah pegang-pegang! Kamu abis ngupil belum cuci tangan 'kan?!" gerutuku sebal, membuat jarak yang cukup.
Cengir lebar di muka Yudi masih menjadi satu-satunya hal yang ingin kugaruk, tapi demi menghindari keributan, aku berjanji akan melakukannya lain hari. Beruntunglah separuh kesalku segera terhibur dengan bel pulang.
Ah, kasur rebah kesayangan ... aku datang! Namun, seseorang yang tidak biasa terlihat di koridor kelas lebih dulu menghadang.
"Hei, adik ipar!" sapa Edo berakibat menolehnya anak-anak sepanjang koridor. Sebisa mungkin aku hanya terus jalan, pura-pura tidak lihat, daripada jadi tontonan banyak orang.
"Kita mentoring bareng di kelas kamu aja! Siapa tahu bisa berbagi strategi ... biar tim kita sama-sama masuk lima besar, iya 'kan?"
Tawaran Edo menghentikan langkahku seketika, sempat kulupa kalau dia menjadi mentor Vivi dan Rian. Aku bisa melihatnya sebagai penawaan cemerlang! Mungkin sesuatu yang tak bisa kulakukan lagi bisa ditangani Edo. Mimpi buruk gagalnya Sekar atau Vian lolos ke lima besar juga bisa berkurang.
"Iya, 'kan? Iya, deh! Yuk, nurut aja sama Abang! Biasain panggil aku kayak gitu ya mulai sekarang!" ajak Edo seenak jidat, tapi demi penawarannya ... untuk sementara ini aku tidak akan menolak.
Adik-adik yang kumentori pun kuundang ke kelas, tapi hanya Sekar seorang yang datang, sementara bocah tengil yang satu lagi sama sekali tidak mengingkari kata-katanya untuk mangkir dari pelatihan ini. Lihat saja nanti setelah aku tahu cara menjinakkannya ....
"Halo, halo! Karena kami pasangan yang selalu kompak sepanjang masa, kami juga bakal kompak buat sama-sama menyukseskan tim ini! Inget ya, sekarang kita berenam adalah teman!" kata Edo membuka suara lebih dulu.
"Teman ... terus nanti di lima besar jadi saingan. Untung aja aku enggak narget buat menang," balas Rian ogah-ogahan.
"Jangan terlalu polos, Bell ... aku bahkan bisa mengendus niat Edo buat lihat kelemahan tim kamu, buat dimanfaatkan setelah kita jadi saingan nanti," imbuh Vivi membuatku terenyak seketika. Menyadari hal-hal seperti itu sama sekali di luar kemampuanku.
"Heh! Kalian berdua anak buah siapa, sih?!"
"Enggak peduli di tim siapa pun, aku tetep jadi temen Bella, Do," jawab Vivi beralih ke sebelahku, "kalau boleh tuker, aku mau di tim Bella aja!"
"Aku enggak mau ikut tim siapa-siapa. Boleh pulang, enggak?" tanya Rian yang sejujurnya paling kudukung. Aku mau jadi tim dia saja ....
"Anu, kakak-kakak ...," cicit Sekar yang tanpa sadar kami lupakan. "Ku ... kupikir enggak masalah kita ada di tim mana atau jadi temen siapa. Bukannya yang paling penting bersaing secara sehat ya?"
Setelah itu tak ada yang diperdebatkan Vivi lagi. Aku akan berterima kasih pada Sekar nanti karena telah memutus cekcok tidak penting tadi.
Tak peduli menjadi mentor siapa pun, tujuan utamaku mengumpulkan bola-bola aset itu harus terpenuhi dengan membagi sedikit yang kupunya dengan orang lain agar kian mengganda. Ya, bola-bola yang sesekali hilang-lenyap dari pandanganku ini ....
***
Satu jam yang terpotong ribut beberapa menit membuatku penasaran, seberapa banyak perkembangan yang kubuat? Diam-diam ingin kutahu karena sepanjang mentoring justru Edo yang lebih mendominasi, sementara aku hanya sesekali mengiyakan atau tak jarang memberi saran yang keliru.
Ya ampun, apa aku hanya semakin menunjukkan kebodohanku? Mungkin sebaiknya besok kami mentoring terpisah saja ya ... biar aku cukup mempermalukan diri sendiri di depan Sekar seorang.
Edo dan yang lain sudah jauh dari pundakku setelah mereka menuju tempat parkir. Tawaran pulang bareng Edo jelas-jelas kutolak karena syarat memanggilnya abang tak akan kupenuhi.
Bahkan kalau semesta mengizinkannya menikah dengan Sal pun, Edo tak akan pernah kusebut abang, kecuali kalau dia jual somay keliling dan lewat depan rumah saat aku lapar malam-malam. "Bang, siomai!"
Omong-omong soal siomai, aku jadi kepikiran belok ke kantin. Barangkali kedai somay Pak Lihin masih buka meski sore begini, tapi yang kudapati hanya sepi. Oh, mungkin tidak juga.
Sepertinya aku tidak salah dengar dengan suara bincang-bincang di sekitar sini ... semakin penasaran mencari tahu setelah tak sengaja kulihat seliwer Guna-guna. Baru akan kutegur, makhluk itu lebih dulu menempelkan telunjuknya di bibir, dan kami berdua pun jadi penguping.
"Eh, gimana ya ... masa aku harus cerita soal itu, sih?! Haha, privasi, tahu!"
"Kamu juga enggak pernah cerita ke Bella? Dia enggak bakal tahu yang kamu rasakan kalau kamu cuma diem aja ...."
Detik itu juga kakiku terasa beku. Kevin mengobrol dengan Baim ... dan dia mencoba membongkar masa laluku! Demi apa Kevin harus menebalkan muka untuk tanya-tanya hal semacam itu?
"Aku udah nyuruh kamu dari jauh-jauh hari, tapi kayaknya kamu sengaja lupa, Isabella. Masa minta maaf aja harus dipaksa-paksa? Sesusah itu ya nyadari kesalahan sendiri?" kata Guna mengingatkanku tentang pembicaraan malam itu.
"Lalu sekarang apa? Kevin yang menyelidiki kekeliruanku? Kalian kurang kerjaan banget, sih!" balasku dalam hati sebenarnya mulai panik.
Bagaimana kalau memang aku tak menyadari kesalahan besar lalu Baim menceritakan semuanya? Kemudian aku hanya semakin terlihat buruk di mata Kevin, tapi beruntunglah Baim tidak mungkin menceritakan hal-hal seperti itu pada orang asing. Ya, aku yakin ....
"Waktu itu aku harus udahan sama Bella karena ... karena kupikir ...."
"Heh! Stop! Baim! Sini omongin sama aku aja!" teriakku mendahuluinya, tapi Baim tak sedikit pun menoleh, padahal Kevin jelas-jelas mendengarku, sekilas melirik.
"Kupikir ... aku terlalu enggak cocok buat Bella? Kupikir kami enggak pernah bisa setara?" jawab Baim tak kusangka-sangka. Setara apanya? Dia bicara apa?
"Itu menurut kamu atau menurut Bella? Jujur aja, yuk!" pancing Kevin.
"Itu ... menurut orang lain. Enggak peduli betapa pun di antara kami baik-baik aja, tapi dilihat dari mana pun ... ternyata emang enggak masuk akal kalau Bella yang populer dan serba-bisa mau sama cowok biasa kayak aku," jawab Baim yang ternyata ... dia bisa minder juga?
"Cowok biasa? Kamu enggak tahu ya kalau jadi ketua OSIS itu luar biasa?"
"Oh ya? Bahkan ketika aku mencoba membangun reputasiku sendiri, memenangkan pemilihan ketua OSIS tahun ini ... itu bukan hal yang luar biasa, aku enggak bakal menang kalau bukan jadi siapa-siapanya Bella!"
Detik itu juga aku kehabisan kata-kata, sama sekali tak mengira akan ada hal semacam ini di kepala Baim. Seketika aku ingin berteriak di telinganya, berteriak sekencang mungkin kalau semua prestasiku sebelumnya karena Imba!!! Karena bantuan roh kecerdasannya!
"Jadi kupikir, aku harus lepas dari bayang-bayang Bella. Kupikir kami harus udahan hari itu juga ... dan ternyata itu malah jadi kesalahan terbesarku. Aku malah kelihatan kayak manfaatin popularitas Bella, 'kan? Aku jadi kayak buang dia setelah menang, 'kan?" imbuh Baim.
Entahlah, apa Kevin akhirnya berhasil menemukan yang dia cari? Yang jelas dia harus segera menghentikan Baim. Aku sama sekali tak tahan mendengar pengakuannya. Padahal dia sama sekali tidak mendapat keuntungan apa-apa dariku, tetapi harus merasa seburuk itu. Sedangkan diriku sendiri?
Entah kenapa perasaan perlu meminta maaf ini tumbuh begitu saja. Mungkin karena aku tahu betapa mengerikannya berkecil hati. Mungkin karena aku tahu betapa lelahnya berusaha memenuhi ekspektasi orang lain yang tak ada cukupnya. Padahal aku tahu, tapi tanpa sengaja malah membuat seseorang merasa seperti itu.
"Wah, ternyata ini lebih sederhana dari yang kukira," gumam Kevin disambung tawa pelan Guna. "Kamu cukup urus sisanya ya, Bella!"
Jawabanku hanya anggukan kecil, cukup mengerti tanpa diperintah lagi. Sesaaat kemudian kevin menepuk bahu lawan bicaranya, berterima kasih dan bisa kulihat betapa linglungnya Baim. Sudah kuduga ... Baim tidak mungkin lancar menceritakan semuanya jika tidak diapa-apakan.
"Eh, iya ... maaf, aku sempet bengong ya? Kamu jadi masuk ekskul mana, Danil?"
"Aku Kevin, Pak ketos! Makasih udah cerita-cerita, bakal kupikirin dulu, deh! Sampai besok ya!" kata Kevin beranjak dari hadapan Baim, sengaja melewatiku.
Saat itulah Baim menyadari keberadaanku. Saat itulah aku berpikir ... ya ampun, aku harus minta maaf seperti apa?
"Eh, hai! Anak baru itu temen kamu, 'kan? Seru banget orangnya! Oh iya, gimana mentoring hari ini?" tanya Baim seperti biasa, sekadar basa-basi yang langsung kulompati.
"Enggak tahu, aku capek banget dikira selalu bawa keberuntungan ... Seolah siapa pun yang jadi tim Isabella otomatis bakal menang," jawabku. Lagi-lagi keterkejutan halus Baim tak bisa ditutupi.
"I ... iya ya! Padahal kamu bukan Dewi Fortuner!"
"Oh iya apaan? Bukannya kamu juga percaya? Kamu sengaja jauhi aku gara-gara minder soal itu, 'kan?"cecarku sementara Baim hanya membantah, sama sekali tidak berguna setelah alam bawah sadarnya sendiri yang berbicara.
"Terserahlah, Im ... kenyataannya aku enggak semenyilaukan yang kamu pikir. Asal kamu tahu aja ... yang paling buruk di antara kita berdua adalah aku. Kenapa kamu harus merasa minder dari orang semacam itu ...."
"Orang semacam itu gimana maksudnya? "
"Kamu jelas enggak tahu kalau ada sesuatu yang kumanfaatkan dari kamu, Im ...."
Selangkah lagi aku hampir keceplosan soal roh kecerdasan. Beruntungnya pandangan imajiner bola-bola cahaya itu seolah mengingatkanku.
Sesaat muncul meski kemudian menghilang lagi, menyisakan seutas benang yang melintang tegang di hadapanku ketika semuanya lenyap, benang cahaya yang putus begitu saja saat aku mengedipkan mata.
"Bella!"
Setelah itu tubuhku tak ada yang bisa kurasakan dari tubuhku kecuali berat, tanpa kuasa kubiarkan ditarik gravitasi. Tumbang, aku tak tahu mendarat di mana, tapi seru panik Baim masih terdengar dekat.
Setidaknya ... yang harus kulakukan sudah kuselesaikan.
.Bersambung.
[This is She]
Halo, readers Mate! Hayo, siapa yang belum tidur? Atau kalian baca ini esok pagi, siang, atau sorenya? Selamat membaca, deh, pokoknya!
Memasuki episode pertengahan, Readers Mate mau dapet spoiler apa? :v *Bunuh diri apa gimana sih nawarin spoiler segala :v
Tapi serius, lho! Andai Bella udah bisa nemuin roh kecerdasannya, bakal dididik kayak gimana ya? Atau Readers Mate bisa nebak roh kecerdasan Bella ahli di bidang apa? Selamat berkonspirasi ria~
Okay, terima kasih sudah mampir kali ini. Jangan lupa besok She masih akan kembali dengan part baru. Sabarlah menunggu dan sampai jumpa!
Belia Writing Marathon 4, Supported by:
@wattpad_storyyyy
@catatanwattpad_id
@wattpad.diary
@wattpadandmovie
@wattpadquotes_id
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro