EPISODE 15 - Aset
"Semangat ya, Bebi! Siapa pun yang dapat mentor sehebat kamu pasti beruntung banget!"
Kata-kata Sal di telepon semalam terngiang di telingaku. Terlepas dari mana dia tahu soal mentoring itu, Edo yang sok kenal sok dekat pasti banyak memberi tahu. Yang jelas, dua kata terakhir Sal cukup mengganggu.
Beruntung banget ... beruntung dari mananya? Semua orang mengira bahwa berada di Tim Isabella otomatis bisa memenangkan segalanya, seolah membimbing Sekar atau Vian ke lima besar adalah suatu keharusan.
Jangankan mengajari anak orang, apalagi mendorong mereka memancarkan sinar masing-masing. Aku sendiri hanya membawa obor padam, tak ada yang bisa kuterangi. Bahkan untuk ulangan biologi hari ini aku tidak bisa menolong diri sendiri, padahal sudah belajar dari jauh-jauh hari.
Saat pembagian kertas hasil ujian itulah aku ingin lari. Perbedaan cara mengerjakan sendiri dengan minta bantuan roh kecerdasan teman-teman sungguh menghasilkan kecemasan. Terlebih setelah Bu Lis mengumumkan nilai-nilai hasil ulangan ... angka yang disebutkan setelah namaku mengabulkan kekhawatiran.
"Tumben dapat enam puluh, Isabella? Biasanya dapat seratus sepuluh," komentar Bu Listiyah dan perasaanku memburuk seketika. Seratus sepuluh ... peringkat satu seperti Vivi bahkan tidak pernah mendapat gurauan semacam itu.
"Tidak masalah, 'kan, Bu? Akhirnya sesekali saya ditemani Bella remedi!" sahut Yudi dengan muka seperti kertas ulangan ini, ingin kuremas sampai kusut, tapi cengirannya hanya semakin lebar setelah kupelototi.
"Semangat, Bella! Jangan tertular malas Yudi lebih banyak ya!" kata Bu Lis lanjut mengumumkan nilai ulangan hingga absen terakhir. Seperti penutup yang mengagumkan, dua urutan absen terakhir begitu menyilaukan dengan nilai mendekati sempurna.
Aku hanya bisa membuang pandangan keluar jendela saat Vivi dan Kevin bergantian menerima hasil ulangannya, tapi telingaku tetap tak bisa selamat dari berbagai kasak-kusuk rendah di sekitar.
Komentar tentang kehebatan Kevin atau keberuntungan Vivi sebagai teman sebangkunya ... ya, begitulah keberuntungan yang sebenarnya!
"Beb, sekali dapat enam enggak bakal bikin nilai rapor kamu anjlok!" kata Yudi setelah Bu Lis keluar, jam istirahat dan aku enggan ke mana-mana.
"Lihat, tuh ... Ros yang enggak pernah tembus angka lima puluh masih happy-happy aja! Kertas ulangannya malah buat main pesawat-pesawatan!" imbuh Yudi sambil menunjuk cewek yang dimaksud.
Ya ampun, seapatis itu ya? Padahal aku dan Ros sejatinya sama, 'kan? Aku dan Ros yang sama-sama sesak napas dengan berbagai tekanan, tapi entah kenapa dia tetap terlihat bebas ... dan di situlah letak perbedaan besar.
"Kalau kamu masih sedih aja, aku bakal nyanyi, nih, Beb! Request aja, mau lagu apa?" tanya Yudi mulai menggenjreng gitar bututnya.
"Udahlah, enggak usah nyanyi, Yud!" balasku tak berselera, memalingkan muka.
"Oke, kalau gitu Bebeb Bell aja yang nyanyi!"
Tanpa kusetujui, Yudi memulai intro lagu yang tak begitu asing. Karena Sal sering menyetel kencang-kencang di kamarnya, aku kenal ini lagu salah satu rapper Indonesia.
"Janganlah kau bersedih, 'cause everything's gonna be okay!"
Buru-buru mengangkat wajah, aku terkejut karena suara Yudi yang kering seperti keledai tercekik tiba-tiba terdengar jernih dan tenang. Memang mustahil jika tadi itu suara Yudi. Semringah di wajahku terbit hanya karena tahu kalau Kevin yang mengisi lirik tadi! Sayang sekali, Yudi malah mengehentikan petikan gitarnya.
"Suka lagu-lagu Bondan F2B ya, Yud? Aku juga, lho!" kata Kevin ikut nimbrung di bangku depan kami.
"Oh, siapa? Siapa yang tanya?!" balas Yudi sewot, tapi untuk pertama kalinya aku rela memohon agar dia lanjut memainkan gitar. Sebaris lirik dengan vokal merdu Kevin terlalu sedikit untuk kudengar.
"Beb, aku cuma mau main gitar kalau kamu yang nyanyi!" bantah Yudi.
"Iya, aku nyanyi sama Kevin. Kamu ngiringi kita ya! Oke, Yud? Oke, deh!" balasku tak mau berlama-lama, cukup tahu Yudi tak akan menolak permintaanku.
Apa pun yang terjadi sebelum istirahat tadi sejenak terlupa. Bagaimana tidak? Meski hanya menyanyikan bagian reff, bagaimanapun saat ini aku sedang berduet dengan Kevin! Ah, mimpi apa aku semalam ya?
Nada dari suara tenang Kevin tak pernah mengingkari iringan gitar Yudi. Caranya menyanyikan bagian rap sama sekali berbeda dari Yudi yang terdengar seperti orang kumur-kumur. Untuk pertama kalinya aku benar-benar paham maksud lagu itu. Untuk pertama kalinya ... ada sebuah lagu yang bisa menyembuhkanku!
Yang bertepuk tangan di akhir lagu bukan hanya aku, tapi teman-teman lain tanpa kusadari juga menyimak dari tadi. Bahkan Vivi merekam kami bertiga dalam live instagram lewat akun kelas. Ya ampun, semoga penampilanku tidak memalukan!
"Makasih sudah bergabung, guys! Boleh banget request lagu buat live selanjutnya! Salam dari @ndro_ae 'Mas Yudi cuci muka dulu!' eh, ya ampun ...."
"Wah, Vi, keterlaluan! Kalau mau live bilang-bilang dulu, dong!" protes Yudi dan tawaku menyetujui akun @ndro_ae tadi.
"Udah 'kan, Bell? Jangan lama-lama sedihnya ya, apalagi cuma gara-gara kena remedi!" kata Kevin setelah Yudi pergi, meminta rekaman live tadi. Wah, ternyata dia sengaja menghiburku? Semoga terima kasihku tidak terdengar malu-malu!
"Lagi pula nilai seribu pun bukan berarti keberhasilan, lho! Sesuatu yang dihafal demi nilai seribu itu bisa hilang kapan aja kalau enggak dimanfaatkan lagi," lanjutnya dan aku mengernyit tidak mengerti. Dimanfaatkan lagi, hm?
Embus udara karena kipas angin di atasku tiba-tiba menyapu kertas ulangan di atas meja, jatuh ke lantai. Saat itulah aku tak sadar Kevin juga sama-sama membungkuk hendak memungutnya. Sekian detik terasa canggung setelah kusadari tangan kami bersentuhan, tetapi detik berikutnya aku malah dibuat terbengong-bengong.
Hening, tidak ada lagi ruang kelas dengan pecah tawa geng rumpi Firda atau ricuh mabar Rian dan teman-teman cowok lain. Gelap yang nyaris menelanku cukup tertandingi dengan cahaya biru temaram di lantai, dari pancaran bola-bola cahaya yang melayang setinggi betis.
"Ini ... di mana?" gumamku lirih.
"Selamat datang di dimensi khusus Adiguna! Jangan jauh-jauh dari bola-bola cahaya ini kalau enggak mau gelap-gelapan ya!" sambut seseorang ternyata sudah berdiri di sebelahku. Seketika aku merinding karena dia bisa bicara seramah itu. Ini masih Guna-guna yang kukenal, 'kan?
"Dimensi khusus? Hm, aku ... enggak ngerti!" jawabku sambil memuaskan diri meperhatikan sekitar. Sejauh yang kupandang tak ada dinding di sekeliling sini. Bagaimana bisa Guna-guna punya ruang imajiner seluas ini?
"Memang aneh, biasanya cuma Kevin yang bisa kupaksa masuk ke sini, tapi kamu ... kamu malah otomatis terisap ke sini hanya karena menyentuh tangan dia. Tahu alasannya, Isabella?" tanya Guna yang kubalas geleng. Mungkin karena agak remang, senyumnya lebih terlihat seperti seringai.
"Mungkin karena kalian pernah terjebak dosa yang sama. Barangkali dengan kesempatan ini ... dengan apa pun yang bisa kamu lihat di sini, kamu bisa selamat dengan sisa waktu yang ada. Iya, 'kan?"
Bola-bola cahaya di sekitar kakiku tiba-tiba terangkat setinggi bahu, melayang-layang cukup cepat dan aku semakin tidak mengerti. Oh, harusnya Kevin membiarkanku pergi ke sini dari dulu!
"Tenang aja, Vin ... Kita udah sepakat mau bantu Bella, 'kan?"
"Jangan ngobrol sendiri, Guna! Ini bola-bola apa? Kenapa mendadak muter-muter panik kayak gini, sih? Pusing banget lihatnya!" protesku.
Sempat kudengar tawa kecil Guna sebelum dia menjawab. Yah, untuk pertama kalinya aku tahu Guna bisa tertawa. Cuma satu detik, tapi senyumnya masih tersisa.
"Ini aset-asetku, Isabella. Aku sama Kevin harus ngumpulin mereka sebanyak-banyaknya. Kalau enggak, tempat ini bakalan gelap. Aku bisa kelaparan dan tersesat," jawab Guna memainkan salah satu bola cahaya itu. Mungkinkah ... ini inti pengetahuan yang biasa dia serap saat Kevin belajar?
"Keren! Aku kaget kalian cuma punya sesedikit ini. Apa masih ada di ruangan lain?" tanyaku mencoba menyentuh salah satu yang seukuran bola sepak, tapi tanganku menembusnya. Ternyata cuma Guna yang bisa menyentuhnya.
"Enggak ada yang lain. Semua aset ini kutimbun, kuolah, dan hancur di tempat ini juga."
"Hancur? Mereka bisa hancur juga ya?"
"Tentu saja, Isabella ... semua informasi yang kuserap memadat menjadi bola-bola ini, tertimbun sampai beberapa waktu. Mereka bakal hancur kalau cuma ditimbun dan dibiarkan, itulah yang disebut lupa ... tapi jika Kevin memintaku memanfaatkan mereka lagi, ada yang bisa terus membesar dan bersinar," jelas Guna.
Oh, jadi itu yang dimaksud Kevin tadi. Memanfaatkan lagi sesuatu yang sudah dia punya!
"Dan apa kamu tahu? Berbagi aset sama roh kecerdasan lain jadi cara favorit buat memanfaatkan sesuatu yang kupunya. Asetku bisa mengganda lebih banyak daripada dipakai buat Kevin sendiri," kata Guna sejenak terdengar sangat menjanjikan.
Untuk pertama kalinya aku paham sesutau dengan cepat. Yah, mungkin Kevin sendiri sudah pernah memberi-tahuku, tentang memberi asupan pengetahuan untuk roh kecerdasan orang lain! Kesempatan bagusku untuk saat ini memang hanya mentoring itu.
Mungkin memang tidak perlu menunggu diriku sehebat yang dibayangkan orang lain. Karena dengan sedikit pengetahuan yang kupunya sekarang ... yang sedikit itu ternyata tidak akan bertambah jika aku tidak membagikannya.
"Keren ya! Kayaknya aku harus sering-sering datang ke sini buat menyadari banyak hal," ujarku tersenyum kecil. Jeda hening yang panjang membuatku curiga Guna menghilang, tapi rupanya dia masih di sini, lagi-lagi tertawa kecil.
"Dasar cewek sakit! Cuma manusia enggak waras yang betah di tempat kayak gini," jawab Guna memainkan kilauan benang yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Bahkan Kevin sendiri enggak mau kubawa main ke sini lagi ...."
Salah satu ujung benang itu melayang rendah di depan mata. Belum sempat kusentuh, tiba-tiba Guna dan dimensi khususnya lenyap dari pandangan. Saat itulah aku terenyak, kembali ke realita. Yudi yang meminta rekaman live instagram dari Vivi, ricuh serapah Rian saat mabar, pecah tawa geng rumpi Firda ... serta satu pertanyaan yang segera menodongku.
"Kamu enggak apa-apa, 'kan?" tanya Kevin dari bangku di depanku, di posisi terakhir obrolan kami. Aku hanya menggeleng riang demi mengusir kekhawatirannya.
Embus udara karena kipas angin di atasku tiba-tiba menyapu kertas ulangan di atas meja, jatuh ke lantai. Saat itulah aku dan Kevin tak mengulangi adegan yang sama.
.Bersambung.
[This is She]
Hai, Readers Mate!
Speechless sekali She akhir-akhir ini, enggak nyangka udah mendekati pertengahan aja baik BWM mau pun perkulyahan. Dalam hati berharap semoga bisa terus balance mengerjakan keduanya. Kadang pengen juga dinyanyiin sama Kevin biar yakin everything's gonna be okay :"v
Ada yang mau dinyanyiin sama Kevin juga nggak? Atau disentuh tangan biar bisa berduaan sama Guna di zona nyaman ... eh, zona khusus maksud She :D
Makasih udah mampir di episode ini dan sampai ketemu part selanjutnya~
Belia Writing Marathon 4, Supported by:
@wattpad_storyyyy
@catatanwattpad_id
@wattpad.diary
@wattpadandmovie
@wattpadquotes_id
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro