EPISODE 1 - Trik Ajaib
Hai Readers Mate,
Selamat datang!
Degup jantung kalian berdendang?
Itu tandanya Expert Mate datang!
Sebelum baca, boleh dong klik tanda bintang ><
~Selamat membaca~
Vivi yang kecanduan baca artikel sains itu pernah memberitahuku soal hasil penelitian terbaru. Kapasitas maksimal otak manusia sekitar 1000 TB, artinya seribu kali lipat dari kapasitas penyimpanan laptopku. Mungkin karena itulah kepala ini harus dijejali belasan mapel di sekolah. Biar tidak mubazir kali ya!
Masa kapasitas otak yang selega itu cuma buat diisi tiga atau lima mapel saja! Sayangnya, itu buat ukuran otak manusia, 'kan? Ukuran otak ayam seperti punyaku mungkin lain lagi. Oke, jangan belasan. Satu saja dulu. Biologi, cabang sains yang coba kutekuni karena tidak ada bau-bau angka.
Begitu percaya dirinya aku saat UTS kali ini, berharap nilai bioku tembus delapan puluh, tapi yang namanya otak ayam ya ayam aja! Setengah jam pertamaku habis cuma buat baca soal, lewati yang tidak bisa, kerjakan yang gampang dulu. Pada akhirnya soal yang menurutku gampang cuma ada tujuh dari empat puluh soal.
Yang benar saja! Target delapan puluhku mana bisa tembus hanya dengan jawab segitu? Lalu ... tiga puluh tiga soal sisanya bagaimana? Ya sudahlah, tidak ada yang bisa kuandalkan lagi selain ....
"Vivian! Vivian! Vivian!" bisikku lirih.
Sosok tak kasat mata menyerupai Vivi seketika muncul di sebelahku. Sebenarnya ada banyak sosok tak kasat mata yang kulihat di sesi ujian ini, tapi yang paling cantik dan bersinar hanya Vivian, roh kecerdasan spesialis tiga cabang sains. Ya, kali ini tidak ada yang lebih cocok kuandalkan selain roh kecerdasan punya Vivi.
"Kamu memanggilku, Bella?" tanya Vivian.
"Iya, nih! Aku butuh bantuanmu! Tolong ya!" pintaku.
"Oke, tapi aku tidak bisa lama. Vivi juga membutuhkanku."
"Siap, aku paham, kok!"
"Setelah sepuluh menit aku akan kembali ke Vivi dan kamu tidak bisa memanggilku lagi hingga beberapa saat."
"Aduh, iya, Vivian! Buruan!" ujarku tak sabar karena dia masih saja bawel. Yudi yang duduk di sebelahku bahkan sampai menoleh.
"Kamu ngomong sama siapa, Beb?" tanyanya penasaran. Cowok ceking itu tidak sempat kupedulikan karena menyatunya Vivian bersamaku menghadirkan sensasi ringan, sayang banget kalau tidak dinikmati.
"Beb?"
"Aku enggak ngomong sama siapa-siapa, Yud! Kayaknya cuma perasaan kamu aja, deh!" jawabku kembali membuka mata, "dan jangan panggil aku Beb! Kita enggak ada hubungan bebeb-bebeban!"
Lagi-lagi tatapan penuh penasaran Yudi kembali kuabaikan. Buru-buru kembali ke soal pertama, aku tidak mau menyia-nyiakan sepuluh menit yang diberi Vivian. Ajaib memang, dengan Vivian yang sekarang mengisi sebagian kepalaku, soal-soal yang tadi seperti tidak ada jawabannya tiba-tiba bisa kumengerti.
Aku sempat penasaran bagaimana keadaan Vivi yang ditinggalkan Vivian, tapi menoleh ke belakang hanya akan membuang sekitar lima detik waktu berharga itu, jadi aku tetap fokus dengan urusanku sendiri. Maaf ya, Vi! Pinjam sebentar, kok! Tapi sungguh tak kusangka, sepuluh menit yang setara enam ratus detik harus sesebentar ini. Tiba-tiba saja Vivian sudah harus pamit.
"Apa enggak bisa nambah sedikit lagi? Tanggung, kurang lima soal lagi, nih!" ujarku nego.
"Tidak bisa, Bella. Aku harus pergi," jawab Vivian kalem, tapi aku malah senewen.
"Kenapa sekarang cuma sepuluh menit aja, sih? Dulu-dulu enggak dibatasi, 'kan?" tanyaku hanya dibalas senyum tipis hingga akhirnya Vivian perlahan lenyap.
"Eh, ya udah, deh! Makasih banyak, ya!"
"Sama-sama, Bella!"
Vivian sudah kembali mendampingi Vivi saat kutengok. Pak Hendra yang mengawasi ujian dari belakang kelas mengangkat alis, memergoki gerak-gerikku. Buru-buru balik hadap ke depan, semoga saja Pak Hendra tidak mengira aku minta sontekan. Ya, aku memang tidak akan menyontek, kok!
Fotokopi catatan diperkecil yang disembunyikan di kaos kaki, nulis hafalan penting di paha, atau kode tangan buat komunikasi sama teman, itu semua terlalu berisiko kalau Pak Hendra yang jaga ujian. Trik nyontek macam apa pun pasti bakal ketahuan, kecuali trik super ajaib punyaku ini, dengan pinjam roh kecerdasan orang lain. Tidak merugikan siapa pun, tidak meninggalkan bukti kecurangan. Aman, deh, pokoknya!
"Rosalita!"
Tuh, 'kan! Pak Hendra memang bukan menegurku, tapi tetap saja kaget! Tak terbayang kalau aku ada di posisi Ros, terciduk kode-kodean sama Rian. Untung saja Pak Hendra sedang baik, mereka cuma ditegur. Biasanya yang terciduk Pak Hendra bakal dipaksa log-out.
Oke, tenang saja ... tinggal lima belas menit lagi. Aku masih ada lima soal kosong, nih! Apa kubiarkan saja ya? Oh, tidak, tidak ... aku sudah janji untuk totalitas dalam mengerjakan sesuatu. Oke, totalitas!
"Rianez! Rianez! Rianez!"
Kemudian sosok tembus pandang yang lebih ganteng dari Rian muncul. Kilau cahayanya memang tidak seterang Vivian, tidak seterang ketika ujian bahasa Inggris, tapi karena Rian pemegang peringkat tiga di kelas, aku percaya dengan roh kecerdasannya.
"Hai, Bella! Kamu butuh bantuanku?" sapa Rianez.
"Iya, nih! Kayak biasa, hehe!"
"Oke, tapi aku hanya bisa membantumu sepuluh menit saja. Setelah itu ...."
"Setelah itu kamu harus balik ke Rian lagi. Oke, aku ngerti!" jawabku cukup tahu apa yang akan dia katakan. Sebenarnya agak sebal karena Rianez pun harus sama buru-buru seperti Vivian tadi.
Kenapa harus sepuluh menit? Dia pikir ada banyak yang bisa dikerjakan dalam hitungan enam ratus detik itu? Tapi berhubung hanya tersisa lima soal lagi, ya sudahlah! Sepuluh menit lebih dari cukup, kok! Sensasi ringan di kepala kembali kurasakan setelah Rianez menyatu denganku, menggarap lima soal terakhir.
Hm, enak ya kalau punya roh kecerdasan! Orang-orang seperti Vivi atau Rian yang punya roh kecerdasan keren pasti jarang sakit kepala waktu ujian begini. Termasuk anak-anak lain dengan roh kecerdasan biasa-biasa saja, itu tetap sesuatu yang harus disyukuri, sementara yang terlahir tanpa roh kecerdasan seperti aku begini ....
Ah, iya, aku memang tidak punya roh kecerdasan sendiri –aku tak pernah melihatnya, tapi anugerah kemampuan melihat dan memanfaatkan roh kecerdasan orang-orang di sekitarku ... berkat itulah aku tak pernah jatuh dari peringkat tiga besar. Bukankah lebih bagus begitu?
Eits, jangan dikira aku tidak pernah berpikir ya! Sejak pertama kali bisa melihat roh kecerdasan dua tahun lalu, tidak sebentar aku menimbang-nimbang. Apakah caraku benar dengan memperlakukan mereka seperti ini? Apa yang kulakukan ini termasuk kecurangan?
Hei, tapi bukankah takdir lebih curang? Masa cuma aku seorang yang tidak punya roh kecerdasan? Ros yang paling terempas di peringkat terakhir saja masih punya, meski roh kecerdasannya jelek minta ampun karena tidak pernah diurus.
Jadi, begitulah ... ini semua adalah bentuk keadilan Tuhan. Karena hanya aku yang tidak memiliki roh kecerdasan, aku boleh pinjam punya orang lain. Gratis, tanpa syarat atau efek samping memberatkan. Itu baru namanya keadilan sosial bagi hamba yang menderita!
Toh, dengan kemampuan ini aku tidak merugikan siapa-siapa. Mereka yang sering kujadikan langganan pinjam roh kecerdasan sama sekali tidak berkurang kepandaiaannya. Lantas kenapa aku harus ambil pusing? Yang penting aku tidak menelan jatah kaum fakir. Yang penting aku tidak menggarong hutan sampai kerontang. Yang penting ... ya, masih banyak hal penting lain untuk diributkan.
Waktu ujian pun berakhir. Sistem ujian yang berbasis komputer dan ponsel pintar memungkinkanku langsung bisa melihat nilai sebelum log-out. Angka yang muncul di layar ponselku menebar semringah senyum di wajah. Wuooo, aku harus pandai-pandai menahan diri buat joget Ampun Bang Jago. Targetku tembus! Tembuuusss banget! Ah, dengan ini berakhirlah pekan UTS semester tiga masa SMA.
"Yuhuu, Gengs! Makan di kantin, yuk! Hari ini aku yang traktir!" ujarku mengejar Ros dan Vivi yang sudah menuruni tangga. Harusnya aku juga mengajak Rian. Dengan kata lain, beginilah caraku membalas roh kecerdasan mereka.
"Makasih, Bell! Berdua sama Ros aja ya! Aku mau ada bimbingan olimpiade, nih!" balas Vivi ternyata sudah menggamit buku tebal-tebal ... yang selalu membuatku merinding. Seolah sensasi ketiban buku semacam itu masih berbekas di kepalaku.
"Oh, ya udah, deh ... Lain kali aja kalau sekarang kamu enggak bisa," jawabku buru-buru pergi, mengabaikan rengek Ros karena batalnya acara traktiran tadi. Kenapa aku harus merogoh kocek buat seseorang yang tidak bisa kumanfaatkan?
"Mbak ... Mbak, maaf, mau tanya!" tegur seseorang bermasker menghentikanku. Sepertinya dia baru keluar dari ruang kesiswaan.
"Iya, Mas?" balasku memerhatikannya yang tidak mengenakan seragam. Jelas-jelas dia bukan siswa sini, deh!
"Toilet di mana ya, Mbak?"
"Aduh, Mas! Udah tahu saya enggak bawa-bawa toilet malah ditanyain!" dengusku sebal, cepat-cepat melenggang. Pertanyaan dia itu, lho, ya ampun! Ngajak ribut!
~Bersambung~
[This is She]
Hai, Readers Mate! Jumpa lagi kita di episode 1 ini!
Waktunya udah terpaut dua tahun dari prolog, tapi masih inget kan sama cowok yang auto ditembak Bella? Sorry, belum kasih kejelasan di part ini, siapa dia dan sekarang di mana setelah Bella SMA? Buat lebih jelasnya, pantengin terus episode selanjutnya ya!
Oh iya, sekadar info, nih! Ide cerita Expert Mate ini terilhami dari kata-kata guruku. Beliau bilang,
"Ilmu dan pengetahuan sejatinya dua hal berbeda. Orang yang berpengetahuan belum tentu berilmu. Ilmu ibarat (...) ia merasuk dan melekat dalam diri kita."
Hayo, titik-titik di atas harusnya diisi apa? Wkwkwk, yang udah lihat postingan Instagram Expert Mate pasti bisa jawab dong ya! Oke, deh! Terima kasih masih setia mampir buat Expert Mate.
Terima kasih juga buat pihak-pihak yang mendukung BWM 4 berikut ini:
@wattpad_storyyyy
@catatanwattpad_id
@wattpad.diary
@wattpadandmovie
@wattpadquotes_id
Sekian dulu, sampai jumpa episode selanjutnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro