Bel berbunyi. Mengusir aktivitas para siswa Elite Private High School yang sibuk dengan dirinya sendiri. Ada yang kocar-kacir berlarian menuju kelas, ada beberapa senior tetap asyik menyiuli junior baru yang buta akan orientasi, serta terlihat segerombolan junior seksi yang tampak dengan sengaja memamerkan lelukan tubuhnya agar digodai para senior berhidung belang. Namun, hal tersebut tak berlaku bagi siswa kelas unggulan.
Shawn, siswa kelas 11-unggulan sedari 7 pagi telah duduk di bangku terdepan. Ia membawa ransel hitam bersimbol phi (p). Tepat di bawah phi terdapat angka 3,14 dan beberapa tulisan seukuran nano memenuhi tasnya. Jika diperbesar menggunakan teknologi Amstrong maka akan tampak jutaan deret phi yang ditulis secara acak dengan tangan.
"Enyah kau dari pandanganku!" bentak Athalla sembari menyenggol Shawn. Membuat Shawn tersungkur bersamaan dengan kursi dan seisi tasnya. Dahinya mengerut, giginya pun berpagar dan saling beradu getar. Namun, seberapa banyak emosi yang menguasai Shwan, tak pernah sekalipun ia dapat mengalahkan Athalla. Entah karena alasan apapun Shawn selalu mengalah terhadap Athalla. Hal tersebut membuatnya menjadi korban bully-an sekelas. Tak terkecuali Richard Kevin, seorang kutu buku yang tak kalah payah dengan dirinya.
"Ma-af kan aku Shawn. Lebih baik aku begini daripada harus menjadi santapan Athalla," bisik Richard setelah menerjang jauh kacamata Shawn.
"Ini kacamatamu sayang. Maafkan aku karena telat dan membuat semuanya kacau," suara yang begitu hangat di telinga Shawn datang sembari memberikan kacamata yang telah retak ditendang Richard.
"Te~terima kasih sayang," ucap Shawn sembari mengenakan kacamata. Elizabeth tampak kesal dan hendak pergi ke arah Richard. Dari kejauhan tampak Richard menutup wajahnya dengan buku, namun, getaran hebat terasa di mejanya.
Athalla menatap dingin Shawn yang sedang merapikan hamparan buku dan alat tulis yang berantakan pasca dikacau Athalla. Manik mata Alizabeth bertemu dengan Athalla, iris mata yang berwarna biru keunguan beradu warna maroon milik Athalla. Ia menghempaskan kupluk biru yang ia kenakan ke lantai. Rambut twin-drill pgtails bernada sama dengan kupluknya berkibar indah menepis muka Shawn.
Shawn terpana dengan tatapan bodohnya. "Cantik." Jantungnya berdebar kencang, ia sangat kesal dan ingin membalaskan setiap bully yang menerpa dirinya. Namun, di lain sisi ia tak ingin Elizabeth dipanggil ke ruangan konseling karenanya. Seperti beberapa bulan sebelumnya.
Shawn menarik blazer Elizabeth. "Jangan. Aku tak mau hal yang sama terulang kembali, Liz."
"Ta ... tapi perbuatan mereka salah dan kita harus memberikan hukuman kepada mereka." Elizabeth semakin emosi dan hendak memberikan langkah pertama kepada Athalla. Seketika Shawn bergerak cepat dari bangkunya dan menyambar pipi putih Elizabeth.
"Sha ... Shawn," ucapnya terbata. Elizabeth berusaha untuk menutupi rona merah akibat Shawn dengan kedua tangannya. Namun, bukannya mendinginkan gejolak di batik Elizabeth, Shawn malah merangkulnya erat. Elizabeth semakin kikuk dan tak hilang kendali atas dirinya sendiri.
"Cih! Alay," gerutu Athalla dari kejauhan.
Beberapa menit berlalu, namun sang guru belum masuk ke dalam kelas. Entah mengapa langit di luar kelas mendung dan diiringi gemuruh kilat dan hujan lebat. Sesekali fibrasi yang ditimbulkan menghantam kaca kelas sehingga membuat beberapa siswa ketakutan. Athalla yang gusar melihat hal tersebut berusaha untuk keluar kelas.
"Enyahlah kalian wahai para pengecut!" Athalla memukul meja dengan kuat dan berjalan menuju pintu. Namun, berapa kali pun ia mencoba pintu ruangan kelas 11-unggulan tak dapat terbuka. Seperti ada seseorang yang menguncinya.
Pa. Bukakan pintu kelasku!
Ia mengirim pesan ke papanya sembari tersenyum picik. Ia kembali ke tempat duduk dan melihat Shawn sedang menulis beberapa angka pada halaman belajarnya. Athalla memberikan satu tendangan aliran naga emas tepat di depan muka Shawn.
"Tak cukupkah kau retakkan kacamatanya!" tangkis Elizabeth yang baru kembali dari lucid dream-nya. Athalla menatap dingin Elizabeth, namun ia tak bergeming sedikitpun. Sisa ilmu capoera yang ia pelajari sewaktu pendidikan dasar teramat berguna.
Shawn yang melihat pertikaian antara Athalla dan Elizabeth, lantas memegang tangan Elizabeth. "Liz, kamu tahu seberapa kompleks hubungan aku dengan keluarganya Edgar dan Athalla."
Athalla kemudian menghempaskan kakinya ke lantai secepat mungkin. "Jangan pernah kau sebut nama mereka lagi. Aku muak!"
"Ta~tapi...."
"Berhenti untuk peduli padaku! Kau bukan siapa-siapa! Jangan kau pikir bahwa dengan tinggal bersama! Kau sudah menjadi keluarga!" Athalla bergerak cepat dan lepas kendali. Saking cepatnya Elizabeth tak dapat menahan bogem mentah yang terlanjur mendarat di wajah Shawn.
"Bajingan!" teriak Elizabeth berlari mengejar Athalla hendak membalas bogem yang didaratkan Athalla.
Suasana yang memanas membuat seisi kelas ikutan panas. Beberapa ada yang menyoraki dan mendukung Athalla, di lain sisi mendukung Elizabeth. Namun, ada beberapa kutu buku kelas seperti Richard dan Magdalena yang tak menghiraukan pertikaian tersebut.
***
[Beberapa waktu yang lalu]
"Eh, Mr. Tic Tac Toe kenapa di sini?"
"Emangnya kenapa? Apakah ada yang salah dengan keberadaanku di sini Ms. Felice?" jawab Mr. Brandon sembari memainkan Tic Tac Toe.
"Apakah ia benar-benar lupa seperti biasanya?"
"Ms. Felice sepertinya aku ada kelupaan sesuatu. Tapi apa ya ...?" tanya Mr. Brandon sembari menggaruk kepala bagian tengahnya yang sudah sula dan termakan usia.
"Dasar pria renta. Kan sudah kubilang kepada kepala sekolah untuk tidak mempercayakan posisi wali kelas kepada Mr. Tic Tac Toe. Apalagi untuk kelas unggulan. Ambyar." Ms. Felice menepuk jidatnya beberapa kali. "Mr. Tic Tac Toe yang terhomat. Bukankah engkau seharusnya memberi arahan pertama kepada anak kelasmu?" Tunjuk Ms. Felice tepat di depan hidung Mr. Brandon
"Aku merasa ... Tic Tac Toe lebih penting daripada bimbingan. Lagi pula mereka kelas unggulan. Sepatah dua kata dari pria tua renta sepertiku tak akan banyak membantu kondisi psikis mereka. Apalagi di sana ada Athalla. Aku merasa harga diriku akan semakin diinjak." Jawabnya pesimis. Ia lantas mendekap tangan Ms. Felice dan mencium tempurung tangannya dengan lembut. "Untuk apa aku menyia-nyiakan waktu untuk berdua denganmu?"
"Ah ... Brandon," desah Ms. Felice lembut. Seketika ia menampar pipi pria yang baru saja mencium tangannya. "Kau pikir aku akan bertindak seperti yang kau harapkan Tic Tac Toe? Enggak!"
"Ta~tapi ... kisah kita di masa lalu?"
Ms. Felice tak menghiraukan perkataan dari Mr. Brandon. Ia hanya sibuk bermain dengan smartphone miliknya. "Apakah kau mau kepala sekolah tahu bahwa seorang Mr. Tic Tac Toe kabur di hari pertama mengajarnya? Apalagi ada anaknya di sana." Ancam Felice.
***
"Shawn! Kau tahu kan seberapa dekat aku dengan bully! Dan aku tak mau kau diperlakukan hal yang sama! Lantas kenapa kau berlari menangkapku sebelum aku sempat memberikan apa yang layak ia dapatkan?"
"Tak semua hal jahat harus dibalaskan setimpal. Hati putihmu akan menghitam persis seperti yang ia inginkan Liz. Lantas apa yang membedakan kita dengan dia?"
"Mulai. Seperti anak suci yang tak berdosa. Dasar Shawn."
Shawn menggaruk kepala bagian belakang, bukan karena ia gatal. Namun, ia tersipu malu karena dipuji oleh kekasihnya tersebut.
"Oh, iya sayang. Bagaimana dengan kacamatamu? Apakah masih layak untuk digunakan?"
"Masih kok. Meskipun agak kabur." Beberapa kali Shawn mengedap-ngedipkan mata untuk mengatur fokus penghilahatannya dengan objek yang hendak ia pandang dengan detil. Entah kenapa bentuk gambar yang dihasilkan tak bisa sejelas sebelumnya. Apakah karena tersungkur oleh Athalla atau karena diberi bogem mentah olehnya? Ia tak lagi memungsingkannya. Satu jawaban yang dapat ia berikan untuk sang kekasih adalah baik-baik saja. Ia tak ingin membuat pacarnya semakin khawatir.
Seketika terdengar dering pesan masuk silih berganti dari semua siswa, termasuk Shawn.
Welcome to Excel World
"Excel World? Apa ini?" Shawn membalikkan badan dan melihat semua siswa mulai pingsan satu per satu. Richard dan Magdalena tergeletak di lantai dengan buku yang menutup wajahnya. Athalla kehilangan kesadaran dalam posisi duduk tegak. Sedangkan Elizabeth yang hendak jatuh ke arah lantai sempat Shawn tahan dengan sisa tenaga yang ia miliki.
Tubuh Shawn memberat, gravitasi yang ia rasakan meningkat dua hingga tiga kali lebih kuat daripada biasanya. Kepalanya pusing hebat, ingin sesekali ia menghentakkannya ke meja. Namun, ia sudah tak memiliki tenaga untuk bergerak lagi. Tenaga terakhir yang dimiliki telah digunakan untuk menopang tubuh Elizabeth. Perlahan penglihatan Shawn berkunang dan memudar. Hingga akhirnya ia kehilangan kesadaran.
***
Shawn membuka mata dan mendapati dirinya berada pada ruangan serba hitam. Pada ruangan tersebut hanya terdapat dirinya dan sebuah cahaya putih yang seakan mengajaknya untuk saling berbicara.
"Welcome to Excel Zero Zone. Ini adalah zona nol dari Excel World. Di sini kamu akan memilih kemampuan apa yang akan kamu gunakan dalam Excel World. Apakah ada yang ingin kamu tanyakan lebih lanjut?" terdengar suara yang bersumber dari cahaya putih.
"Di mana Elizabeth? Dan di mana yang lain!" tanya Shawn penasaran.
"Maaf aku tidak dapat menjawab kedua pertanyaan tersebut," jawab suara tersebut pelan. Shawn kesal dan berusaha untuk memukul secara sembarang cahaya di depannya. Namun, seberapa kali pun ia memukulnya cahaya tersebut tak menghilang dan tetap bertanya tentang kemampuan yang akan dipilih oleh Shawn kelak.
"Apakah kamu sudah kelelahan?" tanya suara tersebut setelah melihat Shawn ngos-ngosan.
"Aku tak akan menyerah begitu saja!"
"Sudahlah sekarang tinggal pilih kekuatan apa yang kau inginkan? Jika kau tidak memutuskan sesegera mungkin, maka akan kupilih secara acak kekuatan apa yang akan kaumiliki."
"Terserah! Kembalikan aku bersama dengan Elizabeth!"
"Jika itu yang kau inginkan!"
***
Shawn terbangun tepat di tempat ia kehilangan kesadaran. Tubuhnya masih berat sebagaimana ia hendak pingsan. Bersamaan dengan itu kesadaran yang ia miliki belum kembali seutuhnya. Ia heran mengapa tak ada seorang di kelas.
Shawn meletakkan tangannya di arah yang berlawanan dengan tubuhnya. Ia menyentuh sesuatu, bagian kancing atas blazer yang empuk namun tak terlalu menonjol. Ini bukan milik Elizabeth pikirnya.
"Sha-Shawn! Ka ... kau kenapa menyentuhnya!" teriak seorang gadis dengan kulit putih dan berambut putih juga.
"Kamu siapa? Dan di mana Elizabeth? Aku harus segera mencarinya!" Shawn melepaskan tangannya dari dada wanita tersebut.
Ia berdiri dan berlarian ke arah pintu kelas. Ia hendak keluar dan mencari Elizabeth. Namun, entah kenapa seperti ada gaya gravitasi yang menariknya dengan gadis tersebut. Jika Shawn berjalan beberapa meter saja maka gadis tersebut akan bergerak sejauh dengan Shawn. Namun, jika gadis tersebut tak ingin mengikuti pergerakan Shawn maka Shawn yang akan kembali ke arah si gadis.
"Kenapa kau mengikutiku!"
"Aku enggak tahu," balasnya dengan malu-malu. "Shawn mesum! Bagaimana kau bisa melupakan namaku setelah dadaku yang kecil kau raba begitu saja." sergahnya pelan dengan wajah yang memerah.
Shawn termenung, tatapannya mengedar ke sana dan ke mari mencari sosok Elizabeth yang tak ia temukan sedari tadi. Ia tak peduli atas kesalahan yang telah ia perbuat, ia tak mau kehilangan Elizabeth.
Shawn melihat wajah gadis tersebut dengan lekat. Heran bukan kepalang dibuatnya. "Mengapa aku bisa melihat dengan jelas tanpa menggunakan kacamata?" tanpa Shawn sadari, wajahnya mendekati hidung gadis tersebut. Secara spontan si gadis menampar Shawn, dan entah mengapa Shawn dapat menghindari tamparannya. Ia bahkan dapat melihat berapa kecepatan pukulan tangan gadis tersebut. " 18 m/s ~ dibaca delapan belas meter per sekon."
"Sekarang kamu bantu aku cari Elizabeth. Setelah itu kita akan bicarakan semunya dengan baik." Shawn memegang bahu gadis tersebut dan menatapnya tajam.
Ia menganggukankan kepala. "Namaku Yuki," ucapnya dingin. "Bagaimana aku bisa sebodoh ini!" Yuki mengigit bibir bawahnya.
"Pencarian Elizabeth akan kita mulai!"
=================To Be Continue===============
Author akhirnya dapat bernafas lega. Naskah yang dirancang dan diketik dalam seminggu dapat membuahkan hasil. Meskipun ....
Author : "Woi! Narator jangan sembarangan. Ini sesi gue!"
ADP : "Langit bertanya kepada sang empunya bumi, mengapa impuls tulisan author berubah terus? Dan lagi mengapa aku tak ditakdirkan untuk dijumpai pembaca lagi? Lelehan air suci cukup untuk kurasa, namun tak akan pernah sampai padamu Thor!"
Author : "Lu bicara apa ADP! Siapa juga yang bilang lu ...." (Angin datang dan menghablur tiap aksara)
Author : "Lagipula gue gak ngerti omongan lu! Kerad banget bahasa lu. Pergi sono!"
ADP akhirnya pergi dengan kepala tertunduk lesu. Ia mengharap untuk segera dijumpai. Namun, author punya cara lain untuk mempertemukannya dengan para pembaca.
Author : "Oh, iya. Maafkan jika chapter 1 tidak terlalu fantasi. Intinya author juga uda berikan yang terbaik. Satu lagi saya ada kabar baik, dalam beberapa chapter ke depan akan ada QnA beserta give away buat para pembaca setia. Ditunggu ya."
Netizen : "Sok ngartis lu alay!"
Author : "See you in next chapter."
PDP : "Author gila!"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
ADP = Anak dalam Prolog
PDP = Pelayan dalam Prolog
famts_writer vee_corvield Beelzebell_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro