
prolog
Sains telah menemukan jalan masuk ke dalam dunia politik setelah bencana besar terjadi terus menerus tanpa penanganan pasti. Pada tahun 2010 pemerintah berupaya untuk menyelesaikan bencana yang datang bertubi-tubi meneror kehidupan manusia. Namun tidak menemukan hasil signifikan sehingga stabilitas negara pun terganggu, hal ini ditandai melalui teror bandit dan para penjarah berani menunjukkan dominansi kepada pemerintahan resmi. Tak hanya sampai di sana, proposal solusi dari perserikatan ilmuwan selalu ditolak mentah-mentah sebelum dipertimbangkan dalam sebuah rapat kongres mengingat bencana yang terjadi mulai merambah ke dalam krisis jangka panjang.
Wabah penyakit, pemanasan global, dan bencana kelaparan--alam telah memberi kode bahwa manusia tidak lagi cocok untuk tinggal di muka bumi. Walaupun demikian, proposal yang diajukan oleh para ilmuwan adalah napas segar sekaligus air mengalir pada musim kemarau panjang. Ketika permohonan audiensi dan ultimatum terakhir ditolak, maka gerakan secara besar-besaran untuk merebut kekuasaan dibantu oleh kesatuan mahasiswa dan beberapa angkatan militer mulai resah melihat kondisi yang ada berhasil mengukuhkan proposal tersebut atas nama kemanusiaan.
Gerakan para ilmuwan itu dikenal sebagai revolusi teknologi. Di mana kecerdasan buatan seperti robot mulai berpengaruh besar pada kehidupan pokok manusia seperti asisten kerja, kendaraan ramah lingkungan, dan solusi medis. Setelah lima tahun berjalan di bawah eksperimen para ilmuwan, semua gejolak dari bencana yang meneror negara mereka ditangani dengan pasti. Pada tahun 2015-wabah penyakit, pemanasan global, dan bencana kelaparan berakhir.
Damai adalah kata berjuta makna dirindukan oleh manusia.
Namun tak berjalan lama karena tujuan para ilmuwan berubah seakan-akan mengkhianati cita-cita awal yang mendorong mereka duduk di kursi pemerintahan dengan bantuan suara rakyat.
Eksperimen ilegal melibatkan manusia diterapkan secara terang-terangan, salah satunya adalah menghidupkan kembali manusia menjadi entitas utuh berupa prototipe dari kecerdasan buatan yang mampu menerjemahkan hal serumit perasaan. Ya, entitas yang dimaksud adalah robot. Para ilmuwan menghidupkan kembali seorang manusia dalam bentuk robot yang mampu menerjemahkan perasaan seperti empati, simpati, dan cinta. Penemuan ini ditolak oleh orang-orang karena bertentangan dengan nilai agama. Bagaimana pun juga, eksperimen tetap dilakukan secara tertutup karena mereka yakin hasil dari penemuan akan sangat berpengaruh besar pada kehidupan serta kesejahteraan manusia.
Sekali lagi, stabilitas negara kembali goyah. Kesengsaraan dan korban jiwa berjatuhan bahkan lebih parah dari sebelumnya. Pertolongan semacam apa lagi yang dapat memulihkan perdamaian sebagaimana mestinya?
(-)
Jakarta (17 April 2015)
Sebuah radio kecil berwarna merah fanta memainkan lagu akustik dinyanyikan oleh Ray LaMontagne berjudul Jolene menggerakan telinga Muhammad Raga Wenruo tengah sibuk mengutak-atik lengan bionik-nya. Lelaki berambut hitam disisir rapih ke arah samping itu melepaskan obeng yang sedari tadi digigit kemudian bersenandung mengikuti alunan lagu. Sesekali ia menggerakkan lengan robotnya dengan hati-hati disusul dengan bunyi retakan mirip ranting patah. Sudut bibirnya terangkat begitupun netra hitam pekatnya nampak berseri--kagum menyaksikan betapa kerennya lengan kanan robot itu.
"Sumpah keren banget, harusnya gue bisa jadi terminator suatu hari nanti," batin Aga disusul decak kagum saat memerhatikan susunan kabel menyerupai urat nadi yang ditambal dengan besi metalik.
"Aga, sini makan dulu. Sarapannya udah siap, nih!" suara seorang perempuan terdengar melengking dari lantai atas membuyarkan lamunan Aga.
"Iya Kak, sebentar lagi Aga naik," Aga menjawab dan mematikan radio, tak lupa memasang kembali kulit tiruan untuk melapisi tangan robotnya sehingga terlihat seperti tangan normal.
Aga. Laki-laki berusia 18 tahun bercita-cita menjadi seorang polisi harus menelan pil pahit setelah kecelakaan mobil menimpanya lima tahun lalu merenggut lengan kanan dan memori jangka pendeknya. Selama masa-masa pemulihan dari trauma, Aga selalu dihantui dengan reka ulang kecelakaan. Bunyi dentuman keras, serpihan kaca yang menancap kulit wajahnya, darah mengalir deras bercampur dengan bensin dan oli, dan suara tulang retak seperti ranting diinjak di atas tanah kering.
Aga merinding kalau mengingatnya, tetapi di sisi lain dia tidak mengingat bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi dan ke mana tempat tujuannya pergi. Aga menyusun obeng dan sekumpulan baut dalam kotak perkakas yang ada dihadapannya. Sesekali menggerakkan otot bisep untuk melakukan pemanasan kecil sebelum beraktivitas dengan lengan bionik-nya.
"Kamu mau makan atau nggak, sih, Ga?" kakaknya memanggil dari anak tangga basemen, rambut panjang berwarna hitam dengan poni terjuntai terlihat cocok menghiasi bentuk wajah tegasnya.
Ia mengulas senyum tipis saat melihat Aga mulai menerima keadaannya yang seperti itu. Pada masa-masa kritis pasca kecelakaan, Aga harus menghadapi trauma berat. Dia sangat mengingat rintihan, sumpah serapah, dan seruan bunuh diri dari mulut adik kecilnya. Namun semua sudah berjalan sebagaimana mestinya. Aga telah kembali ceria dan menerima secara lapang dada.
"Papah masih di atas?" Aga bertanya dari anak tangga paling bawah sambil membawa perkakas dengan kedua tangannya.
"Baru aja berangkat, kamu lama, sih," kakak menjawab kemudian mengambil perkakas yang dibawa oleh Aga. "Gimana tangan kamu, Ga?"
Pertanyaan yang dilontarkan oleh kakaknya berhasil membuat Aga menoleh ke lengan lalu memutar-mutar berulang kali dan berhasil membuat kakaknya meringis ngilu. "Aga, apaan sih. Geli tau, nggak?"
Aga merespon dengan tawa lebar, "Tadi nanya tangan aku gimana, ya begini," sekali lagi Aga memutar lengannya iseng.
"Aga, udah ah, ngilu!"
Sorot mata keduanya teralih ketika asisten rumah tangga dengan tatapan kosong dan cara bicara kaku memanggil mereka dari daun pintu, "Nona Zara Swastamita dan Yang Mulia Muhammad Raga Wenruo, mohon secepatnya ke meja makan untuk menyantap sarapan selagi masih hangat," katanya datar dan terdengar memerintah.
"Oke Sierra, segera ke sana," jawab Zara lalu menatap heran ke tempat Aga tersenyum jahil. "Eh, kok manggil kamu, Yang Mulia?"
Aga tidak langsung menjawab karena dia mencoba untuk menahan tawa setelah melihat ekspresi keheranan dari raut wajah Zara.
"Aga, kamu ngotak-atik sistem komunikasi, Sierra?" Zara mendelik agar Aga berhenti tertawa, tetapi malah membuat tawa bocah itu makin keras.
Melihat adiknya bertingkah semakin konyol, Zara menaruh kotak perkakas sembarang kemudian menjewer telinga Aga hingga dia meng-aduh berkali-kali. "Kamu ini, Ga! Sierra kan hasil karya Papah bukan objek eksperimen kamu."
Berulang kali Aga memohon agar Zara melepaskan jemari lentiknya yang mengangkat daun telinga dengan mantap. Namun tidak semudah itu mengingat Zara sudah terlanjur gemas akan perbuatan adiknya. Sierra kembali berdiri di depan daun pintu dan mengulang kalimat sama menggunakan suara datarnya.
Hal ini membuat Aga tertawa lagi tetapi sambil kesakitan.
"Aduh, Kak, kuping Aga nanti jadi panjang kalo dijewer terus," Aga memohon sambil memegangi pergelangan tangan Zara dihiasi sebuah tato bergambar semicolon. Kakaknya hanya memutar bola mata dan melepas cubitan jemari tajamnya, kontan Aga langsung mengusap daun telinga memerah dan mendesis sebal.
"Nona Zara Swastamita-"
"Iya, Sierra, bawel banget. Ini kita ke atas," seloroh Zara sebelum Sierra menuntaskan kalimatnya.
(-)
Kedua kakak beradik itu telah duduk di sebuah meja makan berbentuk bulat. Aga menghadap ke taman belakang tempat dirinya biasa menghabiskan waktu melamun menatap langit sambil memakan semangkok mi instan rebus dan telur setengah matang. Ah, ingin rasanya hari membosankan ini cepat berakhir agar Aga bisa menghabiskan waktu sendirinya tanpa ada gangguan orang lain kecuali suara kicau burung dan percikan air kolam ikan memanjakan telinga.
Sepiring ribeye steak yang asapnya menari-nari telah berada dihadapannya. Aga menghidu bau harum daging dimasak setengah matang membuat perutnya meronta nakal. Sementara Zara, sambil menyilangkan kaki sibuk menelpon seseorang di seberang sana menggunakan mikrofon kecil nirkabel menyumpal telinga caplangnya. Padahal mulut Zara masih penuh dengan lauk sarapan.
"Mhm, iya, baik akan segera saya selesaikan," suara Zara terdengar lembut cenderung patuh membuat Aga mengira-ngira bahwa seseorang yang ditelpon kakaknya di seberang sana merupakan atasannya. Berulang kali Zara mengucap kata mhm lalu menyesap air mineral untuk melegakan tenggorokan, tak luput bekas lipstik cokelat tertempel pada pinggiran gelas kaca. "Jika saya boleh usul, bagaimana kalau satelit komunikasi yang terdapat pada Palapa 0-1 disatukan dengan pangkalan terdekat sehingga kita bisa mengantisipasi sinyal yang hilang ketika ada objek asing menabrak satelit lagi," kali ini Zara menggigit bagian bawah bibirnya menunggu kepastian dari orang yang sedari tadi mengobrol dengannya. Sementara Aga tengah memotong kecil-kecil daging sebelum memasukan kereta ke dalam terowongan seraya memerhatikan seragam jumpsuit lengan panjang berwarna biru laut milik Zara, pada lengan kirinya terdapat lambang negara Indonesia dan emblem IGSA (Indonesian Galaxy Space Administration) pada lengan kanan, tempatnya bekerja sebagai teknisi satelit departemen komunikasi IGSA di Jakarta Pusat. "Baik, Pak. Mhm, segera saya laksanakan, baik. Sampai berjumpa di kantor," tutup Zara melepas mikrofon itu dari telinganya.
"Atasan?"
"Yup," Zara menjawab tak lupa menyuap potongan daging ke mulutnya.
Selanjutnya Sierra memutar sebuah video hologram dari kedua matanya. Tayangan video itu menampilkan berita terkini yang dibacakan oleh seorang pembawa acara dengan suara tegas memberikan sebuah narasi akan gesekan mahasiswa dengan aparat keamanan. Sorot mata Aga dan Zara terpaku menyaksikan betapa kacaunya aksi tersebut.
"Nggak ada habisnya, ya," Zara berdecak sementara tangannya sibuk memainkan garpu di atas piring. Rahang Aga mengeras dan alisnya menyatu ketika menyaksikan laporan itu, puncaknya saat ada potongan gambar menampilkan reporter mewawancarai seorang mahasiswa dengan lantang menyatakan. "Robot dan manusia itu berbeda, mereka nggak bisa satu! Yang ada kita malah menyalahkan takdir kalau eksperimen manusia dihidupkan kembali menjadi robot memang benar dicetuskan. Gila!"
Aga melihat lengan kanannya sudah dibalut kulit tiruan. Kata-kata yang dilontarkan oleh salah satu mahasiswa itu berhasil menohok hatinya. Walaupun dia bukan seorang robot, tetapi sebagian dari anggota tubuhnya sudah masuk dalam kategori tiruan. Melihat adiknya yang nampak sendu, membuat simpati Zara terdorong kemudian mengetuk piringnya menggunakan garpu sehingga meninggalkan bunyi berdenting yang berhasil mencuri netra hitam Aga. Tak sampai di sana, Zara meminta Sierra untuk mematikan hologram dan menyuruh robot garapan ayahnya itu memainkan sebuah lagu yang telah disusun oleh Zara dalam playlist-nya.
"Eh ini lagunya REO Speedwagon yang Can't Fight This Feeling, Kak?" tanya Aga disusul senyum tipis berhasil mewarnai wajahnya.
Zara mengangguk mantap, "Yup! Kesukaan kamu, Ga."
***
A/n
Haiii, Cloudy Land di sini! Yup cerita baru dengan genre Sci-fi. Gw mencoba untuk nulis ini sebagai pelampiasan cerita Post-apocalyptic Trauma yang masih on-going.
Gw punya energi positif dengan cerita ini, walaupun sci-fi tapi janji, suasana Young Adult-nya nggak akan hilang dan bahasanya bakal mudah dipahami. Kalaupun ada rasa bingung feel free to ask! Anyway, gw harap cerita ini bisa jadi temen buat mengisi waktu luang kalian.
Jangan lupa teken tombol bintang dan beri komentar terkait cerita ini. Yuk kenalan sama Aga!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro