b a g i a n : 2
Mengambil jurusan politik dengan konsentrasi seni berperang rasanya membuat otak Aga mau meledak dan isinya tercerai berai di lantai bagaikan kepingan lego. Ruangan kelasnya cukup besar tetapi kontras dengan jumlah mahasiswa yang dapat dihitung jari. Warna putih tembok membosankan dengan kalender digital di sudut ruangan, papan tulis kaca menampilkan diagram dan teks yang timbul dari sebuah hologram menunjukkan betapa canggihnya presentasi masa kini dibandingkan sekadar menulis menggunakan spidol ataupun menembakkan dek ke arah layar proyektor. Sesekali, dosen paruh baya dengan helaian rambut tipis serta kumis yang menguban di makan waktu menerangkan secara monoton kronologi lengkap dari sejarah seni berperang.
Mata Aga berat saat dosennya melakukan presentasi—atau lebih tepatnya mendongeng anak mahasiswanya. Seorang lelaki yang duduk di sebelah Aga menguap seolah-olah ada rantai penyambung membuat Aga juga ikut menguap hingga pelupuknya berembun. Berulang kali ia mengucek mata untuk menjaga kesadaran, kakinya tak berhenti bergetar di atas lantai kayu meninggalkan bunyi berderit yang merekah pada kesunyian kelas. Sesekali, dosen mencari sumber suara tetapi bibir tuanya masih asyik bermonolog dengan materi kuno.
Sorot mata Aga beralih ke tiga tempat berbeda—papan tulis digital, lapangan luas bermandikan cahaya matahari, dan jam tangan yang menunjukkan kondisi kesehatannya. Ia mendengus pelan sambil menekan navigasi menu asupan dibutuhkan oleh tubuhnya yang muncul dari jam tangan tersebut.
"Tingkat dehidrasi 40 dari 100 persen. Kebutuhan karbohidrat normal begitupun lemak dan protein. Jadi pada kesimpulannya gue cuman kurang minum ... ya ampun, ngantuk banget ini." Aga membatin dan menguap—lagi.
"Cuy, psst! Mau tau rahasia, nggak?" lelaki di sebelah Aga menegur.
"Apa?" tanya Aga setengah niat.
Ia mendekatkan posisi duduk seraya menggunakan seorang perempuan yang ada di depan sebagai benteng penghalang. Lelaki berambut cepak dengan rahang tegas dan mata sayu itu menaruh tangannya di samping wajah. "Ada skandal panas, nih."
Sontak Aga menegakkan posisi duduknya. Alih-alih mendengarkan presentasi dosen, gosip kampus itu semanis madu karena menimbulkan efek kesenangan pada dopamin sekaligus memupuk sikap skeptis seseorang—kalau digunakan dengan benar. Namun, sebagaimana kabar burung pada umumnya, pasti berisi penderitaan orang atau membicarakan nasib seseorang—justru itu seni dari gosip.
"Nanti aja pas istirahat," Aga menukas, netranya awas memerhatikan dosen di depan sana.
Teman Aga berdecak kesal sambil melempar kedua tangan dengan tegas tanda tak puas. "Nanti gue lupa kalo ntar-ntaran."
Senyum getir terukir di wajah Aga, "Whatever, spill it," kata Aga menyerah pada gengsi.
"Katanya organisasi Apollo mau ditutup gara-gara kasus korupsi."
Aga mendelik, tiba-tiba tubuhnya segar kembali seperti disuntik endorfin. "Gila, tau dari mana lo?!" tak sengaja Aga berseru kemudian menutup mulutnya dengan sigap menggunakan telapak tangannya.
Teman Aga buru-buru berpaling sementara seisi kelas telah menatap Aga dengan penuh tanya. Yang lebih parah lagi, dosen membisu. Aga merasakan keringat dingin mulai mengucur dan alarm darurat di dalam kepalanya meraung-raung minta tolong.
Aduh, Aga, sumpah lo goblok banget, ia membatin seraya memukul pelah dahinya dengan tangan.
Si dosen tua telah berdiri di depan Aga sambil berkacak pinggang. Jeda mengintimidasi itu berhasil membelenggunya dalam rasa takut yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ia menunduk—ragu menautkan sorot mata ke arah dosen yang tengah berdehem. Namun Aga bisa melihat pasang mata seisi kelas terpaku kepadanya seolah-olah ada lampu gobo menyinari dari lelangit atap.
"Kenapa Mas Wenruo teriak?" tanyanya dengan aksen Jawa yang cukup kental.
Aga mengangkat dagunya, menatap bapak dosen dengan senyum kaku dan penuh keraguan, "Itu—anu, Pak." Aga menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal, "mampus, harus jawab apa nih gue."
"Mas Wenruo nanti sholat Jumat, kan?"
"I-iya, sholat, Pak." Aga menjawab—lirih.
"Apa sunat?!"
"B-bukan, Pak. Iya saya nanti Jumatan," koreksi Aga terbata-bata sementara seisi kelas sudah cekikikan mendengar Aga yang terlihat kikuk di depan bapak dosen.
"Yowis, gini Mas. Kalau saya tanya materi yang barusan dijelasin mungkin nggak bisa jawab karena Mas Wenruo belum tentu men-dengar-kan, toh?" Aga terkekeh mendengar pertanyaannya. "Saya juga males kalau denger mahasiswa gugup buat mengulang materi yang udah disampaikan. Nah, tadi Mas Wenruo ngomong mau Jumatan. Kalau orang sholat berarti nggak boleh...."
Aga menautkan alis tebalnya, "nggak boleh?" ulang Aga.
"Lho, saya nanya. Kalau orang sholat berarti nggak boleh?"
Kali ini netra Aga menyusuri seisi kelas—berharap menemukan jawaban, tetapi yang didapatinya hanya tawa iseng dari teman-teman sekelasnya. Wajah Aga memerah terbakar malu. "Nggak boleh apa, Pak?"
Giliran si dosen menepuk keningnya heran, "Mas Wenruo, kalau orang sholat itu berarti dia nggak boleh BOHONG. Kamu ini mahasiswa tapi pertanyaan anak SD nggak bisa jawab, gimana mau saya tanya materi tadi?"
Keheningan berubah menjadi tawa seperti acara sitkom layar kaca.
"Ya sudah, sebagai gantinya. Mas Wenruo tolong ke depan kelas dan jelaskan makna nama belakang kamu itu. Jangan sangka saya nggak tahu tokoh yang ada di namamu itu ya, Mas."
Sumpah ini dosen random banget, Aga membatin kemudian beranjak dari bangku untuk menuruti perintahnya. Di depan sana ia dapat melihat mata teman sekelasnya seakan tertawa. Hal ini membuat Aga terpaksa menggaruk lengannya—gugup.
"Waktu dan tempat dipersilahkan," seru bapak dosen yang telah duduk di bangku Aga.
Sebelum melanjutkan, Aga menghela napas panjang membiarkan jantungnya berdegup normal sehingga suaranya tidak bergetar saat melakukan presentasi. "Dahulu di dataran Cina pada tahun 200 masehi...."
"Mas Wenruo jangan kumur-kumur, coba yang lantang," tegur bapak dosen disusul tawa para mahasiswa.
"Dahulu di dataran Cina pada tahun 200 masehi, era dinasti Han telah berada di ujung tanduk. Pemberontakan dan perang besar terjadi tanpa akhir. Hingga suatu masa, muncullah seorang Panglima Perang bernama Cao Cao memiliki ambisi untuk kembali menyatukan Cina di bawah kekuasaannya. Cao Cao dikenal sebagai Panglima Perang licik sekaligus politisi yang disegani pada masanya karena mampu menguasai setengah dari dataran Cina. Namun dia tak sendiri—" seorang mahasiswi duduk pada bangku paling depan menggigit pipet sedotan dari kotak jus buahnya, mereka semua terdiam mendengarkan penjelasan Aga. "Namanya Xun Yu dengan gelar kehormatan Wenruo yang mampu menjadi penasihat terbaik Cao Cao dalam merealisasikan ambisi menguasai seantero Cina. Sejarah mencatat, tidak ada Cao Cao tanpa Wenruo—kesetiaan adalah nama lain Wenruo—dia juga dikenal sebagai politisi yang paling jujur dan menentang keras pola pikir korup."
Aga berhasil membuat beberapa mahasiswi di kelas itu mesem. Mereka semua tidak menyangka kalau cowok yang selama ini bisu dan cenderung menutup diri ternyata memiliki kemampuan diplomasi yang cukup baik. Sementara Aga seperti dilempar ke masa lalu ketika mengingat sejarah nama belakangnya itu, sehingga mengundang sebuah senyum yang tak disangka-sangka hadir semakin mencuri simpati para kaum hawa.
"Mungkin Ayah saya suka banget sama sejarah Cina sampai anaknya dikasih nama salah satu tokoh besar pada masa itu. Beliau juga berpesan sama saya kalau aktualisasi Jas Merah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) akan membuat kita—sebagai manusia nggak tersesat saat mengambil tindakan untuk masa depan. Singkatnya: sejarah adalah bagian hidup kita—sebuah kenyataan yang akan selalu melekat dalam diri ini."
Para mahasiswa manggut-manggut, kali ini si dosen telah berdiri di samping Aga lalu menepuk pundaknya bangga. "Bapak kamu siapa, Mas?"
Pertanyaannya bagaikan lidah api yang menyambar pori-pori kulit. Mata Aga membelalak tak mampu menjawab—ia bergeming kemudian memutuskan untuk kembali duduk pada bangkunya di pojok paling belakang dekat jendela yang menampilkan suasana pagi hari yang sibuk.
(-)
"Kamu tadi Jumatan kan, Ga?" sebuah hologram berwarna biru menampilkan wajah Zara muncul dari jam tangan Aga.
Aga berhenti mengunyah setangkup roti lapis selai stroberi setelah mendengar pertanyaan kakaknya. Sekarang waktu menunjukkan pukul satu lewat lima belas. Aga menyandarkan bahu pada dinding yang dingin, sementara matanya sesekali menyusuri para mahasiswa telah berbaris mengenakan turtleneck berwarna biru dongker melalui jendela kelas yang tipis. Mereka nggak kepanasan memangnya? Aga membatin. Salah satu koordinator membawa mikrofon berseru, memastikan bahwa para pasukannya telah satu suara. Terik matahari menyengat tidak meruntuhkan tekad mereka untuk menyerbu kantor legislatif—lagi, bagaikan batu karang yang kokoh walaupun diterjang ombak besar. Ia mengangkat lengan kirinya menunjuk angkasa seakan-akan langit memberi suntikkan semangat kepada mereka.
"Woi! Bengong aja, Binturong," Zara memanggil dari seberang sana membuyarkan Aga dari lamunan cemas akan demonstrasi tersebut.
"E-eh, iya. Aga Jumatan, Kak," jawab Aga akhirnya.
Zara menyesap teh dari botol minum dan menyumpit daging teriyaki beserta nasi dari bekal bentonya. "Masa, sih?" tanya Zara memastikan.
"Iya, Kak, nanya mulu kayak wartawan."
Zara tergelak. Dari seberang sana, Aga bisa melihat kakaknya tengah disapa oleh orang-orang yang lewat dihadapannya.
"Kak, tau nggak, sih?" Aga membuka topik lagi, kali ini ia yakin Zara akan sangat terkejut mendengarnya.
"Apa, Ga?"
Sesekali Aga terkekeh ketika melihat pensil yang ditaruh pada telinga Zara jatuh saat ia menyuap nasi ke dalam mulutnya. Aga pun menyesap air mineral dari botol minum bergambar beruang—pemberian Zara. Sebenarnya cukup memalukan untuk mengeluarkan botol itu, tetapi karena pemberian dari kakaknya, apa boleh buat. Ia mengulum bibir, memastikan sisa air mineral telah hilang sebelum melanjutkan.
"Organisasi Apollo katanya kena skandal korupsi, nih."
Kakaknya memuncratkan air teh dari hidung disusul suara terbatuk-batuk tak berirama. Aga mengerucutkan bibirnya karena sudah memprediksi respon dari Zara.
"Anjir, serius, Ga?!"
"Iya—eh, nggak tau, sih. Kata temen Aga gitu."
Zara menyeka mulutnya dengan sapu tangan, tak lupa bagian celana jumpsuit yang telah basah noda teh seperti pulau tak berbentuk jelas.
"Hilih, hoax kali itu. Kaget aku tuh."
Aga mengendikkan bahunya. "Nanti Aga cari tahu, deh."
Organisasi Apollo memang istimewa di mata Zara karena semasa dia masih menjadi mahasiswi, organisasi itu lahir dari manisfestasi dirinya dan angkatannya. Apollo sendiri diambil dari mitologi Yunani, yakni salah satu dewa yang dihormati di tanah para filsuf tersebut. Selain itu, Apollo juga dikenal sebagai sebuah proyek misi penerbangan manusia pertama yang mendarat di bulan oleh NASA. Sementara organisasi Apollo warisan Zara dan teman-temannya ini bergerak pada bidang pemantauan dan penggerak kecerdasan tiruan yang mulai merambah pada kehidupan pokok manusia. Sebut saja seperti Kereta Cepat Indonesia dan Robot Asisten Rumah Tangga (Sierra), Apollo turut ambil andil dalam proyek oportunis itu.
Diisi oleh jiwa muda berbakat dan memiliki integritas tinggi nampaknya bukan sebuah jaminan kalau warisannya bisa dipertahankan. Berbeda dengan Aga yang cenderung pasif dan tak acuh, ia lebih suka menjadi penonton ketimbang penggerak seperti Zara. Lagipula, seisi kampus belum kenal jati diri Aga yang sebenarnya, hingga suatu saat nanti tekuak membuat dirinya diserbu paparazzi dadakan.
Aga melenguh pelan membayangkan semua itu. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya terasa pening dan pandangannya kunang-kunang. Zara yang menyadari hal itu langsung terperanjat hingga matanya terbelalak—panik.
"Aga! Astaghfirullah, aduh gimana ini."
Aga memegangi kepalanya terasa ingin meletus. Lengan kanan robotnya mulai bergejolak ditandai dengan urat-urat menyembul. Di luar sana seruan mahasiswa mulai bergerak meninggalkan lapangan. Nampaknya, jam istirahat tak selalu memberi kesan baik—khususnya buat Aga.
"Kak," panggil Aga, tangannya bergetar hebat dan ia bisa merasakan keringat dingin meluncur bebas membasahi kaus lengan panjangnya. "Gapapa—Aga, gapapa."
Zara tengah menghubungi seorang rekan yang ada di kampus Aga. Ia menggigit kuku jari, mencoba untuk menangguhkan rasa yang bergolak dalam hatinya.
"Ketemu nanti ya, Kak, di Tanah Abang."
"GA—!" dengan sigap Aga menutup telekomunikasi dengan kakaknya.
Lelaki itu langsung berlari keluar kelas dan menjeblak pintu lebar-lebar. Napasnya memburu bak seekor kuda pacu yang baru selesai balapan. Lorong-lorong sepi membuat Aga tak punya pilihan selain menghampiri klinik yang berada di lantai bawah. Namun rasa takut mulai menghantui karena kemungkinan besar Aga hilang kesadaran sebelum sampai di sana.
Rasa panas mulai menggerogot lengan bionik dan kepalanya. Berulang kali Aga menggigit bagian dalam rahang mencoba agar tak berteriak. Ia juga mengepal tangannya erat supaya tidak memukul tembok hingga hancur.
Aga berlutut—peluh membanjiri kausnya.
Sampai pada satu titik, Aga mendengar ada suara langkah kaki-kaki berat berhenti di belakangnya. Lima orang tengah berdiri mengenakan turtleneck dengan masker tengkorak dan bagian mata di cat berwarna hitam sehingga identitas mereka tak diketahui. Salah satu dari kelima orang itu menatap Aga dingin. Dia yang paling pendek di antara semuanya, kemudian perlahan menghampiri Aga.
Orang itu menurunkan maskernya—Aga bisa melihat bibir tipis dan bekas luka menghiasi bagian bawah dagunya—si puan. Orang yang tadi pagi bertanya kepada Aga tentang Teori Sigmund Freud.
"Ren, demonstran udah pada pergi. Nanti kita ketinggalan," ujar seseorang dengan suara berat dari belakang sana.
Perempuan bernama Ren menengok sebentar sementara kedua tangannya telah memegangi bahu Aga yang tegang. "Delay 10 menit, kita tolong dia dulu," balasnya dingin kemudian membantu Aga berdiri di atas kaki-kakinya yang bergetar hebat.
***
A/n
Haii! Mau nyapa kalian lagi, nih ehehe. Akhirnya, satu tokoh penting dalam cerita ini muncul juga. Gimana kabar kalian? Semoga selalu baik, yaaa. Ohiya mau ngasih pengumuman, demi kesejahteraan bersama kayaknya gue bakal aplod cerita ini seminggu sekali. Gue udah memutuskan hari yang tepat: MINGGU! Kenapa Minggu? Karena berkesan aja.
Btw, gue mau bilang makasih juga bagi kalian yang udah support apalagi sampe sukak sama cerita ini. Gue harap bisa memberi kesan baik dan membuka pandangan baru akan dunia sci-fi yang gue campur adukkan sama slice of life, sejarah dan sex education (lol), berasa gado-gado.
Akhir kata, jaga kesehatan kalian, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro