Part 8 - Kerja Sama
Hai, novel 244 Days & Ex Husband sudah ready ya. Sisa 7 eksemplar, yang berminat bisa checkout di Shopee atau bisa juga langsung WA ke 08568627278. Yang mau beli versi PDF juga tersedia ya..
Deru mesin motor mengalihkan perhatian Alesha dari semangkuk sereal di hadapannya. Penasaran, wanita itu bergegas keluar dari vila.
"Selamat pagi, Rose!" Leon melambaikan tangan seraya tersenyum di halaman sebelah.
Sepagi ini, Leon sudah berpenampilan rapi. Tubuh tinggi tegapnya terbalut celana jeans hitam dipadu kaus hitam tanpa lengan, menampakkan otot lengan yang sempurna. Pria itu semakin gagah dengan wingtip boot berwarna senada.
"Pagi juga, Leon." Alesha berdiri di sisi pagar.
"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" tanyanya.
"Heeemmm ... untunglah semalam tidak ada lolongan serigala yang mengganggu tidurku," sahut Alesha.
Leon tertawa renyah. Ah, itu membuatnya semakin terlihat tampan. "Tentu saja, aku sudah memberi tahu seluruh kawananku agar tidak mengusik kehidupanmu."
"Ngomong-ngomong, motormu terlihat keren." Alesha menunjuk Harley Davidson di samping Leon. Motor dengan bodi hitam itu memiliki jok berwarna cokelat muda. Semua orang tahu betapa fantastisnya harga kendaraan itu.
"Ini satu-satunya barang yang aku bawa saat melarikan diri dari rumah. Aku lebih menyukai motor daripada mobil. Seperti biasa, jiwa petualang." Leon meraih jaket hitam yang tersampir di jok motor, lalu mengenakannya. Gaya berpakaiannya membuat ketampanan pria itu bertambah dua kali lipat.
"Mau pergi ke mana?"
"Ke Jakarta. Semalam ada tamu yang menawarkan kerja sama. Kau tahu hotel yang sedang dibangun tidak jauh dari sini? Pengusaha itu memberikan penawaran padaku untuk menjadi salah satu dari creative arts team dalam pembangunan hotel. Ini proyek besar, Rose. Jika pekerjaan ini sukses, aku berjanji akan mentraktirmu."
"Wow! Good luck, Leon! Lalu sekarang kau ingin bertemu dengan pengusaha itu?"
"Ya, ada beberapa hal yang perlu kami bahas. Jika semua deal, aku akan menandatangani kontrak. Kemungkinan malam ini aku tidak pulang. Jaga diri baik-baik, oke?" Leon mengedipkan sebelah mata.
"Bagaimana jika ada werewolf yang menggangguku?" Alesha menumpukan siku di atas pagar, lalu menopang dagu dan memajukan bibir. Berpura-pura merajuk.
Lagi-lagi Leon tertawa. "Katakan saja pada mereka bahwa kau kekasihku, maka tidak akan ada yang berani menyentuhmu. Perlu kau tahu, akulah pemimpin mereka."
"Seriously? Sepertinya aku lebih memilih dibunuh oleh sekelompok werewolf daripada harus mengaku sebagai kekasihmu."
"Oh ya? Astaga, seharusnya kau bersyukur karena aku menganggapmu sebagai kekasih. Kau tidak tahu berapa banyak wanita yang mengantri di luar sana demi mendapatkan hatiku."
"Aku rasa mereka barisan para wanita yang sedang kehabisan stok lelaki, sehingga terpaksa harus mengejar layaknya kaulah satu-satunya lelaki yang tersisa di dunia ini."
Leon duduk di atas motor, memakai helm full face dan bersiap melaju. Pria itu melambaikan tangan. "Bye, Rose! Aku pergi dulu. Jangan merindukanku, oke?"
Alesha menjulurkan lidah, kemudian tersenyum dan membalas lambaian tangan Leon. Harley Davidson itu pun melaju, meninggalkan segumpal debu di halaman vila.
Wanita itu kembali ke dalam dan melanjutkan sarapan. Sereal yang bercampur dengan susu putih itu sudah lembek, hampir berubah seperti bubur. Semua ini karena Leon.
Ah, Leon yang memiliki sifat berbanding terbalik dengan Darren. Sejak awal bertemu, Leon selalu bersikap ramah. Berbeda dengan Darren yang cenderung merendahkan Alesha dan sering kali memberikan hinaan.
Darren tipe pria yang suka menyakiti wanita, sedangkan Leon mungkin tipe pria yang suka memuja wanita.
Sekarang, mungkinkah Darren sudah benar-benar berubah menyayangi Alesha dengan tulus? Entahlah, bagi Alesha itu masih menjadi teka teki. Biarlah waktu yang menjawabnya. Kalau memang mereka berjodoh, pasti Tuhan akan menyatukan mereka lagi.
***
Darren menatap pria berumur sekitar 27 tahun yang baru saja masuk ke ruangannya. Inikah seniman yang dikatakan oleh Albert?
Awalnya Darren mengira pelukis di Pulau Teratai adalah seorang pria tua berambut ikal sebahu, dengan kumis dan jenggot lebat. Ternyata, pelukis itu masih sangat muda, bertubuh tinggi tegap serta berwajah rupawan. Darren berani taruhan, pasti banyak wanita yang berebut ingin menjadi kekasihnya.
"Perkenalkan, saya Leon."
Kedua pria itu saling berjabat tangan. "Darren. Silakan duduk."
"Terima kasih, Tuan."
"Tidak perlu memanggilku 'Tuan', panggil saja Darren. Sepertinya umur kita tidak jauh berbeda. Itu akan membuat kita lebih akrab dan mudah menjalin kerja sama."
Leon mengangguk, menarik kursi di depan meja Darren dan duduk dengan nyaman.
"Oke, sebaiknya langsung kita mulai. Albert sudah menjelaskan garis besarnya, bukan? Creative arts team. Aku memang sudah mendengar dari Albert, lukisanmu sangat bagus dan mendekati objek asli. Tapi, sebelum kerja sama ini dimulai, aku ingin melihat secara langsung."
"Oke, aku siap."
Darren mengambil selembar kertas A4, serta beberapa pensil khusus untuk melukis. Ia menyodorkan benda itu pada Leon. "Hotel kami mengusung tema woman and rose. Coba kau gambar sebuah konsep seperti yang aku inginkan. Enmm ... siluet seorang wanita dan serumpun bunga mawar."
"It's easy." Leon menatap Darren dan tersenyum.
Tanpa membuang waktu, Leon mengambil kertas dan pensil, menarik napas sebentar, kemudian mulai menarikan jemari di atas kertas.
Seorang wanita. Entah kenapa tiba-tiba dalam benaknya muncul bayangan Alesha yang sedang berdiri di tepi pantai.
Darren memperhatikan Leon. Ketika sedang melukis, wajah pria muda ini terlihat sangat serius, tetapi bibirnya tidak berhenti menyunggingkan sebuah senyuman. Apa pria ini memang sangat menyukai profesinya?
"Kalau boleh tahu, kenapa kau memakai konsep woman and rose?" tanya Leon di sela-sela kegiatannya.
"Istriku sangat menyukai mawar." Darren menghela napas berat.
"Oh ya? Dia pasti seorang wanita yang sangat cantik."
"Wanita paling cantik di dunia."
Leon menghentikan gerakannya sejenak. "Kau pasti sangat berpengalaman soal cinta, sehingga bisa menaklukan seorang wanita seistimewa dia."
"Kau salah besar. Meskipun aku pandai berbisnis, tapi untuk urusan cinta, nol besar. Aku bisa mendapatkannya, anggaplah itu faktor keberuntungan."
Leon bergumam. Tidak membutuhkan waktu lama, gambar siluet wanita yang sedang berdiri di tepi pantai sudah terpampang di atas kertas. Untuk memperindah latar, Leon menambahkan suasana senja dengan burung-burung camar beterbangan.
Pensilnya beralih pada sisi kanan kertas, mulai menggambar serumpun mawar. Dimulai dari batang berduri, dedaunan, dilanjutkan dengan bunga mawar yang sedang mekar serta beberapa yang masih kuncup. Goresan pensil itu terlihat sempurna.
"Kekasihmu pasti bangga memiliki pasangan multi-talented sepertimu. Tidak semua orang memiliki keahlian ini."
Ucapan Darren disambut dengan tawa. "Tidak semua wanita menyukai pria yang hanya berprofesi sebagai pelukis. Kebanyakan wanita justru lebih menyukai pria kaya sepertimu."
"Jadi, kau belum memiliki kekasih? Sulit dipercaya. Pria setampan dirimu pasti akan menghipnotis wanita mana pun yang melihatnya. Kau memiliki kharisma yang kuat, Leon. Banyak wanita menginginkanmu, tapi kau terlalu pemilih. Benar, bukan?"
"Hanya belum merasa ada yang cocok."
"Benarkah?"
"Ya, tapi beberapa hari ini ada seorang wanita cantik yang mengusik perhatianku."
"Kau jatuh cinta padanya?"
Leon menghentikan gerakan pensilnya, kemudian menatap Darren. "Ya, tapi sayangnya dia seorang wanita yang sulit ditaklukan."
"Hei, jangan pernah menyerah untuk meluluhkan hati dan mendapatkannya. Perlu kau tahu, seorang wanita terhormat itu lebih suka dikejar daripada harus mengejar!"
"Benarkah?"
"Saranku, jangan pernah membesarkan ego dengan menyimpan perasaanmu. Ungkapkan. Jika tidak, maka akan berakhir dengan penyesalan setelah dia pergi, sebelum kau menyatakan perasaanmu padanya."
Darren benar. Setelah ini Leon akan melakukan pendekatan yang lebih agresif terhadap Alesha. Strategi pertama, berikan perhatian kecil pada wanita itu. Mungkin dengan cara itu, perlahan hati Alesha akan luluh dan bisa menerima cintanya.
Cinta? Leon masih ragu apakah yang ada di hatinya benar-benar cinta, atau sekadar terobsesi oleh kecantikan Alesha. Jika itu bukan cinta, lalu bagaimana dengan debaran yang acap kali terasa saat berada di dekat wanita itu?
Leon kembali menggoreskan pensil, menambahkan beberapa ekor kupu-kupu di dalam sketsanya.
"Selesai!" Leon menyodorkan gambarnya kepada Darren.
Darren mengambil kertas dari tangan Leon, lalu menyandarkan punggung di kursi. Dahinya mengernyit. Ada getaran aneh saat Darren melihat siluet wanita itu.
Apa karena Darren terlalu memikirkan Alesha, sehingga gambar itu menyerupai siluet tubuh Alesha yang sedang berdiri menghadap pantai? Sepertinya begitu.
"Oke, hasil yang sempurna. Aku yakin kau bisa menyelesaikan konsep woman and rose dengan baik." Darren menghela napas, mulai resah karena merindukan Alesha. "Sebentar, aku akan meminta sekretarisku untuk menyiapkan berkas yang harus ditandatangani sebagai bukti bahwa kita telah menyepakati kerja sama ini."
Leon tersenyum puas. Alesha pasti akan senang mendengar kabar ini. Ia sudah tidak sabar untuk segera pulang dan mengabarkan berita baik ini pada tetangga kesayangannya.
***
Matahari bersinar terik, tetapi tidak membuat Alesha merasa malas untuk berjalan-jalan di pantai, menatap ombak kecil yang berkejaran, dan menikmati semilir angin laut. Tidak jauh dari sana, terlihat beberapa anak kecil yang sedang berenang. Mereka menyelam, sesekali menyembulkan kepala untuk menghirup oksigen.
Alangkah senangnya mereka. Menyelam untuk melihat surga di dasar laut. Menyaksikan ikan-ikan berenang di antara terumbu karang. Atau mungkin hanya untuk sekadar melepas penat dengan cara mengambang di permukaan air. Seperti yang sedang dilakukan oleh anak kecil itu, asyik mengapung dan terlihat rileks.
Alesha menjejakkan kaki di pasir putih yang lembut. Jemarinya memungut cangkang kerang-kerang kecil di atas pasir. Jika cangkang kerang ini terkumpul, bisa dijadikan sebagai kerajinan tangan. Misalkan saja untuk ditempel di pinggir lukisan agar terlihat unik.
Kulit lengannya mulai terasa panas. Baiklah, itu salahnya karena berjalan-jalan di pantai dengan mengenakan celana jeans selutut serta tank top berwarna biru muda. Awalnya ia tidak berniat ke pantai di siang yang terik ini. Namun, kesendiriannya di vila membuat ia merasa bosan.
Usai mendapatkan segenggam cangkang kerang, Alesha memutuskan untuk pulang. Senyumnya mengembang saat menemukan Leon tengah berdiri di depan pintu vila milik Alesha dan berkali-kali mengetuknya.
"Hai, kau sudah pulang?" Alesha berseru.
Leon menatap Alesha seraya mengembuskan napas kasar. "Astaga, Rose! Hampir sepuluh menit aku mengetuk pintu dan ternyata kau tidak berada di dalam. Aku pikir kau benar-benar diculik werewolf!"
"Aku ke pantai untuk mencari cangkang kerang kecil." Alesha meletakkan hasil buruannya di atas meja teras. "Bagaimana pertemuanmu dengan pengusaha itu?"
"Sukses! Aku bahkan sudah mendapatkan uang muka untuk proyek ini. Karena itu, aku mentraktirmu makanan." Leon meletakkan sebuah kotak plastik berukuran cukup besar.
Alesha dengan sigap membuka kotak itu. Namun, senyumnya seketika memudar saat aroma matcha menyergap hidungnya.
Suara Leon terdengar riang, menjelaskan nama makanan itu. Ia sama sekali tidak menyadari perubahan raut wajah Alesha. "Di Jakarta aku mampir ke sebuah kafe. Seorang pelayan berkacamata merekomendasikan menu terbaik di sana. Banana cake dengan lelehan saus matcha, dan juga cheese cake matcha. Aku sudah mencobanya, dan itu sangat lezat. Kau harus mencobanya, Rose."
Napas Alesha terengah-engah. Ia menatap Leon tajam dan menghardiknya. "Singkirkan semua makanan itu dari hadapanku!"
"Ini lezat. Percayalah, aku sudah mencobanya."
"Kau tahu? Aku membenci matcha!" teriaknya. Kemudian, wanita itu bergegas masuk ke vila dan membanting pintu.
Bibir Leon setengah terbuka, ucapannya menggantung di udara. Membenci pria bermata hazel. Membenci matcha. Tapi kenapa? Ini seperti potongan puzzle yang berserakan. Tampaknya wanita itu benar-benar memiliki kenangan menyakitkan. Masa lalu bersama seorang pria bermata hazel.
Sehancur itukah Alesha? Leon menghela napas kasar. Betapa bodohnya pria itu! Andaikan saja Leon bisa memiliki Alesha, ia berjanji tidak akan pernah membuat wanita itu mengeluarkan air mata walau hanya setetes.
"Rose, kau baik-baik saja?" Leon mengetuk pintu. Tidak ada jawaban.
Pria itu mengepal, memperlihatkan guratan-guratan otot di kedua punggung tangannya. Dada bidangnya naik turun seiring napas yang terengah-engah. Entah kenapa, ia merasa tidak rela jika Alesha disakiti, apa pun alasannya. Mungkinkah ini salah satu tanda bahwa Leon ... mencintainya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro