Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 7 - Tetangga Baru

Bayangan wajah Alesha terus menari di benak Leon. Cantik dan menarik. Mungkin ini bisa dikatakan sebagai love at first sight. Ia tidak peduli sekalipun Alesha mengusirnya. Memangnya apa yang salah dengan mata hazel?

Leon menyalakan lampu yang menggantung di atas meja, mengambil selembar kertas putih, duduk dengan santai dan bersiap memainkan pensil-pensil kesayangannya.

Pria itu duduk menghadap meja. Bayangan Alesha siap diimajinasikan di atas kertas. Jemari kokoh Leon mulai bergerak lincah, membuat garis sesuai dengan sketsa wajah Alesha. Ia membentuk mata, hidung, bibir, dan telinga.

Tidak sulit bagi Leon untuk mempertajam sketsa kelopak mata, iris, dan pupil. Mata cokelat dengan bulu mata lentik menghiasinya. Alis tebal melintang di atasnya, semakin menambah daya tarik wanita itu.

"Binar matamu terlihat indah, Rose," gumamnya.

Jemari Leon kembali menari di atas kertas, mempertajam bagian hidung, kemudian beralih ke bagian bibir. Tanpa senyuman, memberikan kesan tak acuh, tetapi tidak mengurangi kadar kecantikannya.

Arsiran berlanjut pada rambut panjang yang tergerai dan tertiup angin. Leon menghentikan gerakan pensilnya. Matanya terpejam, kembali mengingat pertemuannya dengan Alesha di tepi pantai. Serius, Leon tidak bisa melupakan aroma khas dari rambut indah itu.

Arsiran Leon beralih pada dress hitam dengan aksen mawar merah. Tampaknya, wanita itu menyukai semua hal yang berhubungan dengan mawar. Tidak heran jika banyak rumpun mawar ditanam hampir di seluruh sudut halaman.

Tak butuh waktu lama bagi Leon untuk menyempurnakan karyanya. Wajah Alesha terpampang cantik di atas kertas. Ia tersenyum, dalam hati mengakui bahwa itu adalah lukisan terindah yang pernah ia buat.

Sejenak dipandanginya wajah ayu wanita itu. "Alangkah beruntungnya pria yang bisa mendapatkan hatimu, Rose. Dan akulah satu-satunya orang yang akan beruntung itu."

Lukisan itu ditempel di dinding. Saat Leon berbaring di ranjang, wajah Alesha akan berada dalam jangkauan matanya. Siapa tahu dengan memandangi wajah Alesha sebelum tidur, maka Leon akan bermimpi indah dengan wanita itu.

***

"Ada yang ingin Anda bicarakan, Tuan?" Albert duduk di depan meja kerja Darren.

Darren mendongak, mengalihkan perhatian dari laptopnya. Ia tersenyum singkat seraya membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja.

"Ya, aku ingin menanyakan bagaimana perkembangan proyek pembangunan hotel terbaruku di Pulau Teratai."

Albert mengangguk. Darren memercayakan Albert untuk mengawasi proyek pembangunan hotel terbarunya di Pulau Teratai. Nantinya, Darren akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengelola pantai agar menjadi objek wisata yang diminati oleh wisatawan. Darren bahkan sudah membicarakan proyek ini dengan biro perjalanan wisata di mancanegara, untuk mempromosikan surga tersembunyi di pulau kecil tersebut.

"Semuanya berjalan lancar, Tuan. Bangunan ini sudah setengah jadi. Hasil kerja mereka memuaskan." Albert mengambil sebuah amplop cokelat dan mengeluarkan isinya. Bermacam-macam foto dari seluruh sudut bangunan yang sudah hampir setengah jadi.

"Bagus, pastikan konstruksi bangunan dibuat sekokoh mungkin." Darren memperhatikan foto satu per satu.

"Siap, Tuan."

"Kau masih ingat konsep awal untuk hotel ini?"

"Tentu. Hotel bertema wanita dan bunga mawar?"

"Ya. Aku ingin semua sudut hotel ditumbuhi bunga mawar. Lalu seluruh dinding juga harus mengusung konsep ini. Dinding berwarna putih dengan ornamen mawar. Setiap kamar harus dipajang lukisan seorang wanita dan bunga mawar. Kau bisa menyewa pelukis profesional untuk membantu menyelesaikan konsep ini."

Darren mengambil selembar kertas, menulis beberapa poin penting tentang konsep woman and rose itu.

"Saya mendapatkan informasi dari penduduk tentang seorang pelukis yang tinggal di vila dekat pantai. Jika Tuan tidak keberatan, saya ingin mengajaknya bekerja sama."

"Pria atau wanita?"

"Seorang pria. Menurut mereka, hasil karyanya sangat bagus. Tahun lalu, dia mengikutsertakan beberapa lukisan pada pagelaran seni yang diadakan masyarakat setempat. Banyak orang yang mengagumi lukisannya."

"Segera kontak dia, Albert. Aku memercayakan semuanya padamu. Kau bisa bernegosiasi dengannya. Jika ada masalah, segera hubungi aku."

"Siap, Tuan. Kalau begitu, saya undur diri. Saya akan segera menawarkan kerja sama dengan pelukis itu."

Darren mengangguk. "Berikan foto-foto ini pada sekretarisku untuk dijadikan arsip!"

Usai kepergian Albert, Darren menyandarkan punggung ke kursi, merentangkan kedua tangan untuk melepas penat.

Hotel berkonsep wanita dan bunga mawar. Ya, Darren ingin mempersembahkan ini untuk Alesha. Pria itu ingin membuktikan bahwa ia benar-benar serius mencintai Alesha dan ingin memperbaiki hubungan mereka.

Apa pun yang terjadi, ia harus mampu berjuang untuk menyatukan kepingan-kepingan hati Alesha yang telah hancur, membuat wanita itu percaya bahwa Darren akan melakukan apa saja, sekalipun nyawa menjadi taruhannya.

Darren mengusap wajah dengan kasar, penyesalan itu kembali menyeruak ke dalam dada. Seandainya sejak dulu Darren menyadari jika mereka saling mencintai. Kalau saja Darren lebih peka. Menyakiti Alesha sama saja dengan menyakiti diri sendiri.

Ah, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Meraung sekeras apa pun tidak akan menyelesaikan masalah. Kini, Darren hanya perlu bekerja keras untuk mengambil hati Alesha. Ini hanya soal waktu. Tunggulah sampai waktu menghapus seluruh luka di hati wanita itu.

***

Alesha mengintip dari balik tirai jendela, memastikan jika tetangga bermata hazel itu tidak ada di halaman. Ia bosan mengurung diri di kamar. Semoga saja singa itu sedang tertidur pulas di sore hari. Singa? Iya, maksudnya Leon, tetangga menyebalkan itu!

Setelah yakin tidak ada tanda-tanda Leon akan mengganggunya, Alesha membuka pintu, melongokkan kepala, dan ... aman! Alesha mendesah lega. Merentangkan kedua tangan seraya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Akhirnya kau menampakkan diri juga, Rose!"

Suara itu lagi! Alesha menoleh, entah sejak kapan Leon berdiri dan menyandarkan lengan di pagar kayu. Alesha sudah membalikkan tubuh untuk kembali masuk ke vila, tetapi urung saat Leon melanjutkan kalimatnya.

"Bukan dengan cara itu jika kau ingin melupakan seseorang. Semakin kau berusaha melupakan, maka tanpa disadari kau justru sedang menanamkan ingatan itu jauh ke dalam benakmu."

"Jangan sok tahu! Siapa bilang aku sedang berusaha melupakan seseorang?" Alesha mencebikkan bibir.

Dalam satu gerakan, Leon kembali melompati pagar dan menghampiri Alesha. Pria tidak sopan. Apa susahnya berjalan memutari pagar dan masuk melewati pintu?

"Memang apa alasanmu tidak menyukai warna mataku? Hanya karena mataku berwarna hazel, lalu kau membenciku tanpa alasan, begitu? Kau pikir aku yang meminta dilahirkan dengan warna mata ini, huh?"

"Tidak bisakah kau berhenti menggangguku? Aku tinggal di sini untuk mencari ketenangan, bukan untuk bertetangga dengan seseorang yang menyebalkan!"

Leon menaikkan kedua alis. "Nah, karena tinggal di sini, seharusnya kau sadar akulah satu-satunya tetangga terdekatmu. Jika ada sesuatu yang terjadi, memangnya kau mau minta bantuan siapa? Kau lihat di sekitar vila ini, hutan pinus."

Alesha mendesah. Leon benar. "Tapi bagaimana jika di sini kaulah penjahatnya?"

"Hoho ... sepertinya kau salah menilai. Bagaimana jika kita mulai mengenal dari awal? Tenang, aku pria baik-baik."

Alesha mengangkat bahu, lalu mempersilakan Leon duduk. Alesha tidak mempunyai pilihan lain. Lagi pula, tidak adil bagi Leon jika Alesha membencinya hanya karena wanita itu memiliki kenangan menyakitkan dengan pria bermata hazel.

"Namaku Leon. Aku memilih vila ini sebagai tempat tinggal karena tempat ini nyaman dan cocok untuk mencari inspirasi. Aku menyukai ketenangan." Leon memulai perkenalannya. "Tentang melarikan diri, ya, aku memang melarikan diri dari keluargaku."

"Melarikan diri dari keluarga? Karena perjodohan?"

Pria itu tertawa lebar. "Bukan. Aku pergi karena Papa terlalu memaksakan kehendak agar aku menggantikan tugasnya untuk memimpin perusahaan."

"Wajar, bukan, jika orang tua ingin anaknya mandiri?"

"Tapi itu bukan passion-ku. Aku menyukai duniaku."

"Kau punya dunia sendiri?" Alesha mulai tertarik dengan pembicaraan ini. Oke, jujur, sebenarnya Leon orang yang menyenangkan.

"Aku lebih suka bertualang di alam bebas, memanjat gedung-gedung tinggi, mencari inspirasi untuk dijadikan objek lukisan. Duniaku yang sesungguhnya berada di atas kanvas, bukan di balik meja berisi berkas perusahaan."

Alesha membelalakkan mata seraya tersenyum lebar. "Serius? Kalau begitu, kita sama!"

"Wow, sungguh? Sepertinya kita memang berjodoh."

"Tapi aku tidak setuju denganmu. Seharusnya kau menerima permintaan ayahmu agar mereka bahagia."

"Why? Aku tidak mungkin meninggalkan sesuatu yang sudah menyatu dengan jiwaku."

Alesha bertopang dagu, menatap Leon serius. Tampaknya wanita itu mulai terbiasa dengan mata hazel di hadapannya. "Suatu saat nanti, jika kedua orang tuamu sudah pergi untuk selamanya, kau akan menyesal karena tidak bisa membahagiakannya semasa hidup."

Leon terdiam merenungi ucapan Alesha. "Kau benar. Tapi aku tidak bisa melakukan itu."

"Mungkin saat ini kau belum bisa. Tapi aku berharap suatu saat nanti kau akan kembali pada mereka. Mereka yang sudah merawatmu sejak kecil. Lalu, setelah besar, kau tega meninggalkannya?"

"Oke, aku akan memikirkan itu nanti. Lalu, kau sendiri kenapa tinggal di sini? Setahuku vila ini milik pria Italia."

"Signor Romano. Setahun ini aku belajar melukis padanya di Florence."

"Wow! Kota tempat kelahiran Renaissance? Apa kau juga mengunjungi Uffizi Gallery dan melihat karya beraliran renaissance?"

Alesha mengangguk. "Allegory of Springs dan Birth of Venus yang dibuat oleh Botticelli, lalu The Annunciation oleh Leonardo da Vinci."

"Madonna of the Goldfinch oleh Raphael, Venus of Urbino oleh Titian, dan masih banyak lagi yang lainnya!" sambung Leon bersemangat. Tangannya bergerak meraih pot kaktus berukuran kecil di atas meja. "Jadi, apa yang membuat kau meninggalkan kota seni itu?"

Alesha menautkan jemarinya. Menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku melarikan diri masa lalu."

Leon mengangguk seraya memutar-mutar pot kaktus. "Oke, jika nanti sudah siap, kau bisa menceritakan masa lalumu. Untuk melupakan masa lalu, kau tidak bisa melaluinya sendiri. Kau butuh teman untuk menguatkanmu, Rose. Dan aku dengan senang hati akan menjadi temanmu."

Kedua mata itu saling bertatapan. Alesha mencoba mencari ketulusan di mata Leon. "Baiklah, kita berteman."

Leon menjentikkan jari. "Nah, itu bagus. Oke, kalau begitu, aku pulang dulu, sudah mulai petang."

"Terima kasih, Leon."

Pria itu bangkit dari kursi. "Oke, jaga diri baik-baik. Kau tahu, pada malam-malam tertentu, dari hutan pinus akan terdengar suara jeritan yang menyayat hati ...." Leon mendekatkan wajah pada Alesha. "... dan suara lolongan serigala yang mengerikan."

Alesha tertawa. "Oh ya? Aku justru sedang mencurigai bahwa kau salah satu anggota dari klan serigala di hutan pinus itu."

"Hoho ... bisa jadi!" Leon tersenyum. "Bye, Rose! Kalau kau butuh bantuan, jangan sungkan-sungkan untuk mengetuk pintu rumahku!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro