Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6 - Pulau Teratai

PULAU TERATAI, INDONESIA

Pria berbadan tegap itu mengerjapkan mata. Tubuhnya terbaring di sofa kulit berwarna hitam, menggeliat. Suara gaduh di luar sana sangat mengganggu tidur siangnya.

"Tidak! Jangan letakkan kaktus itu di lantai. Durinya yang tajam bisa membuat seseorang terluka jika tidak sengaja menginjaknya. Lebih baik diletakkan di atas meja." Suara wanita itu terdengar nyaring, sibuk mengatur letak pot kaktus.

Astaga, tidak bisakah volume suara itu dikurangi? Leon butuh suasana tenang untuk melanjutkan tidur siang.

"Tolong bawa pot sansevieria ke ruang tamu! Tanaman itu bisa menyerap karbon dioksida, dan ruangan akan terbebas dari polusi udara!"

Oh My God, vila ini terletak di tepi pantai yang belum terjamah tangan-tangan kotor manusia. Dan wanita itu sibuk mempermasalahkan polusi udara. Serumit itukah hidup yang dijalani?

"Tidak! Jangan tanam bibit melati di dekat mawar. Rumpun mawar lebih tinggi daripada melati. Itu akan membuat melati tidak akan terlihat."

Leon menggeram. Masih dengan posisi berbaring di sofa, ia menyibak tirai jendela ruang tamu. Dari sana ia melihat punggung seorang wanita, berdiri di halaman vila sebelah.

Rambut panjangnya bergerak tertiup angin. Tubuhnya dengan lincah bergerak ke sana kemari, sibuk mengatur letak beberapa pot berisi bermacam-macam bunga.

Siapa wanita itu? Hampir setahun Leon tinggal di sini, belum pernah sekali pun ia melihat kehadiran wanita asing itu. Menurut pengurus vila, pemilik vila sebelah adalah seorang pria tua asal Italia.

Jangan-jangan wanita itu simpanan si pria tua! Astaga, berpikir positif, Leon! Bisa jadi wanita itu merupakan anak atau kerabatnya. Atau bisa juga seseorang yang sedang menyewa vila untuk berlibur. Namun, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.

"Aku sudah tiba di sini sejak semalam, Signore." Wanita itu berbicara dengan seseorang di telepon. "Vila ini sangat indah. Sepertinya aku akan betah tinggal di sini. Aku sedang menata taman untuk memperindah suasana."

Leon mengacak rambut frustasi. Tinggal di sini? Bertetangga dengan wanita berisik itu? Astaga! Ketenangan hidupnya akan segera berakhir hari ini juga. Mungkin, setelah ini, suasana tenang vila mendadak menjadi bising oleh teriakan wanita yang entah berasal dari mana.

Setahun lalu, Leon memutuskan untuk membeli vila ini. Alasannya karena lokasinya berjauhan dengan letak perkampungan penduduk. Di tanah luas itu hanya dibangun dua buah vila yang letaknya bersebelahan.

Bangunan-bangunan vila lain berjarak sekitar dua ratus meter, itu pun terhalang oleh hutan cemara di sekelilling vila.

Baiklah, Leon! Jika kau tidak menyukai kehadiran tetangga barumu, maka abaikan saja! Anggaplah vila sebelah itu masih tidak berpenghuni. Mudah, bukan?

Lain halnya dengan Leon yang tengah merutuk di dalam hati, tetangga barunya justru sedang tersenyum seraya sibuk memberikan pupuk pada rumpun mawar.

"Biarkan saja Darren membabat habis seluruh rumpun mawarku. Aku bisa menanamnya lagi." Alesha menggerutu.

Hari pertama di vila, nama Darren masih mendominasi otaknya. Menyebalkan. Alesha datang ke tempat ini untuk melupakan semua tentang Darren. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sejak ia terbangun dari tidur, bayangan wajah Darren yang pertama kali muncul di dalam imajinasinya.

Oke, sepertinya Alesha harus mengalihkan perhatian pada hal-hal positif. Melukis, membaca novel, bermain game di ponsel. Apa pun itu, asalkan bayangan Darren menjauh dari otaknya.

***

Ombak kecil berkejaran di tepi pantai. Burung-burung camar terbang rendah, sesekali meliuk dan lincah mengepakkan sayap. Hamparan laut terlihat bak permadani biru yang terhampar luas. Lembayung senja kekuningan menyemarakkan gradasi warna di langit sore.

Duduk di atas bebatuan, Alesha tersenyum senang. Jemari lentiknya bergerak menyelipkan rambut ke balik telinga. Angin berembus nakal, berkali-kali menerbangkan helaian rambut hitam itu hingga menjuntai di wajah.

"Pemandangan yang indah, bukan?" Suara seorang pria mengalihkan perhatian Alesha.

Alesha menoleh. Pria berkacamata hitam itu melengkungkan bibir membentuk senyuman. Jika dilihat dari wajahnya yang memiliki rahang tegas dan dihiasi oleh bulu-bulu halus, pria ini bukanlah orang pribumi. Mungkin ia seorang turis asing yang sedang berlibur. Namun, bahasa Indonesia yang digunakan terdengar sangat fasih.

"Ya, sangat indah," sahut Alesha malas.

"Kau menyukai pantai?"

Alesha hanya bergumam singkat.

"Pantai merupakan tempat favoritku. Di tempat inilah aku sering mendapat inspirasi," ujar pria itu lagi.

"Benarkah? Kau sering ke sini?"

"Tentu saja. Duduk, merenung, dan inspirasi itu akan datang tanpa diundang."

"Mengagumkan!" Alesha mengangguk-angguk.

"Namaku Leon," ucapnya tanpa ditanya.

Alesha bangkit dari tempat duduknya, mundur selangkah. Sekali lagi ditatapnya pria bertubuh tinggi menjulang di sampingnya. Jangan mudah tertipu oleh penampilan orang asing. Waspada, bisa jadi pria yang mengaku bernama Leon itu bukanlah orang baik. Meski wajah tampan itu lebih pantas menjadi seorang model daripada menjadi penjahat.

"Oke, Leon. Tapi maaf, aku harus segera pulang." Tanpa menoleh, Alesha bergegas meninggalkan pantai.

Leon berdiri terpaku di tempatnya. Menghirup aroma kelopak mawar yang menguar dari helaian rambut panjang milik Alesha. Ia tidak berkedip menatap tubuh indah dalam balutan dress hitam bermotif bunga.

"Boleh aku tahu namamu, Nona?"

Tidak ada jawaban. Leon mendesah, resah.

Hello, Leon! Di mana kalimatmu tadi siang, tentang kau yang ingin mengabaikan tetangga pembuat gaduh?

Oh, tidak! Bagaimana mungkin Leon bisa mengabaikan wanita secantik itu? Dia berbeda dengan wanita lain! Kecantikan alami berpadu dengan inner beauty yang membuat lelaki mana pun takluk.

Dari balik kacamata hitamnya, Leon masih mengawasi Alesha sampai wanita itu menghilang di belokan. Lalu ia tersenyum dan bergumam, "Aku harus bisa menaklukannya!"

***

Alesha menyiram bunga di halaman sembari bersenandung. Dua hari tinggal di vila, lambat laun ia merasa kesepian karena hidup sendiri. Di saat itulah, bayangan Darren semakin sering mengganggu. Apa keputusannya untuk menenangkan diri di pulau kecil ini salah?

"Selamat pagi, Nona Rose!"

Alesha berjingkat, refleks menoleh ke sumber suara. Pria berkacamata hitam itu lagi! Apa yang sedang dia lakukan di halaman sebelah? Pria itu berdiri menghadap Alesha dengan tenang. Kedua lengan kokohnya bersandar di pagar pembatas halaman setinggi satu setengah meter. Dan itu terlihat sangat ... macho!

"Nona Rose?" Alesha mengernyitkan dahi di tengah keterkejutannya. Menengok kanan dan kiri, berpikiran bahwa pria itu sedang menyapa orang lain.

"Ya, kau! Nona Rose!" jawabnya santai.

Alesha terkekeh. "Namaku bukan Rose!"

"I know! Tapi kau cantik, seperti bunga. Dan helaian rambutmu begitu harum, seperti mawar."

"Rayuan kuno!"

"Aku serius, Nona Rose!" Dalam satu gerakan, Leon melompati pagar kayu.

Alesha terkejut dibuatnya. Leon melompat dengan lincah, persis seperti seorang pencuri yang sedang beraksi.

"Bagaimana kau bisa berada di sini? Sejak kemarin kau membuntutiku?" Alesha meletakkan selang air di atas rerumputan, menyilangkan kedua lengan di depan dada, menatap waspada pria berkaus putih dipadu celana selutut.

"Hoho ... santai, Nona Rose! Wajar jika aku berada di sini, karena aku tetanggamu."

"Tetangga?" Alesha berteriak histeris. Kenapa harus pria aneh ini yang menjadi tetangganya?

"Ya, satu-satunya tetangga terdekatmu!" tegas Leon. "Jadi, sebagai sesama tetangga, bisa kita duduk dan berbincang untuk saling mengenal?"

Kalau boleh memilih, Alesha ingin hidup tanpa tetangga seperti Leon. Pria ini terlalu percaya diri dan sok akrab. Meski harus ia akui, pria ini memiliki daya tarik tersendiri secara fisik. Gestur tubuh terlihat jantan, rahang tegas dengan bulu-bulu halus tercukur rapi, hidung mancung, alis tebal, dan bibir tebal yang sensual.

Leon duduk di kursi teras, sedangkan Alesha memilih kursi yang berseberangan dengan pria itu. Sebuah meja berbentuk bundar menjadi pembatas mereka. Di bagian tengah meja terdapat pot kecil berisi tanaman kaktus.

"Kau sudah lama tinggal di sini?" tanya Alesha.

"Sekitar satu tahun."

"Apa pekerjaanmu?"

"Apa ini sesi wawancara?"

Alesha mendesah. "Kau cukup menyebalkan untuk ukuran seseorang yang baru saja saling mengenal."

"Apa itu salah?" Leon sedikit mencondongkan tubuh ke arah Alesha.

"Sedikit."

"Aku menyukaimu, Nona Rose," ucap Leon tegas. Wajah tampannya menampakkan mimik serius.

Alesha melongo keheranan. Sedetik kemudian, ia tertawa lebar. "Selera humormu cukup bagus, Leon!"

"Aku serius. Aku menyukaimu."

Tawa Alesha terhenti seketika. Seseorang, tolong katakan siapa sebenarnya Leon ini! Apa dia adalah pria yang kabur dari rumah sakit jiwa? Pria ini serius menyatakan rasa sukanya pada seseorang yang baru saja dikenalnya. Baiklah, suka, bukan cinta! Suka memiliki arti yang luas, bukan?

"Aku tidak tahu harus mengatakan bahwa kau tetangga yang menyenangkan atau justru menyebalkan." Alesha kembali tertawa.

"Tentu saja tetangga yang menyenangkan."

"Namaku Alesha."

"Siapa pun namamu, aku lebih suka memanggilmu Rose."

"Baiklah, terserah. Bagaimana kau bisa tinggal di sini?"

"Tempat ini cocok untuk melarikan diri."

"Hei, apa kau buronan polisi? Ya Tuhan, betapa sialnya karena aku harus memiliki tetangga sepertimu!"

"Tenang, seandainya aku orang jahat sekalipun, aku tidak akan pernah berbuat jahat padamu." Leon membuka kacamata hitam dan meletakkannya di atas meja.

Alesha membelalakkan mata. "Kau bermata hazel?" teriaknya histeris. "Pakai kacamatamu sekarang juga!"

Leon mengerutkan dahi. Apa yang salah dengan mata hazel, sehingga Alesha menjerit histeris seperti ini? Dengan cepat ia menyambar kacamata dan mengenakannya lagi.

"Mulai sekarang, jangan pernah datang ke sini lagi!" Alesha bangkit dari kursi dan melenggang masuk ke vila. Pintu berdebum keras karena ia membantingnya.

Kerutan di dahi Leon semakin terlihat. "Apa yang salah dengan mata hazel, Rose?"

Alesha mengintip dari tirai jendela, memastikan Leon sudah meninggalkan teras. Wanita itu mendesah lega saat melihat tubuh tinggi menjulang itu sudah melompati pagar pembatas. Baiklah, Leon tampan, tetapi tidak waras!

Alesha mengempaskan tubuh ke atas sofa kulit, dadanya terasa sesak. Oh Tuhan, kenapa harus selalu ada sesuatu yang mengingatkannya pada Darren?

Alesha ingin melupakan pria itu, sungguh! Rasa cinta yang bercampur trauma begitu mengganggu kehidupannya. Alesha ingin hidup tenang, sesederhana itu! Namun, kenapa semua terasa sulit?

Masalah Darren belum selesai, sekarang Leon menambah masalah baru bagi Alesha. Siapa sebenarnya pria bermata hazel itu? Apa benar dia seorang buronan polisi?

Alesha teringat bagaimana pria itu dengan mudah melompati pagar pembatas halaman mereka. Sangat lincah! Persis seperti penjahat yang melompat karena dikejar pahlawan super. Siapa pun Leon, yang jelas ia telah membuat Alesha lebih sulit melupakan Darren. Oh, baiklah ... apa Alesha harus mengurung diri di kamar agar tidak melihat mata hazel itu?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro