Part 4 - One More Time, Please
Jalanan di tepi Sungai Arno cukup ramai oleh para turis maupun penduduk lokal. Dari kejauhan, jembatan tertua, Ponte Vecchio, terlihat memancarkan cahaya dari puluhan lampu. Perpaduan cahaya itu terlihat artistik. Sementara itu, permukaan Sungai Arno pun membiaskan cahaya lampu-lampu yang berpijar terang, membentuk satu kesatuan berwarna keemasan menakjubkan.
"Kota yang indah," gumam Darren sembari melangkah pelan di sisi Alesha. Matanya sibuk memandangi bangunan menjulang tinggi dengan jendela berbentuk kotak. "Rupanya kau cukup pintar mencari tempat untuk melarikan diri."
Alesha menghentikan langkah, berdiri menatap Darren dengan kesal. Malam ini terpaksa ia mengikuti keinginan Darren untuk berjalan-jalan di sekitar Sungai Arno. Itu lebih baik daripada harus terkurung berdua di dalam kamar. Ia tidak ingin mengambil risiko jika Darren tiba-tiba saja ... emmm ... menciumnya, misal.
"Ayolah, Alesha. Apa kau hanya akan terdiam sepanjang malam dan melewatkan keindahan kota ini?" Darren tersenyum, memasukkan telapak tangan ke dalam saku mantel berwarna hitam yang dikenakannya.
Ah, alihkan tatapanmu, Alesha! Atau dalam dua detik ke depan kau akan terjatuh ke dalam pesona pria tampan di hadapanmu!
Baiklah, tidak mudah bagi Alesha untuk berpaling dari wajah berahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu. Demi apa, wajah tampan itu kini terlihat lebih dewasa dan berkharisma jika dibandingkan dengan setahun lalu. Lalu mata hazel yang selalu menjadi daya tarik tersendiri. Abaikan itu, Alesha! Ingat, saat ini kau masih marah padanya!
"Alesha ...." Darren menyentuh dagu mantan istrinya. "Aku mencintaimu."
Aku mencintaimu! Entah sudah berapa kali Darren mengatakan itu dalam sehari. Terdengar seperti nyanyian merdu.
Namun, tolong, Alesha tidak ingin mendengar itu sekarang! Ia butuh waktu untuk menata hatinya kembali. Seandainya saja kata cinta dari Darren terucap satu tahun lalu, mungkin semuanya akan berbeda.
Perlahan, Alesha menepis tangan kokoh itu. Mata cokelatnya menatap Darren tajam. Tatapan yang sulit diartikan. Entah ia merasa senang, sedih, terkejut, atau justru terluka. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, tersenyum samar.
"Jangan katakan apa pun," ucapnya datar.
Tubuh indah wanita itu berbalik, berdiri menghadap Sungai Arno. Jemarinya berpegangan pada dinding pagar pembatas setinggi satu meter. Ia menyapukan pandangan pada bayangan lampu-lampu yang berpijar terang di permukaan air.
Darren menghela napas kasar. Rupanya tidak mudah mencairkan hati yang telanjur membeku. Tubuh berbalut dress ketat berwarna marun dan dilapisi mantel cokelat itu bergeming, terpaku oleh malam nan dingin.
Alesha terlihat lebih kurus, tidak seperti saat terakhir kali Darren melihatnya. Kata Signor Romano, wanita itu sering melewatkan jam makan. Darren meremas rambut kesal, semua ini salahnya.
"Katakan apa yang harus aku lakukan agar kau bisa memaafkanku." Darren beranjak ke sisi Alesha, menoleh dan memaksa wanita itu tenggelam di dalam mata hazel-nya.
"Apa kau tidak punya topik pembicaraan lain?"
"Sekalipun jika syaratnya aku harus berenang menyeberangi sungai ini, aku akan melakukannya untukmu, Alesha. Aku rela melakukan apa pun meski nyawa menjadi taruhannya."
"Kau konyol, Darren!" hardik Alesha. Cairan bening mulai mengambang di pelupuk mata. Ia mendongak dan membalas tatapan Darren.
"Kenapa? Kau takut kehilanganku, kan? Aku tahu kau mencintaiku."
"Aku tidak pernah mengatakan aku mencintaimu!" Wanita itu menyibak rambut panjangnya.
"Mulutmu memang tidak pernah mengatakannya, tapi matamu tidak akan pernah bisa berbohong!"
"Baiklah, baiklah!" Napas Alesha mulai terengah-engah, ia menggigit bibir bawahnya, mencegah agar tangisnya tidak pecah.
"Aku tahu, Alesha. Betapa bodohnya karena aku tidak menyadari semua ini sejak awal. Kau tahu, sepanjang malam aku sulit memejamkan mata karena menyesali kebodohan ini. Jika saja aku bisa memakai sedikit saja logika, mungkin semua ini belum berakhir. Seharusnya saat ini kita masih tinggal di kamar yang sama, memadu cinta. Dan kita bisa hidup bahagia bersama anak-anak kita."
Alesha menyusut cairan bening di sudut matanya. Kalimat Darren terlalu kuat untuk merobohkan pertahanannya. "Tolong hentikan, Darren!"
"Kau tahu, selama setahun ini aku selalu berharap semoga benihku tengah tumbuh subur di rahimmu. Seharusnya sekarang ia menjelma menjadi bayi mungil yang bisa kembali mempersatukan cinta kita." Darren tertawa, putus asa. "Ternyata, Tuhan berkehendak lain. Mungkin itu artinya kita diberi kesempatan untuk mencobanya lagi."
Oh, ya ampun, Darren! Apa ini sebuah kode? Huh, kalimat terakhir itu cukup membuat pipi Alesha memanas dan rona merah dengan cepat menjalari wajahnya.
Darren memiringkan kepala, tersenyum. Mengagumi wajah Alesha. See, Darren tahu benar, Alesha sengaja tidak memakai riasan. Mengagumkan. Wanita itu justru memancarkan kecantikan alami. Bahkan sepertinya pancaran kecantikan itu mengalahkan sinar lampu yang berpijar di sepanjang jembatan Ponte Vecchio.
Darren mendekatkan wajah ke telinga Alesha. Aroma kelopak mawar itu kembali menyergap hidung, satu hal yang sangat ia rindukan. Kemudian, pria itu berbisik lembut, "Sei molto bella, Signorina!"
Kau sangat cantik, Nona! Oh, ayolah! Wanita mana yang tidak melayang saat mendengar pujian semanis itu dari seorang pria? Ditambah dengan suasana romantis di sekitar mereka. Bolehkah Alesha meleleh untuk saat ini?
Tidak, tidak! Kau sedang marah, Alesha! Jadi, jangan tergoda oleh rayuan Darren! Atau kau akan kembali terperangkap jeratan cinta yang mematikan!
"Aku sangat membencimu, Darren!" Alesha bersungut-sungut, menghentakkan kaki kanan. Seketika kesedihan yang ada di hati Alesha berganti dengan sebuah kejengkelan.
Darren terkekeh. "Aku anggap itu sebagai ungkapan cintamu, Alesha."
Wanita itu melotot seraya mencebikkan bibir. Astaga, itu sama sekali tidak mengurangi kadar kecantikan Alesha. Dan bibir yang terlihat ranum itu ... ah, andai saja ini bukan di tempat umum, Darren sudah sejak tadi melahapnya.
"Kita ganti topik pembicaraan, oke?"
"Apa ada pilihan untuk menolak? Aku tidak sanggup membuka luka lama ini."
Darren tahu, ini sangat sulit bagi Alesha. Akan tetapi, malam ini kesalahpahaman di antara mereka harus segera diselesaikan. Pria itu juga berharap agar Alesha mau memaafkan semua kesalahannya, dan memperbaiki hubungan ini.
"Aku berjanji akan melakukan apa pun agar kau bisa melupakan kenangan pahit di antara kita. Buka lembaran baru, please!"
"Terlalu sakit, Darren!"
"I know." Menyalurkan kekuatan pada Alesha, Darren menautkan jemari mereka.
Alesha menatap Darren. Debaran lembut itu menyapa hatinya saat jemari mereka saling bertautan. Tidak, ia tidak ingin bermain hati lagi dengan Darren. Cukup sudah rasa sakit yang pernah menghancurkan hidupnya. Luka itu bahkan belum mengering.
"Haruskah kita membicarakan masalah di sini? Tempat ini terlalu ramai dan aku tidak ingin mengambil risiko seandainya terjadi pertengkaran di antara kita, dan menjadi tontonan banyak orang."
Benar. Tidak jauh dari mereka, kedai kopi terlihat ramai dengan pengunjung yang sedang menikmati keindahan Ponte Vecchio sembari mengobrol ringan. Sementara puluhan turis tidak henti-hentinya membidikkan kamera, mengabadikan diri dengan keindahan kota pusat arsitektur renaisans.
Darren tersenyum. "Kita butuh tempat yang lebih privat. Kebetulan aku sudah menyewa hotel tidak jauh dari sini."
"Hotel? Jangan gila, Darren! Di antara kita sudah tidak ada ikatan pernikahan lagi!" Alesha mendelik, sepertinya Darren mulai memanfaatkan kesempatan.
"Kita hanya akan berbincang. Tidak akan berbuat macam-macam."
"Tetap saja, itu berbahaya. Aku tidak bisa menanggung risiko seandainya kau khilaf."
"Apa perlu kita buat kesepakatan di atas meterai, bahwa aku tidak akan menyentuhmu malam ini?"
Alesha berpikir sejenak. Mungkin Darren serius dengan ucapannya barusan. Lagi pula, ia ingin semuanya cepat selesai dan Darren tidak lagi mengganggunya. "Kau bisa dipercaya?"
"Bunuh saja seandainya aku mengingkari janji."
"Baiklah, hanya berbincang."
"Hemmm ... baiklah," sahut Darren. "Tapi aku berharap ada bonus sebuah ciuman, mungkin."
"Darren!"
"Aku hanya bercanda, Alesha."
***
Kamar hotel bercat putih itu memiliki ruangan yang luas. Sebuah ranjang king size dengan seprai putih bermotif garis-garis kuning terletak di sudut ruangan. Permadani biru terhampar, menggambarkan pusat arsitektur kota Florence. Di atasnya, satu set sofa siap memanjakan penghuni kamar.
Alesha melangkah perlahan, lalu duduk di sofa dengan debaran jantung yang semakin tidak terkendali. Kenapa berada satu ruangan dengan Darren membuat ia merasa ketakutan? Ia takut jika Darren berbuat kasar padanya lagi.
"Kau takut?" tanya Darren. Ia mengambil tempat duduk tepat di samping Alesha.
"Tidak. Cepat katakan apa pun yang ingin kau katakan. Aku ingin segera pergi dari tempat ini."
"Oke, mari kita mulai." Pria itu menghela napas sebelum memulai kalimatnya. "Aku tidak pernah mencintai Tania. Dia hanya menjadi pelarianku karena kupikir kau akan kembali pada mantan kekasihmu."
"Baiklah. Lalu apa maksudmu membuat konferensi pers dan mengatakan aku melarikan diri setelah menjual beberapa aset milik keluarga Anderson?"
"Tania yang melakukan itu tanpa sepengetahuanku," sanggah Darren.
"Dan kau membiarkannya? Kau tahu bahwa itu menghancurkan nama baikku."
"Aku sudah membersihkan nama baikmu. Satu hari setelah berita itu tersebar, aku membuat konferensi pers dan menyatakan semua itu tidak benar. Kau melewatkan berita itu?"
Alesha menangkup wajah. Ternyata Darren tidak diam saja saat seseorang mengusik kehidupan mantan istrinya. Benarkah Darren mencintainya? Alesha meragu.
"Aku rasa semuanya sudah jelas. Kita saling mencintai, maka kembalilah padaku, Alesha." Darren beringsut, duduk lebih dekat pada Alesha, menarik kedua tangan yang sedang menutup wajah, lalu keduanya pun bertatapan.
Mata wanita itu memerah dan berkaca-kaca. Darren melihat bayangan dirinya di dalam sana. Semakin tenggelam dan terhanyut. Ia berharap Alesha bersedia kembali padanya. Namun, harapan Darren memudar saat Alesha menggeleng mantap.
"Aku takut untuk memulainya lagi denganmu."
"Apa yang kau takutkan? Baiklah, aku sadar selama pernikahan kita, tidak pernah sekali pun aku membuatmu bahagia. Tapi aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi."
"Kau sering mengatakan itu. Berjanji tidak akan mengulangi lagi. Tapi, kenyataannya apa? Kau melakukan hal yang lebih menyakitkan dari sebelumnya."
"Aku minta maaf, Alesha."
"Kesalahanmu terlalu besar untuk dimaafkan."
"Aku tahu. Tapi tidakkah ada kesempatan berikutnya?"
Alesha bangkit dari sofa, menatap Darren dengan amarah. "Kau yang telah membuatku kehilangan liontin milik ibuku!"
"Ya! Dan aku juga yang melarangmu melukis!" tambah Darren.
"Kau melarangku mengunjungi makam kedua orang tuaku!"
"Aku yang membakar rumahmu!"
"Kau mengirim anak buahmu untuk mencoba menyentuhku!" Suara Alesha tercekat. Dadanya naik turun seiring napas yang memburu.
"Aku juga yang dengan suka rela mempertaruhkanmu pada Danu!"
"Kau membuatku tenggelam di kolam dan hampir kehilangan nyawa!"
"Aku melengkapi sakit hatimu dengan berniat menikahi Tania!"
Alesha memejamkan mata, membiarkan bulir-bulir bening itu terjatuh membasahi permadani. Ia mencoba untuk menguatkan diri. Jika selama setahun ini ia mampu membentengi diri dari kenangan pahit itu, entah kenapa sekarang benteng itu hancur tidak bersisa.
Darren kembali memporakporandakan kehidupan Alesha hanya dengan mencungkil semua kenangan dari dasar hatinya. Tidak seharusnya Darren melakukan itu! Terlalu sakit!
"Katakan, dengan cara apa aku bisa menyembuhkan luka itu? Beri kesempatan, aku mohon!"
"Aku sudah berkali-kali memberimu kesempatan! Tapi kau selalu melewatkannya!" Suara wanita itu terdengar menyayat hati.
"One more time, please!"
Alesha menggeleng. "No, I'm scared!"
"Kau mencintaiku! Lalu apa yang kau takutkan?"
"Mengertilah, Darren! Aku butuh waktu untuk menata hati!" Tubuh Alesha mulai melemah, ia kembali terduduk di sofa.
"Baiklah. Maaf jika aku terkesan memaksa. Setahun tanpa kehadiranmu membuat hidupku terasa hampa. Aku membutuhkanmu. Sangat." Darren meraih Alesha ke dalam pelukannya.
Alesha terlalu lelah untuk memberontak. Sungguh, mengenang masa lalu yang kelam sangat menguras energi. Setidaknya, ia merasa lega karena bisa meluapkan beban yang selama ini ia simpan sendirian.
"Tidurlah bersamaku. Untuk malam ini saja. Aku takut jika ternyata esok aku benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk kembali memilikimu. Hanya tidur, tidak akan lebih dari itu! Aku mohon, aku sangat merindukanmu."
Wanita itu terdiam, membiarkan lengan kokoh itu merengkuhnya dengan erat. Tidak peduli meski bibir Darren mulai memberikan kecupan ringan di seluruh wajahnya. Masa bodoh sekalipun desah napas pria itu mulai menggelitik telinganya.
Alesha hanya ingin tidur, berharap ini hanyalah mimpi buruk. Dan esok saat terbangun, ia kembali menemukan dirinya tertidur di kamar. Seorang diri. Tanpa Darren, pria yang telah membawa Alesha ke lorong gelap dan menyakitkan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro