Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3 - I Love You

Roda-roda waktu terus berputar. Tidak terasa, empat musim di benua Eropa pun berlalu. Tidak mudah bagi Alesha untuk melalui kehidupannya di negara asing. Bukan karena terik matahari di saat musim panas, bukan pula karena tidak tahan cuaca ekstrem saat salju mengguyur kota Florence.

Kesulitan itu lebih mengarah pada perasaan, tentang bagaimana ia terus membunuh cinta di hati dan memusnahkan rindu yang datang tiba-tiba. Tidak mudah ketika ia harus berjuang mengenyahkan bayangan pria bermata hazel yang terus menjadi mimpi buruknya.

Beruntung, di tengah kesulitannya dalam mengendalikan perasaan, Signor Romano dan istrinya dengan senang hati memberikan dukungan. Termasuk Danu yang selalu bersedia menjadi teman bertukar pikiran meski pria itu tinggal di Jakarta.

Di tahun inilah, Alesha berhasil meraih titik kesuksesan. Seniman itu berhasil menyerap seluruh ilmu dari sang maestro. Hasil karya seninya bukan lagi lukisan yang bisa dipandang sebelah mata. Kini semua mata pencinta karya seni di kancah internasional sedang tertuju padanya.

Semua berawal dari seminggu yang lalu, saat beberapa lukisan Alesha dipajang dalam sebuah pameran seni di kota Florence. Karya seninya bersanding dengan ratusan lukisan seniman dari seluruh penjuru dunia.

"Kau berhasil menyihir pengunjung pameran dengan lukisanmu, Alesha!" ujar Signor Romano dengan bangga.

Ya, pengunjung tidak merasa puas jika hanya melihat lukisan Alesha dalam sekedip mata. Seperti ada kekuatan magic yang membuat seseorang ingin menghabiskan waktu lama untuk menikmati hasil karya luar biasa itu.

Terutama sebuah lukisan berjudul LOVE INSIDE THE WOUND, menggambarkan sosok pria dan wanita yang berdiri saling berjauhan dengan latar lembayung senja. Jemari wanita itu menggenggam setangkai bunga mawar, durinya yang tajam menancap dan melukainya. Lukisan itu terasa menghipnotis, bahkan beberapa orang harus meneteskan air mata, seolah mereka benar-benar merasakan sebuah kesakitan.

Atas kesuksesan tersebut, wartawan beramai-ramai mewawancarai Alesha. Keesokan harinya, wajah wanita itu menghiasi sampul berbagai majalah dan koran. Semua media berlomba-lomba menampilkan berita terkini di dunia kesenian.

***

Suara cangkir beradu dengan lantai memecah kesunyian pagi. Darren menatap serpihan cangkir porselen dan cairan hijau yang mengotori lantai. Bersandar di punggung kursi, pria itu meremas rambut frustrasi. Satu tahun berlalu, tapi tidak sekali pun ia mampu menghirup aroma matcha.

Jika dulu ia sangat menggemari matcha karena kenikmatannya, berbanding terbalik dengan saat ini. Aroma matcha menyakitkan, mengulik kenangan masa lalu, membuat Darren merindukan saat-saat di mana ia masih bisa mencium bibir ranum istrinya.

"Selamat pagi, Tuan." Seorang pria dengan kemeja polo hitam menghampirinya, membungkuk memberi hormat. Albert, salah satu orang kepercayaan Darren.

"Kau datang di saat yang tidak tepat," dengus Darren.

"Maaf, Tuan. Ada kabar penting yang harus saya sampaikan," ucap Albert dengan nada mantap.

Darren berdecak kesal. "Cepat katakan!"

"Anda sudah membaca koran pagi ini?"

"Sepenting apa? Nilai tukar dolar naik? Atau masalah persengketaan lahan yang akan dibangun perusahaan baruku? Itu bisa kita bicarakan nanti siang!"

"Nyonya Alesha sedang menjadi topik perbincangan di seluruh media."

Darren menegakkan tubuh. Mendengar kabar tentang Alesha, ibarat hujan di musim kemarau. Sebuah anugerah yang sudah lama dinantikan.

Albert menyodorkan koran, telunjuknya mengarah pada foto seorang wanita cantik yang tidak asing di mata Darren. Sebaris judul ditulis dengan huruf besar di halaman pertama.

PELUKIS ASAL INDONESIA BERHASIL MENCURI PERHATIAN PARA PENCINTA SENI DI KANCAH INTERNASIONAL

Sebuah museum di kota Florence, Italia, menjadi saksi atas kesuksesan seorang pelukis asal Indonesia. Dengan lukisan yang diberi judul LOVE INSIDE THE WOUND, wanita yang diketahui bernama Alesha sukses menghipnotis para pencinta seni ....

"Hampir semua situs berita online di seluruh dunia ramai memperbincangkan hal ini," tambah Albert.

"Segera kirim orang ke Florence untuk menyelidiki keberadaan Alesha. Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan penting, aku akan menyusul ke sana!" Darren memberikan perintah.

"Siap, Tuan." Albert bergegas melaksanakan titah tuannya.

Darren tersenyum. Ditatapnya foto wanita dengan T-shirt putih dan tengah memeluk sebuah buket bunga. Alesha terlihat bahagia, bahkan selama ini Darren belum pernah melihat mantan istrinya tersenyum selebar ini. Mata Darren berkaca-kaca. Ia merasa bangga akan kesuksesan Alesha.

"Tunggu aku, Sayang! Aku pasti akan menjemputmu!" gumamnya.

***

Dengan kamera DSLR menggantung di leher, Alesha berjalan menyusuri taman. Sesekali kameranya membidik spot-spot menarik. Ah, tidak seharusnya ia berjalan-jalan di Giardino Bardini seorang diri. Ia membutuhkan seseorang, setidaknya agar bisa mengabadikan dirinya berpose di antara bunga-bunga kesukaannya.

Giardino Bardini adalah sebuah taman dengan luas empat hektar, terletak di antara Piazzale Michelangelo dan Giardino Boboli, di seberang Sungai Arno.

Alesha memasuki taman melalui Via dei Bardi. Sebuah kebun mawar memanjakan mata cokelat wanita itu. Ia menghirup aroma harum dari kelopak-kelopak cantik yang sedang bermekaran. Lalu mendesah lesu, teringat taman di rumah Darren. Apakah bunga-bunga mawar yang dulu ia tanam masih bisa dilihat dari balkon kamar Darren? Apakah pria itu masih senang menghabiskan pagi dengan merentangkan kedua lengan seraya menghirup aroma khas mawar?

Ah, Darren! Kenapa Alesha harus mengingatnya lagi? Lupakan tentang mawar, itu akan membangkitkan luka lama.

Ingin segera menjauh dari aroma yang penuh dengan kenangan, Alesha mempercepat langkah, mendahului beberapa turis yang masih sibuk berswafoto.

Tidak hanya aneka bunga yang membuat taman itu terlihat menarik. Selain air mancur dan kolam, pengunjung juga bisa menyaksikan keindahan kota Florence dari lereng perbukitan.

Alesha tersenyum, menemukan spot bagus untuk membidikkan kamera. Ia memosisikan tangan kanan pada tombol shutter, menggunakan tangan kiri sebagai tumpuan kamera dengan berada di antara bodi dan lensa, sementara sebelah mata mengintip celah viewfinder.

Jemari wanita itu mulai memutar lensa untuk melakukan zoom. Satu detik kemudian, gerakannya tertahan. Tubuhnya menegang, ia hampir lupa untuk bernapas, merasa ada yang salah saat lensa kameranya tidak hanya menggambarkan pemandangan.

Entah kenapa lensa kameranya justru menangkap sesosok pria bermata hazel. Mungkin ini hanya ilusi, sebuah fatamorgana karena sejak tadi Alesha terlalu banyak mengenang pria itu. Namun, sampai Alesha menekan tombol shutter pun, bayangan itu masih berada di tempatnya.

"Sampai ke ujung dunia pun, aku bersumpah akan selalu menemukanmu." Dan kini bayangan itu berbicara!

Alesha kembali mengalungkan kamera di leher. Ia menatap pria yang berdiri tiga meter di hadapannya. Pria itu nyata, bukan sekadar fatamorgana!

Wanita itu membalikkan tubuhnya, bergegas meninggalkan lereng perbukitan, menjauh dari pria yang telah memporakporandakan hatinya.

"Alesha!" Darren berseru. "Beri aku kesempatan untuk berbicara!"

Alesha tidak mengacuhkan suara pria itu. Terseok-seok mempercepat langkah. Jalanan yang menurun membuat ia sedikit kesulitan. Hingga akhirnya terpeleset dan tubuhnya berguling di rerumputan.

Ia tidak bisa menghindar saat Darren membantunya berdiri. Dengan lembut, jemari kokoh itu mengusap goresan luka di lengan Alesha.

"Aku ingin selalu menjadi orang pertama yang menyembuhkan lukamu. Dan akan selalu menjadi satu-satunya orang yang menghapus air matamu." Jemari Darren beralih pada pipi Alesha yang sudah berurai air mata.

Ingin rasanya Alesha memberontak, tetapi tubuhnya terlalu kaku untuk digerakkan. Ia hanya mampu menatap mata hazel yang tengah menyelami isi hatinya.

"Kenapa setelah malam itu kau meninggalkanku?" tanya pria itu dengan suara bergetar. Ada penyesalan yang mendalam di sana.

"Karena pernikahan kita memang telah berakhir. Dan kau telah memilih wanita yang kau cintai." Wanita itu menunduk, membiarkan air mata itu semakin menderas.

"Kau salah, Alesha. Kau salah. Bagiku, malam itu adalah saat di mana pernikahan kita baru saja dimulai. Dan aku sama sekali tidak menginginkan akhir dari kisah kita."

"Kisah kita yang mana, Darren? Kita tidak pernah menciptakan sebuah kisah. Kita hanya menciptakan sebuah permainan!"

"Dan aku terjebak dalam permainan yang kita buat. Kalimat seperti apa yang bisa membuatmu percaya bahwa aku tidak menginginkan semua itu berakhir? Aku harus bertanggung jawab atas malam itu!"

"Kenapa? Karena telah merenggut keperawananku? Tidak perlu merasa bersalah. Saat itu kau suamiku, dan kau berhak mendapatkannya!"

"Bukan itu alasannya, Alesha! Bukan itu!"

"Bagiku semuanya sudah berakhir! Alasan itu tidak penting lagi bagiku!" Alesha mundur selangkah, menjauhkan tubuhnya dari Darren, berbalik dan melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

"Alasannya karena aku mencintaimu, Alesha! Aku mencintaimu. Kau dengar itu?" Darren berteriak sekuat tenaga. Tidak memedulikan beberapa orang turis yang menatapnya heran. Masa bodoh. Toh, mereka tidak akan mengerti apa yang Darren ucapkan.

Sembari melangkah cepat, Alesha menutup kedua telinga, tidak ingin mendengar teriakan Darren.

"Alasannya karena aku mencintaimu, Alesha! Aku mencintaimu, kau dengar itu?"

Kau pembohong, Darren! Kau pembohong!

***

"Tidak mudah bagi Alesha untuk melewati empat musim di Florence," ujar Signor Romano. Tangan berkulit keriput itu terlihat piawai memainkan kuas di atas kanvas.

"Aku mengerti, Signore," sahut Darren sembari mengambil sebuah kursi kayu dan duduk di samping sang maestro.

"Aku sering melihatnya diam-diam menangis seorang diri. Berusaha meredam kesedihannya dengan melukis. Bahkan, saat orang lain tertidur pulas pun dia sibuk menenggelamkan diri dengan lukisannya."

Darren tidak berkomentar, meremas jemari dengan gelisah. Ia tidak sabar ingin berbicara dengan Alesha, tetapi wanita itu enggan keluar dari kamar, mengurung diri setelah perjumpaan di taman siang tadi.

"Alesha menyimpan cinta di dalam luka. Persis seperti lukisan yang dia buat." Signor Romano terbatuk sebentar.

"Apa dia pernah bercerita tentangku?"

"Dia mencintaimu, tapi kau mencintai wanita lain."

"Ini salah paham, Signore," sanggah Darren. "Justru saat itu aku berpikir jika dia mencintai pria lain."

Signor Romano terkekeh, menampakkan gigi putih dengan noda kopi di sela-selanya. "Kalian saling mencintai, tetapi berlagak saling membenci. Dan saat jarak memisahkan, kalian justru tersiksa oleh perasaan masing-masing."

"Aku ingin memperbaiki hubungan kami."

Berhenti menggoreskan kuas, Signor Romano beranjak dari kursi, berjalan menuju meja kecil di sudut ruangan. Dibukanya laci meja, jemari tuanya mencari-cari sebuah anak kunci. Setelah mendapatkan yang dicari, ia kembali menghampiri Darren.

"Ini duplikat kunci kamar Alesha. Luluhkanlah hatinya. Aku tidak tega melihat kalian saling menyiksa diri, sementara dengan jelas mata tua ini melihat ada cinta yang sangat besar di antara kalian."

Dengan mata berbinar Darren menerima duplikat kunci kamar itu. "Grazie, Signore." Ia mengucapkan terima kasih.

Darren bergegas meninggalkan studio lukis, tidak sabar ingin menemui Alesha. Kesalahpahaman di antara mereka harus segera diluruskan.

Kamar Alesha berada di lantai dua. Darren menapakkan kaki telanjangnya di anak tangga dengan tergesa. Sesampainya di tempat tujuan, ia memutar anak kunci, lalu membuka pintu kamar dengan sekali hentak. Untuk mengantisipasi agar Alesha tidak kabur, pria itu kembali menguncinya setelah ia berada di dalam.

Alesha tersentak mendapati Darren yang sudah berada di kamarnya. Ia bergegas menarik selimut hingga sebatas bibir. Wajah cantik itu terlihat sayu, matanya memerah.

"Darren!" Alesha memekik emosi.

"Tenang, Alesha." Darren mengangkat kedua tangan. "Aku hanya ingin membicarakan kesalahpahaman di antara kita. Aku berjanji tidak akan melakukan apa pun, kecuali ... kau yang memintanya terlebih dahulu."

Pria itu menahan senyumnya, mengedipkan sebelah mata pada Alesha. Emosi gadis itu semakin tersulut. Darren bercanda di saat yang tidak tepat!

"Pergilah, Darren!"

"Tidak akan. Aku hanya akan pergi setelah masalah kita selesai."

Alesha menyerah. Darren pria yang keras kepala. Percuma wanita itu membantah, Darren tidak akan mendengarkannya.

Wanita itu memilih untuk menenggelamkan seluruh tubuh ke balik selimut. Berada di satu ruangan dengan Darren, membuat jantungnya berdegup kencang. Benci tapi rindu. Arrrrgh ... Alesha mengutuk diri sendiri karena tidak bisa menolak pesona mata hazel itu.

Oh, yang benar saja! Sekalipun kerinduan itu menikam jantungnya, tetapi Alesha tidak bisa melupakan goresan luka yang telanjur membekas di hati. Katakan, apa yang harus Alesha lakukan? Apakah memperbaiki hubungan dengan Darren adalah jalan terbaik? Entahlah!

***

To be Continued

Preview Part 4 - 6 di KaryaKarsa, link-nya ada di bio Wattpad

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro