Part 26 - Hilang
Mobil yang dikemudikan Darren menderu kencang meninggalkan pelataran. Sementara itu, Alesha terduduk di sofa, meremas rambutnya dengan kesal. Kepalanya pening. Semua terasa begitu membingungkan. Kepada siapa ia harus mencari pembenaran?
"Kau baik-baik saja, Rose?" ucap Leon.
Alesha mendongak, menatap Leon yang berdiri menjulang di depannya. Alesha mendesah, seharusnya ia yang menanyakan hal itu pada Leon, bukan sebaliknya. Pukulan Darren menyisakan lebam di wajah Leon.
"Potongan puzzle ini semakin rumit untukku," lirih Alesha seraya menyandarkan punggung ke sofa. Matanya terpejam, bayangan mimpi buruk itu kembali berseliweran di benaknya.
"Tidak perlu cemas. Aku akan selalu ada di sampingmu." Leon duduk di sisi kanan Alesha, menyentuh jemarinya dengan lembut.
"Terima kasih. Tapi aku butuh waktu untuk menenangkan diri." Tanpa menatap wajah Leon, Alesha beranjak meninggalkan pria itu, pulang ke vila miliknya.
Kegelisahan itu tidak pernah berakhir, terlebih saat ia menemukan cincin dan kalung berlian pemberian Darren masih tergeletak di meja. Alesha tersenyum miring. Sefantastis apa pun harga perhiasan itu, nominalnya tidak seberapa bagi Darren. Wajar jika ia tidak berniat untuk mengambil barang pemberiannya.
Rose ... Alesha ... Rose ... Alesha .... Dua kata itu berperang di dalam benaknya. Mana yang benar? Ah, sudah jelas Alesha akan tetap menganggap bahwa dirinya adalah Rose. Karena saat pertama kali membuka mata, yang ia ingat hanya satu hal. Ia bernama Rose!
***
Sinar matahari sore menerobos masuk melalui jendela kaca. Di ruangan berukuran tidak terlalu luas itu, Alesha mengajari beberapa anak kecil melukis. Sekitar lima belas orang anak sibuk duduk menghadap meja, berkutat dengan kertas dan pensil warna.
Suasana ruangan lengang oleh kesibukan masing-masing. Sesekali terdengar suara kertas dibolak-balik, atau suara pensil yang diketuk-ketukkan ke atas meja.
"Mama!" Suara nyaring seorang anak kecil memecah keheningan. Alesha menoleh ke sumber suara.
Di ambang pintu, seorang gadis kecil berumur sekitar dua setengah tahun berdiri termangu. Rambut panjangnya dikucir dua dengan pita berwarna merah muda, senada dengan dress selutut yang dikenakannya. Poni di dahinya bergerak tertiup angin.
"Lea ...," desis Alesha.
Lea tidak beranjak dari tempatnya. Matanya bergantian menatap murid-murid Alesha satu per satu. Gadis kecil itu ragu untuk melangkah. Ada rasa tidak rela karena harus berbagi sang mama dengan anak-anak lain. Mama hanya miliknya, pikirnya.
Sama halnya dengan Lea, Alesha pun merasa ragu, haruskah ia memeluk dan menciumnya seperti waktu itu? Apa kata Darren kemarin? Kau boleh melupakanku, tapi apa kau tega melupakan putrimu sendiri?
Benarkah Lea putrinya? Jika dilihat dari garis wajah, Lea memang memiliki wajah campuran antara ras Amerika dan Asia. Ia memiliki mata hazel seperti Darren. Namun, bagian mana yang menunjukkan bahwa Alesha adalah ibunya?
"Mama ...." Kali ini suara Lea berubah lirih, merasa risi akan tatapan anak-anak lain. Jemari mungilnya meremas pita di bagian depan dress.
Alesha merasa iba melihat mata Lea yang mengerjap ingin menangis. Ia bergegas menghampiri gadis kecil itu. "Hai, Sayang! Kau sendirian?"
Lea menggeleng lemah. "Sama Papa." Jarinya menunjuk keluar.
Pandangan Alesha mengikuti arah telunjuk Lea. Di dekat tiang bendera, terlihat Darren sedang berbincang serius dengan ketua sanggar kesenian.
Astaga! Kenapa Darren harus mengajak Lea ke tempat ini di saat yang tidak tepat? Harusnya ia mengerti bahwa hubungan mereka sudah berakhir. Namun, ternyata pria itu tidak menyerah.
"Lea ingin peluk Mama ...."
Oh Tuhan, betapa polosnya mimik wajah Lea saat mengucapkan kalimat itu. Wanita mana yang tega mengabaikan bidadari kecil secantik ini? Mata jernih mengerjap lucu, bibir mungilnya mengerucut manja. Sementara wajah berkulit putihnya bersemu merah, menahan tangis sejak tadi. Ya, Lea sangat merindukan Alesha.
"Unchh ... My Princess. Sini peluk Mama." Alesha menggendong tubuh Lea. Gadis kecil itu bergegas mengalungkan lengan mungilnya di leher Alesha, seolah ia tidak mau terlepas dari ibunya.
Kau curang, Darren! Alesha merutuk dalam hati. Pria itu menggunakan Lea sebagai umpan? Darren pasti sudah tahu, wanita selembut Alesha tidak akan tega menolak kehadiran Lea. Terlebih saat Alesha masih mencari jawaban, benarkah Lea adalah putri kandungnya?
"Mama cuma milik Lea, kan? Lea tidak mau belbagi dengan meleka!" Lea semakin mengetatkan rengkuhannya.
"Tentu, Sayang." Sebuah kecupan mendarat di pipi Lea. "Mama hanya mengajari mereka menggambar, oke? Lea ingin belajar menggambar juga?"
"Ayo kita pulang. Lea ingin tidul di lumah Mama."
Tidur di rumah Mama? Astaga, semoga saja Darren tidak mengabulkan keinginan putrinya. Atau bisa jadi ini adalah ide konyol pria itu. Ia benar-benar sudah memanfaatkan Lea!
"Ayo, Mama! Lea janji akan jadi anak baik, tidak nakal di lumah Mama," pinta Lea dengan wajah memelas.
Jika sudah begitu, Alesha bisa apa selain mengangguk? Mematahkan harapan Lea, itu jelas tidak mungkin. Usai membubarkan kelas, Alesha menghampiri Darren. Pria itu sudah selesai berbincang dengan Ketua Sanggar Seni.
"Hai, Sugar," sapa Darren.
Alesha membelalak. Bahkan setelah kejadian kemarin, Darren masih berani memanggilnya dengan sebutan "sugar"? Kalau saja tidak ada Lea, ingin rasanya Alesha membenturkan kepala Darren ke tiang bendera.
"Papa, malam ini kita tidul di lumah Mama. Iya, kan?" tanya Lea dengan suara riang. Gadis kecil itu sama sekali tidak mau lepas dari Alesha, seperti bayi koala yang menempel pada induknya.
"Tentu, Sayang! Kita akan menginap di rumah Mama."
"Yeeeeaaaayy!" Lea berseru girang.
Alesha mengerucutkan bibir, tentu saja tanpa sepengetahuan Lea. Awas saja kau, Darren! Saat Lea sudah tidur nanti, aku akan benar-benar menghajarmu!
***
"Sugar, kau suka sup ayam?" tanya Darren. "Aku akan membuatkan makan malam untuk kalian."
"Yeah, Papa. Lea mau sup ayam." Lea berseru di tengah keasyikannya menonton film Frozen.
"Papa bertanya pada Mama, Sayang," ralat Darren.
"Aku tidak lapar. Kau tidak perlu repot-repot memasak. Lagi pula, kau bisa membeli makan malam di luar."
"Lea lebih suka makan dengan sup buatanku dibanding makanan di luar." Darren bergegas menuju dapur.
Alesha memutar bola mata jengah. Sejak tadi ia harus bersandiwara di depan Lea, berpura-pura hubungan mereka baik-baik saja. Meski dalam hati ia sudah ingin menumpahkan kekesalannya.
Lea meluncur turun dari sofa. Iringan lagu di film itu membuat Lea ingin menari. Dengan lincah, kaki kecil itu bergerak ke sana kemari di atas lantai. Ke kanan, ke kiri, berputar, sementara bibirnya bersenandung mengikuti lagu yang terdengar.
Alesha bertepuk tangan. "Ternyata kau pandai menari, Sayang!"
"Yeah, Mama! Lea seling menali belsama Papa!" serunya seraya melompat-lompat kecil.
"Oke, Sayang. Lanjutkan tarianmu, Mama akan membantu Papa memasak di dapur. Oke?"
"Oke, Mama!" ucap Lea tanpa menoleh, asyik dengan tariannya.
Alesha berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan Darren sibuk memasukkan ayam ke dalam panci berisi air mendidih. Selanjutnya, dengan terampil pria itu mengiris wortel berbentuk dadu. Aroma masakan itu mulai memenuhi ruangan.
"Semua orang tahu, aku terlihat berkali-kali lipat lebih tampan saat sedang memasak. Tapi apa kau perlu memperhatikanku seintens itu? Hati-hati, kau bisa terpesona." Darren menoleh pada Alesha, tersenyum. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja, melupakan kejadian kemarin.
"Kau sangat licik, Darren!" seru Alesha seraya menghampiri Darren.
"Aku? Licik?"
"Kau sengaja memanfaatkan Lea untuk kembali mendekatiku."
Darren mendesah. "Astaga, kenapa kau tega sekali mengatakan itu? Apa salah jika seorang anak ingin berada di dekat ibunya? Apa salah jika Lea merindukanmu?"
"Aku saja tidak yakin bahwa kau mantan suamiku. Lalu bagaimana aku bisa yakin jika dia putriku?"
Darren mencuci daun bawang di wastafel, lalu mencincangnya kasar. Ditatapnya wajah Alesha. "Tanyakan pada hatimu. Apa yang kau rasakan saat melihat Lea? Kau menyayanginya, bukan?"
Tentu saja menyayanginya. Siapa pun pasti akan jatuh cinta pada gadis kecil sesempurna Lea. Lagi pula, Alesha adalah seorang wanita, naluri keibuannya pasti akan muncul ketika berdekatan dengan anak kecil.
"Darren, aku mohon berhentilah mengejarku."
"Aku tidak akan pernah berhenti berlari, akan tetap mengejarmu sekalipun kau bersembunyi di ujung dunia. Kau boleh saja tidak mencintaiku, tapi tolong cintai Lea." Darren meletakkan pisau di atas pantry. Tubuhnya berbalik menghadap Alesha.
"Berhenti memanfaatkan Lea!"
"Baiklah jika itu maumu. Aku akan meluluhkanmu dengan caraku sendiri." Mata hazel itu berkilat.
Detik berikutnya, Darren meraih pinggang Alesha, lalu mencium bibir wanita itu dengan kasar. Kalau boleh jujur, ya, Darren merasa marah. Tidak hanya itu, ia juga kehabisan akal dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya agar Alesha kembali padanya.
Dia sangat menginginkan Alesha kembali pada kehidupannya, titik. Tidak peduli, sekalipun ia menjadikan Lea sebagai umpan. Lagi pula, Lea juga sangat mengharapkan Alesha, bukan? Gadis kecil itu sudah telanjur menganggap Alesha sebagai ibu kandungnya.
Alesha memberontak, tetapi rengkuhan Darren cukup kuat. Sentuhan bibir sensual itu membuat seluruh saraf tubuh Alesha menegang. Ingin menolak, tetapi tidak kuasa mengabaikan kenikmatan yang ditawarkan.
Baiklah, Alesha menyerah. Tidak ada yang bisa dilakukan selain membalas ciuman Darren. Ia terlalu menikmati, dan rasa itulah yang mendadak meleburkan kebenciannya pada Darren. Tunggu dulu, benci? Kau salah, Alesha! Kau sama sekali tidak pernah membenci Darren. Kau mencintainya. Namun, mimpi-mimpi buruk itulah yang menakutimu dan memberikan sugesti bahwa Darren bukanlah pria baik.
Ah, entahlah. Sekarang ia sedang tidak ingin memikirkan hal itu. Biarkan hasrat ini mengambil alih alam bawah sadarnya. Lengannya balas memeluk tubuh kekar Darren. Matanya terpejam, menikmati setiap kenikmatan yang disalurkan lelaki itu.
Beberapa menit kemudian, Darren mengakhiri lumatan bibirnya. Napas mereka saling memburu. Saling bertatapan dengan penuh gairah.
"Bisa kita lanjutkan nanti di kamar, Sugar? Aku takut Lea melihatnya. Dan aku juga harus menyelesaikan sup ayamku, atau kita tidak bisa makan malam." Darren tersenyum penuh kemenangan, mengusap bibir basah Alesha dengan ibu jari.
Wajah Alesha bersemu merah, mengutuk hawa nafsu yang sempat membuainya. "Di kamar? Jangan harap, Darren!"
Darren terkekeh. "Ayolah, Sugar. Aku tahu kau tidak berdaya untuk melawan hasrat di dalam tubuhmu."
Alesha mencebikkan bibir, berlalu meninggalkan Darren. Entah sudah berapa lama ia berada di dapur. Untung saja Lea tidak menyusul dan menyaksikan adegan dewasa itu. Oh, astaga, betapa teledornya mereka jika hal itu sampai terjadi.
Lea masih sibuk dengan film Frozen favoritnya. Hei, benarkah? Alesha tertegun. Televisi masih menyala, tetapi Lea tidak lagi menari ataupun duduk menonton Queen Elsa dan Princess Anna. Sementara, pintu vila yang tadinya terbuka sedikit, kini terbuka lebar. Astaga, di mana bocah itu?
Ini sudah malam, tidak seharusnya Lea keluar dari dalam rumah. Alesha memeriksa teras, tidak ada siapa-siapa. Seluruh ruangan di vila pun tidak luput dari pencariannya. Nihil, Lea tidak ada di mana-mana.
Alesha kembali ke dapur dan berteriak pada Darren. "Lea menghilang! Aku sudah mencarinya ke seluruh ruangan, tapi tidak ada. Pintu vila terbuka, tapi Lea juga tidak berada di depan!"
Mendengar penuturan Alesha, Darren urung memasukkan lada dan garam pada sup ayamnya. Yang benar saja, putrinya menghilang di daerah serawan ini? Bagaimana jika gadis kecil itu tersesat di hutan pinus?
"Ini salahku, tidak seharusnya aku meninggalkan Lea sendirian," lirih Alesha. Tubuhnya melemas seketika.
"Tidak. Aku yang salah. Aku yang terlalu lama menahanmu di sini. Oh, Tuhan, tolong jaga putriku." Darren berusaha untuk tegar. Hati dan pikirannya sudah was-was, penuh dengan berbagai macam hal negatif. Namun, ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan Alesha.
Oke, oke, kalian berdua yang salah! Asyik berciuman dan tidak tahu bahwa diam-diam putrinya menyelinap ke luar rumah. Dan entah bagaimana nasib gadis kecil itu sekarang ....
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro