Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 25 - Pengakuan Mengejutkan

Alesha mengikat rambut panjangnya. Angin pantai di pagi hari terlalu nakal dan membuat rambutnya beterbangan tidak karuan.

Beberapa saat lalu, Leon mengetuk pintu, mengajak wanita itu bermain di pantai. Leon memanfaatkan hari libur untuk memanjakan diri di hamparan air laut. Awalnya Alesha menolak, tetapi akhirnya berubah pikiran. Ia bosan di vila, pikirannya kacau akibat terlalu sering memikirkan Darren.

Seminggu setelah Darren melamar Alesha, tampaknya pria itu kembali disibukkan oleh pekerjaan, sehingga tidak memiliki waktu untuk berkunjung ke Pulau Teratai. Hanya sesekali bertukar kabar melalui ponsel.

Setiba di pantai, Leon melepas kausnya. Dengan tubuh bertelanjang dada, pria itu menceburkan diri dan berenang dengan berbagai gaya.

Berbeda dengan Leon, Alesha lebih memilih untuk duduk di atas rakit bambu yang ditambatkan di dermaga. Alesha menjulurkan kaki ke dalam air, berkecipak menciptakan riak di permukaan. Terasa dingin, tetapi menyenangkan.

"Rose, ayolah! Kau tidak ingin berenang?" Leon muncul ke permukaan air, setelah sebelumnya menyelam dan melihat terumbu karang di bawah laut.

"Sudah kubilang, aku tidak bisa berenang," sahut Alesha sembari memasang earphone di telinga, mendengarkan musik di ponsel.

"Aish ... kau ini! Tinggal di tepi pantai, tapi tidak pernah menikmati senangnya berenang dan menikmati keindahan bawah laut. Apa kau tidak bosan hanya bisa mencari kulit kerang? Ayolah, aku akan mengajarimu berenang. Lagi pula, di bagian sini airnya dangkal." Untuk kesekian kali Leon membujuk Alesha.

Lagi-lagi wanita itu menggeleng. Ini bukan masalah dalam atau dangkal. Mimpi buruk tenggelam di kolam renang membuat Alesha takut menceburkan diri ke dalam air, sekalipun hanya perairan dangkal.

Leon mengusap wajah dan menyugar rambut ke belakang. Tubuhnya yang berkulit kecokelatan terlihat eksotis tertimpa cahaya matahari pagi. "Baiklah, padahal ini sangat menyenangkan!"

Pria itu kembali menenggelamkan tubuh ke dalam air. Sesaat menghilang, kemudian muncul kembali di permukaan air dengan jarak yang cukup jauh dari Alesha. Ia bergabung dengan pemuda-pemuda lain, mengadu kecepatan renang.

Dari tempatnya, Alesha menikmati pemandangan indah nun jauh di sana. Pepohonan yang menghijau dan pegunungan berselimut kabut. Burung-burung berlalu-lalang di atas lautan, membentuk sebuah formasi.

Suara tawa anak-anak kecil berbaur dengan debur ombak di lautan. Satu kesatuan alam yang mendamaikan jiwa. Alesha menyentuh kalung bertakhta berlian di lehernya. Seminggu ini ia merasa bimbang akan keputusan yang sudah ia ambil.

Berkali-kali Alesha mencerna kalimat Leon. Pria itu benar. Bagaimanapun juga, Darren adalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupan Alesha. Lamaran itu terlalu mendadak dan terkesan janggal. Ah, entahlah. Alesha tidak tahu motif apa yang membuat Darren secepat itu melamarnya.

Berhari-hari, batin Alesha berperang, antara rindu dan ragu. Tak dapat dimungkiri, setiap detik ia selalu memikirkan Darren. Bahkan saat sedang sibuk mengajar di sanggar kesenian pun, wajah Darren selalu mendominasi pikirannya.

Lalu, apa yang membuat Alesha ragu? Ya, mimpi-mimpi buruk itu selalu datang setiap malam. Harga dirinya tercabik-cabik saat pria di dalam mimpi itu menghardik serta merenggut kalung berlian dari lehernya. Lantas, Alesha harus merasakan betapa sakitnya saat ia harus berjuang antara hidup dan mati di dalam air.

Beruntung ada Leon yang selalu menenangkan Alesha. Pria itu, dengan caranya sendiri, mampu membuat Alesha merasa nyaman melewati masa-masa menakutkan. Harus Alesha akui, Leon adalah sosok seorang pelindung, teman baik yang tahu bagaimana cara menghargai seorang wanita.

"Memikirkanku?" Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alesha.

"Darren!" Alesha mendongak. "Kau—"

"Surprise! Aku sengaja tidak mengabarimu bahwa hari ini akan berkunjung ke sini." Pria dengan polo shirt warna abu-abu serta celana pendek bermotif kotak-kotak itu tersenyum.

Alesha berdiri. Dress birunya bergelombang tertiup angin. "Ada yang ingin aku bicarakan."

Dahi Darren berkerut. Ada sesuatu yang tidak beres. Wajah Alesha terlalu datar untuk menerima sebuah kejutan. Suasana mendadak terasa kaku. Alesha menoleh pada pria bertelanjang dada yang sedang berenang di kejauhan. Darren tidak suka itu.

"Kita kembali ke vila sekarang." Alesha berjalan mendahului Darren. Semakin menegangkan.

Langkah Alesha lebih cepat dari biasanya. Tidak sepatah kata pun menanyakan kabar Darren. Apa yang sebenarnya akan dibicarakan wanita itu? Sepanjang jalan setapak dengan pohon cemara dan pinus di sisi kanan dan kiri, Darren tidak berani menanyakan sesuatu yang mengganjal itu.

Sesampai di vila, Alesha mempersilakan Darren masuk. Duduk di sofa yang berseberangan. Alesha mendesah, wajahnya memucat.

"Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?" Suara Darren bergetar, sepertinya ia mulai mengerti.

"Maaf, Darren. Sepertinya malam itu aku salah mengambil keputusan. Sungguh, ini terlalu cepat. Tolong beri aku waktu untuk memahami perasaan apa yang sebenarnya ada di hatiku." Alesha melepas cincin di jari manisnya, menyusul kalung yang melingkar di lehernya. "Aku tidak bisa memakai ini lagi."

Darren menarik napas panjang sebelum memulai ucapannya. "Aku bisa merasakan cinta itu di matamu, Sugar."

"Berhenti memanggilku 'Sugar'," tukas Alesha.

"Aku tahu, Leon memengaruhimu!"

"Jangan libatkan siapa pun. Ini masalah kita, tidak ada sangkut pautnya dengan Leon."

"Aku bisa melihat kebahagiaan yang terpancar di saat kau menerima lamaranku."

Alesha menelan saliva dengan gelisah. "Maaf, aku berubah pikiran. Selama berhari-hari aku memikirkan ini. Dan aku sudah menemukan jawabannya. Kita hanya sebatas orang asing yang dipertemukan dalam situasi yang salah."

"Kita bukan orang asing," ucap Darren mantap. "Kita saling mencintai."

"Jangan terlalu cepat beranggapan bahwa perasaan sesaat yang muncul di hatimu itu sebagai cinta, Darren!"

Darren meremas rambutnya dengan kasar. "Ratusan hari aku mencintaimu, bagaimana mungkin kau memaksaku untuk menganggap bahwa ini hanya perasaan sesaat?"

Alesha terperangah. Ratusan hari? Darren bicara apa?

"Jangan pernah menganggap bahwa kita orang asing, Alesha!"

Alesha? Lagi-lagi wanita itu merasa bingung. Namun, ia tidak ingin memperpanjang masalah. Baginya, mengakhiri hubungan sesaat ini lebih baik.

Ia yakin Darren bukan pria yang tepat untuknya. Beberapa hari saling mengenal, lalu ia melamar Alesha. Bukan tidak mungkin jika sebelumnya juga banyak wanita yang dipermainkan pria itu.

Alesha beranjak dari tempat duduk, meraih cincin dan kalung dari atas meja, lantas mengulurkannya pada Darren.

"Tolong ambil ini, aku tidak bisa memakainya lagi. Mengertilah, Darren. Aku bukan wanita yang pantas untukmu. Pulanglah, dan jangan ganggu aku lagi. Sekali lagi aku katakan, kita hanyalah orang asing yang dipertemukan dalam situasi yang salah."

"Apa kau sama sekali tidak bisa mengingatku, Alesha? Walau hanya sekelebat bayang wajahku?" Darren menampakkan wajah memelas.

Alesha semakin bingung dengan nama panggilan asing itu. Alesha? "Berhenti memanggilku dengan nama orang lain. Jangan coba-coba memanfaatkan amnesiaku untuk mengelabuiku! Namaku Rose, bukan Alesha!"

"Jangan pernah katakan kita orang asing. Jangan pula katakan jika cinta kita hanya perasaan sesaat. Kita pernah terikat dalam sebuah pernikahan."

"Kau ... bohong!" Napas Alesha terengah-engah. Tidak ingin memercayai Darren.

"Kau Alesha, bukan Rose! Percayalah padaku!"

Ya Tuhan, bagaimana Alesha harus percaya pada orang asing? Selama ini, satu-satunya orang yang dekat dengannya hanyalah Leon! Dia yang selalu bisa mengerti Alesha.

"Tolong berhenti membuatku bingung, Darren! Pergilah!"

"Kau boleh melupakanku, tapi apa kau tega melupakan putrimu sendiri?" Darren menatap mata Alesha nanar. Ia lelah bersandiwara, ingin semuanya terselesaikan hari ini. "Aku tahu, kuncinya ada pada Leon. Dia yang sudah menyembunyikan semua ini!"

"Sudah kubilang jangan pernah membawa-bawa Leon! Dia tidak ada urusannya dengan semua ini!"

Darren tidak mau mendengarkan Alesha. Perlahan, ditariknya tangan Alesha menuju ke vila milik Leon. Beberapa saat yang lalu, ia sempat melihat Leon dari jendela kaca, pria itu telah kembali dari pantai. Benar saja, Leon sedang duduk santai di sofa ruang tamu.

"Katakan padanya, dia Alesha, bukan Rose! Aku tahu kau menyumpal mulut orang-orang yang mengetahui kebenaran ini dengan uang!" Darren menuju pokok persoalan, menuding Leon yang tersenyum miring di tempat duduknya.

"Tolong jawab jujur, Leon. Kau yang tahu semua ini. Aku bahkan mendengar kau memanggil namaku di lorong gelap dan menemaniku berhari-hari selama aku tidak sadarkan diri."

"Kau adalah Rose, bukan Alesha," sahut Leon tegas.

Alesha berbalik menatap Darren tajam. "Kau dengar? Aku bukan Alesha, jadi tolong berhenti mempermainkanku!"

"Percayalah padaku, Alesha! Aku mantan suamimu!"

"Jika kau benar mantan suamiku dan masih mencintaiku, lalu di mana keberadaanmu saat aku berjuang antara hidup dan mati? Kenapa hanya Leon yang setia di sampingku?"

"Aku tidak pernah tahu kau mengalami kecelakaan!"

"Pertanyaan sederhana. Di mana hatimu saat Leon berniat untuk meminjam uang padamu?"

Bagus! Pertanyaan Alesha cukup menohok perasaan Darren. "Aku tidak tahu bahwa itu dirimu! Aku juga sudah menawarkan uang sebagai gantinya, tapi Leon menolak!"

"Cukup, Darren! Berhenti membuatku bingung! Pergilah dan tolong jangan pernah temui aku lagi!" Usai berucap, Alesha bergegas meninggalkan kedua pria itu.

Suasana memanas. Darren mengepal, guratan-guratan otot terlihat di punggung tangannya. Matanya berkilat penuh amarah, menghunjam pada Leon yang tersenyum meremehkan.

"Maaf. Aku juga mencintainya," desis Leon.

Dengan sekali sentak, Darren merenggut kaus yang dikenakan Leon, menariknya hingga berdiri saling berhadapan. Sedetik kemudian, sebuah bogem mentah mendarat di wajah Leon.

Alesha yang berbalik karena merasakan firasat buruk, memekik menyaksikan kedua pria itu terlibat pertarungan sengit. "Stop!" serunya.

Ditariknya tubuh Darren agar menjauh dari Leon, lalu tangannya segera menghantam wajah Darren dengan keras. Selanjutnya, hening. Hanya terdengar desah napas Alesha yang tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukannya.

Darren menyentuh sudut bibirnya yang berdarah. Tatapan matanya berlumur luka. Tidak menghiraukan rasa perih di bibir, ia berucap, "Kenapa kau selalu membela orang lain dibanding membelaku, Alesha?"

Alesha mematung, kepalanya terasa pening, ia memejamkan mata. Sekelebat bayang muncul, detik di mana ia meraih sebuah botol kosong dan menghantamkannya pada kepala seorang pria yang tengah berkelahi dengan pria lain. Bayangan yang selalu hadir dalam mimpi buruknya.

"Kenapa kau selalu membela orang lain?" tanya Darren lagi. Setelahnya, pria itu berlalu dari hadapan Alesha, masuk ke mobil yang diparkir di depan vila, lalu membanting pintunya dengan kasar. Alesha telah melukai egonya! Namun, ia berjanji untuk tidak akan menyerah dalam mendapatkan Alesha kembali. Mungkin Alesha butuh waktu untuk mengingat siapa dirinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro