Part 24 - Mama, Jangan Pergi Lagi!
Alesha mengerjap, suara ketukan pintu sangat mengganggu tidurnya. Ya, tidur malam yang terasa begitu nyaman. Lengan kokoh Darren masih merengkuh tubuh Alesha dengan erat. Tampaknya, pria itu begitu menikmati kebersamaan ini. See, dia bahkan tidak terganggu sekalipun sudah sejak tadi pintu diketuk.
"Darren ...." Alesha mengguncang tubuh kekar Darren.
Darren hanya bergumam tanpa membuka mata, mengetatkan pelukannya, seolah ia tidak ingin Alesha pergi meski hanya sedetik.
"Darren, itu pasti Lea yang mencarimu."
"Lea?" Darren melepas pelukannya, menyibak selimut dan segera mengenakan T-shirt, lalu bergegas membuka pintu.
Benar, dengan diantar babysitter, Lea menangis di depan pintu. Rambut hitamnya terlihat berantakan. Wajahnya sudah basah oleh air mata.
"Hei, My Princess, kau sudah bangun?"
"Mama pelgi lagi?" Gadis kecil itu terisak, mengucek matanya.
"Tidak, Sayang. Mama ada di kamar Papa." Darren menggendong Lea dan membawanya ke tempat tidur.
"Selamat pagi, Sayang," sapa Alesha.
Lea mengerucutkan bibir seraya merangkul Alesha dan duduk di pangkuannya. Mata jernih itu menatap Darren kesal. "Papa jahat! Papa mengambil Mama! Kenapa Mama tidak tidul belsama Lea?"
"Maaf, Sayang. Semalam Papa bermimpi buruk dan tidak berani tidur sendirian. Karena itu, Mama tidur di sini." Alesha mengecup kedua pipi mungil Lea.
Tatapan Lea berubah seketika. "Oh ya? Apa Papa mimpi beltemu dengan penyihil yang menyamal menjadi nenek-nenek dan membeli Papa sebuah apel sepelti yang ada di celita Snow White?"
"Tidak hanya itu, Sayang. Papa juga bertemu seekor naga yang mengerikan."
"Papa beltalung dengan naga, lalu Papa menang, kan? Yeeeeaaaayy .... Papa memang kesatia hebat!" Lea bertepuk tangan, bangga akan sosok ayahnya.
Mata Alesha berkaca-kaca, terharu melihat kedekatan antara Lea dan Darren. Ah, yang dikatakan Darren tempo hari benar. Pria itu benar-benar berusaha menjadi sosok ayah sekaligus ibu bagi putrinya. Dan ia sukses berperan sebagai single parent. Sebutan apa yang pantas untuknya? Hot Daddy?
"Lea takut Mama pelgi lagi! Lea bosan kalau hanya bisa melihat foto Mama di dinding," keluh Lea.
"Foto Mama di dinding?"
"Iya, foto Mama yang sangaaaat besal. Tapi sekalang Papa sudah menyimpannya."
"Foto ibu kandung Lea. Tolong jangan bahas itu lagi." Darren memohon. Ah, Alesha belum saatnya tahu.
Sebenarnya, foto yang setiap hari Lea lihat adalah foto Alesha yang dipajang hampir di seluruh ruangan. Sebelum Alesha tiba di sana, Darren sudah memerintahkan Albert untuk membereskan semua. Albert juga sudah meminta pelayan agar berpura-pura tidak mengenal Alesha, karena mantan nyonya besar mereka sedang mengalami amnesia.
"Mama tidak pelgi lagi, kan?"
"Sayang, dengarkan Papa sebentar." Darren duduk di sisi ranjang, mengelus rambut panjang putrinya. "Lea harus tahu. Di kota tempat Mama tinggal, ada banyak anak-anak yang ingin belajar melukis dengan Mama. Sementara ini, Mama harus kembali ke sana, Sayang. Anak-anak lain sudah menunggu."
Lea menggeleng, matanya kembali berkaca-kaca. "No! Mama is mine! Lea tidak mau belbagi dengan anak-anak lain!"
Alesha dan Darren saling berpandangan. Ah, mereka bisa memahami perasaan Lea. Bayangkan saja, sekian lama gadis kecil itu merindukan kehadiran mamanya. Dan kini, saat sosok yang dirindukannya bisa ia peluk, sudah pasti ia tidak ingin melepasnya lagi.
"Lea tahu? Tempat tinggal Mama sangat indah, di dekat pantai. Kapan-kapan Lea boleh berlibur menyusul Mama. Kita bermain pasir, berenang di pantai, mengumpulkan kulit kerang. Lea suka?" bujuk Alesha.
"Tapi Lea ingin belmain salju, bukan pasil. Sepelti Queen Elsa dan Pincess Anna." Gadis kecil itu menunjuk piama biru bergambar Frozen yang melekat di tubuh mungilnya.
"Oke, Sayang. Kalau musim salju nanti, kita berlibur bersama Mama ke tempat bersalju. Tapi, hari ini biarkan Mama pulang ke rumahnya dulu."
Mendengar penawaran Darren, Lea bersorak kegirangan. Yeah, itu sangat menyenangkan. Ia ingin berseluncur dan membuat manusia salju, seperti teman Queen Elsa yang bernama Olaf. "Papa janji?"
"Tentu, Sayang. Sekarang Lea kembali ke kamar. Mandi pagi, sarapan."
"Lea mau mandi sama Mama!" seru Lea.
"Baiklah. Sugar, tolong mandikan Lea. Hari ini aku tidak bisa meninggalkan kantor. Setelah sarapan, sopir akan mengantarmu ke bandara. Pilot menunggumu di sana. Aku juga akan memerintahkan dua orang bodyguard untuk mengawalmu."
"Tidak perlu bodyguard, Darren. Aku bisa menjaga diri." Alesha membantah. Dia bukan artis yang membutuhkan pengawalan, bukan pula orang penting yang memiliki banyak musuh.
"Tidak. Keselamatanmu paling utama."
Lea melepaskan diri dari pelukan Alesha, merosot dari tempat tidur. Sembari bertepuk tangan, gadis kecil bermata hazel itu meloncat-loncat dan berlari menuju pintu. "Yeeeaayy ... mandi sama Mama!" serunya.
Tubuh mungil itu sudah menghilang dari kamar Darren. Alesha berniat menyusul, tetapi Darren dengan sigap merengkuh pinggang rampingnya. Kedua pasang mata itu saling bertatapan.
"Kau belum memberikan ucapan selamat pagi," ujar Darren dengan suara serak.
"Selamat pagi, Darren."
"Bukan dengan cara itu, Sugar."
"Good morning."
Darren menggeleng. "Mungkin aku perlu mengingatkanmu. Memberikan ucapan selamat pagi dengan cara ini ...." Dalam satu gerakan, pria itu meraih tengkuk Alesha dan memberikan lumatan singkat.
Alesha terbelalak. Rona merah menjalar di kedua pipinya, teringat betapa liarnya ciuman mereka semalam. Ia menunduk. "Aku harus segera memandikan Lea."
"Aku tidak keberatan jika setelah itu kau juga memandikanku." Darren mengedipkan sebelah mata.
Aish ... sepagi ini Darren sudah mulai menggodanya. Alesha mencubit pinggang Darren, gemas. Pria itu meringis, cubitan Alesha tidak membuatnya sakit, malah terasa menggelikan.
Alesha tertawa, meloloskan diri dari pelukan Darren. Memandikan ayah Lea sepertinya bukan ide buruk. Ia menepuk kening perlahan, otaknya sudah terkontaminasi oleh kemesuman Darren.
***
Tepat pukul sembilan pagi, Alesha tiba di vila dengan dikawal oleh dua orang bodyguard. Ia merindukan vila.
Menginap di tempat Darren terasa menyenangkan. Bukan karena rumah itu mewah, bukan pula karena ia bisa tidur di dalam pelukan hangat Darren. Kehadiran sosok Lea memberikan warna baru bagi hidup Alesha.
Gadis kecil itu memanggilnya "Mama". Harus Alesha akui, hatinya menghangat saat Lea masuk ke dalam kehidupannya. Ia masih teringat bagaimana gadis itu melambaikan tangan dengan semangat saat melepas kepergian Alesha. "Bye, Mama! I love you! Jangan lama-lama pelginya, Lea menunggu Mama di sini!"
Ah, sangat menyenangkan. Oke, lupakan Lea sejenak. Mendadak Alesha teringat dengan Leon. Apa kabar tetangganya itu? Alesha menyentuh pagar pembatas halaman, mencondongkan tubuh, mencoba mengintip pintu vila yang sedikit terbuka. Yah, meski itu percuma, karena ia tetap tidak bisa melihat bagian dalam vila.
Detik selanjutnya, pintu vila terbuka lebar. Leon muncul dari sana, melipat kedua lengan di depan dada, seraya menyandarkan tubuh tegapnya di kusen pintu. Matanya menatap Alesha dengan tatapan datar.
Alesha tersenyum seraya melambai. Wanita itu urung masuk ke vilanya, berputar, kembali membuka pintu pagar, dan memasuki halaman Leon. "Hai!" sapanya.
Leon menggembungkan kedua pipi. "Baru kelihatan. Ke mana saja? Sibuk dengan pengusaha itu?"
Alesha mengangkat tangan sebatas wajah, menunjukkan cincin yang terselip di jari manisnya. "Dia melamarku!"
Leon mendesah. Ternyata Darren tidak main-main. Setelah pertemuannya dengan Leon kemarin, Darren melamar Alesha. "Kalian baru beberapa hari saling mengenal. Bagaimana kau bisa menerima lamaran itu?"
Mata cokelat wanita itu berbinar. "Dia melamarku di atas puncak gedung. Di bawah langit berbintang, dengan cahaya lampu yang gemerlap menghiasi kota. Sangat romantis!"
"Tapi dia orang asing, Rose! Aku tidak ingin kau tersakiti. Dia bukan pria baik-baik."
"Astaga, kau terlalu berprasangka buruk padanya. Darren seorang pria baik, bahkan dia bisa berperan sebagai sosok seorang ayah sekaligus ibu untuk putrinya. Dia—"
"Dia orang asing bagimu!" bentak Leon kasar. Matanya berkilat marah.
"Leon, kau ...."
Melihat wajah Alesha yang berubah pias, Leon menyesal telah menghardik wanita berhati lembut itu. Ia sama sekali tidak bermaksud menyakiti Alesha. Sungguh, ia tidak suka mendengar kabar bahwa Darren telah melamar Alesha.
Hati Leon pedih mendengar kabar itu. Dia sakit hati? Ya! Kecewa? Pasti. Patah hati? Sudah tentu. Tapi Leon bisa apa jika hal itu bisa membuat wanita yang dicintainya bahagia? Leon hanya takut jika Alesha tersakiti lagi.
Di mata Leon, Alesha adalah seorang bidadari berhati malaikat. Tidak ada cela yang terlihat. Meski manusia tidak ada yang sempurna, tetapi Leon tidak pernah menemukan kekurangan sedikit pun dalam diri Alesha. Dia cantik dan berhati mulia.
"Maaf, aku hanya takut kau dipermainkan Darren," lirih Leon, merasa bersalah.
"Dia melamarku, Leon. Serius ingin menjadikanku sebagai ibu dari putrinya."
"Bagaimana jika setelah menikah dia menyakitimu?"
"Kenapa kau berpikiran sejauh itu? Dia pria baik-baik."
"Jika dia pria baik-baik, lalu di mana letak hatinya saat aku mengajukan pinjaman untuk biaya rumah sakit? Kau tahu bagaimana responsnya? Jangankan memberikan pinjaman, pria itu justru mengataiku pria dengan gaya hidup mewah pecandu narkoba." Leon menghela napas kasar. "Kau masih ingin mengatakan dia pria baik? Maaf, aku hanya tidak ingin melihatmu tersakiti lagi."
Leon meraih tas punggung di sofa, lalu mengunci pintu, mengabaikan Alesha yang masih berdiri mematung di sana. Dipakainya helm full face warna hitam. Tanpa melambai seperti biasa, Leon melajukan Harley Davidson miliknya, meninggalkan segumpal debu di halaman. Sunyi, hanya tersisa suara debur ombak di kejauhan.
Maaf, Alesha! Leon sama sekali tidak bermaksud mengungkit tagihan rumah sakit itu lagi. Leon hanya ingin Alesha tahu Darren tidak sebaik yang ia kira. Ya, karena Leon tidak mungkin mengatakan bahwa Darren adalah bagian dari masa lalu wanita itu. Seorang mantan suami yang telah menorehkan luka dalam kehidupan Alesha.
Mimpi-mimpi buruk Alesha adalah kepingan puzzle yang tidak seharusnya tersusun kembali. Biarlah semua berjalan seperti ini, tanpa Alesha mengingat masa lalunya. Leon berteriak dalam hati. Meski amnesia, kenapa Alesha harus jatuh cinta untuk kedua kalinya dengan pria yang sama? Bahkan dengan mudah menerima lamaran pria itu.
Entah wanita itu begitu bodoh, atau hatinya telah dibutakan oleh cinta. Demi Tuhan, Leon tidak akan pernah rela jika Alesha tersakiti lagi. Masa lalu yang buruk itu tidak boleh terulang.
Dan kali ini, Leon masih meragukan kesungguhan Darren. Apa pun yang terjadi, pria itu harus menjauh dari kehidupan Alesha! Tidak masalah seandainya Alesha tidak bisa membalas cinta Leon, asalkan wanita itu tidak jatuh ke dalam lubang yang sama dengan masa lalu kelamnya!
***
To be Continued
Btw hari ini aku mau bagi-bagi voucher KaryaKarsa, gunakan kode voucher: ALESHADA kalian akan mendapat potongan 2rb dan bisa dipakai untuk karya manapun. Terbatas ya
Spoiler Part 25 - 27 di KaryaKarsa, link ada di bio Wattpad. Yang minat versi Pdf bisa WA 08568627278
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro