Part 19 - Nyonya Alesha
Darren bersandar di kusen pintu, memperhatikan Leon yang sedang serius melukis siluet seorang wanita berdiri di tepi pantai. Sekarang Darren tahu persis, itu siluet tubuh Alesha. Sama seperti yang Leon gambar tempo hari. Jelas, saat itu Darren bukan karena merindukan mantan istrinya, sehingga melihat sketsa buatan Leon terlihat mirip Alesha.
Leon menyimpan perasaan terhadap Alesha, itu yang membuat pria itu mengimajinasikan wanita itu sebagai objek lukisan. Tepat seperti ucapannya, Leon mencintai seorang wanita yang menyukai mawar.
Darren sama sekali tidak menyangka, ternyata wanita yang dimaksud Leon adalah Alesha. Dengan bodohnya Darren memberikan semangat pada Leon untuk mengejar gadis impiannya. Kalau saja Darren tahu sejak awal, saat itu juga ia akan mematahkan impian Leon.
"Lukisan yang bagus," puji Darren. Ia sudah berdiri tepat di belakang Leon.
Leon menoleh, tersenyum tipis. "Terima kasih."
"Kau mengimajinasikan Alesha dalam lukisanmu." Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.
"Aku hanya menuangkan apa yang melintas di kepalaku," ucap Leon tanpa menutup-nutupi. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Sebagai sesama pria, intuisi mereka sangat tajam. Persaingan itu ada di depan mata.
Lengang sejenak. Ruangan itu merupakan salah satu ruangan bangunan hotel setengah jadi, disulap menjadi studio lukis. Leon melukis tepat di bagian tengah ruangan. Di sisi sebelah kanan dan kiri ada beberapa lukisan yang sudah jadi, tetapi catnya belum mengering.
"Berapa total tagihan rumah sakit selama Alesha dirawat?" Darren bertanya dengan suara dingin.
Tanpa mengalihkan tatapannya dari kanvas, Leon menjawab sama dinginnya, "Tidak perlu dibahas, aku sudah melunasinya."
"Dari mana kau dapatkan uang? Merampok?" Darren tersenyum miring, menyilangkan lengan di depan dada.
Leon meletakkan palet dan kuas di meja dengan kasar. Tidak terima karena diremehkan, ia pun berdiri menghadap Darren. "Tidak penting aku mendapatkannya dari mana."
"Katakan berapa jumlahnya, aku akan memberikan cek detik ini juga untuk menggantikannya." Intonasi Darren mulai meninggi.
"Aku tidak menginginkan ganti sepeser pun. Apa pun akan aku berikan untuknya, tanpa imbalan."
Darren mengepal, guratan-guratan otot terlihat jelas di punggung tangannya. Seharusnya sejak awal ia bersikap waspada pada Leon. "Aku ingatkan satu hal, jangan pernah dekati Alesha, Rose, atau siapa pun namanya!"
Tertawa sinis, Leon memalingkan wajah, seolah jijik melihat pria di hadapannya. "Rose yang seharusnya dijauhkan dari pria berengsek sepertimu!"
Darren mencekal kerah kemeja Leon, emosinya mulai terpancing. "Tahu apa kau tentang hubungan kami, hah?"
Kedua mata hazel itu saling menatap tajam. Seringai kejam terlihat di bibir Leon. "Rose tidak pernah bercerita tentang kisah hidupnya. Tapi dari mimpi-mimpi buruk yang diceritakan, aku tahu bahwa mimpi itu merupakan kepingan puzzle dari masa lalunya. Seorang suami yang mengintimidasi dan menyiksa istrinya!"
Napas Darren terengah-engah. Cengkeraman itu semakin erat. "Omong kosong!"
"Pria bermata hazel yang wajahnya terlihat samar dalam mimpi buruknya, tak lain adalah dirimu!"
"Baguslah jika kau tahu! Itu artinya kau sadar sedang berhadapan dengan siapa. Aku, satu-satunya pria yang berhak atas Alesha!" desis Darren seraya mendorong tubuh Leon hingga terhuyung ke belakang. Darren membalikkan badan, berniat meninggalkan ruangan itu.
"Siapa pun dirimu, aku tidak takut!" Teriakan Leon menggema di seluruh penjuru ruangan. "Tidak akan kubiarkan dia terjatuh ke dalam pelukan pria berengsek sepertimu!"
Darren urung meninggalkan ruangan, kembali menatap Leon dengan emosi berada di puncak. "Asal kau tahu, Alesha hanya mencintaiku! Sekalipun dia kehilangan ingatan, tapi hatinya tidak akan pernah bisa melupakanku. Kau tahu kenapa? Karena di hati Alesha, sudah terukir namaku, dan itu tidak akan pernah terganti!"
"Itu hebat, Darren! Lalu apa yang membuat dia pernah mengucapkan sebuah kalimat, ingin Tuhan membuatnya lupa ingatan agar dia bisa melupakan semua kenangan pahitnya? Dan Tuhan berbaik hati mengabulkan permintaannya!"
Darren menyugar rambut dengan kasar. Sebesar itukah rasa sakit Alesha hingga membuat wanita itu putus asa? Sungguh, ia ingin berlutut di hadapan Alesha dan memohon maaf atas masa lalu itu.
"Kenapa? Terkejut? Dan aku rasa kau akan lebih terkejut lagi jika nanti dia mendapatkan ingatannya kembali. Dia tidak sudi melihat wajahmu lagi!" Leon tertawa lantang.
"Hentikan omong besarmu itu! Kita lihat saja, siapa yang akan dipilih oleh Alesha!" Rahang Darren mengeras.
Mereka saling bertatapan dari jarak jauh. Yang satu ingin mengalahkan, sedangkan yang satu lagi tidak ingin dikalahkan.
"Sekalipun dia tidak memilihku, aku rela. Asalkan dia tidak kembali pada pria yang pernah menyakitinya!"
Darren enggan menanggapinya lagi. Ia melanjutkan langkah, ingin segera menemui Alesha. Secepatnya, Alesha harus segera ditaklukkan. Sebelum rival Darren melangkah lebih jauh.
***
Darren duduk menghadap meja makan, sementara Alesha sibuk memindahkan sup daging dari panci ke dalam mangkuk. Aroma daging dan rempah-rempah menggugah selera. Darren ingat, sup daging adalah salah satu masakan Alesha yang paling lezat. Bahkan rasa sup di restoran bintang lima pun tidak seenak buatan wanita itu.
Jemari lentik Alesha tidak hanya piawai menari di atas kanvas, tetapi juga ahli meracik perpaduan bumbu masakan. Darren mendesah. Ah, sudah berapa lama ia tidak menikmati masakan Alesha?
"Ngomong-ngomong, kue matcha tadi pagi rasanya sangat enak. Sayang sekali kau hanya membawa satu boks." Alesha meletakkan mangkuk di tengah meja. Nasi hangat mengepul di sisi mangkuk.
"Kau menginginkannya lagi?" ucap Darren seraya menghirup aroma sup, tidak sabar ingin segera mencicipinya.
"Kalau saja kafe itu ada di dekat sini."
"Aku bisa mengajakmu ke kafe itu sekarang."
"Tapi itu di Jakarta, sangat jauh dari sini."
"Hanya butuh dua puluh menit dengan private jet."
"Aku tidak ingin merepotkanmu, Darren."
"Aku tidak merasa direpotkan. Setelah makan siang, kita berangkat. Ayolah! Kau yakin tidak tergiur banana cake dengan lelehan saus matcha? Lalu iced matcha latte dengan topping keju?"
Darren melirik Alesha yang sedang menuang jus jeruk ke dalam gelas. Ayolah, meski amnesia, selera makanan Alesha tidak berubah. Wanita itu paling tidak tahan akan godaan matcha.
Alesha menelan saliva, kue-kue berbahan dasar matcha itu melintas di kepalanya. Astaga, betapa menggodanya saus hijau yang meleleh di atas sepotong kue hangat. "Seharusnya kau tidak mengiming-imingiku dengan makanan itu."
Darren tertawa lantang, menatap wajah frustrasi Alesha. Bisa dipastikan, Darren akan menang. Benar saja, tidak membutuhkan waktu lama bagi Alesha untuk menyetujui ajakan Darren. Meski ini terasa sangat konyol. Pergi ke Jakarta naik private jet hanya untuk makan kue?
Satu jam kemudian, kekonyolan itu benar-benar terjadi. Private jet meluncur di runaway, take off menuju ketinggian tiga puluh ribu kaki. Alesha dan Darren duduk bersebelahan. Pesawat meninggi, meninggalkan Pulau Teratai yang semakin terlihat mengecil.
"Ini sangat indah." Alesha berdecak kagum. Di bawah sana, laut biru terhampar luas, tampak menawan. Ini pertama kalinya ia melihat Pulau Teratai dari atas ketinggian.
Lampu sabuk pengaman telah dipadamkan oleh kopilot. "Mau minuman dingin?" tanya Darren seraya melangkah menuju ke bagian belakang pesawat. Tak lama, ia kembali membawa dua kaleng soft drink.
"Terima kasih," ucap Alesha, mengambil soft drink yang disodorkan Darren. "Kau sering mengajak para wanita naik pesawat ini?"
"Hanya beberapa orang karyawan jika ada kunjungan ke luar negeri."
"Tapi aku tidak ada hubungannya dengan bisnismu. Tidak seharusnya aku berada di dalam pesawat ini."
"Untukmu, pengecualian."
Pengecualian. Kenapa Darren memperlakukannya begitu istimewa? Tiba-tiba Alesha teringat pada Leon. Ah, Leon pasti marah jika tahu Alesha sedang terbang menuju Jakarta bersama Darren.
Maaf, Leon. Alesha bukannya membantah nasihat untuk tidak terlalu dekat dengan Darren. Namun, matcha cake itu seperti memiliki sihir tersendiri, Alesha tidak tahan untuk memakannya sekalipun harus mengejar ke seberang lautan. Oke, meski sebenarnya Alesha juga menikmati kedekatannya dengan Darren. Seperti kali ini.
Duduk bersisian dengan Darren di ketinggian tiga puluh ribu kaki. Setelah menghabiskan isi soft drink dan melemparkan kalengnya ke tempat sampah, Darren tampak memejamkan mata. Pria itu pasti lelah.
Alesha tersenyum mengamati wajah Darren. Dadanya berdesir lembut. Perasaan aneh itu datang lagi.
***
Kafe itu cukup besar. Foto menu terpampang di dinding, mulai dari berbagai cake, makanan ringan, serta aneka minuman. Hampir semua berbahan dasar matcha.
Alesha melangkah di sisi Darren, terheran-heran karena semua pelayan di sana mengangguk sopan pada pria itu. Sebesar itukah pengaruh Darren di tempat umum?
"Ingin duduk di sini, atau outdoor?" tanya Darren.
"Outdoor rasanya lebih menyenangkan."
Alesha memilih tempat duduk di luar kafe. Kolam ikan koi itu sangat menarik perhatian. Lagi pula, tempatnya teduh oleh pepohonan meski matahari masih bersinar terik.
Seorang pelayan tergopoh-gopoh menghampiri Alesha dan Darren. Tangan kirinya memegang buku menu, sementara tangan lain memegang pulpen.
"Nyonya ingin memesan apa?" tanyanya. Jemarinya berkali-kali membenarkan kacamata yang melorot ke hidung.
"Bawakan semua menu cake berbahan dasar matcha," ujar Darren.
Pelayan itu bergegas mencatat pesanan Darren di kertas. "Nyonya Alesha mau memesan iced matcha latte?"
"Nyonya Alesha?" Alesha menatap Darren bingung.
"Ray, bawakan saja iced matcha latte itu. Tidak perlu bertanya lagi!" seru Darren.
Pelayan itu mengangguk, beranjak dari sana dengan langkah cepat. Ucapan Darren laksana titah seorang raja yang harus mendapatkan pelayanan terbaik.
"Namanya Raymond," Darren menjelaskan. "Abaikan saja. Saking banyaknya pelanggan di sini, dia sering lupa membedakan wajah pelanggan satu dan pelanggan yang lain. Wajar jika dia salah menyebut nama."
Alesha terdiam, memperhatikan ikan koi berenang ke sana kemari. Ia merasa tidak asing dengan tempat ini.
"Setelah ini, boleh aku meminta waktumu lagi?"
Pertanyaan Darren mengalihkan perhatian Alesha. Jemarinya menyelipkan rambut ke balik telinga. "Untuk?"
"Makan malam."
"Bagaimana jika aku menolak?"
"Maka aku akan memaksa. Ayolah! Mumpung kau berada di Jakarta. Aku sudah menyiapkan kejutan untukmu."
"Kejutan apa?"
"Kalau aku memberitahunya sekarang, namanya bukan kejutan lagi."
Alesha mengerucutkan bibir. Ia paling tidak suka dibuat penasaran. Ah, pria ini memiliki pesona tersendiri. Sama seperti matcha, di mata Alesha, permintaan dari pria semenarik Darren adalah sesuatu yang menggiurkan.
Makan malam, kedengarannya romantis. Duduk berhadapan di antara candle light dinner, berdansa, lalu berciuman. Astaga, jangan berpikir terlalu jauh, Rose! Darren hanya mengajak makan malam, bukan kencan.
Akhir-akhir ini pikirannya selalu saja menjurus ke hal-hal itu. Bagaimana tidak? Darren memiliki pesona yang tidak dimiliki pria lain. Dia tampan, dan ciumannya sangat memabukkan. Ah, sudahlah! Memikirkan apa pun, ujung-ujungnya berpikir tentang ciuman itu lagi!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro