Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14 - Perasaan Aneh

Suasana halaman vila terlihat terang. Ada beberapa lampu yang dipasang di beberapa tempat. Alesha menenteng rantang makanan seraya mengetuk pintu vila Leon.

"Hei, Rose. Ada yang bisa aku bantu?" Selalu sama, itu yang diucapkan Leon untuk menyambut kedatangan Alesha.

Alesha menggeleng, mengangkat rantang sebatas bahu. "Aku memasak untukmu."

"Memasak? Untukku?" Leon mengernyitkan dahi. "Dalam rangka apa?"

"Aish ... tidak bolehkah aku berbuat baik pada tetangga? Kau pasti lelah setelah sibuk bekerja dari pagi sampai malam."

Tanpa menunggu persetujuan Leon, Alesha masuk dan meletakkan rantang di atas meja makan, menyiapkan piring dan sendok. Dipindahkannya seporsi nasi dan rendang ke atas piring.

"Aku sengaja memasak untukmu, anggap saja ini sebuah traktiran atas pekerjaan baruku. Kau tahu? Mulai besok aku akan bekerja sebagai pengajar seni lukis di sanggar kesenian."

Leon menarik kursi dan duduk di sana. "Bagaimana bisa?"

"Tuan Darren yang memberikan pekerjaan ini padaku."

"Darren? Kalian bertemu di mana?"

"Sewaktu meninjau lokasi hutan, dia menumpang ke kamar mandiku." Alesha duduk di hadapan Leon.

Aroma rendang daging membuat perut terasa lapar. Namun, mendengar nama Darren, seketika Leon kehilangan selera makan.

"Menumpang ke kamar mandi? Aku yakin itu hanya modus."

Alesha memicing, menangkap kilatan tidak suka di mata Leon. "Kau kelihatannya tidak menyukai bosmu."

Leon menyugar rambut basahnya. "Ayolah, Rose. Dia seorang bos besar. Jika dipikir secara logika, mana mungkin dia mau menurunkan ego untuk menumpang kamar mandi. Itu konyol!"

"Ya ampun, Leon! Apa kau tidak tahu jika menahan buang air kecil itu bisa menimbulkan penyakit berbahaya? Menurutku wajar jika Tuan Darren terpaksa menumpang kamar mandi."

"Apa pun alasannya, kau harus berhati-hati. Dia orang asing. Bagaimana jika dia punya maksud tersembunyi?"

"Astaga, kenapa kau berpikir negatif? Dia seorang pengusaha, bukan mafia."

"Dia tidak sebaik yang kau kira." Leon mulai menyuap sesendok nasi, mengunyah perlahan, menikmati rasa gurih dari rendang daging buatan Alesha.

Ah, kenapa tiba-tiba Leon bersikap posesif terhadap Alesha? Jika itu pertanyaannya, maka Leon tidak bisa menjawab. Ia hanya merasa tidak suka saat ada pria lain mendekati Alesha. Terlebih pria itu adalah Darren, orang yang telah dengan terang-terangan menolak memberikan pinjaman uang.

Peristiwa itu tidak akan mudah dilupakan. Jika Darren seorang pria baik, seharusnya ia tidak menolak memberikan bantuan. Dan Leon tidak perlu mengorbankan kebebasannya demi membayar tagihan rumah sakit. Darren justru menuduh Leon sebagai lelaki bergaya hidup mewah pemakai narkoba.

"Tidak baik? Setidaknya dia tidak suka melompati pagar sepertimu." Alesha mencebikkan bibir, tidak terima akan penilaian Leon tentang Darren.

"Ya ampun, Rose. Melompati pagar itu bukan tolok ukur untuk menilai seseorang baik atau tidak."

"Kau terlalu berlebihan. Apa pun katamu, aku akan tetap menerima pekerjaan itu. Selain membutuhkan kesibukan, aku juga membutuhkan uang untuk mengganti tagihan rumah sakit." Alesha bersikukuh.

"Sudah berapa kali kubilang, kau tidak perlu menggantinya. Aku ikhlas. Bukankah sesama teman harus saling membantu?"

Alesha berdecak. "Aku tidak ingin berutang budi padamu meski kita teman baik. Dan aku tidak tahu kenapa kau bersikap terlalu baik padaku."

Karena aku mencintaimu! "Baiklah, kau memang wanita keras kepala. Terserah jika kau bersikeras ingin bekerja di sana. Pesanku hanya satu, jangan terlalu mudah memercayai orang asing."

"Iya ... iya .... Kau ini cerewet sekali, Leon."

"Itu karena aku peduli padamu."

"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku pulang dulu. Aku butuh istirahat untuk mempersiapkan esok hari."

Leon menyandarkan punggung di kursi. Nasi di piring masih tersisa setengah porsi. Ternyata selain berbakat melukis, jemari-jemari lentik itu juga pandai meracik bumbu dan menciptakan masakan selezat ini.

Leon membalas lambaian Alesha. Tubuh wanita itu sudah tidak terlihat lagi. Leon mendesah, ada yang aneh dengan Alesha. Kenapa Alesha terlihat sangat senang dengan pekerjaan barunya? Atau mungkin Darren yang telah membuatnya merasa bersemangat?

Dibantingnya sendok ke atas meja, kesal. Ia tidak menyukai kedekatan Alesha dengan pria lain. Apa itu salah?

***

Siang itu, Darren memarkir mobil di halaman Leon. Halaman Alesha terlalu banyak pot bunga, sehingga tidak memungkinkan mobil bisa masuk ke sana.

Darren berdecak mengagumi kecantikan Alesha. Wanita itu sudah bersiap di teras mengenakan rok panjang putih berbahan chiffon, serta blus tanpa lengan bermotif garis-garis hitam dan putih. Simpel, tetapi cantik dan elegan.

"Hai, senang bertemu denganmu lagi." Darren tersenyum.

"Hai juga! Apa kita akan langsung ke sanggar kesenian?"

"Aku sudah menelepon ketua sanggar seni. Besok pagi kau bisa mulai bekerja di sana."

"Besok pagi? Lalu sekarang?" Alesha mendesah kecewa. Bagaimana tidak, ia sudah bersiap-siap dan berpenampilan sebaik mungkin.

"Hari ini aku memintamu untuk menemaniku menjelajah pantai. Kau pasti tahu spot-spot menarik di pantai itu, kan?"

Alesha menaikkan kedua alis. Alesha bukan penduduk asli sini. Lagi pula, ia tidak bisa berenang sehingga tidak pernah menjelajah pantai yang katanya banyak terumbu karang dan ikan-ikan hias. Jika Darren ingin melakukan survei, akan lebih baik jika ia memilih penduduk pribumi.

"Kau keberatan?"

Alesha bergegas menggeleng, lalu melepas sepatu yang dikenakan. "Akan lebih menyenangkan jika berjalan-jalan di pantai tanpa alas kaki."

"Aku sependapat denganmu." Darren melakukan hal yang sama. Membungkuk untuk melepas kedua sepatu. "Let's go!"

Mereka berjalan berdampingan. Menyusuri jalan setapak dengan pohon pinus dan cemara di sisi kiri dan kanan. Burung-burung berkicau riang di atas dahan, melompat lincah dari satu dahan ke dahan lain.

"Pantas saja kau betah tinggal di sini. Udaranya bersih, suasananya juga mendamaikan hati. Tapi apa kau tidak bosan sendirian?"

"Aku tidak sendirian. Ada Leon, dia tetangga yang sangat baik."

Darren menghentikan langkahnya, menatap tajam Alesha. "Kau belum lama mengenalnya, kan? Alangkah lebih baiknya jika kau menjaga jarak dengan pria asing itu."

"Tuan ...."

"Sorry, bukan maksudku mencampuri urusanmu. Aku hanya ingin mengingatkan agar kau berhati-hati dengan setiap pria. Bisa jadi dia berbuat baik karena memiliki maksud tertentu."

"Oke, aku mengerti," sahut Alesha lirih. Tentu saja dia mengerti, baru semalam Leon mengatakan hal yang sama. Leon melarang Alesha untuk tidak memercayai Darren, sementara Darren meminta agar menjaga jarak dengan Leon.

"Satu lagi, jangan memanggilku 'Tuan'. Panggil saja 'Darren'. Anggaplah aku temanmu, seperti kau menganggap Leon teman."

Mereka melanjutkan langkah. Jalanan mulai mendaki. Pantai sudah semakin dekat. Debur ombak menyapa kedatangan sepasang mantan suami istri itu.

"Ngomong-ngomong, kau menyukai mawar?" Darren mengganti topik pembicaraan.

"Ya, aku menyukainya karena menurutku mawar adalah simbol seorang wanita. Terlihat indah, dengan aroma harum yang mengundang, tetapi melindungi diri dengan duri-durinya yang tajam. Seorang wanita terhormat tidak akan menyerahkan mahkotanya pada sembarang pria."

"Aku menyukai filosofimu. Mantan istriku juga menyukai mawar."

"Mantan istri?" Alesha menoleh.

"Ya, karena keegoisanku, kami bercerai."

"Maaf karena aku membuatmu mengingatnya."

"Tidak masalah. Aku justru senang bisa membaginya denganmu. Kau teman yang menyenangkan."

Kaki-kaki telanjang itu menjejak pasir pantai yang lembut. Angin berembus nakal, sesekali menerbangkan rambut Alesha. Darren mendesah. Aroma yang sangat dirindukannya kini semakin mendominasi udara di sekitarnya.

"Kalian memiliki anak?" Entah apa yang membuat Alesha tertarik untuk meneruskan topik pembicaraan ini. Ia bahkan merasa senang mendengar pria tampan di sisinya berbagi kisah.

"Ya, seorang gadis kecil berumur dua setengah tahun. Dia sangat cantik seperti ibunya, dan bermata hazel sepertiku. Hampir setiap malam sebelum tidur, dia selalu menanyakan keberadaan ibunya."

"Ibunya sering menemuinya?"

"Tidak. Luka yang aku torehkan di hatinya cukup dalam. Dia belum bisa memaafkanku. Aku tidak tahu kapan dia akan kembali." Suara Darren bergetar, menahan rasa pedih.

Mereka duduk di hamparan pasir, membiarkan pakaian serta tangan kotor berlumur pasir putih. Namun, itu menyenangkan bagi Darren. Anggaplah hari ini ia sedang benar-benar berkencan dengan Alesha. Semasa menikah, mereka tidak pernah merasakan momen romantis seperti ini. Benar, bukan?

"Kau bisa mencarikan ibu baru untuknya. Aku yakin banyak wanita di luar sana yang bersedia menjadi istrimu."

"Tidak bisa. Sampai kapan pun, aku hanya mencintainya. Dan hanya dia yang bisa memberikan kasih sayang tulus untuk putri kami."

Alesha memalingkan wajah, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Tidak. Ia bukan merasa iba pada Darren. Ia sama sekali tidak tahu apa yang membuat hatinya tiba-tiba merasakan getaran aneh.

Betapa beruntungnya wanita itu, memiliki pria dengan cinta sejati seperti Darren. Lalu dengan bodohnya dia pergi dan tidak pernah kembali?

Alesha menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak. Astaga, perasaan apa ini? Rasa tidak nyaman, atau mungkin lebih tepatnya rasa cemburu, memenuhi rongga dada.

Cemburu? Hello! Dia bahkan baru mengenal pria ini selama dua hari! Alesha tersenyum miris, tidak mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan.

Bunyi ponsel mengalihkan perhatian Darren. Diliriknya sebentar nama di layar smartphone. Albert. Pria itu pun beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menjauh. Setelah dirasa jaraknya cukup aman, ia menerima panggilan itu.

"Kau siap?"

"Siap, Tuan! Saya sudah berada di halaman vila."

"Bagus, segera eksekusi sekarang. Buat seolah-olah ban mobilku tertusuk paku. Dan ingat, bagaimanapun caranya, kau harus menahan Leon agar tidak pulang ke vila malam ini. Atur semuanya secara halus dan tidak mencurigakan."

"Semua rencana sudah saya siapkan."

"Bagus!"

Alesha menatap Darren di kejauhan. Meski berpenampilan santai dengan celana selutut dan kemeja putih berlengan pendek, pria itu tetap terlihat menarik. Kulit kecokelatannya tampak eksotis tertimpa cahaya matahari sore.

"Bisa kita lanjut untuk berjalan-jalan di sekitar pantai?" Darren sudah kembali berdiri di dekat Alesha.

Wanita itu mengangguk. Darren mengulurkan tangan, membantu Alesha berdiri.

Alesha menerima uluran tangan Darren. Kedua tangan mereka bersentuhan. Ada sengatan halus yang menjalar di pembuluh darah Alesha saat jemari kokoh Darren erat menggenggamnya.

Seketika, wajahnya merona. Ia segera menunduk, membiarkan rambut panjangnya menutupi kedua pipi. Alesha berjalan mendahului Darren, setidaknya agar pria itu tidak melihat perubahan wajahnya.

"Biasanya, senja di pantai ini terlihat menakjubkan. Tapi hari ini mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan," ujar Alesha. Ah, itu hanya sebuah kalimat untuk menetralkan detak jantungnya yang mulai tidak stabil.

"Tidak masalah, justru hujan deras akan mengubah suasana menjadi romantis."

Alesha meremas jemarinya. Huft, baiklah! Kalimat Darren mampu membuat Alesha berimajinasi liar. Berdua di tepi pantai, hujan deras, berteduh di bawah pohon cemara, bergandengan tangan, lalu ... berciuman?

Astaga, Rose! Lupakan itu! Ingat, Darren hanya sekadar teman yang baru dua hari ini dikenal. Jangan pernah berharap hal seperti itu akan terjadi! Pikirkan saja, seandainya hujan turun, maka mereka akan berlari-larian menuju vila. Basah kuyup, lalu setelah itu jatuh sakit. Siapa yang akan merawatmu? Leon lagi? Dia, kan, tetangga sekaligus teman yang baik. Sedangkan Darren ... hanya sekadar orang asing!

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro