Part 12 - Nightmare
Dua minggu kemudian, dokter menyatakan kondisi Alesha sudah membaik. Ia diperbolehkan pulang dan hanya memerlukan rawat jalan.
"Vila ini tempat tinggalku?" tanya Alesha.
"Ya, dan aku satu-satunya tetanggamu." Leon membuka pintu pagar yang terbuat dari kayu setinggi satu setengah meter.
Alesha berdecak kagum. Sebuah vila dengan pemandangan hutan pinus di sisi kanan dan kiri. Sementara itu, di kejauhan terlihat hamparan pasir pantai.
Pemandangan di halaman vila tidak kalah menakjubkan. Berbeda dengan halaman Leon yang hanya ditumbuhi pakis dan bugenvil. Halaman Alesha bisa disebut sebagai miniatur taman bunga. Berbagai macam bunga tumbuh di sana, terutama rumpun mawar yang ada di hampir seluruh sudut bangunan.
"Ayolah, Rose! Kau harus istirahat, ini sudah sore. Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang sibuk untukku. Ada beberapa lukisan yang harus segera aku kirimkan pada customer. Sedangkan dua hari lagi, proyek baru di hotel milik Darren akan dimulai." Leon berdiri di ambang pintu yang sudah terbuka, melambai pada Alesha.
Alesha terkesiap. Mendengar nama Darren, seperti ada aliran listrik menyengat tubuhnya. "Darren?"
"Pemilik hotel yang memintaku untuk menjadi salah satu creative arts team di proyeknya."
Bibir Alesha membulat membentuk huruf O. Barangkali dulu Leon sering bercerita tentang proyeknya bersama Darren, sehingga Alesha merasa tidak asing dengan nama itu.
"Oh ya, sewaktu kecelakaan, tas yang kau bawa hilang. Ponsel, dompet, beserta kartu identitas lenyap semua. Kalau ada waktu, aku akan mengantarmu untuk mengurus pembuatan kartu identitas baru."
"Kenapa kau sangat baik padaku, Leon?"
"Sudah kubilang, kita ini teman baik." Leon mengedipkan sebelah mata. "Selamat beristirahat, Rose. Jika membutuhkan sesuatu, ketuk saja pintu rumahku."
Alesha mengawasi Leon. Pria itu dengan lincah melompati pagar kayu untuk sampai di halaman sebelah. Apa itu salah satu kebiasaan buruknya?
***
Alesha kehabisan napas, merasakan seorang pria melumat bibirnya dengan kuasa penuh. Membangkitkan sebuah hasrat yang tidak terkendali, memicu hormon estrogen untuk bereaksi. Oh, tidak! Tubuhnya bisa hancur jika kenikmatan itu terus mendera.
Napas Alesha mulai tersengal-sengal. Namun, tidak ada tanda-tanda jika pria itu ingin mengakhiri ciumannya. Alesha ingin memberontak, tetapi di sisi lain ia tidak ingin kenikmatan itu berakhir.
Beberapa detik kemudian, pria itu memberi jeda. Ia menangkup wajah Alesha dengan jemari kokohnya. Kedua pasang mata itu saling bertatapan. Alesha semakin gemetar tatkala mata hazel itu semakin bersorot tajam dan penuh gairah.
Jeda itu tidak lama, karena selanjutnya tubuh tinggi tegap itu kembali berkuasa atas tubuh Alesha. Mendorong wanita itu ke atas ranjang dan menindihnya. Alesha ingin berteriak. Namun, sebuah ciuman telanjur membungkam bibirnya.
Tidak! Alesha tidak menginginkan ini! Ia merasa ketakutan, terlebih saat mata tajam itu mengintimidasinya. Alesha mengumpulkan tenaga, kemudian memberontak hingga ia mampu melepaskan diri dari cengkeraman pria asing itu!
Alesha membuka mata dengan gelisah. Napasnya terengah-engah, keringat dingin mengalir di dahi. Ia menoleh ke sekeliling ruangan. Ternyata, ia hanya seorang diri.
Alesha menyibak selimut, lalu bangun dan mengambil segelas air putih di atas nakas. Disekanya keringat yang menetes di dahi. Lagi-lagi ia bermimpi tentang pria itu.
Semenjak tersadar dari koma, Alesha sering memimpikan pria asing itu. Bercumbu di antara kenikmatan dan ketakutan. Siapa pria itu?
Meski Alesha mampu melihat dengan jelas bahwa pria itu memiliki warna mata hazel, tetapi wajahnya selalu terlihat samar.
Leon bermata hazel. Tidak! Alesha tahu persis bahwa pria di dalam mimpinya berbeda dengan Leon. Apakah pria itu berasal dari masa lalunya? Atau hanya sekadar bunga tidur?
Ia melirik jam digital di atas nakas. Pukul 23.17. Mimpi itu membuat rasa kantuknya hilang. Ia membutuhkan teman.
Alesha mengetuk pintu vila Leon. Pintu terbuka, Leon menyambut dengan senyuman. Pria itu tetap terlihat tampan sekalipun hanya memakai celana selutut dipadu kaus V-neck putih, dengan noda cat di beberapa bagian.
"Ada yang bisa aku bantu, Rose?" tanya Leon. Tubuh tegapnya bersandar di kusen pintu.
"Kau sudah tidur?"
"Belum. Sepertinya malam ini aku harus bergadang sampai pagi karena harus menyelesaikan lukisan. Customer tidak bisa menunggu terlalu lama."
"Boleh aku menemanimu? Aku bosan sendirian."
"Wow! Suatu kehormatan bisa ditemani oleh wanita secantik dirimu, Nona!" Leon mengedipkan sebelah mata.
Vila itu memiliki dua kamar. Satu kamar untuk tidur, sedangkan kamar kedua disulap menjadi studio lukis. Ada beberapa lukisan yang terpajang di dinding. Di sudut ruangan terdapat sebuah lemari kecil, tempat untuk menyimpan semua peralatan melukis.
Leon duduk di depan kanvas, menyelesaikan lukisan sebuah istana negeri dongeng. Sementara Alesha lebih memilih duduk di meja tidak jauh dari Leon. Di sana terdapat selembar kertas, pensil, kuas, dan cat air.
"Jangan lupa, tiga hari lagi kau harus kontrol ke dokter," Leon mengingatkan.
"Tenang saja, walau amnesia, aku tidak pikun."
Alesha mengambil pensil dan menggoreskannya di atas kertas. Menggambar sketsa mata, lalu mewarnainya dengan cat air. Memoles dengan hati-hati.
Alesha termenung, ia baru saja menyelesaikan lukisannya. Entah kekuatan apa yang baru saja merasukinya, sehingga tanpa sadar ia menggambar sepasang mata tajam berwarna hazel. Benar, mata pria yang selalu datang di alam mimpi dan mencumbunya dengan hasrat berlebihan.
"Rose!"
Alesha berjingkat saat Leon menyentuh pundaknya.
"Sejak tadi aku berkali-kali memanggilmu. Sedang melamunkan apa?" tanya Leon seraya mengambil lukisan Alesha.
"Aku tidak melamun, mungkin aku mulai mengantuk," sanggah Alesha.
"Kau menggambar mataku?"
Alesha merebut kertas dari tangan Leon, lalu meremasnya. "Mata ini memang berwarna hazel sepertimu. Tapi jelas berbeda, kau bermata teduh sedangkan yang kulukis memiliki sorot mata tajam dan mengintimidasi. Ini hanya imajinasiku. Sudahlah. Aku pulang, aku mengantuk."
Leon tersenyum, mengawasi Alesha yang menghilang di balik pintu. Mata hazel. Ah, meskipun amnesia tetapi bayangan mata hazel itu masih mendominasi alam bawah sadar Alesha. Begitu spesialkah pria masa lalu itu?
Leon menyentuh jantungnya yang berdetak cepat. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang asing. Ia merasa takut kehilangan Alesha.
***
Sebuah helikopter mendarat dengan mulus di helipad. Tak lama kemudian, Darren tergesa-gesa turun, menghampiri Albert yang sudah menunggu tidak jauh dari sana.
Albert membuka pintu belakang mobil. "Tuan ingin meninjau lokasi pembangunan hotel atau meninjau hutan pinus terlebih dahulu?"
"Hutan pinus terlebih dahulu. Aku ingin tahu seberapa cocok tempat itu jika dijadikan sebagai taman mawar di bagian tengah hutan," ujar Darren sembari masuk ke mobil.
Albert mengangguk, lalu duduk di belakang kemudi dan segera melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Sepanjang perjalanan, Darren berdecak kagum. Di kiri dan kanan jalan, hamparan padi menguning bagaikan permadani. Sesekali melewati sawah yang ditanami buah semangka, jagung, cabai, dll. Mata pencaharian penduduk sekitar adalah petani dan nelayan.
Albert memarkirkan mobil di halaman sebuah vila. "Ini vila milik Leon. Seminggu ini dia sudah mulai bekerja di proyek hotel kita. Lokasi hutan pinus itu tidak jauh dari sini, Tuan."
Darren keluar dari mobil. Menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-paru dengan udara segar. Hei, tunggu dulu! Darren menghirup aroma harum yang tidak asing. Bunga mawar!
Darren mengedarkan pandangan, mencari pusat aroma harum tersebut. Itu dia! Sebuah taman kecil di halaman sebelah. Pria itu mendekat. Dari balik pagar, ia menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran.
Hatinya berdenyut sakit. Ia teringat Alesha. Dulu Darren sering melihat Alesha memberikan pupuk di rumpun-rumpun mawarnya. Rajin menyiram tanaman, sekalipun Darren sudah menyediakan seorang tukang kebun. Alesha bukan seorang wanita yang suka memberikan perintah pada orang lain.
Darren mengalihkan perhatian pada pot kaktus kecil di meja teras. Di samping meja dekat jendela, terdapat sebuah pot bunga sansevieria. Ingatannya kembali melayang pada Alesha. Wanita itu selalu meletakkan pot bunga sansevieria di kamar. Katanya bagus untuk menyerap karbon dioksida.
Detik selanjutnya, tubuh Darren menegang. Kedua tangan mencengkeram pagar kayu dengan erat. Tatapannya terpaku pada sesosok wanita yang berdiri di balik jendela kaca. Kaca itu transparan sehingga orang di luar bisa melihat ke dalam vila dengan jelas.
Baiklah, Darren terkejut karena wajah wanita di balik jendela kaca itu persis dengan Alesha. Wanita dengan tank top putih itu memiringkan kepala, memberikan tatapan datar pada Darren. Hanya sebentar, karena wanita itu buru-buru menyingkir sehingga Darren tidak bisa menatapnya lagi.
"Tuan, bisa kita meninjau lokasi sekarang?" Albert berdiri di belakang Darren.
"Albert, apa kau percaya jika aku mengatakan Alesha ada di dalam vila itu?"
Albert terkekeh sejenak. "Tentu saja tidak. Saat ini Nyonya tinggal di Florence."
"Tapi aku benar-benar melihat dia berdiri di balik jendela kaca itu."
"Sepertinya taman mawar ini membuat Anda terlalu merindukan Nyonya. Tetangga Leon seorang wanita bernama Rose. Dia yang kemarin mengalami koma karena kecelakaan."
"Jadi, tentang biaya rumah sakit, Leon serius?" Darren menatap Albert, sorot kekecewaan tampak di matanya.
"Benar, Tuan. Saat ini malah wanita bernama Rose itu mengalami amnesia."
Darren mendesah. "Aku menyesal karena tidak memercayai Leon. Saat itu pikiranku sedang kalut sehingga tidak bisa berpikir jernih. Tanyakan pada Leon apa dia masih membutuhkan uang itu. Jika masih, segera kabari aku."
"Baik, Tuan." Albert mengangguk. "Kita tidak memiliki waktu banyak. Setelah ini, kita ada pertemuan dengan pemerintah setempat untuk membicarakan proyek tempat wisata di daerah ini."
Sekali lagi, Darren menatap jendela. Tidak ada siapa pun. Ah, benarkah Darren hanya berhalusinasi karena terlalu memikirkan Alesha? Jelas-jelas mantan istrinya sedang berada di Florence.
"Kau pernah bertemu dengan wanita bernama Rose itu?"
"Belum, Tuan. Menurut Leon, wanita itu sangat cantik dan menarik."
"Sepertinya dia memiliki wajah mirip Alesha. Aku yakin mataku belum rabun untuk melihat dengan jelas siapa wanita di balik jendela itu."
"Benarkah mereka mirip?"
"Sekembali dari hutan pinus, aku akan menemuinya. Jika tidak, aku bisa mati penasaran, Albert! Kita masih punya waktu beberapa menit sebelum bertemu dengan pemerintah daerah, bukan?"
Albert mengangguk. Tidak ada gunanya membantah perintah atasannya. Sepertinya, pria itu benar-benar frustrasi karena bercerai dengan Alesha sehingga sampai saat ini masih sering terbayang-bayang oleh wajah wanita itu. Terlebih aroma mawar yang membangkitkan nostalgia. Wajar jika Darren berhalusinasi di tempat ini.
***
To be Continued
Yang mau baca duluan bisa ke KaryaKarsa ya, link-nya ada di bio Wattpad aku. Yang mau Pdf-nya bisa WA ke 08568627278
Preview Part 13-15 di KaryaKarsa:
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro