Part 11 - Rose
Tubuh Alesha menggigil di sebuah lorong gelap. Berhari-hari ia terjebak di tempat asing tersebut. Setiap detik, kesendirian itu selalu menjadi momok menakutkan.
Alesha benci gelap ... benci kesendirian ... benci ketika rasa sakit itu bertubi-tubi merasuk ke dalam jiwa. Yang paling menakutkan, ia tidak mengingat siapa dirinya!
Mama! Papa! Aku mohon, jangan biarkan aku sendirian di sini! Aku takut, Ma! Tolong tunjukkan jalan keluar dari tempat menakutkan ini!
"Selamat pagi, Rose!" Suara bariton itu menggema di penjuru lorong.
Alesha seperti seorang tahanan yang akan dieksekusi mati oleh seorang algojo. Ia merapatkan tubuh ke dinding yang dingin dan lembap.
Rose? Siapakah Rose? Apakah dia tidak sendirian di sini? Lalu suara siapa itu?
Napas Alesha terengah-engah. Rasa takut semakin mendominasi. Namun, perlahan hatinya menghangat saat merasakan seseorang menggenggam tangannya seraya mengelusnya dengan lembut.
"Bagaimana kabarmu hari ini? Kapan kau akan bangun? Apa tidak bosan tertidur seperti ini?"
Lalu, sebuah kecupan mendarat di punggung tangannya. Jadi, ia tidak sendirian di lorong gelap ini? Siapa pria itu? Ah, siapa pun dia, yang jelas pria itu telah membuat Alesha merasa nyaman.
Berhari-hari, pria itu satu-satunya orang yang menyapa setiap saat. Selebihnya, hanya dengungan-dengungan tidak jelas dan membuat Alesha merasa sakit kepala.
"Selamat pagi, Rose!"
"Selamat siang, Rose!"
"Selamat malam, Rose!"
Sapaan yang akan dilanjutkan dengan berbagai celotehan menarik. Pria ini sangat menyenangkan. Tunggu dulu! Pria ini selalu memanggil namanya dengan sebutan Rose!
Jadi, namaku Rose? Baiklah ....
Pria asing itu tidak pernah bosan mengajaknya berbicara meski Alesha tidak pernah membalas setiap kalimatnya. Tenggorokannya tercekat, tidak bisa mengucap satu patah kata pun.
Tidak masalah. Mendengar suara bariton yang selalu ceria itu, sisi lain Alesha merasakan sesuatu yang berbeda. Terlebih, saat suara itu berucap, "Aku ... mencintaimu, Rose."
Seketika, hatinya menghangat. Pria itu mencintainya? Ah, tetapi Alesha sama sekali tidak bisa membuka hati untuknya.
Alesha merasa ada seseorang yang sudah telanjur menguasai hatinya terlebih dulu. Entah siapa, dan entah di mana. Sekuat apa pun Alesha mencoba mengingat, tetapi ia tidak menemukan jawaban. Bagaikan sebuah teka teki, atau potongan puzzle yang tidak lengkap.
Hari ini, entah kenapa pria itu tidak datang lagi. Alesha merasa kesepian. Apa pria itu mulai bosan berbicara sendiri? Ke mana dia? Alesha bosan sendirian!
Sepertinya Alesha telah ditinggalkan. Samar-samar, ia melihat sesosok tubuh tinggi tegap di kejauhan. Itukah pria yang terbiasa menemaninya? Alesha pun berlari, berusaha mengejar sosok asing itu. Namun, pria itu berjalan menjauh, semakin jauh ... dan Alesha merasa lelah.
Akhirnya, Alesha menemukan seberkas cahaya di ujung lorong. Ia berjalan semakin mendekat, berusaha menggapai cahaya yang menyilaukan mata.
Alesha mengerjap. Ia telah berhasil keluar dari lorong gelap itu. Menemukan dirinya terbaring di sebuah ruangan asing serba putih.
"Anda sudah sadar, Nona?"
Tidak! Itu bukan suara pria yang beberapa hari ini menemaninya di lorong gelap. Ia seorang wanita berpakaian serba putih.
Tak lama kemudian, seorang pria tua berjas putih masuk ke ruangan. Mereka terlihat seperti para dokter dan suster. Mereka bergegas memberikan rangkaian pemeriksaan kesehatan. Alesha semakin bingung. Ada yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi?
"Nona, apa kau bisa menyebutkan nama lengkapmu?" Pria tua itu bertanya.
Alesha berpikir sejenak, perlahan menggerakkan bibir yang terasa kaku. "Namaku ... Rose."
***
Leon terhuyung dan hampir membentur dinding, meringis kesakitan. Rasa sakit akibat kecelakaan tempo hari masih terasa, ditambah dengan rasa sakit dari pukulan ayahnya beberapa detik lalu.
"Tidak tahu malu!" Suara Tuan David menggelegar. Beruntung, ruangan kantor itu kedap suara. "Setahun lalu kau dengan percaya diri memilih untuk meninggalkan kedua orang tuamu beserta seluruh harta kekayaannya! Lalu sekarang kau mengemis uang tiga ratus juta?"
"Tolong, Pa. Aku sangat membutuhkan uang itu."
"Kau masih berani menyebutku 'Papa', hah? Di mana lelaki sombong yang setahun lalu dengan bangga bersumpah bisa hidup mandiri? Di mana anak yang dengan tega lebih memilih kebebasan hidupnya daripada kedua orang tuanya?" Tuan David mencengkeram sisi meja. Matanya berkilat, napasnya terengah-engah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia memukul putranya.
"Aku berjanji akan melakukan apa pun yang Papa minta jika Papa mau memberikan uang itu. Aku mohon, Pa!"
"Dengan mudah kau mengucapkan itu? Pernahkah kau berpikir ibumu menangis berhari-hari, bahkan berbulan-bulan karena ditinggalkan oleh anak tunggalnya?" Nada suara Tuan David merendah. Sesakit apa pun perasaan orang tua, hatinya luluh melihat wajah memelas putranya.
Putra yang selama ini dirindukan! Putra yang sejak kecil dirawat dengan penuh kasih sayang, tetapi setelah besar justru memilih jalan hidupnya sendiri.
"Aku dan temanku baru saja mengalami kecelakaan. Temanku mengalami koma, aku kehabisan uang untuk membayar tagihan rumah sakit," ucap Leon lirih.
"Sebesar itukah rasa pedulimu pada temanmu? Bahkan kau tidak memedulikan kami!"
"Dia hidup sebatang kara, Pa. Hanya aku temannya." Leon menarik kursi di depan meja ayahnya, lalu menyentuh pipinya yang terasa ngilu.
Hening, hanya terdengar dengung mesin pendingin ruangan, serta suara detak jam dinding. Tuan David menarik napas panjang, berusaha meredakan emosinya.
Beberapa saat kemudian, Tuan David mengambil keputusan. "Kembalilah pada Papa dan turuti keinginan Papa, maka kau akan mendapatkan uang itu."
Leon terperangah, menatap wajah serius ayahnya. Tidak mudah bagi Leon untuk mengambil keputusan itu. Kembali pada Papa, artinya ia harus menggantikan Tuan David duduk di kursi kebesarannya. Leon harus mengorbankan kebebasan hidupnya.
Perlahan, Leon mengangguk. "Baiklah, Pa. Aku bersedia!" Demi Alesha! Aku rela melakukan apa pun, sekalipun harus mengorbankan kebebasanku!
"Papa senang mendengarnya, Leon. Tuliskan saja nomor rekening rumah sakit itu. Papa yang akan membayar seluruh tagihannya."
"Tapi aku mohon, beri aku waktu beberapa bulan untuk menikmati kebebasanku."
***
Leon bergegas memasuki lobi rumah sakit. Pria itu baru tiba dari Jakarta. Semalam ia harus menginap di rumah ayahnya, menemui Mama yang menangis bahagia atas kembalinya sang putra tunggal.
Di malam itu juga, Leon mendapat telepon dari suster, mengabarkan Alesha sudah sadar, dan dokter meminta Leon untuk datang ke ruangannya. Ada hal penting yang harus dibicarakan.
Langkahnya tergesa, melewati lorong-lorong bercat putih dengan beberapa pot bunga sansevieria di sisi kanan dan kiri lorong. Ia mengetuk pintu ruangan dokter, dan masuk setelah dipersilakan.
"Apa Rose baik-baik saja?" tanya Leon setelah duduk di seberang meja dokter.
"Sebelumnya, saya ingin bertanya. Siapa nama lengkap Nona Rose?"
"Nama aslinya Alesha, sedangkan Rose hanyalah panggilan spesial yang saya berikan."
Dokter mengangguk-angguk seraya membenarkan kacamata yang melorot ke hidung. "Baiklah, sekarang saya mengerti. Karena Anda selalu memanggilnya Rose, secara tidak langsung Anda telah menanamkan di alam bawah sadarnya bahwa dia bernama Rose, bukan Alesha."
"Apa maksud dokter?"
"Dia terbangun sebagai Rose, bukan Alesha," jelas dokter.
Leon mengernyitkan dahi. Ia paham, tetapi sulit untuk memercayai hal ini. Apa itu artinya ....
"Nona Rose mengalami amnesia. Satu-satunya hal yang ia ingat hanya namanya, yaitu Rose. Saran saya, jangan memaksanya untuk mengingat jati dirinya. Saya takut itu akan berpengaruh pada kondisi psikis Nona Rose. Jadi, biarkan semua mengalir apa adanya. Jelaskan saja hal-hal kecil untuk memicu ingatannya agar segera pulih."
Seburuk itukah nasib Alesha? Semua yang baru saja terjadi, Leon harus bertanggung jawab. Ia yang membuat Alesha kecelakaan hingga akhirnya kehilangan ingatan. Astaga, rupanya Tuhan telah mengabulkan keinginan wanita itu untuk melupakan semua kenangan buruknya.
Oh, Alesha! Seharusnya kau tidak pernah mengucapkan kalimat itu!
***
Alesha memiringkan kepala, menatap gedung-gedung tinggi melalui kaca jendela di sisi ranjang. Dokter memastikan kondisinya sudah membaik, sehingga bisa dipindahkan dari ruang ICU ke ruang perawatan. Seminggu yang lalu, ia baru saja mengalami kecelakaan, terluka parah dan harus dioperasi karena adanya pembekuan darah di otak. Setidaknya, itu yang ia ketahui dari cerita suster.
Pintu ruangan berderit, Alesha menoleh. Seorang pria berbadan tinggi tegap termangu di ambang pintu. Kalau boleh menebak, pria itu memiliki dada bidang di balik jaket hoodie hitam yang dikenakan. Mata hazel-nya terlihat teduh, menatap Alesha dengan lembut.
"Hai ... Rose!"
Alesha tersenyum kaku, merasa aneh saat pria asing itu menyapanya. Apa mereka saling mengenal? Hei, tunggu! Suara pria ini mirip dengan seseorang yang menemani Alesha selama berada di lorong gelap. Apakah dia ....
"Rasanya aneh, kita sudah beberapa minggu saling mengenal. Tapi sepertinya, kini kita terlihat asing. Seperti ada sekat yang membatasi kita." Pria tampan itu membuka hoodie yang menutupi rambutnya, lalu berjalan menghampiri Alesha dan duduk di sisi ranjang.
"Kita ... saling mengenal?" tanya Alesha ragu.
"Sepertinya perkenalan harus diulang dari awal. Oke, namaku Leon. Kita tetangga, teman dekat, atau jika kau ingin menganggapku saudara, itu tidak masalah. Apalagi jika kau menganggapku sebagai kekasih." Bibir sensual itu tersenyum menggoda.
Alesha mengernyit, terlihat kerutan halus di dahinya. Pria bernama Leon ini terlalu percaya diri. Benarkah Alesha memiliki teman senarsis ini?
"Hei, aku hanya bercanda." Leon mengibaskan tangan di depan wajah Alesha.
Oh, amnesia itu tidak menyenangkan. Betapa sakitnya saat ia harus mengingat satu per satu memori yang hilang.
"Santai, Rose. Tidak perlu memaksakan diri untuk mengingat siapa aku," ucap Leon, seolah mengerti apa yang ada di pikiran Alesha.
"Apa bisa kau ceritakan siapa aku? Keluargaku? Dan kenapa ... hanya kau yang datang menjengukku?" Bibir Alesha gemetar.
Leon mulai menceritakan siapa Alesha. "Beberapa minggu yang lalu kau pindah menjadi tetanggaku. Aku memang tidak tahu banyak tentangmu. Yang kutahu, kedua orang tuamu sudah meninggal, dan tidak memiliki kerabat lain. Selebihnya, kau tidak pernah menceritakan apa-apa."
Alesha menengadah, menatap langit-langit ruangan. Terdengar menyakitkan.
"Aku berjanji akan selalu ada untukmu. Kau tidak sendiri." Leon menggenggam jemari Alesha dengan erat.
Refleks, mata Alesha terbuka dan menatap Leon. "Kau ... pria yang selama ini selalu menemaniku saat tertidur?"
Pria itu mengangguk.
Alesha mengerang. Terlalu banyak berpikir membuat kepalanya terasa sakit. "Aku ingin beristirahat!" Dalam hitungan detik, matanya terpejam.
"Tidurlah, Rose. Aku akan menjagamu."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro