Part 10 - Wake Up, Rose!
Pintu ruangan terbuka, Leon menoleh. Tubuhnya masih terbaring dengan jarum infus terpasang di pergelangan tangan kanan.
Seorang pria tua berpakaian kemeja kotak-kotak dilapisi jas putih mengangguk dan tersenyum. Stetoskop menggantung di lehernya. Pria itu adalah dokter yang menangani Alesha.
"Anda teman Nona Rose?" tanya dokter.
"Benar. Bagaimana keadaannya?"
"Apa tidak ada nomor kerabat yang bisa dihubungi? Kondisi Nona Rose sangat kritis. Ada pembekuan darah di otaknya, sehingga harus segera dilakukan operasi secepatnya."
Leon mendesah, wajah pucatnya semakin murung. Seburuk itukah kondisi Alesha? "Dia tidak memiliki kerabat. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Saya satu-satunya temannya. Tolong berikan yang terbaik untuknya, Dokter. Masalah biaya, saya akan menanggung semuanya."
"Baiklah, tapi perlu saya tegaskan bahwa operasi ini tidak menjamin seratus persen pasien akan selamat. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pasca-operasi, misalkan perdarahan otak, koma, infeksi, stroke, atau gangguan memori. Dalam beberapa kasus juga sering kali terjadi gangguan bicara, pendengaran, penglihatan, keseimbangan, dll. Kemungkinan terburuk, pasien akan kehilangan nyawa. Tim kami akan berusaha sebaik mungkin."
Mata Leon berkaca-kaca, menatap dokter penuh harap. "Saya mohon, berikan yang terbaik untuk Rose."
"Baiklah, nanti suster akan membawa surat persetujuan operasi yang harus Anda tanda tangani. Selamat malam, Tuan."
Bunyi klik menandakan pintu sudah kembali ditutup oleh dokter. Leon menggeram, emosi. Kenapa harus Alesha? Dia gadis yang baik, tidak sepantasnya mendapat hukuman seperti ini.
***
Sehari kemudian, kondisi Leon semakin membaik. Dokter menyarankan agar Leon tetap mendapat perawatan medis, tetapi dengan tegas ia menolak. Ia ingin mendampingi Alesha.
Operasi kemarin berjalan lancar. Alesha masih belum sadarkan diri. Koma, dan entah kapan akan terbangun.
Leon mengganti sandal dan jubah steril berwarna hijau yang dikhususkan untuk masuk ke ruang ICU. Dari pintu ruangan, terdengar suara monitor dan berbagai alat medis lainnya. Alat-alat itu tertempel di tubuh pasien untuk mengetahui irama jantung, pernapasan SPO2, dan infus yang terpasang di tangan.
Semua sudah menggunakan teknologi, mulai dari infusion pump yang mengatur tetesan cairan sesuai pengaturan. Syringe Pump, sejenis spet atau suntikan berukuran besar dan disalurkan pada selang menuju jalur infus pasien. Kasur anti dekubitus, memiliki permukaan bergelembung agar sirkulasi udara lancar pada pasien yang notabene lemah.
Leon menghampiri Alesha. Berbagai peralatan medis terpasang di tubuh indah itu. Wajah pucat dengan memar di beberapa bagian, serta perban yang membalut kepala. Leon duduk di samping ranjang, meraih telapak tangan Alesha, menggenggamnya dengan erat.
"Selamat pagi, Rose. Bagaimana kabarmu hari ini? Kapan kau akan bangun, apa tidak bosan tertidur seperti ini?" Leon mengecup punggung tangan Alesha.
"Kau cantik, bahkan saat tidur pun tidak mengurangi kadar kecantikanmu. Andai cerita tentang putri tidur bisa terjadi di dunia nyata. Mungkin aku akan membangunkanmu dengan ciumanku." Leon tertawa lirih, menahan debaran lembut di dadanya.
"Tidak, Rose. Aku tidak mungkin memberikan ciuman tanpa seizinmu. Aku pria baik-baik yang tidak akan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Bagaimana jika aku memberikan ciuman setelah kau sembuh? Ah, sepertinya sulit, mengingat kau wanita yang sulit ditaklukan."
Sunyi. Hanya suara peralatan medis yang mendominasi ruangan. "Bangunlah, Rose. Aku merindukan senyumanmu. Boleh aku membuat sebuah pengakuan? Aku ... jatuh cinta padamu, sejak pertama kali melihatmu."
"Hei, Rose! Apa kau tahu awalnya aku tidak menyukai kehadiranmu? Bahkan aku berniat mengabaikanmu dan menganggap kau tidak ada. Saat itu aku pikir kau wanita yang menyebalkan dan berisik. Namun, ternyata aku salah."
Leon mendesah. "Kau berbeda dari semua wanita yang pernah aku kenal. Selain cantik, kau memiliki daya tarik luar biasa. Aku sangat yakin, di luar sana pasti banyak pria yang menginginkanmu. Dan hanya pria beruntung yang bisa mendapatkanmu. Rose, bolehkah aku menjadi satu-satunya pria beruntung itu?"
"Coba kau rasakan jantungku yang berdetak cepat saat berada di sampingmu!" Leon meletakkan telapak tangan Alesha di dada kirinya. "Rose, kau satu-satunya wanita yang membuat jantungku kehilangan kontrol. Satu-satunya wanita yang membuatku hampir lupa bernapas! Kau ... istimewa. Apa kau seorang bidadari yang tersesat di bumi?"
"Jawab aku, Rose. Jangan hanya diam. Mungkin kau terlihat seperti sedang tertidur, tapi kau mendengarkanku di alam bawah sadar. Aku percaya itu."
Leon kehilangan kata-kata. Bibirnya setengah terbuka dan gemetar. Ada rasa sakit karena harus menyaksikan kondisi Alesha. Matanya berkaca-kaca, perlahan setitik cairan bening menetes di punggung tangan Alesha.
Demi Tuhan, ini untuk pertama kalinya Leon menangis karena wanita. Setahun lalu, saat kekasihnya memutuskan pergi karena Leon memilih jalan hidup sebagai pelukis, tidak ada setetes air mata pun yang terjatuh. Bahkan Leon cenderung tidak peduli.
"Kau berbeda, Rose. Wanita sederhana yang menyimpan sebuah rahasia masa lalu. Bangunlah, Rose. Aku berjanji akan mendengarkan semua keluh kesahmu. Ceritakan semua masalahmu. Walaupun aku tidak bisa berbuat banyak, tapi setidaknya beban hidupmu bisa berkurang. Sesama teman, harus saling berbagi, bukan?"
Leon menghela napas kasar. Matanya menatap layar monitor tidak jauh dari ranjang. Ia tidak pernah berhenti merapalkan doa dalam hati.
"Cepat bangun, Rose. Bagaimana jika kita nanti berkolaborasi membuat lukisan? Sepertinya menyenangkan. Duduk di tepi pantai, menatap burung-burung camar meliuk di atas lautan, menikmati lembayung senja." Leon kembali mengecup punggung tangan Alesha.
"Maaf, aku tidak bisa menemanimu lama-lama. Suster harus mengganti perban di tubuh dan kepalaku. Ah, andai saja posisi ini bisa ditukar, aku rela menggantikanmu terbaring tak berdaya di ranjang itu. Kau tahu, aku membenci kehidupan yang aku jalani. Tanpa cinta, tanpa keluarga. Orang tuaku bahkan tidak peduli akan kepergianku. Mereka tidak pernah mencari keberadaanku. Bye, Rose. Selamat beristirahat, cepat bangun, aku menunggumu. Karena aku mencintaimu. Selamat malam, Rose." Satu kecupan mendarat di kening Alesha.
Begitulah, berhari-hari Leon melakukan hal yang sama. Ia tidak menyerah meski Alesha belum memberikan respons.
"Selamat pagi, Rose!"
"Selamat siang, Rose!"
"Selamat malam, Rose!"
"Aku mencintaimu, Rose!"
Pria itu tidak pernah bosan berbicara seorang diri di sisi Alesha. Ia percaya, meskipun Alesha tertidur, tetapi wanita itu bisa mendengar di alam bawah sadarnya. Tidak henti-hentinya Leon memberikan semangat hidup pada Alesha.
Hari ketujuh sejak kecelakaan tragis itu terjadi, Leon menampakkan wajah murung. Seluruh tabungannya sudah terkuras habis untuk biaya perawatan Alesha. Sementara sampai saat ini, wanita itu masih terbaring koma. Dokter tidak bisa memprediksi kapan wanita itu akan terbangun.
Lalu, bagaimana Leon bisa membayar tagihan rumah sakit yang mulai membengkak? Mengajukan pinjaman ke bank? Itu tidak mungkin, Leon tidak punya aset yang bisa dijadikan sebagai jaminan. Meminta uang pada orang tuanya? Ah, itu hanya akan membuat Papa murka.
Leon tidak bisa berdiam diri. Alesha harus mendapatkan perawatan terbaik. Leon rela melakukan apa pun, asal Alesha baik-baik saja. Barangkali, meminjam uang pada Darren bisa menjadi solusi.
***
Darren mengacak rambut frustasi, menatap tidak suka pada Tania. Sementara itu, putrinya yang bernama Alea duduk manis di pangkuan wanita itu.
Baiklah, Darren paham bahwa Lea yang notabene adalah keponakannya, sangat merindukan sosok ibu. Sejak ibunya meninggal di usia Lea yang baru satu tahun, Darren resmi mengadopsi gadis kecil itu, meminta pada ayah kandung Lea agar merelakan anaknya menjadi putri Darren.
"Lihat, Aunty punya cokelat untukmu, Lea!" Tania mengeluarkan sebatang cokelat dari dalam tas.
Mata bocah kecil berumur dua tahun itu berbinar. "Untukku?"
Tania mengangguk seraya menyodorkan cokelat itu pada Lea. "Lea senang? Aunty sangat menyayangimu!" Wanita itu mengecup puncak kepala Lea.
"Telima kacih, Aunty!" Lea turun dari pangkuan Tania. Ia melonjak kegirangan dan menunjukkan cokelat itu pada Darren.
Darren memanggil babysitter agar mengajak bocah kecil itu ke kamar. Ia tidak suka melihat kedekatan antara Lea dan Tania.
"Sudah berapa kali kubilang, jangan memanjakan Lea. Aku sama sekali tidak ingin kau memanfaatkan Lea untuk mendapatkan hatiku. Itu tidak akan pernah terjadi, Tania!" ucap Darren sinis.
"Lea membutuhkan sosok seorang ibu. Aku hanya berusaha menjadi sosok yang dirindukannya."
"Alesha adalah ibunya!" tukas Darren cepat. "Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikannya, termasuk kau!"
"Tapi kenyataannya sampai saat ini dia belum kembali. Dan mungkin tidak akan pernah! Apa kurangnya aku, Darren?"
"Alesha adalah segalanya bagiku, sampai kapan pun tidak akan pernah berubah! Jadi, jangan pernah mendekatiku lagi, apalagi sampai memanfaatkan putriku!" Kedua tangan Darren mengepal erat. "Kau bisa pergi sekarang!"
Tanpa menunggu Tania pergi, Darren sudah terlebih dulu meninggalkan ruang tamu, berjalan cepat menuju kamar. Langkahnya terhenti oleh dering ponsel di saku celana. Ia bergegas mengangkat panggilan masuk dari Albert.
"Ada masalah apa lagi?" Emosi Darren pada Tania belum mereda.
"Semua baik-baik saja, Tuan. Hanya saja, Leon ingin mengajukan pinjaman untuk membayar tagihan rumah sakit. Dia dan temannya baru saja kecelakaan, dan sekarang temannya mengalami koma." Albert menjelaskan.
"Berapa yang dia butuhkan?"
"Tiga ratus juta."
Darren menggemeletukkan gigi, merasa diperas. "Apa-apaan itu, dia belum mulai bekerja, tapi sudah mengajukan pinjaman tiga ratus juta. Apa dia sudah gila?"
"Leon berjanji akan mengembalikannya. Jika perlu dia rela tidak dibayar untuk menyelesaikan pekerjaannya."
"Dia pikir aku percaya? Jangan mudah diperdaya oleh penipu, Albert. Biaya rumah sakit, itu hanya modus! Jangan pikir aku tidak tahu jika dia datang ke kantorku dengan Harley Davidson. Memiliki gaya hidup mewah, pantas saja dia membutuhkan uang sebanyak itu. Berikan telepon itu padanya, biar dia bicara sendiri denganku!"
***
Albert memberikan ponsel pada Leon. "Tuan Darren memintamu untuk berbicara."
"Maaf, aku benar-benar membutuhkan uang ini untuk biaya rumah sakit. Aku kehabisan uang, sedangkan temanku masih terbaring koma membutuhkan perawatan intensif," ucap Leon.
"Kau pikir aku percaya? Aku rasa kau mengonsumsi narkoba dan terlilit utang dengan para rentenir. Lalu mencoba memerasku? Jangan hanya karena aku memercayakanmu untuk menjadi creative arts team, kau bisa seenaknya memerasku. Apa kau pikir hanya kau satu-satunya pelukis yang bisa diandalkan?"
"Aku tidak bermaksud untuk-"
"Kerjakan tugasmu, baru kau akan mendapatkan bayaran. Atau, jika kau ingin mundur, tidak masalah! Aku bisa mencari pelukis lain!"
Sambungan telepon terputus. Leon menatap Albert lesu, diberikannya ponsel milik lelaki itu.
"Maaf, Leon. Akhir-akhir ini Tuan Darren sedang memiliki banyak masalah pribadi. Dan sepertinya emosinya terbawa sampai di sini," ucap Albert seraya menepuk pundak Leon, prihatin.
"Tidak masalah, wajar jika Darren bersikap demikian. Bagaimanapun juga, aku orang asing baginya."
"Baiklah, semoga temanmu lekas sembuh."
Leon berjalan di trotoar dengan gontai. Opsi pertama gagal. Ia sama sekali tidak punya pilihan lain. Pilihan terakhir, hanya orang tuanya yang bisa membantu. Meskipun itu tidak mudah.
Meminta bantuan pada orang tua, itu artinya ia harus pulang ke rumah. Setahun yang lalu, Leon harus pergi meninggalkan keluarga setelah pertengkaran besar antara dirinya dan Tuan David, ayahnya. Sekarang, jika ia kembali, hanya kemungkinan kecil ayahnya mau memberikan bantuan.
Leon tidak akan pernah menyerah! Demi Alesha, ia rela mempertaruhkan harga diri di depan ayahnya. Leon rela menjilat perkataannya sendiri tentang ia yang tidak akan pernah lagi memakai harta Tuan David sepeser pun. Dan sekarang, ia harus rela mengemis uang tiga ratus juta pada ayahnya.
"Aku akan melakukan apa pun untukmu, Rose."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro