Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 1 - Can't Stop Loving You

FLORENCE, ITALIA

Florence merupakan salah satu pusat arsitektur renaisans dan seni yang paling penting di Italia. Kota cantik tersebut merupakan ibu kota provinsi Firenze, regional Tuscana. Kota ini dibelah oleh Sungai Arno, di kaki perbukitan Apennine dengan populasi penduduk sekitar 400.000 jiwa. Dikenal sebagai pusat budaya dan ekonomi di Italia dan Eropa sehingga dijuluki "Athena di Barat".

Di kota inilah orang-orang yang berperan dalam perkembangan renaisans terlahir, di antaranya Giotto, Luca della Robbia, Botticelli, Verrocchio, Fra Angelico, Michelangelo, dan Leonardo da Vinci-pelukis Mona Lisa.

Ada banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi di tempat ini. Galeri Uffizi, Palazzo Vecchio, Museum Nasional Bargello, Oltrarno, dan masih banyak lagi tempat menarik lainnya.

Alesha beruntung karena bisa menginjakkan kaki di kota ini. Signor Romano dan istrinya menyambut kedatangan Alesha dengan tangan terbuka. Bahkan dengan senang hati sang maestro berumur enam puluh tahun itu mengajarkan Alesha beberapa teknik melukis.

Satu bulan tinggal bersama sepasang suami istri itu membuat Alesha menemukan keluarga baru. Signor Romano dan istrinya hanya tinggal berdua di rumah sederhana mereka. Karena ketiga anaknya sudah menikah dan memiliki rumah masing-masing, wajar jika kehadiran Alesha memberikan warna baru pada kehidupan senja mereka.

Di sebuah ruangan yang luas, terlihat dua orang berbeda generasi sedang duduk menghadap kanvas masing-masing. Sibuk berkutat dengan kuas dan cat.

Tampaknya, ruangan itu didesain khusus sebagai studio melukis. Puluhan lukisan menggantung di dinding bercat putih. Sementara patung-patung antik tampak bertengger di meja sudut ruangan.

Alesha mendesah kasar. Entah sudah berapa kali ia salah memberikan warna pada lukisannya. Lukisan seorang noni Belanda yang tengah duduk di antara rumpun melati. Baiklah, sejak kapan bunga jasmine memiliki warna merah?

Wanita itu meletakkan kuas dengan kasar, mengamati lukisan yang dibuat dengan setengah hati. Terlihat sangat buruk. Sudah berkali-kali Signor Romano mengatakan, jika ingin lukisan terlihat hidup, maka harus dibuat dengan sepenuh hati.

Diliriknya lelaki tua berperawakan kurus yang sedang menyempurnakan lukisan seekor naga di sudut ruangan. Gambar setengah jadi itu terlihat nyata, seekor naga besar menyemburkan api dan tanpa ampun membumihanguskan sebuah perkampungan.

"Lukisanmu tidak akan pernah selesai jika kau sibuk dengan perasaanmu, Alesha."

Signor Romano berseru dalam bahasa Indonesia yang sangat fasih. Semasa muda, pria berumur enam puluh tahun itu sering berkelana dan tinggal di berbagai negara, salah satunya Indonesia. Tidak heran jika pria tua itu menguasai berbagai macam bahasa.

"Jangan dipaksakan jika memang belum siap. Itu hanya akan menghasilkan lukisan yang buruk. Istirahatlah sejenak untuk mengumpulkan titik fokusmu!" saran Signor Romano.

"Baiklah, Signore!" Alesha membereskan peralatan melukisnya, lalu menghampiri Signor Romano. "Apa naga ini juga akan disertakan dalam pameran lukisan beberapa bulan lagi?"

Signor Romano mengangguk. "Tentu saja. Di pameran nanti akan ada banyak pencinta karya seni yang hadir dari seluruh dunia. Aku juga akan menyertakan lukisanmu. Jika beruntung, semua orang akan mengagumi lukisanmu, dan saat itulah kau akan menjadi salah satu seniman yang diakui oleh banyak orang, bahkan dunia."

Kalimat Signor Romano terdengar menggiurkan di telinga Alesha. Andai saja itu bisa menjadi kenyataan, maka Alesha berhasil mewujudkan impian almarhumah Mama.

Signor Romano adalah salah satu seniman bertangan dingin, berkali-kali mengadakan pameran lukisan dan selalu sukses menyita perhatian para pencinta seni dari seluruh dunia. Alesha merasa sangat beruntung karena bisa menjadi salah satu murid sang maestro.

"Belum bisa melupakan mantan suamimu?" Signor Romano kembali memainkan kuas di atas kanvas.

Alesha menghela napas kasar. "Sangat sulit untuk melupakannya. Terlebih jika cinta itu sudah mendarah daging di tubuhku."

"Jika memang mencintainya, lalu kenapa kau malah meninggalkannya? Bukankah itu justru akan menghancurkan dirimu sendiri? Cinta itu membutuhkan perjuangan, Alesha."

"Dia mencintai wanita lain, Signore. Percuma aku memperjuangkannya jika dia juga tidak pernah memperjuangkanku."

Signor Romano mengangguk-angguk. "Aku mengerti. Mungkin karena passion kalian berbeda. Darah seni mengalir dalam tubuhmu, sementara dia bukanlah pencinta seni. Tapi, bukankah cinta seharusnya menyatukan perbedaan?"

Signor Romano benar. Sepatutnya cinta menyatukan perbedaan. Namun, bagaimana jika cinta itu hanya berada di salah satu pihak? Alesha mendesah kasar. Lupakan, ia tidak ingin mencintai Darren lagi. Terlalu banyak rasa sakit yang ditorehkan pria itu, masih membekas hingga sekarang.

Pria dengan jambang dan kumis lebat itu tertawa lebar. Rambut ikal sebahu yang beberapa di antaranya sudah memutih bergerak-gerak seiring tawanya.

"Aku sudah tua, tak pantas berbicara cinta. Kembalilah ke kamar, kumpulkan titik fokusmu. Dengarkan musik klasik, itu bisa mengembalikan mood menjadi lebih baik."

"Baiklah, buon pomeriggio, Signore!" Alesha mengucapkan selamat siang pada pria tua dengan kaus putih bernoda cat minyak di beberapa bagian.

Wanita itu kembali ke kamar. Luas ruangan itu hanya sepertiga luas kamar yang ditempati Alesha sewaktu tinggal di rumah Darren. Berisi sebuah ranjang berukuran queen size, lemari kayu yang tidak terlalu besar, dan sebuah nakas di sisi tempat tidur.

Dari jendela kamar di lantai dua tersebut, Alesha bisa melihat aliran Sungai Arno membelah kota Florence. Sungai dengan panjang mencapai 241 kilometer itu mengalir dari Gunung Falterano di Casentino. Kata Signor Romano, ada beberapa jembatan yang melintasinya, antara lain Ponte alla Carraia, Ponte Vecchio, Ponte Santa Trinita, dll.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Alesha dari sungai cantik itu. Nama "Tuan Anderson" terpampang di layar ponsel. Alesha sudah menduga, pasti ada kabar yang akan disampaikan oleh ayah mertuanya.

"Hakim memutuskan bahwa kau dan Darren ... sudah resmi bercerai." Suara Tuan Anderson terdengar parau di seberang sana.

Alesha tahu, ini tidak mudah bagi ayah mertuanya, mengingat bagaimana pria itu memohon agar Alesha tidak memutuskan pergi dari kehidupan Darren. Akan tetapi, Alesha tidak bisa mengabulkannya.

"Terima kasih atas bantuanmu, Dad." Alesha menahan sekuat tenaga agar bendungan air di matanya tidak tumpah, tetapi gagal. Air mata itu berderai membasahi pipi.

"Alesha, bagaimana kabarmu?" tanya Tuan Anderson.

Alesha mengusap sudut mata menggunakan ujung jari, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja, Dad. Aku sedang sibuk belajar melukis dengan Signor Romano. Kita sambung pembicaraan ini nanti."

Alesha mematikan ponsel, kemudian membenamkan wajah di bawah bantal, meraung perlahan, menjaga agar isak tangisnya tidak terdengar sampai ke luar kamar.

Alesha dan Darren resmi bercerai. Itu artinya, Alesha sudah terbebas dari cengkeraman pria egois itu. Ah, masihkah Alesha boleh mengatakan Darren egois karena telah mengorbankan istrinya demi kebahagiaan Irene, adiknya yang sedang berjuang melawan kanker otak?

Meski perjuangan itu harus berakhir. Malaikat maut mengantar Irene kembali kepada Yang Maha Kuasa, meninggalkan seorang bayi berumur satu tahun bernama Alea. Oh, Tuhan! Bagaimana kabar bayi mungil itu?

Alesha mencengkeram sisi bantal. Ia tidak boleh lemah. Sebulan terakhir ini ia menghafal sebuah mantra yang bisa menenangkan hatinya. Lupakan Darren, dia mencintai wanita lain. Lupakan Darren, dia mencintai wanita lain.

Namun, bayangan percintaan panas di malam itu tidak bisa lenyap dari benak Alesha. Tubuh kecokelatan dengan keringat membasahi seluruh tubuh itu menghentak berirama, memunculkan sensasi asing dan akhirnya meledak dengan begitu hebat. Menyisakan sisa-sisa kenikmatan yang baru pertama kali dirasakan Alesha.

***

JAKARTA, INDONESIA

Darren menghentak semakin cepat, wajah cantik dengan kulit seindah pualam itu masih memejamkan mata dan mengerang di bawah kungkungan tubuh kekarnya.

Kenikmatan mendera tiada henti, tubuhnya bagai tersedot ke sebuah denyutan serupa pusaran air yang menyeretnya ke dalam puncak gairah tertinggi. Mata hazel itu berkabut menatap bibir gadis yang setengah terbuka, berkali-kali menyebut nama lelaki yang tengah menggagahinya.

Darren tersenyum puas, merasa senang karena dialah satu-satunya pria yang pernah menitipkan benih di rahim wanita itu.

Penyatuan tubuh yang begitu hebat membuat Darren senantiasa ingin mengulanginya lagi ... lagi ... dan lagi. Ia mengempaskan tubuh di samping wanita itu, memeluknya dengan posesif. Sebisa mungkin menghirup aroma kelopak mawar yang mendominasi rambut panjangnya. Begitu nyaman, sampai suara seorang wanita lain berteriak memanggil namanya.

"Darren! Kau sudah terlambat tiga puluh menit!"

Darren membuka mata, mendengkus kasar. Wanita ini telah mengganggu mimpi indahnya bersama Alesha. Ya, mimpi indah yang berkali-kali menghiasi malam-malam kesendiriannya semenjak kepergian Alesha.

"Tania, tidak bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk ke kamarku? Lagi pula, sudah berkali-kali kubilang, tidak ada wanita mana pun yang boleh menginjakkan kaki di sini!"

Darren meraih kaus di ujung ranjang dan segera memakainya, tidak mengizinkan Tania menikmati pahatan tubuh sempurna bak patung dewa Yunani, sekalipun status Tania adalah calon tunangannya.

"Apa kau baru saja bermimpi bertarung dengan seekor singa, sehingga tubuhmu berkeringat seperti orang mandi?" Tania memicingkan mata sipitnya.

"Ya!" Darren mendengkus kasar. "Bertarung dengan singa betina!"

Tania mencebik. Kalau saja bukan karena cinta, Tania tidak sudi berada di samping Darren. Sayangnya, kata cinta telah membuatnya bersikukuh untuk merayu pria itu agar mempercepat pernikahan mereka. Meski ia sendiri tahu bahwa di hati Darren masih bersemayam nama Alesha, mantan istrinya.

"Sekretarismu menelepon, kau belum datang, padahal sepuluh menit lagi ada meeting dengan dewan direksi!"

"Berhentilah berceramah! Kau sudah merusak pagiku!" teriak Darren seraya membanting pintu kamar mandi.

Tania mendesah. Sejak kepergian Alesha, Darren berubah menjadi pria temperamen. Sering marah tanpa alasan jelas. Bahkan hanya karena mencium aroma mawar, ia bisa membanting guci antik di sudut balkon.

"Babat semua bunga-bunga mawar itu! Jangan sisakan sedikit pun. Ganti taman itu dengan pohon palem!" Teriakan Darren dari atas balkon tempo hari membuat tukang kebun yang sedang menyiram bunga lari terbirit-birit ke gudang untuk mengambil sabit, bergegas membabat rumpun mawar seperti permintaan tuannya.

Kehilangan Alesha telah membuat Darren terpuruk. Penyesalan selalu menghantuinya karena telah menciptakan sebuah neraka dalam pernikahan 244 hari mereka. Andai saja sedari awal ia melihat Alesha melalui sudut pandang yang berbeda.

Benar kata Daddy, Darren baru saja melepas sebuah permata dari dalam genggaman. Baiklah, semua orang membela Alesha. Daddy bahkan sudah menutup seluruh akses informasi agar Darren tidak bisa melacak keberadaan Alesha. Satu hal yang sangat kejam menurut Darren.

"Alesha menginginkan kebebasannya. Maka salah jika aku menghalangi keinginan sederhana gadis yang sudah kuanggap seperti putriku sendiri. Ikhlaskan dia. Percayalah, sejauh apa pun Alesha pergi, jika Tuhan mengatakan bahwa kalian berjodoh, suatu saat kalian pasti akan bertemu lagi." Entah sudah berapa kali Daddy mengatakan itu.

Namun, tidak sedikit pun kalimat Daddy membuat hati Darren merasa lega. Hatinya tetap gelisah dan putus asa. Alesha hanya bisa hadir dalam mimpi-mimpinya, membuat Darren semakin terpuruk menyesali setiap luka yang pernah ia torehkan. Terlebih karena ia telah tega mengambil keperawanan Alesha.

Tidakkah Daddy tahu bahwa itu berarti Darren harus mempertanggungjawabkan perbuatannya? Kenyataannya Daddy justru membiarkan Darren melepas tanggung jawab. Bagaimana jika benih itu tumbuh dengan subur di perut mantan istrinya?

***

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro