22. Kembali ke Bali
Tap bintang dulu ya sebelum baca.
Thanks.
.
.
.
Sudah cukup selama lima hari mereka di Jakarta. Kedatangan mereka ke sana untuk meminta restu sudah dilakukan meski tidak mendapat respon baik dari kedua pihak. Meski restu tak mereka dapat, rencana akan tetap berjalan sesuai rencana agar masalah keduanya cepat selesai. Hanya tinggal satu langkah lagi untuk menghentikan tangan-tangan yang perusak.
Adit menatap sekilas ke arah gadis yang ada di sampingnya. Tatapan Risa masih pada dinding kaca pesawat yang menampilan gumpalan awan putih. Walaupun Risa terlihat tenang, tapi di dalam hatinya masih menyimpan rasa kesal pada Adit karena kejadian semalam. Bagaimana mungkin seorang wanita tidak kesal dipermalukan di depan orang banyak?
"Tak lama lagi, aku yakin jika Rino akan menemuimu."
Ucapan itu membuat perhatian Risa teralih. Adit terlihat membung wajah saat tatapan Risa tertuju ke arahnya.
"Walaupun aku gagal membujuknya, tapi kamu bisa membuatnya agar datang padamu. Aku memiliki cara lain agar dia memilih pilihan darimu," lanjutnya.
Risa masih bergeming, menanti kelanjutan ucapan laki-laki di sampingnya.
"Kamu bisa mengajukan tuntutan masalah warisan yang ditinggalkan oleh ayah kalian. Aku yakin jika kamu memiliki bagian dari warisan itu. Ada cukup banyak warisan yang ditinggalkan oleh ayah kalian dan kamu berhak menuntut Rino jika dia sudah nggak mau anggap kamu sebagai adik. Setidaknya kamu memiliki simpanan untuk melanjutkan hidup tanpa peduli dari keluarga."
Kalimat terakhir yang Adit lontarkan sontak membuat hati Risa tertusuk. Kenyataan memang tidak salah. Keluarga sudah tidak lagi peduli padanya. Jika bukan dia yang usaha sendiri, maka dari mana dia akan bertahan hidup?
Adit mengusap lengan gadis di sampingnya karena mendengar isakan kecil. "Apa yang menimpamu adalah pelajaran bahwa kamu harus kuat menghadapi situasi sesulit apa pun. Hidup ini seperti hukum rimba. Kamu harus kuat dan mengalahkan musuh agar bisa bertahan hidup. Jika kamu menyerah, maka harus siap menjadi mangsa para penguasa."
Suara pemberitahuan jika pesawat akan landing menjeda obrolan mereka. Semua penumpang mulai bersiap memasang perangkat jemala dan sabuk pengaman untuk hati-hati. Keadaan di dalam pesawat cukup tenang. Hanya memakan satu jam perjalanan melalui udara untuk tiba di Bali dari Jakarta.
Pesawat mendarat dengan aman. Keadaan bandara cukup ramai dan didominasi turis yang akan berlibur ke pulau itu. Sudah tak asing bagi warga pulau tersebut jika Bali selalu ramai dengan turis. Adit dan Risa segera memasuki mobil setelah tiba di area parkir. Masih banyak persiapan yang harus mereka lakukan untuk menyelesaikan rencana berikutnya.
"Aku akan mengajukan tuntutan pada Kak Alex."
Adit sontak menatap ke sumber suara. Gadis di sampingnya terlihat tenang dan yakin akan ucapan yang sudah dia sampaikan. Senyum miring tercetak di raut tampan Adit.
"Tapi sebelumnya, aku akan menghubunginya terlebih dahulu untuk memberikan pilihan. Kamu benar. Aku harus berani dan kuat menghadapi kenyataan bahwa kehidupan dunia ini memang keras," ungkap Risa.
"Aku akan membantumu sampai mendapatkan apa yang menjadi milikmu."
"Terima kasih karena selama ini sudah membantuku."
"Bukankah kita seperti ini karena simbiosis mutualisme?"
Risa tak membalas ucapan Adit, memilih hanya tersenyum samar. Setidaknya dia bersyukur karena sudah bertemu Adit. Apa jadinya jika Adit tak membantunya?
***
Suara alas kaki membuat konsentrasi Risa teralih dari alat dapur. Sekilas, dia menatap ke sumber suara. Terlihat sang empunya rumah turun dari lantai dua, berjalan menghampiri dapur. Menjelang pernikahan mereka, Risa dituntut untuk cuti agar fokus pada pernikahan. Ken dengan senang hati memberi cuti pada asistennya yang akan melangsungkan janji suci. Tak salah jika sepagi ini dia sudah berada di dapur.
"Mau aku buatkan kopi?" Risa meberi tawaran.
"Aku bisa bikin sendiri," tolak Adit secara halus.
"Kebutuhan di dapur sudah banyak yang habis. Siang ini, aku berencana akan ke supermarket untuk belanja. Sekaligus untuk memastikan gaun pengantin yang akan aku kenakan. Tadi malam pihak butik mengabari aku. Apa kamu akan ikut?"
Mendapati Adit tak membalas ucapannya, Risa menoleh ke arah laki-laki yang berdiri tak jauh dari posisinya saat ini. Laki-laki itu terlihat sedang melamun. Entah apa yang sedang Adit pikirkan.
"Jika kamu sibuk, aku akan ke sana sendiri. Lagi pula hanya memastikan gaun saja." Rista berusaha membuyarkan pikiran Adit.
Ucapan Risa sukses membuat pikiran Adit teralih. "Aku akan mengantarmu," balasnya.
"Apa ada sesuatu yang terjadi? Aku lihat, sejak tadi kamu melamun."
"Kamu harus lebih berhati-hati lagi. Aku khawatir kalau Fanya akan melakukan hal buruk melebihi kejadian kemarin."
"Sudah berapa kali kamu mengingatkan aku akan hal itu? Bukankah aku akan selalu berada di samping kamu yang akan selalu melindungiku setiap saat?" tanya Risa sambil tersenyum, beranjak dari hadapan dapur sambil membawa mangkuk berisi nasi goreng untuk sarapan mereka.
Adit mencekal salah satu lengan gadis itu sebelum beranjak dari dapur. Gadis di hadapannya sontak menoleh. "Aku serius," ucapnya sambil melepas cekalan.
"Bukankah selama ini aku sudah hati-hati? Aku tahu kamu khawatir, tapi percayalah jika rencana kita akan berjalan sukses sampai akhir." Risa membalikkan tubuh, menatap lelaki di depannya dengan mata mengerling.
Cekalan di lengan Risa terlepas. Rasa khawatir yang mendominasi hati Adit perlahan mencair saat mendengar ucapan gadis itu. Dia berusaha percaya jika semua akan baik-baik saja, tetapi dia pun harus hati-hati karena lawan mereka saat ini tidak main-main. Mereka memang harus hati-hati.
Mendapati Adit hanya diam, senyum menghiasi wajah Risa, beranjak dari posisi untuk menuju meja makan. Gerakan gadis itu membuat lamunan Adit bubar. Dia melanjutkan aktivitas yang terjeda, membuat kopi.
Mangkuk berisi nasi goreng diletakkan di atas meja. "Aku akan mengajukan tuntutan pada Kak Alex. Pesan untukknya sudah kukirim, tapi aku tidak mendapat balasan. Maka dari itu aku memilih untuk mengajukan tuntutan," ungkap Risa sambil duduk di kursi.
Ungkapan itu mengusik konsetrasi Adit. "Sudah menemukan pengacara?" tanyanya memastikan.
"Sedang mencari."
Adit beranjak dari dapur setelah kopi yang dia buat berada di tangannya. "Butuh bantuan?" tanyanya sambil mengampiri meja makan. "Aku punya beberapa kenalan pengacara di Jakarta. Itu kalau kamu mau," lanjutnya sambil duduk di kursi yang biasa didudukinya di ruang makan.
"Aku khawatir akan semakin berutang budi padamu."
"Lebih baik kamu fokus sarapan. Aku akan menghubungi mereka untuk memastikan."
Sesuai ucapan Adit sebelumnya jika dia akan membantu gadis itu jika ingin menuntut sang kakak. Risa berhak mendapatkan apa yang menjadi haknya dari warisan sang ayah. Rino tidak berhak merampas apa yang bukan sepenuhnya milik dia, karena di dalam warisan itu tentu terdapat bagian untuk Risa.
***
"Aku lebih menyukai gaun ini karena nyaman saat dikenakan dan tidak terlalu berat dibandingkan dengan gaun-gaun yeng sudah kucoba," terang Risa setelah mencoba beberapa gaun yang sudah dipilih olehnya.
"Kamu yakin? Bahu dan dadamu akan menjadi pusat perhatian kalau pakai gaun itu, terutama laki-laki," ungkap Adit karena kurang setuju akan gaun yang menjadi pilihan calon istrinya. Calon istri settingan.
Senyum mengembang di bibir Risa. "Apa kamu cemburu? Atau karena perhatian?" tanyanya menggoda.
Mendengar godaan dari gadis itu membuat ekspresi wajah Adit berubah datar. Sadar karena ucapannya mengandung perhatian serta cemburu. "Itu hanya usul dariku. Tapi kalau kamu mau pilih gaun itu dan siap menjadi perhatian semua tamu, ya aku nggak akan melarang."
Risa semakin melebarkan senyum, kembali masuk ke dalam untuk memastikan gaun yang Adit inginkan. Keduanya berbeda selera. Adit ingin yang tertutup dan meeah, sedangkan Risa menginginkan gaun yang menurutnya nyaman. Memang, terkadang apa yang menurut kita nyaman, akan tetapi belum tentu diterima dengan baik oleh orang lain.
Deringan ponsel memecah konsentrasi Risa yang sedang berdiskusi dengan pemilik butik karena akan ada perombakan dari konsep miliknya. Dia tak ingin egois karena Adit berhak ikut campur mengenai gaun yang akan dikenakan pada pernikahan mereka. Terutama karena perhatian dari lelaki itu membuat Risa merubah desain gaun agar pendapat keduanya bertemu. Dahi Risa berkerut saat melihat nama sang penelepon. Dia pamit pada pemilik butik untuk menerima panggilan telepon tersebut.
"Apa yang membuat Anda menghubungiku?" tanya Risa tanpa ingin basa-basi, memastikan apa yang diingkan oleh sang penelepon.
"Sekarang aku di Bali. Temui aku di hotel Manhattan satu jam ke depan. Ada yang ingin aku bicarakan padamu," jelas sang penelepon di seberang sana.
"Aku sibuk. Jika Anda ingin, maka datanglah ke sini."
"Aku lebih sibuk darimu. Jangan buang-buang waktuku untuk datang ke sana, karena aku sudah berkorban untuk datang ke pulau ini. Cepat datang ke hotel ini dan jangan bawa Adit."
Sambungan telepon terputus karena sang penelepon memutus sepihak. Risa hanya menghela napas, beranjak dari posisi untuk menemui Adit. Ucapang sang penelepon membekas di hati Risa perihal permintaan orang itu tanpa pendampingan dari calon suami. Meski Adit hanya calon suami palsu, tapi dia berhak tahu tentang apa yang tujuannya menemui orang itu.
Risa berjalan ragu mendekati laki-laki yang tak jauh dari posisinya saat ini. Lelaki itu belum menyadari kedatangannya karena fokus memilah deretan gaun yang ada di butik tersebut. Langkahnya terhenti kala persis berdiri di belakang tubuh Adit. Keraguan masih menggelanyuti saat dia mengangkat tangan. Adit membalikkan tubuh saat sebuah tangan menyentuh punggungnya. Senyum getir menghiasi raut Risa. Ekspresi lelaki itu seakan meminta jawaban.
"Beberapa menit lalu Kak Alex menghubungiku. Dia ingin bertemu denganku, tapi Kak Alex menginginkan agar aku datang seorang diri. Bagaimana menurutmu?" ungkap Risa.
"Temui dia. Aku nggak akan menemani kamu bertemu dengan dia, tapi aku hanya akan mengantarmu ke sana." Adit menyetujui.
Senyum menghiasi wajah Risa karena lelaki itu mengizinkannya bertemu dengan sang kakak. Adit tahu jika kedatangan Alex menyangkut ungkapan sang adik beberapa hari yang lalu. Misi mereka berjalan dengan baik sesuai rencana.
Setelah menyelesaikan masalah gaun, Risa dan Adit langsung bertolak menuju lokasi pertemuan. Raut Risa terlihat khawatir. Entah apa yang dikhawatirkan olehnya.
"Kenapa kamu terlihat cemas?" tanya Adit karena mendapati gadis di sampingnya terlihat tak tenang.
"Apa maksud Kak Alex ingin menemuiku dan tidak mengizinkan agar kamu ikut bersamaku?" tanya Rista meminta pendapat.
"Dia ingin berdamai denganmu. Jika dia nggak mau berdamai, maka dia nggak akan meluangkan waktu buat ketemu kamu, tapi nunggu kamu mengajukan tuntutan." Adit menjelaskan. Penjelasan yang logis.
"Kenapa dia tidak mengizinkan kau untuk mendampingiku?"
"Karena apa yang akan kalian bicarakan mengenai masalah pribadi. Aku memang nggak berhak tau atau ikut campur."
Penjelasan Adit membuatnya merasa tercerahkan perihal maksud Alex menemui dan tidak mengizinkan Adit untuk mendampinginya. Risa merasa semakin nyaman dengan lelaki di sampingnya. Bukan hanya tampan dan perhatian, tetapi Adit juga mampu berpikir logis dan positif.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, mereka tiba di hotel Manhattan, tempat pertemuan antara Risa dan Alex. Risa akan beranjak turun, tetapi Adit mencekal lengannya.
"Hubungi aku jika terjadi sesuatu," ucap Adit saat gadis itu menatapnya.
"Pasti," balas Risa singkat dengan senyum ramah.
Cekalan terlepas dari lengan Risa setelah mendapat jawaban singkat itu. "Aku tunggu di tempat parkir."
Setelah mengangguk pada Adit, Risa bergegas membuka pintu, lalu turun dari mobil. Sedangkan Adit melajukan mobil menuju area parkir untuk menanti gadis itu. Sebenarnya, ada rasa ingin berada di samping Risa menggelanyuti hatinya, tetapi Alex menginginkan agar sang adik menemuinya seorang diri.
Deringan ponsel menjeda langkah Risa karena suara itu bersumber dari tas yang dibawa olehnya. Dia segera meraih benda pipih itu untuk memastikan sang penelepon. Digesernya layar ponsel saat tahu siapa yang menghubunginya.
"Aku sudah di lobi hotel," ucap Risa saat tersambung.
"Aku di kafe seberang hotel."
Embusan napas terlihat jelas di paras Risa. Ponsel segera kembali dimasukkan ke dalam tas, lalu membalikan tubuh untuk menatap tempat yang dimaksud sang kakak. Langkahnya terayun untuk menuju lokasi. Saat Risa akan menyebrang jalan tiba-tiba sebuah motor melaju kencang akan menabraknya.
Brukk ...
Risa terpental ke tepi trotoar, tetapi bukan karena dia tertabrak, melainkan seseorang mendorongnya. Tatapan Risa sontak mengarah pada seseorang yang sudah menolongnya, dan terlihat Adit terkapar di atas aspal. Darah terlihat mengalir dari salah satu anggota Adit. Seketika Risa panik, beranjak dari posisi sambil menyerukan nama lelaki itu, lalu disusul seruan minta tolong. Orang-orang mulai berdatangan, sedangkan pelaku sudah melarikan diri.
"Pak, bantu saya membawa dia ke rumah sakit," pinta Risa pada orang-orang yang mulai mengerumuninya.
Orang-orang mulai mengangkat tubuh Adit, memasukannya ke dalam mobil milik salah satu orang yang bersedia membantu. Rino hanya menatap kejadian itu dari balik kaca kafe dengan tatapan heran. Bagaimana mungkin sang adik begitu perhatian pada lelaki itu, padahal hubungan mereka hanya untuk menguntungkan satu sama lain?
***
Lama ya nggak up cerita ini.
Maklum, ya, aku sibuk banget.
Nggak cuma satu cerita yang slow update, tapi hampir semua ceritaku slow update.
Semoga part ini mengobati rasa rindu kalian pada Adit dan Risa.
Kira-kira, siapa yang bayar orang buat nabrak Risa?
Jangan lupa tap bintang sebelum koment. Thanks.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro