Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Sebatas Penonton

Misi itu benar-benar dimulai. Dua cewek itu sibuk mengatur strategi. Sasa diberi tugas untuk fokus merekam aktivitas Adel di kantin. Sementara Vaya akan merekam Adel di tempat-tempat lain. Cukup sulit. Sebab Adel selalu dikelilingi teman-temannya dan Adel tidak melakukan banyak kejanggalan. Sudah satu minggu Vaya dan Sasa mengintai, tetapi mereka belum menemukan kejahatan apa pun yang dilakukan Adel.

"Satu-satunya yang janggal dari Adel itu, dia makan bakso tanpa bakso."

"Hah? Itu penghinaan!" Vaya melipat tangan.

"Ayolah, Vay. Adel nggak seburuk cewek-cewek di sinetron yang ngelempar vas bunga ke kepala orang."

"Iya, gue tau. Gue nggak ada tujuan sampe ke sana," kata Vaya sambil merunduk untuk membetulkan tali sepatunya. Gadis itu kembali berdiri dan berkata, "Tapi dia jenis orang yang suka bikin orang lain merasa terhina dan inferior. Lo lupa kalo rambut lo pernah dikatain sapu ijuk di depan Ardi?"

Sasa membulatkan matanya. Dia kontan mengangguk-angguk sambil mencengkeram lengan Vaya kencang. Ada perasaan jengkel yang muncul tiba-tiba.

"Jadi, gue rasa, bukan cuma gue yang bermasalah dengan Adel. Anak-anak lain juga."

"Tapi, masalahnya, nggak ada yang bisa direkaaam! Kalo lo cuma butuh video cara berjalan Adel yang sombong itu, gue bisa-bisa aja rekam. Tapi kan itu nggak terlalu heboh nantinya."

Vaya sepakat untuk hal itu. Memang belum ada yang mencolok dari Adel. Kini dua cewek itu terduduk lesu di bangku panjang depan kelas mereka. Sasa sibuk memerhatikan poninya yang berantakan. Sementara Vaya melirik ke arah koridor, tempat Adel dan teman-temannya kini muncul. Kelas mereka yang berada paling ujung, membuat mereka harus melewati kelas Vaya.

Adel melintas. Matanya dan mata Vaya bertemu sekilas. Ada perasaan aneh membuncah di dada Vaya. Antara iri dan marah. Terlebih ketika Adel menyapa ramah Aji yang muncul dari dalam kelas. Vaya mendecih. Bahkan cewek itu bisa mendapat perlakuan baik dari Aji.

"Kenapa Vay?" tanya Mia yang baru saja bergabung.

Vaya menggeleng pelan. Gadis itu masih memandang cemberut Adel dan Aji yang sedang mengobrol. "Si Aji tuh, sebenernya tim gue apa tim Adel, sih?"

"Aji bukan di tim mana pun, Vaya...."

"Tapi, Aji temen gue, Mia."

"Aji juga temen Adel."

"Gue jauh lebih lama temenan sama Aji."

Sasa berhenti merapikan poninya. Dia dan Mia tahu itu. Bahwa Vaya dan Aji adalah versi nyata dari dua sahabat yang kerap mereka temukan di drama. Hanya saja, mendengar Vaya megatakan itu membuat hati Sasa tercubit. "Kalian ... sedekat itu?"

"Nggak gitu juga, sih. Nggak bisa dibilang sahabat sejak kecil yang lengket banget. Kita cuma pernah satu SD. SMP nggak ketemu. Rumah kita juga nggak deketan. Tapi, tetep aja gue kenal Aji lebih dulu daripada Adel. Harusnya Aji tuh dukung gue!"

Mendengar itu, Mia tersenyum samar. "Ternyata lebih dulu dikenal nggak menjamin lebih dulu diingat, ya."

Vaya tertegun.

"Lagian, Aji tuh cowok, Vay." Sasa tertawa. Dia mendorong jidat Vaya pakai jari. "Apa yang lo harapin dari seorang cowok di dalam pertarungan singa betina?"

"Ya, tapi seenggaknya-"

"Atau lo cemburu, ya?" tebak Mia cepat.

"Hah?"

"Bener cemburu, Vay?" Sasa yang tadi cekikikan kini bertanya serius.

"NGGAK!!"

"Jadi, Rio atau Aji, sih?"

Vaya melongo. Belum sempat Vaya melanjutkan kalimatnya, Sasa sudah menertawainya dengan keras. Suara tawa Sasa yang khas itu terdengar menyebalkan sekali. Jadi, dengan kesal, Vaya sibuk membekap mulut Sasa yang masih juga tertawa-tawa keras. Sementara Mia, yang tadinya hanya memerhatikan dua temannya itu, malah ikut tertawa. Mereka bertiga terus begitu tanpa peduli kalau orang-orang sudah memandangi mereka. Termasuk Rio dan teman-temannya yang baru saja kembali dari kantin.

"Si Payah sekarang udah nggak pernah lagi ya main ke kelas kita." Ardi memulai. Cowok itu tampak memerhatikan Vaya.

Beni mengangkat bahu. "Udah sadar diri kali."

"Baguslah. Artinya nangkep maksud. Ya nggak, Bro?" Ardi menyingkut Rio. Sejak tadi, temannya itu hanya diam saja. Rio menghela napas. Tanpa berkomentar, Dia melanjutkan langkah, melewati Vaya dan teman-temannya dan masuk kelas. Entah kenapa dia merasa enggan membahas apa pun tentang Vaya. Jika dulu dia masih setuju, mengangguk, ikut tertawa dengan komentar teman-temannya itu, kini Rio merasa tak berselera. Gadis itu benar-benar membuat Rio tak berselera.

Ya. Vaya kini begitu asik dengan dunianya sendiri. Orang-orang tak akan pernah menduga apa yang tengah Vaya rencanakan. Berhari-hari dia menghabiskan waktu kosongnya untuk mengintai Adel di sekolah. Vaya yakin dia akan menemukan celah itu. Tabiat Adel yang suka membuat orang terhina tentu tidak akan sulit. Tidak ada lagi waktu untuk menangis dan meresapi segala patah hati yang belum selesai. Vaya harus bangkit dan membuktikan bahwa dia masih hidup. Bahkan jauh lebih hidup.

Seperti malam ini, gadis itu baru saja keluar dari counter, membeli kuota. Di kepala cewek itu, kini sibuk menyusun rencana agar bisa menemukan momen saat Adel melakukan hal memalukan. Gadis itu mengayuh sepedanya sambil tersenyum membayangkan kejadian yang belum terjadi sama sekali. Namun, Vaya segera menarik pedal rem tatkala ekor matanya menangkap sosok itu. Berdiri sendirian di depan gerbang sebuah rumah mewah.

Seorang cowok yang paling dia benci saat ini.

Vaya mengedikkan bahu dan melanjutkan laju sepedanya. Bodo amat.

***

Menurut Vaya, ada tiga tipe orang saat nonton di bioskop. Pertama, orang-orang terencana. Mereka sudah punya judul sejak pergi dari rumah. Kalau tidak ada yang bagus, ya tidak akan menonton. Mia adalah bukti nyata dari contoh orang jenis tersebut.

Kedua, orang-orang seperti Sasa yang mendadak telepon ingin nonton film demi refreshing dari aktivitas merekam Adel. Katanya, mengintai segala kehidupan Adel di sekolah adalah cara tercepat untuk bunuh diri. Sasa cewek yang spontan. Dia akan nonton jika mau nonton. Dan, jika tak menemukan film yang bagus-dilihat dari poster dan trailernya-Sasa tetap nekat mengantre di kasir, menonton film apa pun. Yang penting, jadwalnya hari ini adalah menonton. Padahal, itu cuma buang-buang waktu dan uang jajan. Terlebih jika dia benar-benar menemukan film yang tidak asik sama sekali.

Dan tipe terakhir, orang-orang modal tiket traktiran seperti Vaya. Gadis itu pun sepertinya tidak punya harapan sama sekali terhadap dunia perfilman di Indonesia. Jadi, berbeda dengan Mia yang memilih menolak, Vaya tetap mengiyakan saat Sasa meminta ditemani nonton. Vaya hanya suka seperti itu. Yang penting gratis.

Film hari ini, tidak bagus. Vaya menghabiskan setengah jam terakhir untuk tidur. Dan, Sasa menderita beser parah karena minuman big size-nya. Akan tetapi, karena terlanjur menonton, setidaknya Sasa ingin tahu ending kisah itu. Jadi, di sepuluh menit terakhir, Sasa yang untuk kesejuta kalinya kebelet pipis memilih tidak lari ke toilet. Cewek itu duduk sambil bergoyang-goyang pinggul seperti joget Bang Jali.

Vaya terbahak-bahak saat melihat Sasa lari ke toilet begitu film selesai.

"Kenapa ya cerita tentang teman masa kecil, sahabat beda jenis, endingnya pasti mereka saling menyadari perasaan masing-masing, lalu bersatu. Apa semua kasus seperti itu, ya?" Sasa bertanya ketika dirinya selesai dari hajat buang airnya. Dan, mereka memutuskan duduk-duduk sebentar di kursi super lembut lobi bioskop.

Vaya mengedikkan bahu. "Nggak semua, sih."

"Film tadi tuh endingnya sama aja, happy ending tapi klise kalo kata kritikus-kritikus film."

"Nggak papa kalo endingnya klise. Yang penting perjalanan menuju endingnya nggak klise. Lo tergabung dalam komunitas anti friendzone ya?" tanya Vaya asal. Dia meluruskan kaki-kakinya.

"Bukan sih. Tapi, gue pengen aja sekali-kali ada film yang endingnya nggak menyatukan teman sejak kecil. Mungkin masing-masing dapet jodoh."

Vaya menimang-nimang kata. "Karena di dunia nyata, bisa berjodoh dengan teman sejak kecil, sahabat beda jenis, atau apalah sebutannya, cukup jarang terjadi. Film tadi itu mungkin mewakili keinginan terdalam setiap orang. Pasar selalu mengikuti keinginan konsumen," tukas Vaya sambil memperbaiki posisi duduknya. Tak berapa lama, dia menyipitkan matanya. Di ujung lorong bioskop sana, Vaya seperti melihat orang yang dia kenal.

"Lo gitu juga, Vay?"

"Apaan?" tanya Vaya sambil matanya tetap fokus ke depan.

"Lo dan Aji." Sasa memusatkan seluruh pandangannya ke Vaya. "Kalian terlibat friendzone?"

Vaya menoleh. "Ngasal lo, ya. Lo nggak tau apa gimana Aji ke gue?" Vaya mengangkat dagunya agak tinggi. Lalu membusungkan dada. Dengan suara yang dimirip-miripkan, Vaya menirukan Aji. "'Vaya, lo viral, tuh. Malu gue ngakuin lo temen,' 'Vaya, lo ya yang naruh daun sop di bakso gue? Lo mau gue mati?', 'Kayaknya lo harus belajar ke gunung kawi deh, biar nilai matematika lo nggak jeblok terus.'"

Sasa tertawa. Ada rasa lega di dadanya. "Bener juga, ya! Kalian cuma temen," katanya sambil menepuk-nepuk bahu Vaya keras. Sementara Vaya agak merinding dengan kelakuan temannya satu itu. Di beberapa kesempatan, Sasa terkadang menanyakan hubungan Vaya dan Aji. Dan, itu ditanyakan Sasa dengan sikap yang sangat serius. Beda dengan Sasa yang heboh seperti biasanya.

Sasa berhenti bersikap seperti wartawan infotainment ketika Vaya mengatakan kalau di gigi Sasa ada cabai. Sasa, cewek yang sangat sensitif dengan benda-benda asing di giginya, segera mengambil ponsel dan mulai berkaca. Sementara Vaya kembali fokus melihat seorang cowok yang berada tidak jauh darinya itu. Di depan poster film berstatus coming soon itu, cowok itu terpekur sendirian. Mengabaikan beberapa gadis yang meliriknya sekilas. Bukan. Dia bahkan mengabaikan seluruh dunia. Dia seperti ada di dunia yang dia ciptakan sendiri.

Vaya membekap mulutnya. Dia tidak salah lihat. Itu Rio. Cowok itu terlihat gagah dibalut jaket hitam. Para pengunjung bioskop berlalu lalang di antara mereka berdua. Vaya menggeser posisi duduknya agar bisa melihat Rio lebih jelas. Dan, debaran di jantung itu muncul lagi....

"Nggak ada cabe di gigi gue. Lo bokis! Tunggu. Lo tau novel Faktor J yang pernah gue ceritain? Katanya bakal ada filmnya. Gue penasaran ending filmnya sama apa beda dengan novelnya. Soalnya kan, sesuai yang lo bilang, pasar selalu ngikutin konsumen. Tapi kayaknya gue curiga endingnya beda, deh. Rumah produksinya agak gesrek sih. Masa mereka cuma bocorin yang jadi pemeran pendukungnya doang?! Di mana-mana pemeran utamanya dulu dong. Terus-" Sasa berhenti ngomong. Dia sadar Vaya tidak menyimak sama sekali. Lalu dengan membabi buta, dia menarik kepala Vaya supaya menghadap ke arahnya. "Lo denger gue nggak sih?"

Namun, seperti orang-orang jatuh cinta sekaligus patah hati pada umumnya, Vaya tak mengindahkan Sasa. Barulah beberapa saat kemudian, Sasa tahu apa yang sedang terjadi. Gadis itu mengikuti arah pandangan Vaya.

"Ya, Tuhan ... lo beneran anak teladan Pak Cipto, deh." Sasa menggeleng prihatin. Dia yakin Pak Cipto-guru bahasa Indonesia di SMA Kartini-pasti juga akan sepakat jika tahu hal ini.

"Apa? Hah?" Vaya melotot. Pandangannya kini beralih ke Sasa.

"Lo pungguk merindukan bulan. Pelajaran pribahasa.'"

Vaya berdecak. "Gue cuma nengok doang," bela Vaya seraya merekatkan sweaternya. "Sejak dia tau perasaan gue. Dia tuh sering muncul gitu di depan gue. Pas dulu aja, nggak ada tuh."

Sasa terbahak. "Jangan bilang kalo lo mikir ini semacam takdir. Vaya, sadarlah. Jangan suka ambil kesimpulan sendiri, nanti lo patah hati. Move on, Vay. Gue kasih tau ya, Rio udah memperlakukan lo kayak sampah. Oh. Nggak. Lebih dari itu. Kenapa juga lo bisa naksir cowok pangeran kayak gitu?"

Vaya membelalak. "Maksud lo?! Gue nggak layak, gitu?!"

"Ya, liat diri lo. Oke. Liat diri kita. Cuma rakyat jelata. Lo bahkan nggak cukup oke untuk dapet senyum dari dia. Berapa kali lo modus ke kelas dia, sapa-sapa dia, dan dia respon aja nggak. Cuma ngangguk doang. Tapi, lo, dengan hebohnya lari-lari ke gue, bilang kalo Rio ngerespon lo. Padahal Rio cuma ngangguk-ngangguk doang kayak mainan dashboard mobil."

Vaya mendengkus. Dia berencana akan mencekik Sasa sesampainya mereka di parkiran sepi. Tetapi karena motto cinta memang gila, Vaya tak peduli. Ada yang lebih penting yang harus dia urus saat ini. Gadis itu kembali mengarahkan kepalanya ke tempat Rio berdiri tadi. Sayangnya, Rio sudah tidak ada lagi di sana. Vaya menyandarkan punggungnya. Dia mendadak ingin menangis.

"Seandainya gue nggak nembak dia ... seandainya aja ... Setidaknya, kalo momen kayak gini dateng, gue bisa bebas sapa dia ..." Vaya mengacak-acak rambutnya frustrasi.

"NAH! ITU LO TAUU!!!" Sasa menggebuk bahu Vaya. Beberapa pengunjung sudah menoleh ke arah sumber suara. "Lagian ya, Rio tuh udah liat lo disetrap Bu Sukma! Aib macam apa itu?"

Vaya menghela napas lemah. Sasa memang benar. Dan, Vaya benci hal ini. Kenapa Rio selalu ada di saat-saat dia melakukan hal memalukan?

Vaya mengerang putus asa. Sasa kembali mengomel. Dan, Vaya merasa makin suram. Jadi, supaya Sasa tidak mengomel lagi. Vaya pun berkata, "Ada noda lipgloss di gigi lo."

Sasa memekik. Cepat-cepat gadis itu mengambil ponselnya. Dan, Vaya pun berdiri untuk bersiap pulang. Sedangkan Sasa-yang sadar kalau giginya tidak bernoda-segera mengomel dan mengejar Vaya. Beberapa langkah kemudian, mereka tiba di lorong tempat Rio berdiri tadi. Vaya berhenti.

"Selera film dia gini banget, ya." Vaya mengernyit.

"Hah? Apa? Kenapa?" Sasa memasukkan ponsel ke tas kecilnya, dan mengikuti arah pandangan Vaya. "Ya ampun! Ini tuh film terbaru Andina!" seru Sasa kemudian.

"Andina?"

Sasa mengangguk. "Andina Kartowijoyo. Artis favorit abang gue! Lo tau nggak sih Vay, dia tuh masuk dalam jejeran artis yang nggak punya haters! Semua suka dia," terang Sasa sambil kembali mengoceh soal rencana menonton dengan abangnya.

Haters? Vaya emosi sendiri. Ternyata satu kata itu sudah cukup bikin kepalanya mumet. Vaya kembali melihat poster film itu.

Di depan mereka, di lorong tempat film berstatus coming soon itu, sebuah poster film bergenre drama terpampang jelas. Andina sedang berdiri merentangkan tangan di gedung super tinggi. Tatapannya begitu hangat dan lembut. Entah apa tujuan dari pose seperti itu. Dari sekian banyak gaya, kenapa film itu memilih pemainnya untuk berpose seperti itu. Tetapi, tetap saja. Bagi Vaya, judul film itu adalah judul paling indah yang pernah dia baca.

'True Love'.

Dan, seperti Rio serta puluhan orang di gedung besar itu, Vaya mungkin hanyalah sebatas penonton.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro