3. Kuda Troya
Memang, tidak semudah itu melupakan apa yang sudah tersimpan di dalam hati. Seperti hari ini, Vaya jelas paham itu.
"Gue nggak sudi liat benda itu! Singkirkan itu dari mata gue!"
"Ini buat elo, Vaya."
"Nggak mau!"
"Tapi, Vay—" Meyda, cewek berjilbab kuning itu melongo. Dia baru saja datang dari kantin. Merasa kasihan melihat Vaya yang—sejak insiden video itu—tidak mau jajan ke kantin atau pergi ke tempat umum lainnya, Meyda pun berniat memberikan salah satu makanan yang dia beli. "Ini kan enak, Vay. Nih, coba, deh."
Vaya makin melotot. "Gue bilang nggak mau! Ya nggak mau!"
Meyda menatap sedih pada sebungkus biskuit oreo yang ingin dia kasih ke Vaya. Padahal mayoritas orang suka oreo. Apalagi kalau ada susu. Cuma Vaya yang bisa nolak sampai senorak itu. Dengan kesal, Meyda balik ke bangkunya. Sementara itu, Vaya yang cemberut kembali fokus membaca novel online di ponselnya. Namun, belum ada semenit, dia kembali histeris saat melihat Sasa datang sambil minum air kemasan bermerek Teh Rio.
"Pergiiiii!" jerit Vaya, kaget bukan buatan.
"Kenapa sih, lo?" Sasa menjengit.
"Pokoknya pergi! Pergi!" usir Vaya.
Dengan tampang innocent, Sasa malah duduk di samping Vaya dan makin nafsu menyedot minuman itu. Vaya menggeram. Dengan jengkel, dia mundur. Gadis itu langsung ngungsi di bangku paling belakang dan menenggelamkan wajahnya ke lipatan tangan.
"Guys, guys!" tiba-tiba Keke masuk kelas. "Ada yang punya file film Rio 2, nggak? Adek gue pengen nonton."
"Gue ada, sih. Tapi Rio yang pertama. Mau?"
"Yah, kalo itu sih dia udah nonton. Gue nyari Rio yang kedua."
"Emang bagus ya? Film Rio tentang apa, sih?"
"Itu, tentang—"
"HUWAAA!!! BERISIIIK!" raung Vaya.
Cewek itu sudah berdiri dengan wajah persis banteng ngamuk.
Semua menoleh kaget. Hanya sebentar. Sebab, beberapa saat kemudian, mereka kembali asik dengan obrolan masing-masing.
"Eh, by the way, katanya Yuki Kato pacaran sama Rio Dewanto, ya?"
"Heh! Bukan Rio Dewanto, woi! Rio Haryanto. Rio Dewanto mah udah taken!"
"Rio Haryanto itu yang mana ya?"
"Wah, keterlaluan lo. Itu kan abang gue."
"Apaan, dah. Yang bener dong lo!"
"Eh, eh, Papi gue bentar lagi bakal pulang dari Rio de Janeiro. Gue dapet oleh-oleh dong, pastinya. Papa kalian udah ke mana, aja?"
Mendadak, Vaya berdiri. Saking hebohnya, bangku yang dia duduki sampai ambruk, menimpa Ojak dan kawan-kawannya yang lagi lesehan sambil main gitar. Ojak memaki. Akan tetapi, Vaya sudah lebih dulu memekik mirip orang gila. Kepalanya pening luar biasa. Gadis berambut pendek sebahu itu pun berlari. Pergi dari kelas yang dihuni manusia tidak berperasaan itu. Meninggalkan Sasa dan Mia yang mulai paham dengan tingkahnya.
Baru sampai di depan pintu, Vaya berpapasan dengan Justin—anak kelas sebelah yang punya gaya harajuku. Dan, dengan kekuatan Hulk, Vaya langsung menginjak kaki Justin, lantaran cowok itu menyapanya sambil berkata, "Woi, Payah! Gue udah liat video elo! Gila! Nekad abis! Eh, Pay, hari ini cerah ya. Persis Rio di Jepang!" (Rio. read: village cherry blossom—里桜 )
***
Kata orang, semua dimulai ketika Rushkoff menciptakan istilah virus media atau media viral. Rushkoff menjelaskan kalau media viral itu seperti kuda Troya. Tahu, kan? Kuda kayu raksasa yang sengaja dibuat oleh pasukan Yunani ketika mereka sedang berperang dengan orang-orang Troya.
Setelah membuat kuda kayu raksasa, dan beberapa orang bersembunyi di dalamnya, orang-orang Yunani berpura-pura berlayar pergi, dan orang-orang Troya menarik kuda kayu itu masuk ke kota mereka sebagai lambang kemenangan. Malam harinya, pasukan Yunani keluar dari kuda kayu tersebut dan membuka pintu gerbang untuk ribuan pasukan Yunani lainnya yang sudah menunggu di luar. Maka, terjadilah hal yang paling tak pernah disangka oleh orang-orang Troya.
Kehancuran Troya.
"Bom! Orang-orang ditipu agar menyampaikan agenda tersembunyi ketika meneruskan sesuatu yang menarik." Aji mengembangkan kedua tangannya. Sementara Vaya menaikkan alis dengan malas.
"Maksud lo?" tanya Vaya sambil meletakkan segelas air di depan Aji. Malam ini, Aji mampir ke warung bakso ibunya.
"Maksud gue, viral. Berasal dari kata virus. Orang-orang kadang suka nyebarin konten-konten yang bikin itu jadi viral. Alasan mereka lucu lah, gemesin lah, cakep lah, penting lah. Tanpa sadar mereka nggak mau kalau cuma mereka yang tahu hal itu, jadi mereka share biar banyak yang liat juga. Atau beberapa ada yang share karena nggak mau dicap kudet."
"SETOP! SETOP!"
Aji mengangkat alisnya. Diam sebentar, dan akhirnya paham. Di situasi seperti ini, Vaya tak akan tertarik dengan ceramahnya. "Maksud gue ... lo udah mengundang kuda raksasa ke wilayah lo sendiri. Lo hancur. Lo udah jadi serangan kaum Yunani, lo udah dikuliti sampe ke akar-akarnya sama netizen yang maha benar itu," tandas Aji sambil mengakhiri kisahnya dan mulai melahap bakso miliknya.
Mendengar itu, Vaya mendudukkan diri di depan Aji. "Maksud lo apa? Maksud lo apa?! Dikuliti apanya?!" hardik Vaya sambil menggoyang-goyangkan bahu Aji sampai Aji spanning sendiri.
"Makanya, liat ke sekitar lo! Belajar! Rio aja sih yang ada di otak lo!"
Vaya mencebik. "Gue nggak paham deh! Denger ya, gue nggak suka-suka banget kok sama dia!"
"Serius?"
"IYA!"
"Kalo gitu, gue tantang lo bakar semua barang-barang Rio yang lo colong itu."
Vaya terhenyak. Kaget bukan buatan. Bagaimana Aji bisa tahu kalau Vaya suka mengambil barang-barang yang pernah Rio pakai. Seperti, pena yang Rio buang karena habis tinta (Vaya pungut dan mengisi pena itu dengan tinta yang baru), botol minuman yang Rio buang (Vaya pungut dan dijadikan pot bunga di meja belajarnya), dan terakhir, sebuah buku kecil yang pernah Rio coret-coret dan dia buang begitu saja (Vaya pungut dan dia masukkan ke laci meja belajarnya)
"Gue—gue nggak nyolong! Itu kan sudah dibuang!"
Aji berdecak. "Lo memang menyedihkan."
Vaya mengerang. "Plis, plis, jangan kasih tau siapa pun. Ya? Oke?" minta Vaya. Cewek itu menunggu respon Aji. "Gue kan cuma lagi naksir orang. Gue bukan lo yang nggak pernah naksir orang, lo nggak normal."
Aji menghela napas. Bisa-bisanya Vaya memohon sambil menghina. "Gue naksir cewek ya. Tapi gue nggak norak kayak lo. Wajar Rio alergi sama lo. Lo tuh cringe tau nggak, sih. Psycho! Mana nembak pake direkam segala lagi. Sekarang lo tanggung sendiri akibatnya—" Aji menghentikan omongannya.
Vaya terdiam. Alih-alih marah, Vaya malah terlihat sedih. "Harus berapa kali gue jelasin ke lo, Ji ... bukan gue yang ngerekam kejadian itu. Lo pikir gue gila?"
Hening memberangus. Aji menelan ludah. Selalu saja begitu. Setiap dia ingin membalas omongan tidak berotak Vaya, dia selalu didera rasa bersalah pada akhirnya. "Sorry, gue—"
"HARUS BERAPA KALI GUE JELASIN KE ELO, AJIIII?!" Vaya kembali mengguncang-guncang tubuh Aji, bahkan kini nyaris mencekik. "BUKAN GUE!! BUKAN GUEEEE!!!"
Aji sekarat. Sekuat tenaga dia membujuk Vaya. Dia bahkan menjanjikan Vaya banyak hal seperti bersedia mengerjakan PR Matematika Vaya selama seminggu. Tetapi Vaya tidak tergoda. Cewek itu masih histeris sendiri mengingat betapa jahatnya tulisan-tulisan netizen menanggapi video pernyataan cinta dirinya. Beruntung ibu Vaya menegur, sehingga Aji batal mati.
"Lo nggak paham sih." Vaya menunduk. "Dia jahat banget, Ji ...."
"Huh? Siapa?"
"Dia bahkan nggak inget gue," keluh Vaya.
Aji ber-oh. Ia menyesap teh hangatnya. Aji mengerti benar apa maksud Vaya. Dulu, ketika tahun pertama masuk SMA Kartini, Vaya lari tergopoh-gopoh masuk ke kelasnya. Matanya begitu bersinar. Lalu dengan riang, Vaya mengatakan kalau dia baru saja diselamatkan manusia terindah di dunia. Saat itu, Vaya yang terlambat datang upacara MOS ditolong Rio memasuki sekolah lewat lubang buaya. Vaya lupa tanya nama. Tapi Vaya yakin. Rio-lah orangnya.
"Ya wajarlah dia nggak inget lo. Kalian cuma ketemu dalam sebuah kecelakaan. Lo pikir ini drama? Suatu keajaiban kalau Rio, anak orang kaya dan populer itu, inget sama lo."
Vaya mengerang. Tak lama kemudian dia mengguncang-guncang tubuhnya sendiri, dan menampar pipinya dengan gelisah.
"Atau lo salah orang, kali." Aji menukas. Dia menjejalkan sebutir bakso ke mulutnya.
"Salah orang?"
"Iya. Bisa aja yang nolong lo itu Ojak. Dia pakar soal lubang buaya soalnya. Waktu itu lo bilang lagi buru-buru, kan? Lo mungkin salah ngenalin orang. Imajinasi liar lo itu pasti yang bawa pengaruh. Makanya baca novel tuh jangan lupa daratan."
"IMAJINASI?!"
Aji tersedak. Dia mundur ke belakang. "Biasa aja kenapa sih?" katanya sambil menyeruput teh manisnya. Melirik sebentar ke Vaya. Kini, gadis itu menekuk wajahnya dengan tampang menyeramkan. "Lo marah ya? Ya udah ... maafin gue ya ..."
Vaya memalingkan wajahnya ke arah Aji. Menatap teman yang sudah main bersamanya sejak sekolah dasar. Aji kenal siapa Vaya. Begitu juga Vaya. Tetapi hal paling menyebalkan adalah, Aji selalu bersikap seolah-olah dia tidak mengenal baik siapa Vaya. Itu juga yang membuat Vaya tak bisa mengenal Aji lebih baik. Vaya cemberut. Dia ingat. Dalam insiden video ini pun, Aji tidak membantunya sama sekali. Harusnya, di saat-saat seperti ini Aji berkata, 'Siapa Vay? Siapa orang yang rekaman elo? Sini biar gue injek!' atau bisa juga Aji berkata, 'Gue di pihak lo, Vay.' Atau setidaknya Aji cukup bilang 'Gue percaya lo kok, Vay.'
Namun, Aji adalah Aji. Bukan sahabat cowok yang lembut dan selalu datang membela seperti yang sering dia baca di novel-novel remaja. Aji adalah Aji. Cowok tulen yang kerjaannya cuma bikin padat SMA Kartini dan hobi jajan bakso di warungnya. Jadi, dengan kemarahan yang masih meledak-ledak. Vaya menggebrak meja.
"BAYAR BAKSO GUE DUA KALI LIPAT!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro