21. Derajat Ibu
"Mungkin-mungkin aja. Lagian udah maklum Bu Sukma korupsi waktu kalo di kelas kalian, soalnya kalian kayak orangutan semua. Nggak bisa diem! Bu Sukma pasti ngebatin tiap kali ngajar kalian. Lebih baik dia jadi perawan tua daripada harus ngajarin orang-orang kayak kalian lagi!"
"Memang dia perawan tua, kan?"
"Perawan tua, kan?"
"Perawan tua."
"Korupsi waktu."
"Korupsi."
"Perawan."
"Tua."
Vaya menelan ludah dengan susah payah. Habis sudah tenaganya. Sudah dihisap saat dia menonton dirinya sendiri sedang mengomel sambil menyebut seorang guru. Siapa yang menyangka kalau seseorang sudah merekam Vaya saat sedang marah-marah beberapa bulan lalu. Kini, video penghinaan guru itu sudah ditonton ribuan kali, dan akan terus ditonton, dan sudah pasti telah di-repost oleh orang-orang yang menyaksikan.
Tapi, Vaya berani sumpah. Video itu sudah diedit. Digabungkan, diulang berkali-kali pada bagian korupsi waktu dan perawan tua.
Vaya menelan ludah sekali lagi.
Kemarin, setelah menghadap kepala sekolah, Vaya tahu dia dalam masalah. Video itu seperti malaikat maut yang siap mencabutnya dari SMA Kartini. Vaya menjalani proses belajar mengajar dengan perasaan kalut. Subuh tadi, dia menyerahkan surat itu. Seumur-umur, ibunya belum pernah menerima surat panggilan dari sekolah. Dia kira itu surat rapat guru dan wali murid. Tapi, Vaya menggeleng lemah.
"Maafin Vaya ya, Bu," ucap Vaya dengan kepala tertunduk. Dia lalu melangkah pergi. Vaya takut. Dia telah mengecewakan ibunya. Dia telah menghancurkan kepercayaan ibunya. Sekarang, yang paling dia harapkan adalah maaf ibunya.
Tepat pukul sembilan pagi, Vaya berada di ruang kepala sekolah yang terasa mencekam itu. Ibunya juga sudah duduk di sampingnya, mendengarkan ucapan Pak Ronald—kepala sekolah SMA Kartini—tentang tata tertib sekolah, visi misi, dan tibalah inti dari panggilan orangtua hari itu.
"Jadi, Vaya mengatakan hal-hal buruk ini, Bu," Pak Ronald mengarahkan telunjuknya ke sebuah gambar di ponsel. "Bu Sukma adalah salah satu guru di sekolah ini," katanya lagi sambil menunjuk Bu Sukma yang sudah duduk di samping kanan Vaya.
Ros menonton video itu dan meremas jemarinya. Tangannya gemetar, tak sanggup untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Pak Arnold berdeham. "Bu Sukma juga sudah mengecek video itu. Tetapi soal tersinggung atau tidak, jelas tersinggung. Soal mempermasalahkan atau tidak, video ini sudah jadi masalah orang banyak, Bu. Seandainya ini tidak tersebar di ruang publik, kita masih bisa memaafkan. Tapi, ini sudah diketahui orang banyak. Dan, nama baik SMA ini bisa tercoreng. Jadi, ini bukan masalah Bu Sukma dan Vaya saja. Ini sudah masalah kita semua."
Lewat ekor matanya, Vaya menatap ibunya. Perempuan itu terus meremas jemarinya dan tak menjawab apa pun. Tetapi, Vaya bisa melihat kalau mata ibunya penuh kaca-kaca yang nyaris pecah.
"Perlu diketahui, ini fatal, Bu. Kemungkinan Vaya bisa diskors dan yang lebih buruk, dia akan dikeluarkan dari sekolah ini."
Mata Ros membelalak. Dia merendahkan suaranya, memohon. "Kalau begitu, saya mohon kebaikan hati Pak Kepala Sekolah. Jangan keluarkan Vaya dari sini, Pak. Saya berharap banyak pada anak ini. saya cari uang cuma untuk dia, Pak ..." Ros mengusap air matanya. Kemudian, ia beralih kepada Bu Sukma yang sejak tadi hanya diam. "Ibu, saya mohon maaf atas kelakuan anak saya. Tapi saya mohon—"
"Ibu," Bu Sukma meraih tangan Ros cepat. Dia mengangguk dan mengusap punggung tangan Ros, mencoba menenangkan. "Pak Arnold, saya kira mediasi ini sudah membuahkan hasil. Saya nggak mempermasalahkan video ini lagi."
Pak Arnold menghela napas, dan memijit pelipisnya. "Begini, Bu Sukma, dan Bu Ros ... Saya sudah membaca catatan perilaku Vaya. Ada beberapa hal yang makin memberatkan Vaya."
"Ma—maksud Bapak?"
"Saya kira Ibu sudah tau. Vaya terlibat video yang saat itu dia memakai seragam sekolah ini, dia juga bertengkar dengan temannya, dan itu sudah berakhir dengan skorsing. Dan sekarang, Vaya membuat video penghinaan guru. Jadi, ini bukan lagi hal mudah dan patut kita lupakan, Bu."
Ros menoleh ke arah Vaya. "Video? Video apa Vaya?"
"De-demi Allah, Bu. Bukan video porno." Vaya meraih tangan ibunya. Ia sudah ingin menangis.
"Te-terus, skorsing? Kamu pernah diskors, Vaya?" Ros menatap Vaya. Kini pandangannya nanar. "Kenapa ibu nggak pernah tahu?"
Vaya menggeleng. Dia tak sanggup menjawab apa pun lagi. Tubuhnya gemetar hebat dan dia tak sanggup membalas tatapan ibunya. Namun, Vaya tahu dia harus memiliki keberanian sedikit lagi. "Saya izin bicara, Pak Kepala Sekolah."
Hening.
"Ya, silakan, Vaya."
"Saya ... saya mengakui kalau itu memang saya, saya memang mengatakan kalimat itu. Kalau bapak dan ibu mau lihat sekali lagi, rekaman itu diambil saat saya berada di ruang kelas XII IPS 1. Saat itu saya terpancing. Saya kesal karena seseorang dari kelas itu juga sudah menyebarkan video saya sebelumnya." Vaya terus berucap. Dengan pelan dan sopan, dia menceritakan bagaimana kalimat itu bisa keluar dari mulutnya, bagaimana ia bisa terpancing dan sebagainya. "Maafin saya, Pak, Bu Sukma," ucap Vaya lirih.
Tapi Kepala Sekolah tampak menggeleng.
"Pak, saya mohon, Pak. Maafin anak saya ..."
"Maaf, Bu, kami sudah putuskan—"
"Pak, tolong, Pak," Ros beringsut maju. Dia lantas menyatukan kedua tangan dan menggosok-gosokkannya. "Pak, tolong maafin anak saya. Tolong jangan hukum anak saya. Kasih kesempatan lagi, Pak ... saya mohon."
Hening.
"Tolong, Pak ..."
"Bu," Vaya menahan ibunya. Tapi, dia sempurna diabaikan. Vaya sedih melihat ibunya merendah sampai seperti itu. "Bu, udah, Bu ... jangan kayak gini ..."
"Diamlah, Vaya!" sergah Ros dengan suara bergetar. "Kamu memang salah! Mau apa lagi?"
Vaya sesegukan. Tak berani membantah. Padahal baru kemarin dia mengatakan akan menaikkan derajat ibunya. Tapi janji itu juga Vaya langgar sendiri.
Semua orang di ruangan itu menunggu dan mendengarkan. Percakapan kalut itu berlangsung cukup lama dan intens. Vaya hanya bisa terdiam sambil menangis. Dia bahkan tidak merasa senang ketika keputusan sudah diambil.
Krasivaya diberi SP II. Yang artinya, dia dihukum skorsing dan menulis resume dua buku berjudul "Jalan tak Ada Ujung" dan "Materi UTBK Lengkap". Sekembali dari skors, dia harus menyetorkan resumenya ke Bu Siti. Setelah itu, Vaya bisa melanjutkan proses belajar mengajar dengan normal, mengingat dia sudah kelas tiga dan tak kurang tiga bulan lagi UN akan segera berlangsung.
Keluar ruangan, Vaya memandangi kaki ibunya yang tengah bersalaman dengan beberapa staf. Ibu memakai sendal jepit. Ada perasaan sakit di hati Vaya saat melihat pemandangan itu. Harusnya, ibu datang ke sekolah karena dia melakukan hal baik. Harusnya, ibu tidak dia permalukan seperti ini. Vaya menggigit bibirnya. Dengan langkah tersendat-sendat, Vaya mengikuti ibunya menuju gerbang sekolah.
Dan, keduanya membisu.
"Maafin Vaya, Bu," ucap Vaya memecah kesunyian.
Vaya menghentikan langkah. Mulutnya terkunci. Matanya mengawasi ibunya yang mengangguk ke Pak Diman, lalu berjalan keluar menuju halte. Vaya mengekor sambil mengusap wajahnya yang basah. Dia ingin ibu melihatnya. Terpatah-patah, dia melangkah mengikuti ibunya. "Maafin Vaya ya, Bu."
Tak ada jawaban. Angkot berhenti lima meter di depan. Ros berjalan maju.
"Bu, Vaya janji nggak akan bikin ibu mohon-mohon kayak tadi lagi.
"Va—vaya, nggak mau bikin ibu susah lagi."
Vaya mengusap air matanya. Tetapi, Ros tidak juga menoleh.
"Ibu ... Vaya mau lindungin Ibu."
Sepi dan kosong. Lalu angin membuat perasaan itu kian menjalar. Vaya terisak saking frustrasi. Dia tidak pernah membenci dirinya sebenci saat ini. Dia ingin memutar waktu. Dia ingin mengulangnya dari saat dia mulai benci pada nasibnya. Dia ingin bilang pada dirinya yang jarang bersyukur ini untuk mencintai dirinya lebih banyak lagi. Untuk belajar lebih giat. Untuk berpikir lebih panjang.
Vaya mengangkat wajah ketika dia merasa kepalanya diusap. Dilihatnya Ros menatapnya sendu alih-alih mengucapkan satu kata pun. Dengan mata yang sembab, perempuan paruh baya itu mengusap kepala Vaya pelan, lalu berpaling menatap ke luar jendela bus. Seolah ia baru saja berkata "Sudahlah, Vaya ..."
Vaya menaikkan penutup kepala hoddienya, lalu menangis tanpa suara di baliknya.
**
Pada saat yang sama, dan, untuk kali pertamanya, Aji membentak beberapa orang yang secara sengaja menonton bagaimana Vaya dan ibunya melewati gerbang, pergi meninggalkan sekolah.
"Kalian kira kalian suci?!" amuk Aji pada sekumpulan siswi tengah membicarakan Vaya. "Kalian boleh hina Vaya kalau kalian nggak pernah punya salah!" bentaknya lagi. Membuat siswa-siswa itu kaget dan masuk ke kelas masing-masing. Aji, yang biasanya dewasa dan tenang, kini mengedarkan pandangannya seperti sapi gila. Siapa pun yang mulai bergosip tentang Vaya, akan lekas ia sentak.
Kira-kira pada saat yang sama juga, Mia menatap itu semua dalam diam. Dia bisa merasakan kalau, di dekatnya, Sasa tengah mengawasinya. Tidak lagi merasa nyaman, Mia berjalan cepat ke kelas sebelah, lalu menarik paksa Adel pergi ke belakang kelas.
"Kenapa, sih?" sentak Adel, melepas paksa cengkeraman tangan Mia.
Mia menatap Adel. Dia menggigit bibirnya. "Bener ya, Del?" tanyanya pelan. "Elo yang rekam Vaya pas lagi marah-marah di kelas kalian?"
Tanpa menoleh, dan lebih sibuk dengan ponselnya, Adel menjawab, "Yep."
"Dan lo yang edit dan lo yang share juga?"
"Yep."
Mia menghela napas. Dia menyandarkan diri ke tembok. "Lo kenapa sih, Del?"
"Kenapa kata lo? Dia udah rekam gue. Dia udah buat gue jadi bulan-bulanan orang."
"Tapi kan impas. Lo juga udah bikin dia dibully. Dan dia balas."
Adel berdecak. "Beda, Mia. Dia nggak terkenal. Kalo gue," Adel menunjuk dadanya. "followers gue banyak, gue udah dicap public figure! Kalo gue melakukan kesalahan, dampaknya, caciannya, bulliannya, lebih besar dari Vaya!"
Mia menggeleng lemah. "Nggak Del, lo sama Vaya nggak ada bedanya. Kalian sama-sama menderita. Lo yang upload duluan video itu, Del. Lo yang main api duluan dengan Vaya."
"Loh, bukannya elo yang ngasih video itu ke gue?" seru Adel cepat. Dia mendengkus tak senang.
"Iya, tapi bukan untuk diupload! Gue udah bilang video itu jangan diupload, tapi lo malah upload," kilah Mia. Dia menarik napas dalam-dalam. Mencoba lebih tenang, lalu berkata, "Lo baikan aja ya Del, sama Vaya ..."
Adel berkacak pinggang. "Lo tuh sebenarnya di pihak siapa sih, Mi? Gue atau Vaya?!"
Mia mengernyit putus asa. "Maksud lo apa, Del?"
"Gue tau lo temen sekelas Vaya, dan lo sering main sama dia. Tapi, lo lupa kita ini udah dari kecil temenan? Tapi kenyataannya lo mihak Vaya, Mia!"
Mia tergemap. "Del?"
"Gue kadang mikir, jangan-jangan lo nyebarin aib-aib gue ke Vaya lagi! Mengingat seringnya elo main sama anak itu! Gue udah duga, Mi. Lo tuh muka dua!"
Mia menatap Adel tak percaya. "Del ... lo lebih tau hidup gue kayak gimana. Harusnya lo ngerti, Del," ucap Adel serak. "Tiap mama papa berantem, mereka selalu nanya gue mau ikut siapa? Gue dipihak siapa? Kenapa lo juga kayak gini ... Vaya juga marah pas tau gue temen lo ..." Mia mengusap ujung matanya yang berair. "Kenapa sih, kalian semua minta gue milih? Kenapa kalian semua egois?
"Kenapa kalian selalu minta gue milih?" sentak Mia. "Mama sama papa udah nyuruh gue milih. Dan sekarang, cuma temenan aja, gue harus milih lo atau Vaya? Kenapa gue nggak bisa miliki keduanya? Kenapa?!"
Adel tercenung. Sebelum akhirnya ia menyadari ia baru saja melakukan kesalahan.
"Seharusnya gue nggak ngasih video itu ke elo, Del. Gue nyesel sekarang kalian jadi kayak gini gara-gara gue!" seru Mia. Dadanya naik turun karena kemarahan. "Del, gue mau lo minta maaf ke Vaya. Gue juga minta lo ngaku kalo lo yang jebak Vaya."
Adel masih membisu.
"Jawab gue, Del."
Menghela napas, Adel menggeleng. "Maaf, Mi. Gue bunuh diri kalo ngaku."
"Del!" Mia mencekal pergelangan tangan Adel.
Namun, cekalan itu segera ditepis. "Seandainya ortu lo beneran cerai, pada akhirnya lo harus pilih ikut siapa, kan?" serga Adel. Untuk sesaat, dia memejamkan mata dan mengepal tangannya. "Sama kayak sekarang! Meskipun lo bilang lo peduli sama gue dan Vaya. Pada akhirnya, lo akan milih salah satu dari kami, kan?"
Mia membeku. Tak sanggup berkata-kata bahkan ketika Adel berlalu pergi.
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro