20. Skandal Video (lagi)
Satu pelukan erat datang dari belakang. Ros menghentikan aktivitas membuat tehnya, dan melirik putrinya heran.
"Aku sayang ibu," kata putrinya, masih memeluk. "Aku seneng jadi anak ibu."
Ros terdiam, matanya berembun. Dia mengusap tangan yang sudah berhiaskan jam bunga matahari itu. "Kamu kenapa?"
Vaya melepas pelukannya. Dia menyengir. "Ada banyak kejadian, dan bikin aku mikir—" dia mengedikkan bahu, lalu duduk mengambil nasi gorengnya. "Pokoknya, aku seneng jadi anak ibu! Kalau ibu nanti jadi tukang bakso terkenal pun, tolong bilang ke seluruh dunia, kalau aku ini anak ibu, ya!"
Ros mengangkat alis. Nyaris tertawa. Dia heran dengan perilaku Vaya akhir-akhir ini. Tak mau ambil pusing, dia menambahkan secentong lagi nasi goreng untuk Vaya. "Kamu selalu terlihat kacau. Makan yang banyak," katanya, ikut duduk di depan Vaya, sambil mengiris daun seledri menjadi potongan halus.
Vaya memakan nasinya cepat. Hari ini, dia sekolah lagi. Hukuman skors sudah berakhir kemarin. Dan, dia tidak boleh terlambat. Dia sudah merenungkan kalau sebaiknya dia mengabaikan warganet—fan Adelia terutama, dan media, dan siapa pun yang mencoba membuatnya devastated. Dia akan membiarkan waktu berjalan sehingga orang-orang melupakan kejadian itu. Akan ada banyak kejadian viral, orang viral. Vaya akan segera dilupakan. Amin.
Akan tetapi, baru saja ingin tenang, ponsel Vaya bergetar berkali-kali di meja. Pop-up whatsapp dan instagram muncul. Entah siapa yang mengirimnya chat dan DM bertubi-tubi. Vaya mengernyit.
"Vaya ...."
"Eh, ya, Bu?" Vaya mengalihkan perhatian dari ponsel ke ibunya.
"Ibu perhatiin kamu sekarang banyak melamun. Banyak main hape," kata Ros memandang Vaya lekat-lekat. "Vay ... nggak lama lagi kamu kan mau UN, selesai UN masih ada ujian masuk kuliah. Main hape seperlunya aja, atau sekalian nggak main dulu lah ..."
Vaya mengangguk, memasukkan ponselnya ke saku rok. Kini, dia sempurna mengabaikan postingan-postingan di ponselnya. Ros menyandarkan badannya ke kursi. Dia menghela napas. "Ibu pengen kamu bisa cepet mandiri, Vay."
"Iya, Bu. Aku juga pengen. Biar nggak nyusahin ibu lagi," ucap Vaya pelan.
Mendengar itu, Ros justru tersinggung. "Vay, ibu ngomong barusan bukan soal nyusahin. Ibu nggak merasa disusahkan. Membesarkan kamu, membiayai kamu sekolah itu sudah kewajiban ibu."
"Iya, Bu," Vaya meraih tangan ibunya. "Aku juga nggak bermaksud apa-apa. Aku juga pengen cepet mandiri biar bisa beliin ibu barang-barang yang ibu suka."
Ros hanya tersenyum kecil. Dia tidak memimpikan itu sama sekali. Ros menatap Vaya. "Ibu mau kamu mandiri, karena kita nggak pernah tau apa yang terjadi ke depannya, kan? Nggak ada yang jamin umur ibu panjang sampai kamu nikah dan punya anak," ucap Ros dengan nada suara yang dalam. Vaya tampak mau menangis. Dan, sebelum Vaya semakin memupuk airmata, Ros menggenggam tangan putrinya "Kamu sudah putuskan mau kuliah di mana? Kalau bisa ambil di Jakarta, atau kalau yang lain, setidaknya masih di pulau Jawa."
Vaya diam sesaat. "Kalau kuliah, ibu nggak papa?"
"Loh, ya nggak papa ... justru itu yang ibu mau."
Vaya mengangguk. "Aku bakal rajin belajar, aku juga bakal kerja part time, dan nanti berusaha biar dapet beasiswa ya, Bu," katanya menyuap nasi ke mulutnya. "Kalau perlu, aku kerja dulu baru kuliah."
"Jangan. Ibu takut kamu keenakan cari uang, terus lupa mikirin persiapan kuliah," Ros menggeleng. "Lagi pula, kalau kerja, kamu mau kerja apa?"
"Apa aja lah, Bu. Yang penting halal," sahut Vaya pelan. Tapi, ibu menggeleng cepat. Sekali lagi, dia meminta Vaya fokus memikirkan kuliahnya. Membuat Vaya tersenyum miris. "Aku tuh pengen angkat derajat ibu."
Ros menghela napas. "Derajat apa?"
"Ya derajat sosial, lah. Biar nggak ada yang meremehkan kita," sahut Vaya. Ingatannya melayang pada orang-orang yang menghina dia dan ibunya.
Ros tertawa kecil. "Memangnya ada yang meremehkan kita?"
"Ada. Ibu aja nggak tau." Sekilas, Vaya merasa beruntung tetangga-tetangganya tidak ada yang mengadu ke ibu kalau dia viral. Mereka sibuk mencari uang, dan sebagian hanya menertawakan dari belakang. Saling berbisik tanpa sepengetahuan. Sakit memang. Tapi bagi Vaya, itu lebih baik daripada ibunya tahu. Paling sering terjadi, cengengesan beberapa anak tetangga saat membeli bakso. Sambil nyeletuk, 'ciee, kak Vaya viral, cieee' tapi segera berhenti begitu melihat Vaya melotot dan menggerakkan jarinya seolah-olah sedang menggorok leher.
"Kamu ini, Vay ... Vay ..." Ros menghela napas. Dia berdiri, mematikan kompor, dan menuangkan air mendidih ke termos. "Dulu ibu cita-citanya juga ngangkat derajat orang tua, tapi sekarang ibu jual bakso. Kira-kira itu derajatnya terangkat nggak?" tanya Ros menatap Vaya lurus-lurus. "Soal derajat, cuma ukuran Allah yang paling baik, Vay ... kamu nggak usah terlalu peduli pandangan orang. Tapi peduli sama pandangan Allah ke kamu. Ini kamu tadi sholat subuh, nggak?"
"Sholat," jawab Vaya, nyengir.
"Kamu nggak perlu janji seperti itu. Ibu cuma mau kamu bisa punya ilmu bermanfaat. Bermanfaat untuk orang lain, bermanfaat juga buat kamu. Kamu bisa kerja dari ilmu itu, dan dapat penghasilan. Jadi kamu bisa beli apa pun ..." Ros memalingkan wajahnya ke arah dinding, menembus sampai ke tempat-tempat yang tidak Vaya ketahui. "Apa pun yang belum bisa ibu belikan selama ini."
Vaya menelan nasinya, mengangguk.
"Dan kamu juga bisa sedekah lebih sering lagi, lebih banyak lagi," kata Ros, menyerahkan seplastik kue apem ke tangan Vaya.
Vaya mengangguk lagi.
Dia menyadari betapa dia dan ibunya seperti langit dan kerak bumi. Ibunya sabar, sementara dia—untuk hal ini, Vaya mengakui—orang yang gampang tersulut. Mungkin bapaknya—yang entah di mana—yang mewariskan sifat temperamen itu. Kapan-kapan, Vaya mau belajar cara mengendalikan diri dari ibunya.
"Aku sayang ibu!" katanya lagi, sebelum akhirnya berangkat sekolah.
**
SMA Kartini berada di Jakarta Timur. Persis di pinggir jalan dengan luas yang bisa menampung lima ratus siswa. Di belakangnya, ada empang dan pemukiman para penduduk. Tak ada yang menyangka kalau di kota Jakarta yang modern dan penuh gedung pencakar langit, ternyata masih ada tempat asri di daerah Jaktim.
Vaya mungkin terlambat menyadari, tapi sekarang, di detik-detik akhir menuju UN, dan perpisahannya dengan masa SMA, membuat Vaya menyukai dunia sekolahnya. Dia agak menyesal telah menghabiskan waktu untuk menyukai seseorang sampai mood-nya tak tentu arah. Tidak, dia tidak menyesal sudah menyukai Rio. Dia hanya menyesal terlalu reaktif pada segala hal tentang Rio. Sehingga dia harus berakhir malu karena satu negara menyorotnya. Dan, jangan lupakan bagaimana dia akhirnya harus menjadi pembolos. Dan skorsing. Dan Adelia.
Vaya lelah berurusan dengan Adel. Mungkin Aji benar, dia hanya membenci dirinya sendiri sehingga dia benci orang lain. Mungkin, selain pensiun jadi secret admirer, sudah saatnya Vaya pensiun jadi hater Adel and hater of herself. Ujian sebentar lagi, tes masuk universitas juga tak bisa diabaikan begitu saja. Vaya harus mengambil kendali lagi.
"Pagi, Pak Diman!" sapa Vaya pada lelaki tua itu. Mengabaikan siswa-siswa yang menatapnya sinis sambil berbisik-bisik. Ojak, yang baru saja menjejakkan kaki di gerbang, menatap Vaya ngeri. Urus saja permen karet anda, ya. Vaya membatin.
"Neng Vaya, tumben rambutnya diikat."
Vaya nyengir. Dia berkacak pinggang. "Cantik kan, Pak?" tanyanya, bangga. Hari ini, Vaya mengikat rambut dan sedikit memakai bedak. Mungkin itu yang membuat orang-orang kaget melihat Vaya. Soalnya, daripada dandan, biasanya Vaya mirip tukang pukul.
"Cantik atuh, Neng," sahut Pak Diman lembut. "Apalagi kalau pakai jilbab. Lebih manis lagi."
Vaya tertawa. Dia mematut-matut diri di kaca jendela pos satpam. "Nanti-nanti deh, Pak. Kalo sekarang, tanggung mau lulus. Beli baju panjangnya nggak ada duit."
Pak Diman terkekeh. "Kemarin ke mana aja, Neng? Kok Bapak nggak liat?"
Vaya nyengir lebar. "Saya dalam proses tobat dan kembali ke jalan yang benar, Pak," katanya lagi, sambil menyerahkan satu plastik berisi kue apem. Dia lantas melangkah cepat ke kelasnya. Meninggalkan Pak Diman yang masih terbengong-bengong, mencerna maksud pembicaraannya.
Memasuki kelas, gadis itu melangkah santai. Tetapi, dia rasa, pandangan semua orang sama sekali tidak santai. Sudut matanya menangkap sosok Mia yang menatapnya dari kursinya. Vaya menghela napas. Terakhir bertemu anak itu, segalanya belum selesai secara baik-baik. Mia juga tak terlihat ingin memperbaiki semua kesalahannya. Dia bahkan tidak menghubungi Vaya untuk meminta maaf atau memberi penjelasan.
Adel spesial, Vay.
Vaya membanting tasnya. Dia memilih duduk di samping Ojak. Mungkin ini sebabnya Allah menyambut orang yang tobat dengan riang gembira. Soalnya, tobat itu susah. Baru beberapa menit lalu, Vaya bertekad ingin menjalani masa SMA dengan baik, tapi tampang Mia malah bikin dia mau menjalani SMA dengan buruk lagi.
"Heh, Paya! Ngapain lo di sini?" tanya Ojak yang baru kembali dari WC. Tapi wajahnya tampak ingin menanyakan sesuatu.
"Duduk berdua, ya!" Vaya nyengir.
"Vay," Meyda sudah berdiri di samping Vaya. Dia menatap Vaya kuatir. "Vay, lo ada apa sampe marah sama Bu Sukma?"
"Ha?"
Vaya mengernyit. Dia mengibaskan tangan lalu memeriksa ponselnya yang sejak tadi bergetar terus. Dan, sejurus kemudian, jantung Vaya seakan berhenti berdetak.
Anjing lo Vaya! Sejelek-jeleknya gua, nggak pernah gua hina guru gua! @krasivayax
@krasivayax Vaya! YOU DESSERVE TO DIE!!
VAYA BAB* BAB* BAB* BAB*!!! @krasivayax
Feed penuh @krasivayax lagi, kenapa dengan Vaya? SIAPA DIA SAMPE KALIAN BLOW UP TERUS!
VAYA YOU BITCH! Kemari-kemarin gua nggak peduli sama anak ini. Tapi, liat ternyata kelakuannya sejahat ini, gue jijik banget sama Vaya! Gedek bangeeet! Ngatain guru? Please. Seseorang tolong hukum anak ini! @krasivayax butuh pelajaran berharga biar nggak kurang ajar!
@krasivayax Vaya! YOU DESSERVE TO DIE!!
WOI @krasivayax DASAR pelacur sangean lu.
Itu videonya lengkapnya mana ya?
Woi Vaya lo open BO nggak?!!!!
Dari seragamnya, ni anak sekolah mana sih?
Anak Kartini tuh, broo!
ANJIR VAYA! GUA ALUMNI KARTINI!!!
Ada lebih banyak makian. Amat banyak, lebih dari sebelum-sebelumnya. Lebih menyakitkan dari sebelumnya. Bahkan sekarang sumpah serapah dan doa-doa buruk. Kenapa? Vaya bahkan tidak tahu apa salahnya. Kenapa hanya jatuh cinta membuatnya dicaci semua orang? Bukannya semua perlahan-lahan bisa selesai? Seharusnya dia dilupakan, seperti video-video viral lainnya.
"Vay,"
Vaya membeku. Dilihatnya Sasa sudah datang menghampirinya. Wajah anak itu terlihat tegang.
"Vay ..." Sasa memanggil lagi. "Lo dipanggil Bu Siti."
Vaya mengernyit tidak paham. Tapi tanpa menunggu lagi, dia langsung melangkah ke ruang BK. Di sana, Bu Siti sudah menunggunya bersama Pak Edi—wali kelasnya.
"Vaya," sapa Bu Siti dengan mata mendelik.
Vaya mengangguk. "Ada apa ya, Bu?"
Bu Siti dan Pak Edi bersitatap. Vaya disuruh duduk menunggu, lalu tak lama kemudian, Bu Siti menyodorkan ponselnya, meminta Vaya menyaksikan sendiri kesalahan apa yang membuat Vaya dipanggil sepagi ini. Dan, Vaya meneguk ludah. Jantungnya berdebar kencang. Tangannya bergetar hebat. Dia hanya satu jam berada di sana, tapi rasanya seperti seratus tahun. Tepat pergantian jam pelajaran, Vaya memang disuruh kembali ke kelas, tapi itu tak menyurutkan kecemasan yang menggunung di hatinya.
Vaya keluar dengan membawa sebuah surat panggilan orang tua.
Dengan langkah gontai, Vaya berjalan ke kelas. Sesampainya di depan, Sasa sudah menyongsongnya, meminta penjelasan. Namun, Vaya memilih diam. Dia justru berjalan ke kelas XII IPS 1. Di kelas itu, Adel—dengan rambut yang sudah dipotong pendek—tengah bercanda dengan teman-temannya.
"Vay!" panggil Aji, setengah berlari. "Lo ke mana aja? Gue cariin dari tadi. Lo viral la—"
Vaya mengangkat tangan dan mengangguk. Dia fokus berjalan ke arah bangku Adel. Anak itu, dan juga teman-temannya, langsung saling sikut begitu Vaya sudah berdiri di depan mereka.
"Halo, Payah," sapa Adel, tersenyum.
"Lo ya yang rekam gue hari itu?" tanya Vaya, serak.
"Rekam apa, ya?" tanya Adel, berlagak pilon. Tapi jelas sekali mata Adel waspada, takut Ojak si bubble-gum juga muncul dan menyumbangkan permen karet ke kepalanya lagi.
Sementara itu, Vaya meraih ponselnya, mencari video yang viral itu. Lalu menyodorkannya ke Adel. "Lo yang mancing gue buat ngomong kayak gini."
Adel menyeringai. "Nggak penting siapa yang rekam, yang jadi pokok permasalahannya adalah, lo menghina guru. Kenapa jadi yang ngerekam yang salah?" tanya Adel, memiringkan wajahnya. Lalu dia tertawa kecil. "Kalimat itu, persis yang lo ucapkan kemarin ke Bu Siti, kan? Lo bilang 'nggak penting siapa yang rekam, yang pasti Adel ngeroyok adek kelas.' See?"
Vaya mencelos. "Kok lo tega banget, sih, Del?"
"Lo yang tega sama gue, Payah. Lo tau? Membangun imej sebagai selebgram itu susah tau nggak? Lo nggak tau berapa lama gue bisa dapetin followers sebanyak itu. Di saat lo ngorok, gue sibuk bikin konten. Di saat lo sibuk pecicilan di kelas gue, gue kerja keras biar akun gue naik! Gue cover lagu sana-sini. Gue kolab sama orang. Dan, lo dengan seenaknya, hancurin citra gue dengan video keroyokan itu! Dan rambut gue, lo hancurin rambut gue!"
"Lo yang tega duluan, Del," Vaya menahan air matanya susah payah. "Seandainya lo nggak usik gue—seandainya—" mata Vaya menangkap sosok Mia, Sasa, dan anak-anak kelas IPS 3 yang ikut masuk ke kelas, tengah menyaksikan perdebatan antara Vaya dan Adel. "Seandainya lo nggak rekam gue hari itu—"
"Bukan gue yang rekam elo, Vaya! Mia!"
"TERSERAH ADEL! TERSERAH!" raung Vaya. Dia menggebrak meja dan menghantam buku Adel sampai berserakan ke lantai. "Siapa pun yang rekam, elo yang upload!"
"Biasa aja, doong!"
"Lo yang harusnya biasa aja! Gue emang benci sama elo! Tapi semua ini elo yang mulai!"
"Nggak penting siapa yang mulai, yang paling penting itu, siapa yang dapet dampak paling besar! Dan itu gue! Semua akan baik-baik aja kalo lo nggak naksir gebetan gue!"
Vaya ternganga, menatap Adel tak percaya. Adelia adalah manusia pekerja keras yang egois. Vaya amat muak melihatnya. Tapi, dia juga muak dengan dirinya sendiri. Jadi ketika Aji mendekat dan berbisik 'jangan nambah masalah lagi, Vay' Vaya menghela napas dan berbalik pergi, melewati siswa-siswa yang kecewa karena tidak ada pergumulan seperti biasanya. Vaya melewati Mia dengan eskpresi datar dan berangsur muram. Tidak, dia tidak akan menambah masalah lagi. Apa yang ada sekarang telah cukup membuatnya mau menerjunkan diri dari atas gedung—seandainya setelah mati segalanya selesai—ibunya, hanya wajah itu yang kini menggentayangi pikiran Vaya.
Apa kata ibu nanti?
Saban hari ibu tidur lebih larut dan bangun lebih pagi. Dia kelelahan, dan kadang dimarahi pelanggan. Dia bekerja lebih keras—saat tahu anaknya bilang mau kerja di kedutaan. Dia banting tulang, dan menahan semua beban, hanya untuk membiayai anak bodohnya ini.
Apa kata ibu nanti?
Vaya menelan ludah. Air matanya berderai di sepanjang jalan menuju kelasnya. Di belakangnya, Aji berjalan mengikuti, sesekali cowok itu bertanya 'mau gue beliin keju?' Tapi Vaya menggeleng. Segala hal tak akan bisa menghiburnya. Langkahnya yang tersendat-sendat itu terhenti.
Di depannya, Rio berdiri menghalangi jalannya.
Vaya menelan ludah. Lalu berjalan lagi, melewati Rio yang kini menatapnya dalam diam.
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro