2. I'm not His Lover Anymore! Noted!
Vaya menguap lebar. Semalam ia bekerja keras membantu ibunya berdagang bakso paling enak sedunia. Begitu yang Vaya katakan kalau orang-orang bertanya soal bakso buatan ibunya. Meskipun itu hanya junk food, Vaya tetap bangga pada ibunya. Ia selalu punya cara menjawab apa pun omongan teman-temannya yang suka mencibir. Tetapi ia tidak bisa memberi jawaban apa pun saat semua orang memberondongnya dengan berbagai pertanyaann tentang aksi menembak Rio yang terekam kamera.
Vaya mengerang frustrasi.
Kini, dia sudah ada di depan gerbang sekolah. Semua siswa yang melihatnya tersenyum geli, kecuali Pak Diman, satpam sekolahnya. Lelaki tua itu sedang bersandar di pintu pos yang sudah pudar warna catnya dan dihias dengan poster artis papan atas, Andina Kartowijoyo. Di saat-saat seperti ini, yang dipedulikan Pak Diman hanya siswa-siswa mana yang ketahuan melanggar peraturan sekolah. Baju ketat misalnya.
Vaya ingat soal video itu. Jadi, dia berjalan mengendap-endap sambil memakai masker hitam dan kacamata anti radiasi.
"Neng Vaya, ngapain pakai masker?" Pak Diman menegur.
Vaya melompat kaget. Ia meletakkan telunjuknya di bibir yang tertutup masker. Tapi tatapan matanya jelas berkata, "Sssst... Diem, Pak! Diem!"
Pak Diman menggaruk tengkuknya. Mau diam bagaiamanapun, Vaya tetap gagal menyembunyikan identitasnya. Rambut pendek bergaya curly vintage itu teramat mencolok. Terlebih aroma daun seledri dan bawang goreng khas bakso pada gadis itu sudah tercium dari jarak satu meter. Gayanya yang selalu memakai sweater—tak peduli cuaca sedang panas atau dingin—semakin memperkuat bukti kalau itu Vaya.
Namun, Vaya sedang buru-buru. Gadis itu berlari ke arah Pak Diman, lalu menyerahkan kantong plastik berisi nasi goreng bakso buatan ibunya. Vaya sering memberikan nasi gratis buat lelaki tua itu.
"Ya Allah ... matur suwun ya, Neng. Sebenarnya Neng ndak perlu—" belum selesai Pak Diman bicara. Vaya sudah jauh di depan. Dia lari terbirit-birit menuju kelas.
Persis anak trek, Vaya lari sambil salip sana-sini. Dia bahkan berhasil melewati beberapa siswi bigos tanpa disadari. Namun, belum sampai tujuan. Vaya megap-megap. Di depannya, sekumpulan cewek—yang sepertinya penggemar garis keras Rio—sudah berdiri berkerumun di depan kelasnya.
Vaya menghela napas. Bersiap untuk hal-hal yang tak terduga. Dibantai misalnya.
"Lo yang namanya Vaya?" Seorang cewek menegur sambil berkacak pinggang.
"Iya, kenapa?" Vaya menjawab.
"Lo alay banget sih jadi orang? Lo nggak tau malu ya?"
"Iya, nih. Bikin malu SMA Kartini aja."
"Gue nasehatin ya, Rio tuh anti cewek agresif," ucap seorang lagi yang paling tinggi. "Cewek lain meski suka Rio nggak pernah seberani elo. Sebelum nembak Rio, lo ngaca dong! Cantik juga nggak, wajah biasa—"
"Heh! Ini apa coba?!" Vaya mulai emosi. "Kalo gue bikin malu, mestinya kalian nggak share video itu. Gue tau, tampang-tampang kayak kalian pasti ikut ngeshare, kan?" cecar Vaya tak mau kalah. Baginya, gadis-gadis di depannya itu serupa anjing yang sedang menyalak. Tidak menggigit tetapi berisik. Beberapa cewek mundur. Sekilas, Vaya rasa ia bisa mengendalikan situasi. Sampai ketika Adelia menepuk bahunya dari belakang.
"Jadi guys, ini penampakan orangnya dari dekat. Ayo sapa! Halo Mbak Payah!" Adelia berseru riang di depan kamera ponselnya, mengarahkan benda itu ke arah Vaya.
Vaya menghindar. Dalam kurungan telapak tangannya, dia bisa melihat kalau semua orang menertawainya. Bahkan pohon-pohon juga tertawa. Batu-batu juga. Rasanya, semua pandangan hina itu sudah mencapai puncaknya. Adelia dan teman-temannya tertawa makin besar. Vaya menggenggam jemarinya dan lari menerobos kerumunan.
Gadis itu terus berlari sampai akhirnya ia tiba di kelas XII IPS 1, kelasnya Rio. Dia merasa ini akan kembali memalukan, tapi tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Vaya mengintip ke dalam kelas. Sosok itu terlihat jelas, sedang duduk santai bersama teman-temannya, menertawakan sesuatu. Vaya menelan ludah. Lalu, dengan kekuatan gajah ngamuk, dia masuk tanpa mengetuk pintu.
"Vaya? Tampang lo kenapa?" Aji yang menegur.
Vaya hanya melirik temannya itu sekilas, lalu berjalan tak peduli. Saat ini, dia hanya fokus pada Rio.
"Kenapa lo ngelakuin itu?" tanya Vaya begitu sampai di depan Rio.
Seketika semua orang di kelas itu termasuk cowok-cowok di sekeliling Rio terdiam. Tidak melewatkan tontonan gratis itu. Jarang-jarang kan, lihat Vaya masuk ke kelas mereka sambil pasang tampang setan. Biasanya, Vaya jual senyum malaikat setiap masuk kelas itu. Maklum, saat itu dia sedang melakukan ritual cari perhatian ke Rio.
"Kenapa lo setega itu?!" Vaya menggebrak meja. Dia kesal Rio mengabaikannya. Cowok itu malah asik memainkan ponselnya.
Merasa risih, akhirnya Rio memasukkan ponselnya ke saku, menegakkan kepala dan menatap Vaya intens. "Ngelakuin apa?"
"Video." Vaya menggigit bibirnya. Entah kenapa dia merasa Rio ini berlagak pilon. "Video gue nembak lo. Kenapa lo rekam? Kenapa disebarin?"
"Oh." Rio memperbaiki posisi duduknya. Dia menggeleng. "Bukan saya yang rekam."
"Terus siapa? Gue nggak mungkin ngelakuin itu!"
"Saya juga nggak mungkin."
"Tapi siapa? Itu jelas-jelas ada yang rekam. Kenapa—"
"Seharusnya kamu bisa langsung tau siapa yang ngerekam dan nyebarin. Akun mana yang pertama kali sebarin itu." Rio menghela napas. "Kecuali kamu memang seorang payah."
Kontan semua orang tertawa. Vaya memejamkan mata, menahan malu dan sakit hati. Dia menyabarkan diri. Dia takut akan melakukan hal memalukan lagi, dan seseorang diam-diam tengah merekam dirinya. Lalu mereka menyebarkan video itu lagi dengan caption 'Masih Ingat Vaya, Cewek yang nembak Cowok itu? Begini Nasibnya.'
Kalau sampai itu terjadi, habislah dia.
Cepat-cepat Vaya menggeleng. "Bu—bukan gitu. Terlalu banyak yang ngeshare video itu. Jadi susah ngelacaknya." Vaya melirik ke pintu masuk. Adelia dan teman-temannya sudah bergabung. "Tapi, ada satu orang yang paling mencurigakan. Akun yang pas ngeshare video itu langsung jadi viral. Adelia."
"Lo nuduh gue?!" Adelia tak terima.
"Gue nggak nuduh, kenyataannya emang gitu. Lo ngeshare video gue kan? Abis lo ngeshare itu, langsung banyak yang ke IG gue."
"Semua orang ngeshare. Bahkan saking lucunya, teman-teman sekelas lo juga ngeshare."
"Itu karena lo yang share duluan! Gue yakin!"
Adelia memelotot. "Kenapa lo seyakin itu?! Gue cuma ikut-ikutan share karena itu lucu!"
"Oke, bukan lo yang share pertama kali. Tapi lo yang rekam! Tempat gue nembak Rio itu—itu di belakang ruang seni. Dan itu mungkin lo masukin pas lo latihan nari."
"Jadi sekarang lo nuduh gue lagi?! Iya?!"
"Iya!"
Adelia menarik rambut Vaya kencang. Vaya terpekik. Tetapi dia tidak mau kalah, gadis itu balas menarik poni anti badai milik Adelia. Keduanya pun saling tarik menarik dan membuat sebagian orang mendadak panik. Sebagian lagi memekik heboh.
"Berhenti!" Aji yang sejak tadi nonton, memisahkan. Cowok itu menarik Vaya. Sementara beberapa orang yang masih sadar (kalau ini sekolah, bukan pasar) menarik Adel. Tetapi dua cewek itu tidak peduli. Mereka saling tarik dan mendorong. "Berhenti gue bilang!"
Bodo amat. Vaya makin nafsu menarik rambut panjang Adel.
"Berhenti!" Rio yang bicara. Cowok itu sudah berdiri di antara Vaya dan Adel.
Vaya terpaku. Jantungnya jumpalitan. Kalau ada satu orang yang bisa menghentikannya, itu adalah Rio. Seseorang yang selalu menghentikan langkahnya setiap dia melihat cowok itu. Baginya, ucapan Rio adalah mantra ajaib untuk dirinya.
"Kamu—tolong balik ke kelas." Rio menunjuk Vaya. "Kalo kamu mau marah-marah atas perbuatan ceroboh kamu sendiri, kamu salah tempat. Karena video itu, saya juga dirugikan." Rio menunjukkan ponselnya yang sudah membuka aplikasi instagram. Followersnya sudah mencapai 10.000 dan terus bertambah.
Sejak semalam mereka sudah sibuk mengomentari banyak foto milik Rio. Ada yang menulis kalimat dukungan, ada yang menuliskan 'Uhhh, ganteng banget ya Allah ...' ada yang menulis 'terlalu tampan untuk menerima tembakan cewek itu', ada yang memaki atas kesombongannya membiarkan Vaya jatuh, dan ada pula yang ingin dijadikan istri. Semuanya menyerang Rio. Dan, Rio risih.
"Sori ...." Vaya memainkan jemarinya.
"Jangan-jangan lo sendiri yang ngerekam kejadian itu biar lo jadi viral?" Adelia mulai lagi.
Mata Vaya membola. "Ng—nggak! Nggak mungkin, lah!"
"Bisa aja, kan? Lo yang punya akun 'Kata Rasa' itu kan? Followers-nya masih sedikit, banyakan juga si Malih," tunjuk Adel ke arah Malih, cowok paling cupu di Kartini. "Oh, bisa jadi lo mau dompleng akun, ya? Gue liat kayaknya lo ngebet banget jadi selebgram." Adelia berdecak. Gadis itu melirik ke Rio.
Vaya melongo. Kini semua orang menyorakinya. Setengah sadar, gadis itu menggeleng. "Gue nggak nyebarin itu!"
"Ngaku aja, udah. Lo kan, alay. Lo sering kedapetan lagi ngerekam segala aktivitas lo. Jangan-jangan sebelum nembak Rio, lo rekam diri lo sendiri, lagi? Iya?"
"Nggak! Eh, iya, sih. Tapi, nggak! Nggak untuk hal pribadi kayak kemarin! Gue cuma rekam sebelum Rio dateng!" Vaya panik.
Semua kembali menyoraki. Adel meminta Rio menanggapi ucapannya. Dan, bersamaan dengan itu, Vaya melihat ke Rio. Meminta dipercaya.
Rio berdeham. "Zaman sekarang banyak orang gila populer. Nggak heran."
Vaya mencelos. Tidak menyangka Rio akan bilang seperti itu. Dia merasa seperti dilempar ke selokan paling bawah dan semua orang kini menertawakannya. Tidak ada satu pun yang memercayainya. Vaya berada di tempat yang salah. Bukan. Rasanya semua tempat itu salah. Adelia bilang, teman-teman sekelasnya juga ikut menyebarkan video itu. Vaya mengembuskan napas. Gadis itu melihat sekelilingnya dan semua masih menertawakannya.
Vaya mengusap pipinya yang basah. Sedetik kemudian, gadis itu berlari keluar.
***
Ada beberapa sudut kosong di SMA Kartini. Laboratorium bahasa yang jarang dipakai, belakang ruang seni yang lembab dan sempit, ruang 03 yang secara tak sengaja dijadikan gudang dan sekarang tak terurus, sampai lubang buaya—sebuah lubang yang berada persis di bagian bawah pagar sekolah—saksi nyata bagi para siswa yang biasa mabal. Digali jutaan tahun lalu oleh senior putus asa dan ada kemungkinan habis dapat ilham dari film The Boy in the Striped Pyjamas.
Lubang buaya, siang ini, terlihat tak dilewati siapa pun. Kecuali tiga orang itu, yang sebenarnya dua dari mereka sama sekali tidak sudi. Vaya, Sasa, dan Mia. Ketiganya tampak berancang-ancang untuk nungging, jongkok, lalu merayap ke tanah melewati lubang itu.
"Vayaaa! Lo serius mau keluar lewat sini?" Sasa, yang hari ini bandananya berwarna hitam—sebagai aksi turut berduka cita atas kegagalan cinta Vaya—terlihat menepuk-nepuk lengannya karena digigit nyamuk. "Aw, the-bad-mosquito-girls go to the underground! Vaya! Lewat gerbang aja, yok!"
Mia, yang jauh lebih tertekan melihat lubang buaya itu, menelan ludah. "Vay, kamu yakin mau ngerayap-ngerayap tanah? Besok kan rabu. Seragam kita masih dipake, loh."
Mendengar itu, Vaya menoleh cepat. "Yakin gue! Seyakin-yakinnya. Sejak gue lahir sampe segede gini. Nggak pernah gue seyakin ini! Pokoknya gue nggak mau lewat depan. Gue benci semua orang di sekolah ini! Gue nggak mau jadi bahan lawak mereka!"
Sasa berdecak. "Vaya, darling, nggak semua orang di sekolah ini nge-share video lo nembak Rio. Dan nggak semua—"
"Setop! Setop! Sasa, lo jangan pernah lagi sebut nama itu. Gue nggak mau lagi denger nama itu!"
Sasa tertawa menghina. "Heleh. Yakin, Vay? Nggak anget anget tai ayam aja, kan?"
"Heh! Kalian denger ya. Gue benci banget sama dia. Benci! Benci! Benciiii banget! Aaaarrrkh! Nggak bisa lagi gue ungkapkan pakai kata-kata. Ini, kalo dada gue dibedah, isinya jarum semua! Ini kalo kepala gue dibedah isinya rencana jahat semua! Pokoknya gue, Krasivaya. Gue benci Ario Prameswara! GUE BENCI SEMUA TENTANG DIA. GUE ADALAH ORANG YANG PALING NATURAL BODOHNYA KALO SAMPE GUE MASIH SUKA DIA. CATAT ITU!" Vaya menunjuk jidat teman-temannya. Lalu dia menyingsingkan lengan sweater-nya, mulai jongkok dan merayap. Tentu saja sambil mengomel dan memaki Rio.
Sasa dan Mia bersitatap. Isi kepala mereka sama; Katanya jangan sebut nama Rio lagi, dia sendiri sebut-sebut terus.
Tak lama kemudian, Vaya sudah menghilang di telan lubang bawah tembok sekolah. Cewek itu lalu berteriak memberitahu kalau dia sudah sampai di luar. Dengan terpaksa, atas nama solidaritas, Sasa dan Mia ikut merayap juga. Persis tentara latihan militer yang pernah mereka lihat di TV. Sasa merayap duluan, dan Mia mengikuti dari belakang.
Kaki dan tangan mereka pun bergerak-gerak. Belum benar-benar sampai, dan masih berkutat dengan tanah lembut yang menahan bobot tubuh, Sasa dan Mia mendengar Vaya memekik-mekik. Dengan gegas, keduanya pun ngebut keluar lubang.
Dan kini, di hadapan mereka, ada sebuah empang milik warga yang lumayan lebar. Tak lupa pepohonan dan rerumputan menambah asri tempat itu. Sebenarnya tidak luas, tetapi sungguh indah untuk kota Jakarta yang padat ini.
"Wow ... gue tau sekarang kenapa si Ojak dan gengnya hobi masuk sekolah lewat sini!" Sasa berseru senang.
Mia tersenyum dan mengangguk. "Bye the way ... Vaya-nya mana, Sa?"
Dua cewek itu celingukan. Sampai akhirnya mata mereka menangkap sosok itu. Vaya sudah duduk di tepi empang sambil melempar batu ke jernihnya air. Sasa dan Mia mendekat dan ikut duduk. Tanpa banyak bertanya, mereka tahu. Detik itu juga, Vaya pecah. Dan, dia hanya ingin dibiarkan begitu saja.
"HUWAAAAA!" Vaya memekik.
"Ario Prameswara bodooh! Manusia Jahaaat! Kejiiii! Bukan oraaang! Dasar penjahaaaat! Raja tega! Sok ganteng! Aku nggak suka kamu sampe gitu-gitu amat, kook!! Liat aja. Gue pasti bisa lupain loo!! Pokoknya kembalikan cintaku yang bertepuk sebelah tangan yang sudah 1245 hari itu! POKOKNYA KEMBALIKAAAAN!"
Vaya memekik lagi. Untuk kesekian kalinya, dia memekik lagi.
***
.
.
A/n
Hai! Pelan-pelan aja bacanya. Kasih vote dan commentnya. Itu sangat berarti buat aku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro