Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Anak-nomor-sekian


Masih ada sekitar setengah jam lagi sebelum pertandingan basket tim Aji dimulai. Vaya mengegas motornya kuat, menambah kecepatan agar bisa segera sampai tepat waktu. Sejak dulu, tidak hadir dalam pertandingan basket sekolah adalah kebiasaannya. Terlalu malas untuk melihat apa yang tidak dia sukai. Tetapi, dia punya teman yang hobi basket. Dan, chat terakhir dari temannya itu benar-benar menakutkan.

Aji si Masaji : Kalo lo nggak dateng, cukup sampe sini aja pertemanan kita.

Vaya menelan ludah. Dia mempercepat laju sepeda motornya. Setelah menyeberangi simpang tiga, gadis itu memilih jalan tercepat sekaligus tersepi. Dia sedang melintas di jalan yang tak asing, tempat dia biasa menemukan Rio sedang berdiri di depan pagar rumah mewah. Iseng sendiri, Vaya memelankan laju motornya dan menoleh. Kalau-kalau dia bisa menemukan cowok itu lagi (dan dengan sekuat tenaga, Vaya menyangkal kalau dia masih peduli dengan Rio!).

Tetapi, tak ada Rio. Hanya ada sedan merah dengan mesin yang masih menyala terparkir di depan rumah itu, menunggu seseorang membukakan pagar. Pengemudi itu terus membunyikan klakson. Sampai dia pun geram, membuka kaca mobil, dan melongokkan kepalanya keluar. Memanggil satpam.

Vaya terkesiap. Rahangnya nyaris jatuh. Mendadak, dia mengerem sepeda motornya. Tidak salah lagi! Yang dia lihat itu adalah Andina Sastrowiyono.

"A-artis?" desis Vaya kepada dirinya sendiri.

Labirin-labirin otaknya seperti memutar dan menampilkan reka ulang kejadian yang sudah berlalu. Ketika Rio selalu berdiri di depan rumah itu. Ketika dia mendapati Rio ada di bioskop. Atau ketika gosip bahwa dia adalah anak dari seorang artis.

Vaya mencubit pipinya. Lalu, dia menoleh ke rumah mewah itu lagi.

Gerbang rumah itu dibuka susah payah oleh satpam. Dan, perempuan itu sudah lenyap masuk bersama sedan merahnya.

**

400 Meter dari jalan utama-tempat rumah mewah yang sering dia sambangi-Rio berjalan dan masuk ke sebuah gang sempit. Bertahun-tahun tak pernah berkunjung, sama sekali tak membuat Rio lupa jalan. Rio ingat setiap detailnya, gedung-gedung apa saja yang harusnya ada di sepanjang jalan, penanda-penanda jalan yang harus dia lewati, dan berapa lorong agar dia bisa sampai di tempat tujuannya. Kecuali jumlah rumah dan pohonnya-pohonnya. Sekarang, semua nampak padat dan kurang hijau karena tergerus zaman.

Tepat di depan sebuah banguan tua dengan halaman penuh wahana permainan, Rio berhenti. Tempat Penitipan Anak (TPA) Al-Ikhlas. Di sinilah tujuan Rio. Dengan tatapan datarnya, cowok itu membuka pagar besi setinggi setengah meter itu dan mulai masuk. Dalam perjalanannnya menuju pintu TPA, dia melihat ke kanan-kiri. Belum banyak perubahan. Masih wahana permainan yang sama. Rio mengusap wahana besi panjat di depannya. Tua dan penuh kenangan.

Dulu, saat Andina kerap menitipkan dirinya di tempat ini, Rio paling suka bermain di besi panjat. Dia akan merasa bebas dan paling berkuasa jika sudah berada di atas besi panjat. Beberapa kali Rio pernah menjaili kawan-kawannya yang berada di bawah. Kadang-kadang, dia bisa membuat anak orang menangis. Pernah satu kali dia menyerang sekelompok anak dari atas besi panjat. Anak-anak itu langsung lari ketakutan, menyangka Rio benar-benar seorang titisan superman seperti yang dia teriakkan. Kalau sudah begitu, pengurus TPA akan kelimpungan dan mulai meminta Rio turun.

Rio tersenyum kecil. Heran. Dulu, Rio bisa begitu ekspresif dan bersemangat. Bukan Rio yang skeptis dan dingin seperti saat ini. Mungkin karena dia belum tahu kalau hari-hari ternyata begitu berat untuk dia jalani. Mungkin karena dia masih kecil, tak banyak yang bisa dia ketahui. Mungkin juga karena dia belum sadar kalau suatu hari, Andina akan melupakannya.

"Maaf,"

Rio tersentak. Dia memalingkan wajahnya dan menemukan seorang perempuan setengah baya berdiri di depannya sambil membawa ember.

"Kamu cari siapa ya? Anak-anak sudah dijemput semua."

"Saya cari Bu Nanik."

"Ya, saya Bu Nanik."

Rio tersenyum. Dia maju beberapa langkah. "Bu Nanik, inget sama saya?"

Perempuan paruh baya itu mengerutkan alis. Dia menggeleng.

"Sa-saya si anak yang paling terakhir dijemput." Rio mengusap matanya dan tersenyum. "Saya si anak nomor sekian," katanya lagi dengan suara parau, seperti menahan tangis

Mengernyitkan dahi, Bu Nanik mulai meraba labirin otaknya. Dia mencari potongan-potongan kenangan yang masih tersisa di ingatan perempuan tua sepertinya. Seorang anak laki-laki tersenyum riang... matanya indah memancarkan kehangatan... memiliki ibu yang cantik tapi selalu murung... sering membuat masalah dengan teman-temannya... mungkin karena dia merasa paling tua di antara bocah-bocah itu. Dia selalu tertawa, tak pernah menangis. Dia akan jadi anak baik sambil menunggu ibunya datang menjemput. Meski sudah larut malam, dia tetap menunggu ibunya datang. Senyumnya akan merekah jika di ujung jalan sana, ia melihat sosok ibunya datang. Begitu terus.

Sampai hari itu tiba. Ibunya tak pernah datang. Meskipun dia sabar menunggu, berdiri di depan pagar. Ibunya tak pernah datang. Dan, tangisnya pun pecah. Ketika seorang pria yang mengaku sebagai pamannya datang menjemput. Anak itu menggeleng keras dan terus menangis. Dia hanya mau Ibu yang menjemputnya.

Bu Nanik menjatuhkan ember di tangannya. Dia membekap mulutnya tak percaya. Matanya berkaca-kaca. "Rio, ya?"

Rio tersenyum dan mengangguk.

"Rio?"

"Iya, Bu..."

"Ya Allah, Rio!" Bu Nanik menyambar tubuh Rio dan memeluk anak itu. perempuan itu menangis haru, membiarkan rindu kini menguasai hatinya. Anak nomor sekian itu, kini datang menjenguknya. Anak yang selalu pulang terakhir itu, kini datang lagi dan menatapnya seperti orang pesakitan.

Malam itu, perasaan saling bertanya kabar yang bertahun-tahun mereka pendam kini telah tuntas. Dua orang itu terus meluapkan kesedihan dan pertanyaan. Seperti dua orang kawan lama yang usianya terpaut jauh, lalu kemudian bertemu lagi, dan sama-sama tahu kalau keduanya bersedih. Dan seolah-olah saling bertanya,

Apa kamu baik-baik saja?

**

"Eh, ada Vaya tuh!"

"Huh, mana?"

"Itu!" Beberapa anak yang baru saja tiba di TPA Al-Ikhlas, dan siap bermain di wahana permainan, menunjuk ke arah Vaya yang sedang duduk di dekat besi panjat. Kemudian, mereka saling berbisik sambil merencanakan kenakalan. Berlarian, anak-anak perempuan itu menghampiri Vaya.

"Vaya!" Vaya, yang sedang melamun, mengerjapkan mata. Dia mendongak dan menemukan tiga anak sudah berdiri mengitarinya. mungkin mereka ingin mengajaknya main. Mungkin mereka mulai sadar kalau dirinya bukanlah anak aneh yang kerjaannya hanya duduk di ayunan, dan menunggu ibunya atau ayahnya datang menjemput.

"Ada apa?" Vaya bangkit.

Anak-anak perempuan itu kini mengerumuninya. "Vaya, di situ ada Dani. Kamu samperin ya! Bawa dia ke sini. Cepet ya!"

Vaya menoleh ke anak laki-laki yang sedang makan es krim di ayunan. "Kenapa aku yang panggil?"

"Karena kami nyuruh kamu. Ayo buruan!"

Vaya menggeleng.

"Ayo Vaya, panggil Dani dan bawa sini! Ayo!" salah satu anak mendorong-dorong Vaya.

Gadis kecil itu meringis. Dia merasa dipaksa melakukan hal yang tidak dia sukai. Sering seperti itu. Tempo hari, anak-anak perempuan ini menyuruhnya memutar mereka saat bermain mangkuk putar. Selalu seperti itu. Vaya akan dilihat jika mereka butuh lelucon atau orang suruhan.

"Ayo, Vaya! Panggil si Dani!"

Vaya menggeleng lagi. Mulutnya membuka dan menutup. Dan ketika ia kembali membuka mulutnya, sebuah suara asing di belakangnya mengagetkan.

"Jangan mentang-mentang wajah kalian buruk terus kalian manfaatin anak manis ini ya."

Sunyi yang memberangus. Mata Vaya membola. Anak-anak perempuan di sekelilingnya juga. Kepala mereka mendongak. Terheran-heran dengan sosok yang berada di atas mereka. Seorang bocah laki-laki sedang bergelantungan seperti beruk di atas wahana permainan besi panjat.

"Heh! Anak-nomor-sekian! Jangan ikut campur!" seru seorang anak bernama Gita, kemudian dia kembali mendorong Vaya.

Namun, Anak-nomor-sekian itu mendengkus. Dari ketinggian besi panjat, bocah laki-laki itu melompat dan mendarat persis di depan mereka. Sontak semua berseru kaget. Dengan wajah tak peduli, dia mengorek hidungnya untuk mengambil sedikit upil. Lalu, dengan tampang jahat, dia menyodorkan jarinya ke depan wajah anak-anak perempuan itu.

Semua anak memekik jijik. Namun, dia tak peduli dan mulai mengejar anak-anak yang menghambur ke segala arah. Segalanya baru bisa tenang setelah Bu Nanik datang dan meminta dia berhenti.

Vaya menonton kejadian itu dengan takjub. Seperti menyaksikan pertunjukan sulap, dan semua terasa magis. Vaya berlari-lari ke tempat Bu Nanik yang sedang membawa Anak-nomor-sekian ke arah yang wastafel untuk mencuci tangan anak itu.

"Terima kasih, ya," ucap Vaya pelan. Begitu dia dan anak itu sudah dalam posisi dekat.

Anak laki-laki itu menoleh. Kemudian dengan angkuh dia berkata, "Bersikap beranilah sedikit. Jadi, kamu nggak akan disakiti siapa pun."

Mendengar itu, Bu Nanik berkacak pinggang. "Hah, dasar anak nakal. Kamu bukan berani! Tapi jorok! Jangan manfaatkan kotoran hidung untuk menyerang anak lain. Oke?"

Vaya tertegun. Anak-nomor-sekian (begitu yang Vaya ingat) itu dibawa Bu Nanik masuk. Anak itu kuat, ceria dan melakukan apa yang dia sukai. Vaya tidak kenal anak itu. Dia hanya tahu sekadarnya saja. Sejak hari pertama dia dititipkan di TPA itu, Anak-nomor-sekian sudah lebih dulu ada, dan akan tetap di sana saat Vaya dijemput pulang ibunya pada sore hari. Anak itu penyendiri tapi tidak sendiri. Dibandingkan Vaya, dia cukup pandai berteman. Dia hanya suka meluangkan waktu untuk sendiri. Sejauh yang Vaya lihat dari jauh, anak itu sebenarnya baik. Dan, barusan saja, dia mau membelanya.

Vaya tersenyum, dia berterimakasih.

Dan, di antara wahana-wahana permainan yang dingin dan beku itu, Vaya janji. Dia juga ingin menjadi seorang yang berani (atau setidaknya berpura-pura berani supaya tidak ada siapa pun yang menyakitinya). Vaya harap, jika ada kesempatan, dia ingin bisa berteman dengan anak itu.

Meski itu tak mungkin terjadi, percakapan-percakapan itu tidak terulang lagi. Harapan itu kalah besar ketika besoknya Ibu dan ayah membawanya ke kantor pengadilan agama. Tempat seorang lelaki dengan palu itu mengatakan dengan tenang bahwa kedua orang tuanya resmi berpisah. Bahwa Vaya akan tinggal bersama Ibu. Bahwa gerobak bakso itu akan ditinggalkan sebagai kenang-kenangan ayah. Bahwa Vaya tak perlu lagi pergi ke TPA. Bahwa detik itu juga, hidup Vaya sudah berubah.

Keseluruhannnya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro