15. Orang Rendahan
"Mbak, baksonya satu nggak pake daun sop ya, Mbak!"
Vaya menoleh. Lalu mendecih. Dia kenal sekali pemilik suara bariton itu. "Ngapain lo ke sini-sini?"
"Gue mau makan bakso, dong."
Vaya memutar bola matanya. Gadis itu masuk rumah dan kembali bersama Ibunya. Spontan Aji berdiri. Cowok itu lalu menyalami perempuan setengah baya itu.
"Kata Vaya, besok guru-guru rapat besar ya?" tanya Ros pada Aji.
"Hah?" Aji melongo. Tetapi langsung meringis karena Vaya menginjak kakinya. "I-iya, Bu. Rapat. Jadi kita libur."
Ros ber-oh kecil. Kemudian perempuan itu tersenyum dan mulai membuatkan bakso pesanan Aji. Tangannya begitu cekatan menuangkan setiap bahan-bahan bakso. Begitu selesai, Ros meletakkan makanan berkuah itu ke depan Aji.
"Bakso tanpa daun seledri," ucap Ros sambil tersenyum.
Aji tersenyum kalem. Dia mengikuti gerak ibu dari temannya itu sampai tak terlihat lagi. Kemudian, senyum manisnya berubah jadi geraman. "Heh, bego! Lo bohongin Ibu, ya? Dosa tau!"
Vaya meringis. "Plis, jangan ngadu. Ibu gue bisa mati jantungan kalo tau gue diskors," mohon Vaya kemudian.
"Astaga Vaya ..."
"Lo nggak tau sih rasanya diskors. Timbang diem doang, kok."
Aji menimang-nimang kata. Lalu dia berdeham dan berkata, "Minggu depan tim gue tanding basket, di SMA Revvany. Gue terpilih masuk tim inti."
"WOW! Selamat ya!" Vaya bertepuk tangan. Tak lama kemudian, dia berhenti. "Terus?"
"Ya lo nonton gue dong, Vaya! Itu syarat biar gue nggak bocorin."
Vaya melotot. "Apaan sih, lo? Sama temen sendiri pake syarat-syarat segala! Terserah lo aja deh, mau bocorin apa nggak. Itu juga kalo lo beneran tega," cecar Vaya sambil mengacung-acungkan garpu ke wajah Aji.
Aji berdecak. Dia heran kenapa Vaya selalu saja bisa mengendalikan situasi. "Vaya," panggil Aji lagi. Lelaki itu mengambil posisi duduk di hadapan Vaya. "Gue tanya, lo ngapain sih ikut-ikutan sebar-sebar video?"
Vaya tak merespon. Dia tetap melanjutkan aktivitasnya mengelap meja pengunjung yang baru pergi.
"Vay?" Aji melempar Vaya pakai sumpit. "Pake kamera siapa lo? Gambarnya bagus. Nggak mungkin hape lo kan?"
Vaya tetap tak merespon.
Aji tersenyum. Lalu mengalihkan perhatiannya lagi ke Vaya. "Vay, bukan kayak gini caranya ngebales Adel. Lo jadi kayak orang rendahan tau nggak."
Mendengar itu, Vaya mengangkat wajahnya. Harga dirinya yang tinggi membuat gadis itu tak bisa membiarkan Aji bicara seenaknya seperti tadi. "ORANG RENDAHAN?!" pekiknya sambil menendang meja tempat Aji makan.
"Iya. Cuma orang rendahan, yang bisa ngehina orang lain."
Vaya terhenyak. "Lo suka Adel kan?!"
"Ko-kok jadi Adel, sih?"
"Lo suka adel, Aji. Makanya lo selalu bela dia! Berani-beraninya lo senyum-senyum ke Adel sementara dia udah mempermalukan gue, temen lo sendiri! Apa lagi kalo bukan suka namanya! Kayak nggak ada cewek lain aja!"
"Gue nggak bela Adel. Gue biasa-biasa aja."
"BOHONG! Jujur aja deh, lo suka dia kan? Kenapa semua cowok suka Adel. Bahkan Rio juga belain Adel. Mia belain Adel. Bu Siti belain Adel. Lo belain Adel. Semua belain Adel. MATI AJA KALIAN SEMUA!"
Aji berjengit. Dia kontan mundur.
"Kenapa?! Jelasin ke gue!" bentak Vaya lagi.
"Gampang! Dia cantik!"
Vanya menendang tulang kering Aji. Dia benci alasan itu. Hanya karena orang itu cantik, maka dia mendapat perlakuan spesial. Seolah istilah orang cantik mah bebas. Orang ganteng mah bebas itu berlaku untuk semua keadaan.
"Dia cantik, Vay. Emang gitu kenyataannya. Dia cantik dan semua orang suka dia. Lo pun mengakui itu, makanya lo pengen kayak dia kan? Lo selalu uring-uringan setiap postingan Adel banyak yang nonton, banyak yang like. Lo nggak pernah berhenti nyolot tiap denger orang-orang muji Adel. Lo selalu jadiin Adel standar lo sendiri. Lo girang kalo jumlah like foto punya lo lebih banyak dari Adel. Lo nggak pernah ngehargain diri lo sendiri!"
Vaya tercekat. Sudut matanya berkedut. "Lo tuh nyebelin banget. Lo nggak usah ngomong aja sekalian. Pergi lo!"
"Tapi yang lo harus tahu, gue nggak suka-suka amat sama dia kok. Sampe harus nyimpen pena bekas dia pake."
"Lo ngehina gue?!"
"Lo sahabat gue, Vay. Lo tahu itu. Adel cantik tapi dia nggak spesial. Gue nggak pernah menghabiskan waktu sama dia. Gue nggak pernah nyaris mati karena dicekik dia. Gue nggak pernah ngetawain lelucon aneh sama dia. Kita cuma temenan kayak yang lainnya. Yang spesial itu lo."
Untuk sesaat, Aji mengatupkan bibirnya.
Kemudian dia menarik napas, lalu menambahkan, "Lo denger baik-baik ya. LO JANGAN Lagi ngelakuin hal kayak gini. Orang yang suka bully orang lain di sosial media itu orang-orang kelas rendah. Kenapa? Lo cek aja sendiri, jarang ada artis atau orang penting yang mau ngabisin waktu untuk baca status orang terus ngebully mereka. Nggak ada kan? Yang sering bully kan orang-orang biasa. Orang-orang penting kalau benci orang cenderung cantik mainnya. Dia nggak akan ngabisin waktu untuk menghina orang. Dia akan habisin waktu untuk membuat prestasi dan membuat semua netizen melihat dia. You know, Orang kelas atas bertindak seperti kelas atas. Orang kelas bawah bertindak seperti orang kelas bawah. Be high class for high class."
Vaya terduduk diam. Sekarang, dia mirip anak kucing. "Gue cuma ngasih pelajaran aja. Dia harus tahu gimana rasanya dibully orang yang nggak kita kenal sama sekali." Vaya merengek.
"Adel udah ngerasain, Vay. Dia udah dibully."
Vaya tak menjawab.
"Sekarang, gue tanya. Lo puas?"
"....."
"Lo nggak puas, kan? Entah kenapa, meski lo udah bikin Adel dibully. Meski kalian sudah impas, Lo masih nggak suka tiap nama Adel disebut, kan? Lo masih benci Adel. Karena bukan ini akar masalah lo sebenarnya. Lo cuma benci diri lo dan lo jadi benci orang lain."
Vaya mendelik. Dengan kesal, dia mengambil satu genggam daun seledri dan menumpahkan benda itu ke mangkuk bakso Aji. Lalu beranjak masuk kamar.
"Woi! Vaya!" Aji memekik.
Tak ada jawaban.
"Jangan lupa! Tanding basket gue dateng loh!" teriaknya lagi.
Tak berapa lama, Ibu Vaya pun keluar sambil terheran-heran.
**
Seperti virus, video Adel melabrak adik kelas itu menyebar cepat. Ungkapan netizen maha benar sepertinya benar-benar terjadi. Buktinya, meskipun Adel sudah melakukan konfirmasi kalau dia dijebak, cewek itu tetap menerima hujatan dari sana-sini. Awalnya, Vaya terbahak-bahak sampai meneteskan air mata saking senangnya membaca semua komentar para haters Adel.
Namun, lama-kelamaan, Vaya merasa hampa. Dia mulai memikirkan kembali perkataan Aji dua hari yang lalu.
Apa dia benar-benar puas?
Apa benar dia membenci Adel karena membenci dirinya sendiri?
Vaya menggigit bibirnya. Jauh di dasar hatinya, dia tak pernah merasa kelegaan yang dia harapkan. Setiap jam Vaya akan mengecek berapa jumlah komentar netizen di postingan Adel, berapa orang yang menghujat Adel, berapa orang yang berkata 'Auto unfollow' pada Adel, dan segala hal yang menunjukkan kalau Adel adalah selebgram yang mulai ditinggalkan.
Vaya menggeleng kuat-kuat. Dia yakin sudah melakukan hal yang benar. Diremasnya tali ranselnya dan mulai melangkah pergi. Pagi ini, Vaya harus-berpura-pura-pergi sekolah karena dia tidak mungkin terus memakai alasan guru rapat besar-besaran. Jadi, dengan langkah cepat, ciuman tangan yang cepat pada Ibu, Vaya pamit pergi.
Gadis itu tidak akan sanggup memandang mata ibunya.
"Kamu bolos lagi?" tanya Ibu Penjaga TPA begitu Vaya sampai.
Vaya menoleh dan tersenyum. "Eh, Bu Nanik. Saya nggak bolos."
"Pakai seragam tapi nggak sekolah, artinya bolos, kan?"
"Iya, sih." Vaya meremas ujung sweaternya. Saya boleh di sini kan, Bu?"
Bu Nanik menghela napas. Sebetulnya, jika gadis di depannya ini adalah anak kandungnya, kemungkinan besar dia akan mendamprat Vaya. Baginya, membolos sekolah sementara orangtua banting tulang mencari biaya adalah perbuatan tercela. Tetapi, jika dia mengusir anak ini, mungkin, dia tidak akan bisa melihat Vaya lagi dan dia akan kehilangan kesempatan untuk mendiskusikan hal baik dan buruk bersama gadis itu. Karena sepertinya, Vaya punya masalah yang sulit dijelaskan. Lagipula, dia anak yang menyenangkan.
Sambil tersenyum, Bu Nanik mengangguk. "Boleh. Tapi ada satu permintaan."
"Permintaan?"
"Tolong kamu ajari anak-anak di sini, ya. Apa pun, belajar atau menggambar."
Vaya mengerang lega. "OK."
Mengandalkan kemampuannya berjoget dan menggambar, Vaya membuat anak-anak di TPA itu memekik senang hampir lima menit sekali lantaran Vaya tak berhenti menggambar hal-hal bagus. Jika bosan, Vaya akan mengajak anak-anak itu bernyanyi topi bundar meski kenyataannya, alat peraganya, tidak bundar sama sekali.
Vaya juga bertemu kembali dengan Rio kecil. Anak itu sudah lebih tinggi sekitar 0,000005 cm dan bertambah berat sebanyak 0,00005 gram. Beberapa kali, Vaya mencuri-curi kesempatan menggendong dan mencium pipi gembul Rio. Dan, dia benar-benar memaksa. Soalnya, Rio persis Mr. Bean yang akan mengusap bekas cium semua orang dengan tangannya.
Seharian bersama anak-anak itu, satu-persatu para orangtua menjemput mereka. Hanya tersisa beberapa anak yang harus menunggu sampai sore, bahkan malam. Vaya tersenyum hambar melihat pemandangan itu. Ingatannya berlabuh saat ibunya menitipkan dirinya di tempat ini. Saat itu ayahnya harus menjual bakso keliling, sementara ibunya masih menjadi tukang cuci di perumahan-perumahan kota Jakarta.
"Kembalilah ke sini dalam keadaan nggak bolos," pesan Bu Nanik pada Vaya.
Hari sudah sore. Vaya izin pulang. Dia hanya mengangguk takzim saat mendengar pesan Bu Nanik.
Dalam temaram cahaya sore, Vaya menelusuri jalan sampai tiba di jalan yang tidak asing. Vaya melihat kanan-kiri. Dia ingat pernah melewati jalanan ini. dia juga ingat pernah melihat deretan rumah mewah di depannya. Ya. sejak tadi dia belum sadar karena saat terkahir dia melewati jalan ini, hari sudah malam. Dan, Vaya tidak terlalu memperhatikan bangunan-bangunan sepanjang jalan. Vaya terlalu sibuk mengawasi yang lain.
Rio.
Mata Vaya membola. Sama seperti malam itu, saat ini pun dia menemukan Rio lagi di depan rumah mewah yang sama. Dia begitu diam, dan tenang, dan indah. Seperti sebelumnya, cowok itu terlihat menekuri rumah di depannya. Tidak ada tanda-tanda gerakan akan memencet bel atau menggedor pagar rumah iu. Hanya terus begitu.
Vaya penasaran bukan main. Entah rumah siapa yang Rio satroni itu. Entah rumah gadis mana yang berhasil membuat seorang anak pangeran itu berdiri seperti orang bodoh. Hampir setengah jam Vaya berdiri diam tak jauh dari posisi Rio. Menunggu apa yang akan terjadi. Tetapi, hasilnya nihil. Seseorang tidak ada yang datang, dan Rio terus berdiri.
Vaya berdecak. Dia merasa sudah bersikap bodoh.
"Dia itu jahat, Vaya," bisiknya sambil memutar badan. Namun, langkah Vaya terhenti seketika. Ponselnya sudah memekik-mekikkan lirik band indie kesukaannya. 'Don't talks no more, I don't wanna listen to those bullshit anymore!'
Vaya kalap. Cepat-cepat dia mematikan ponselnya. Sekilas, Vaya bisa melihat kalau Sasa-lah yang tengah mencoba menghubunginya. Tetapi, ini bukan waktu yang tepat untuk saling berbicara dari hati ke hati. Mengingat kalau saat ini, ketika Vaya menoleh, Rio sudah mendekatinya dengan tatapan tajam.
Vaya menelan ludah. "Ya-ya, ampun, ponsel gue bunyi pas gue jalan tanpa arah dan tujuan. Gue diskors sih, ya. Jadi nggak bisa sekolah," katanya sibuk sendiri.
"Kamu di sini?"
Vaya mencelos dan menoleh. "Gue kebetulan lewat."
"Oh."
Mendengar itu, Vaya memejamkan matanya. Mungkin, jika Vaya tidak menyatakan cintanya, jika saja tidak ada skandal video itu, jika saja Rio tidak membiarkan teman-teman kelasnya membaca surat itu. Detik ini juga Vaya akan memasang wajah super manis dan menyapa pujaan hatinya. Tetapi, hidup tak pernah lolos dari sebab dan akibat. Vaya tahu semua ini adalah akibat. Rio sudah keterlaluan. Dan, Vaya sudah tak tahan lagi.
"Kamu pergi ke acara Viral itu?" tanya Rio begitu Vaya hendak melangkah pergi.
"Bukan urusan lo."
"Saya juga diundang."
Vaya berhenti dan menoleh. Matanya memancarkan rasa ingin tahu.
"Tapi, saya nggak akan dateng. Kamu juga ... sebaiknya kamu nggak usah dateng."
"Hah?"
Oke. Vaya tertarik dengan apa yang Rio bahas.
"Kalo kamu ngasih kesempatan ke media untuk ngeliput kamu, kamu bakal kalah saat itu juga. Sekali kamu kasih kesempatan, mereka akan minta lagi. Acara TV lain bakal nggak mau kalah!"
Vaya mengernyit dan menggeleng. "Lo siapa larang-larang gue?"
"Saya paham kalo kamu viral dalam konotasi negatif. Terakhir kali kamu marah-marah tentang itu sama saya. Acara Viral itu bakal bikin kamu makin dipermalukan aja. Orang-orang yang belum tahu tentang kamu, bakal jadi tahu. Ada baiknya, kamu cukup membiarkan itu di sosmed aja. Selanjutnya biar waktu yang bikin semua orang lupa tentang kamu."
Vaya mendengkus. "Gue nggak peduli! Suka-suka gue mau dateng apa nggak! Kalo gue dateng, gue bakal bilang ke seluruh dunia kalo lo itu Raja tega, bukan orang, dan jahat, dan pengecut, berani-beraninya lo biarin temen-temen lo baca surat gue! Asal lo tahu! Gue nulis itu sambil nahan malu takut lo ketawa! Tapi-" Vaya berhenti dan menahan napas. Lalu melanjutkan, "Berani-beraninya lo sapa-sapa gue seolah-olah lo nggak punya salah apa-apa ke gue! Berani-beraninya lo larang-larang gue sementara lo baru aja bikin gue susah! Hampir tiga tahun sekolah lo nggak pernah ngehargain gue! Lo pikir gue bego apa? Gue tau lo dan temen-temen lo sering gibahin gue kan? Tapi gue diem aja! Kenapa? Karena GUE PIKIR LO NGGAK BAKAL IKUTAN!"
Hening. Angin malam berembus, memainkan rambut ikal Vaya.
"Saya minta maaf. Saya salah, " ucap Rio akhirnya. Dia menyodorkan tangan, membuat Vaya tersentak dan mengatupkan bibirnya. Tapi gadis itu langsung memelesat pergi sebelum Rio mengatakan apa pun lagi.
**
###
A. N.
7 Agustus 2019
Halooo. Selamat baca. Kasih vote dan komentarnya ya. Oya setelah baca baca ulang bab awal, aku nemu beberapa hal yang typo dan gak sinkron. Kayak nama Aji jadinya Tio. Ojak jadinya Cahyo.
Itu karena belum revisi. One day aku revisi deh. ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro