11. Bertemu Anak Artis di Tempat Sepi
Piring terakhir sudah selesai dicuci dan diletakkan. Ratih mengelap meja sambil memainkan ponselnya. Sesekali gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya prihatin. Terakhir kali mengunjungi kolom pencarian instagramnya, dia sedang mencari info lomba. Namun, itu bukan lagi prioritas ketika salah seorang sahabatnya meminta Ratih membaca kolom berita di internet. Rio-cowok dingin yang menolak cewek itu kembali viral. Bukan lagi tentang bagaimana dia mematahkan hati gadis, tetapi tentang hal yang lebih privasi.
Sejak Rio viral, Ratih seperti terlatih untuk menemukan berita-berita lain tentang Rio. Namun, akhir-akhir ini berita tentang hubungan antara Andina dan Rio semakin mendominasi ruang media. Membuat Ratih ingin meledak, tetapi di saat bersamaan, dia harus menjaga mood Rio. Anak itu benar-benar makin menakutkan belakangan ini. Ratih menghela napas. Gadis yang hari ini berkerudung putih itu berjalan ke ruang tengah. Dilihatnya Abimanyu sedang menikmati berita malam di salah satu stasiun TV swasta.
"Anak yang disembunyikan ... diam-diam sudah pernah menikah ..." Ratih menatap layar ponselnya. "Sumpah, mereka mikirnya gimana, sih?"
"Kenapa?" tanya Abimanyu, tanpa memalingkan wajahnya dari TV.
Ratih mengedikkan dagu ke arah ponselnya. "Ini loh, Pa. Berita kalo Rio anak artis makin ngawur aja. Masa ada yang bilang Rio anak hasil Andina dengan Chris Januardi. Itu loh, penyanyi jazz itu."
Abimanyu tersenyum dan menggeleng. "Papa sudah bilang kan, jangan dianggap serius berita-berita tanpa bukti itu."
"Gimana nggak serius, coba. Kebohongan yang terus menerus itu bakal dianggap kebenaran, Pa."
Abimanyu menyadarkan punggungnya ke kursi. "Rio ke mana?"
"Tadi bilang mau keluar bentar."
"Dia sering keluar ya akhir-akhir ini."
Ratih mengedikkan bahu. "Boys."
***
Berita anak artis itu sudah menyebar seperti virus trojan. Kata Aji (seperti biasanya) trojan berasal dari istilah Troya Hourse. Sebuah kebohongan tersembunyi di balik kemegahan. Sebuah popularitas yang diidam-idamkan banyak orang ada di konten-konten yang menjadi viral. Kini, kuda troya sudah masuk dan memporak-porandakan tuan rumah.
Vaya sedang mewarnai gambar doodle-nya di meja kasir warung bakso ketika dia kembali teringat dengan ucapan Aji tentang kuda troya. Kurang ajar sekali anak itu. Bukannya menghibur, Aji malah sibuk membagi teori dan sekarang hilang entah ke mana. Tetapi setidaknya Vaya lega. Lebih baik Aji tidak ada. Soalnya, Aji kadang sangat mengganggu.
Vaya mengedikkan bahu tak peduli. Dia kembali asik dengan doodle-doodle-nya. Tetapi tidak lama. Mendadak Vaya membentur-benturkan kepalanya ke meja panjang itu. Dia ingat lagi omongan-omongan para netizen. Terlebih ketika fakta Rio anak artis itu terungkap. Vaya geleng-geleng kepala. Dia tidak habis pikir kalau video pernyataan cintanya itu bisa membuka sebuah rahasia dan memengaruhi banyak pihak.
Ya. Sebuah rahasia. Sebut saja Rio yang ternyata anak dari seorang aktris papan atas, Andina Sastrowiyono, tetapi Rio tidak bergelut di dunia artis. Padahal wajahnya tampan bukan kepalang. Kemudian, keluarga Rio. Mungkin Andina Sastrowijoyo yang baru saja melahirkan Jeremy-bayinya, dan akan segera memulai kembali kariernya di dunia perfilman. Namun dia harus dikelilingi wartawan bukan karena prestasinya, melainkan kerancuan suatu hal. Bahwasanya, selama ini dia mengaku belum memiliki anak selain Jeremy. Buah hatinya bersama seorang produser kenamaan, Juanda Agung. Kemudian, kasus ini juga pasti berpengaruh pada Ros, Ibunya Vaya, yang punya usaha bakso. Kemungkinan karena anaknya viral, akan berpengaruh pada dagangannya dalam jangkauan 1 km.
"Dan, terakhir, siapa lagi yang dirugikan sama video ini ... YA GUE! Ya, GUE!"
Vaya mengacak-acak rambutnya. Kalau dia lakukan satu menit lagi, rambutnya yang ikal itu mungkin jadi gimbal.
"Kamu ngapain sih, Vay?" tegur Ros heran.
Vaya menggeleng kuat-kuat. "Bukan apa-apa, Bu," ucapnya gugup. "Lagi rame ya, Bu?" tanya Vaya sambil matanya menyapu kedai milik Ibunya.
"Ibu kehabisan kecap. Kamu bisa ke minimarket nggak?"
Vaya mengangguk sebagai jawaban. Selepas mengambil uang, gadis itu mengendarai sepeda motornya menuju minimarket terdekat. Vaya menarik napas kuat-kuat dan mengembuskannya. Vaya suka saat-saat seperti ini. Jakarta yang crowded, beaten down dan penuh topeng jauh lebih sejuk saat malam hari. Meskipun susah melihat bintang, Vaya tetap bisa menikmati langit malam Jakarta yang penuh dengan lampu warna-warni. Gadis berambut keriting itu tahu. Suatu hari nanti, dia akan pergi. Dia akan rindu dengan kota ini.
Minimarket terdekat dari warung baksonya terletak di ujung pengkolan. Vaya memelankan laju motornya begitu sampai di depan minimarket. Vaya segera masuk, memilih barang yang dibutuhkan. Sesekali dia menggumamkan sebuah lirik lagu kesukaannya. Tetapi, baru saja ia selesai membayar. Mata gadis itu membola. Dari kaca minimarket, dia bisa melihat sosok itu. Rio.
Dengan pakaian serba hitam, Rio berjalan di trotoar. Vaya berdecih. Malam-malam begini mau ke mana si Pangeran itu? dia bahkan tidak pakai jaket dan berjalan seolah-olah sedang berada di atas catwalk, dan orang lain hanya penonton yang cuma mimpi bisa menyentuhnya.
Vaya mengepalkan jemarinya. Dia masih marah dengan cowok sok ganteng itu. rasanya, dia ingin sekali mendamprat cowok menyebalkan itu di depan umum dan meminta tanggung jawab karena sudah mempermalukannya. Sambil mengendap-endap, Vaya mengikuti langkah Rio. Sesekali Vaya berhenti. Langkah Rio benar-benar panjang dan cepat. Tak sanggup Vaya mengikut terus-terusan.
"Ngapain juga ngikutin dia?!" Vaya mengomel sendiri. Tetapi sudah kepalang. Vaya berlari-lari kecil mengikuti Rio. Begitu terus sampai kedua remaja itu sampai di depan sebuah rumah mewah. Vaya menghela napas. Dilihatnya Rio mematung di depan gerbang rumah itu. Tak berapa lama, Rio memencet bel, lalu sembunyi. Seseorang-yang sepertinya asisten rumah tangga-membuka gerbang dan menegok ke kanan dan kiri. Tak ada siapa pun. Asisten itu kembali menutup gerbang.
Rio menatap gerbang itu kosong.
"Dih. Iseng juga nih, anak." Vaya berdesis. Dia memicingkan matanya. Tadinya dia curiga Rio terlibat hal kriminal di rumah itu. Mungkin pesta narkoba atau pesta seks. Ya, bisa saja. Tetapi sekarang Vaya tertawa licik. Mungkin, Rio punya cinta tak terbalas pada anak gadis di rumah mewah itu.
Merasa kurang jelas, Vaya memutuskan mendekat. Dia melompat-lompat seperti kelinci, dan kadang meraya-rayap di dinding pagar orang seperti cicak. Setelah yakin kalau jaraknya cukup aman dari pandangan Rio. Gadis itu berdoa.
"Atas nama kehormatan seorang gadis yang cintanya yang sudah 1245 hari telah dipatahkan dan masih membekas hingga sekarang. Saya mengutuk keras perbuatan lelaki yang ada di depan saya itu, karena bisa-bisanya dia menolak saya dan menuduh saya yang bukan-bukan serta memercayai perkataan Adelia yang cantiknya karbitan itu. Dan saya juga berdoa dengan kesungguhan hati semoga cinta dia juga juga ditolak. Hari ini atau juga nanti. Amin." Vaya menunduk takzim.
Lalu dia tersenyum sambil berkacak pinggang. Tetapi tiba-tiba dia melonjak ketika sebuah klakson mobil terdengar. Belum sempat sembunyi, lampu mobil yang berjalan ke arah rumah mewah itu menyorotnya. Vanya refleks mengangkat tangan, menutupi matanya. Dan di antara cahaya yang menyilaukan itu, dia melihat Rio berlari ke arahnya.
Cepat, lembab, dan hangat.
Vaya pernah membaca sebuah buku. Seorang pangeran kecil yang hidup sendirian di planetnya. Dia hanya punya setangkai bunga mawar yang sangat suka komplain pada segala hal. Jadi karena bosan, dia memutusakan mengembara ke planet-planet di angkasa. Vaya pikir, Rio seperti pangeran kecil itu. Begitu tampan tetapi kesepian. Selalu disanjung semua siswa, disayang guru, tetapi tetap saja dia menjadi sosok yang penyendiri.
Tidak, tidak. Rio tidak sedingin itu. dia tersenyum jika disapa. Melambaikan tangan jika ada yang memanggil dari jauh. Tertawa jika ada yang lucu. Tetapi tetap saja. Dia seperti pangeran yang bersemayam di tempat tak kasat mata. Begitu berjarak dan sendiri. Dia mengembara ke tempat-tempat sepi di sekolah hanya untuk menyendiri.
Meski sebetulnya, di tempat terakhir, cowok itu ketiban sial lantaran harus mendengar Vaya yang tengah menjerit-jerit betapa bencinya gadis itu pada dirinya.
Cowok bodoh. Sok ganteng. Bukan orang. Aku tidak suka-suka amat dengan Rio! Kembalikan cintaku yang bertepuk sebelah tangan yang sudah 1245 hari itu!!!
Rio mendengkus. Dia heran kenapa di alam semesta ini, ada orang yang sangat kasar dan tidak tahu malu seperti Vaya. Sama seperti saat ini. Dia bahkan tak habis pikir mengapa saat ini, detik ini, bisa-bisanya dia mencekal pergelangan tangan gadis itu. Mengajak Vaya ikut melarikan diri. Lari untuk apa? Toh lari atau tidak lari, wanita di dalam mobil itu tidak akan peduli padanya.
Jadi, kenapa?
"Lepasin! Lepasin! Lepasin!!!" tiba-tiba Vaya memekik. Gadis itu berontak begitu mereka sampai di tempat yang cukup jauh.
Tanpa bicara, Rio menurut. Cowok itu melepas genggaman tangannya dengan kaget. Sementara Vaya mengelus-elus pergelangan tangannya yang sakit dan sedikit ... lembab?
"Lo nguntit ya?" todong Vaya kesal.
Rio menggeleng.
"Ngaku aja, udah!"
"Bukannya kamu? Ngapain ngikutin saya?"
Tergagap. Vaya menendang-nendang kerikil yang ada di tanah. Dalam batinnya, dia memarahi dirinya sendiri.
"Gue nggak pernah ngerekam kejadian itu!" bentak Vaya lagi, mengalihkan topik pembicaraan. Gadis itu maju mendekati Rio. "Dan, gue nggak pernah sengaja nyari popularitas! Gue dijebak! Dan gue yakin, seyakin-yakinnya, lo atau mungkin temen-temen lo yang jebak gue!"
Rio menatap Vaya datar.
"Lagian, meskipun lo juga ikutan viral, tetep aja lo viralnya yang bagian bagus-bagusnya. Yang cakep lah, yang cool lah, yang pinter lah. Gue? Gue dapet yang jeleknya. Kenapa mereka sampe ngorek informasi pribadi gue? Kenapa mereka harus tahu nilai rapor gue? Kenapa mereka harus main body shaming ke gue? Kenapa mereka pake bahas kalo gue cuma anak tukang bakso yang ngabisin waktunya untuk cinta-cintaan dan nggak peduli kalau ibunya cari uang untuk dia? Kenapa coba?"
Rio membuka mulutnya. Menutup lalu membuka. Sementara Vaya sudah ngos-ngosan saking kuatnya menahan amarah. Gadis itu sudah siap memuntahkan kata-kata lagi ke cowok menyebalkan di depannya itu. Habis sudah perasaan berdebar-debar yang dulu pernah dia rasakan dulu. Sekarang, Vaya benci Rio.
"Lagian, seharusnya nasib gue sama kayak orang-orang lain." Vaya mulai lagi. "Mereka viral tapi abis itu dilupakan. Paling-paling cuma dua mingguan tampang gue nyampah di sosmed. Seharusnya, kayak gitu. seharusnya ini nggak akan lama. Tapi ternyata lo anak artis! KENAPA JUGA LO ANAK ARTIS?! KENAPA JUGA LO ANAK ANDINA?"
Hening. Rio menatap Vaya tak percaya. "Iya, ya? Kenapa juga gue anak Andina?"
"Pake nanya lagi lo? Gara-gara itu ... gue makin viral! Mereka seenaknya nuduh gue sengaja rekam biar dompleng lo! Soalnya lo anak-" Vaya menghentikan mulut besarnya. Gadis itu menutup mulutnya karena sadar satu hal. Dia sudah keterlaluan.
Di depannya, Rio sudah menatap Vaya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Vaya tahu suasana ini. Dingin dan beku. Sama seperti saat Vaya terkurung di dalam lemari saat kecil. Namun, bedanya. Kali ini Vaya-lah penyebab kebekuan ini.
"Ternyata, kamu emang mulut besar, ya."
Vaya terkesiap. Hanya kalimat itu yang Rio ucapkan dari sekian banyaknya cecaran yang keluar dari mulut Vaya. Sekilas, Rio menatap Vaya, sebelum akhirnya dia berlari pergi. meninggalkan Vaya yang tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Ekspresi macam apa itu?" gumam Vaya sembari mengusap-usap pergelangan tangannya yang masih terasa sakit dan sedikit basah.
Lama berpikir, barulah Vaya sadar. Sejak awal bertemu tadi, mata Rio sudah sembab seperti habis menangis. Vaya membekap mulutnya tak percaya. Bagaimana dia bisa tidak sadar? Bagaimana dia bisa kasar pada orang yang sedang sedih? Vaya menepuk jidatnya.
Dan, hal ini pun menjadi jawaban dari misteri mengapa Vaya bisa masuk kelas buangan.
***
Ayo rekam Adel!
Sebuah pesan dari Sasa. Cewek itu berhasil menguping pembicaraan Liska-sahabat Adel-di kantin.
"Menurut Liska, sepertinya Adel, yang sepertinya sudah punya hubungan yang jelek dengan klub tari anak kelas satu, akan melakukan suatu hal. Karena dia sepertinya, membenci salah satu anggota klub tari itu, dan sepertinya, dia dan salah satu anggota klub tari itu terlibat perselisihan soal pemilihan peserta penari untuk acara festival bulan depan. Dan sepertinya, mereka sudah berselisih sejak MOS tahun lalu."
"Bisa pake kalimat yang lebih efektif nggak?" Vaya mengerutkan dahi. Ini sudah malam. Vaya baru saja selesai mengelap semua meja dan bersiap untuk sikat gigi ketika ponselnya berdering. Sasa memutuskan untuk menelepon.
"Jadi, intinya ..." terdengar sebuah suara khas milik Sasa nun jauh di sana.
"Apaan?"
"Adel kayaknya bakal mendamprat adik kelas, deh."
"Owh! Syubidabiduuu! Kapan?"
"Liska nggak nyebut kapan sih. Tapi, kayaknya segera. Soalnya Adel udah habis kesabaran banget. Mungkin besok!"
Vaya menepuk tangannya sekali. Dia dan Sasa mengobrol sebentar soal apa saja yang harus mereka lakukan. Dan, obrolan itu berujung tentang PR yang harus dikerjakan. Setelah bosan, mereka sepakat menutup telepon. Vaya masuk kamar, dan menuju meja belajar. Dia menulis segala hal yang harus dia lakukan di buku jurnalnya. Tiba-tiba, ponselnya berdering lagi.
Mia Wulandari : Kata Sasa, kalian mau rekam Adel kelahi ya?
Krasivaya : Iya. Ngikut nggaaak?
Mia Wulandari : Kayaknya nggak deh Vay... kalian juga pikir-pikir dulu lah. Adel nanti ngamuk
Vaya tersenyum. Segera dia membalas.
Krasivaya : Lo tenang aja. Serahkan semuanya ke semesta dan gue wkwkwk
Mia Wulandari : :)
Vaya meletakkan ponselnya dan kembali membaca buku jurnalnya. Dia tersenyum sendiri membayangkan apa yang akan terjadi. Gadis itu meregangkan otot-otot punggungnya. Tiba-tiba, ekor mata Vaya menangkap sebuah buku ukuran A5. Gadis itu tercenung. Itu adalah barang Rio nomor tiga yang dibuang pemiliknya.
Vaya meraba buku itu. merasakan pori-porinya menyentuh sebuah buku lusuh yang di dalamnya ada beberapa tulisan tidak penting tentang film. Vaya rasa Rio punya cita-cita jadi kritikus film mengingat ada banyak komentarnya tentang film di buku itu. Sedikit komentar, banyak kutipan.
Tak lama membaca kembali tulisan di buku itu, Vaya ingat Aji pernah menantang dirinya untuk membakar barang-barang Rio. Dan, Vaya tahu. Dia belum bisa melakukan hal itu.
"Hari ini pun sama." Vaya menghela napas. Seperti biasa, dia selalu gagal melupakan cowok itu.
***
An.
Halo halo. Taqobalallahu Minna Wa Minkum. Minal aidin wal faidzin ya. kudatang bawa updatean. Siapa yg nunggu siapa yg tak menunggu silakan baca aja dah. Komentar dan vote sangat menjaga jiwaku tetap semangat dan bahagia. ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro