Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ES. 9 Ragu

Panji terkejut ketika melihat Pitter, Nakula dan Ardan yang baru saja keluar dari lift. Matanya melirik Ardan yang berada dibalik punggung Pitter. Anak itu tampak ketakutan, tidak biasanya Ardan seperti sedang melihat orang asing.

Panji tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, ketika melihat sudut bibir Ardan yang lebam, cowok itu langsung menarik adiknya begitu saja. Ardan memalingkan wajahnya setiap kali Panji melihatnya.

Ada geram tersembunyi yang panjo coba tahan sejak pagi tadi. Ada amarah yang coba ia redam sejak di kampus, ketika Sabit memberitahu Panji akan keberadaan anak itu.

Sebenarnya Panji ingin segera pergi, tapi ia masih harus menyelesaikan beberapa mata kuliah yang membuatnya gelisah.  Panji tidak pernah merasa sekesal sekarang dengan Ardan, bahkan ketika anak itu menangis di hadapannya Panji biasa saja. Tapi saat ini situasinya tidak sama, situasinya anak itu datang dengan percaya diri untuk bertemu dengan Aries yang jelas-jelas membenci keberadaannya.

"Pake otak lo Gis! Gue ngga pernah ajarin lo bohong begini, Mami juga ngga pernah ngajarin lo buat jadi orang lemah dimata mereka, termasuk Papa!"

Keras suara Panji membuat Nakula dan Pitter tersentak. Ketika mereka berhasil pergi dari apartement Aries. Panji membawa ketiga remaja itu ke sebuah rumah petak yang tak jauh dari tempat tinggal Aries.

Ardan tidak mengerti, semuanya seperti dibawa begitu saja. Seperti sebuah bisikan halus yang meminta dirinya untuk segera menemui Aries. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika pintu di hadapannya terbuka lebar dengan pria bertubuh kekar berdiri di sana.

Matanya membelalak, saat tangan besar itu menariknya paksa tanpa permisi. Ardan meringis ketika tubuhnya dijatuhkan begitu saja di atas lamtai yang dingin.

Samar suara itu bahkan tak bisa Ardan dengar... yang Ardan tahu pria itu ingin dirinya pergi sejauh mungkin. Ardan memang tidak mendengarnya, tapi Ardan masih bisa menangkap semuanya dengan jelas bagaimana bibir itu bercakap sesuka hati.

Ingatannya kembali pada bayangan masa lalu yang menampar dirinya sampai pria itu menoreh kebencian pada Ardan.

"Saya ngga pernah menginginkan kamu lahir ke dunia, kamu adalah kesalahan, enyakit dan pembawa bencana dalam hidup saya."

"Ngga!" teriak Ardan tiba-tiba. "Lo kenapa, Gis?" tanya Nakula.

Ardan menatap kedua sahabatnya bergantian, wajahnya berubah sendu. Matanya berkaca-kaca. Anak itu hampir saja membuat ketibutan di tengah terik yang menyengat.

"Nyari Kak Panji?" tanya Nakula lagi, kali ini Nakula berbicara begitu sabar membiarkan Ardan menangkap apa yang dia ucapkan. Ardan menggeleng, membiarkan angin alam berembus menerpa wajahnya.

"Kita kenapa di sini?" tanya Ardan. Kali ini Pitter berinisiatif menulis jawabannya diatas kertas yang sudah ia siapkan. Lagipula, Pitter sadar, dirinya tidak akan sabar jika Ardan sedang dalam keadaan tidak stabil.

"Tadi lo debat sama Bang Panji, ngga lama lo pingsan jadi kita bawa lo ke sini."

"Terus Bang Panji ke mana?" tanya Ardan lagi. Pitter kembali menuliskan jawabannya, begitu telaten.

"Lagi cari sesuatu katanya. Udah lo istitahat dulu, lo bisa kasih tahu kita kapanpun."

Ardan mengangguk. Ia tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya ia lakukan saat bersama Aries.  Tapi penglihatannya jelas-jelas menangkap bagaimana pria itu bersuara meminta dirinya untuk pergi.

🍭🍭

Lama menunggu Panji kemabali, Ardan memilih duduk di teras rumah petak itu, menatap angkasa luas yang membentang tinggi di atas sana. Ardan tak pernah membayangkan jika takdir membawanya pada detik yang berputar-putar seperti permainan kora-kora.

Semesta pun demikian. Semesta telah memberi jalan masuk untuk menuntaskan misi, tapi belum bisa mencari jalan keluar untuk misi yang sedang dijalaninya. Kini, Ardan hanya bisa memilih satu dari dua pilihan yang selalu ia takutkan selama ini.

Meninggalkan Panji dan Alsha atau hidup tersiksa dengan perasaan kecewa setiap detik.

Ardan selalu yakin dengan apa yang sudah ia percayai selama ini. Dirinua hanya perlu bertahan sampai tiba waktunya, tapi Ardan tidak bisa menjanjikan kalau dirinya sudah terlalu lelah umtuk melanjutkan tugasnya, bahkan belum satu pun ia kerjakan.

Ardan pernah bermimpi untuk menjadi hujan saja. Walau jatuh berkali-kali, tapi hujan tidak mengeluh dan akan tetap datang. Namun, Panji selalu membantah, hujan akan membawa luka dan tangis juga kecewa. Bahkan hujan hanya bisa menghapus jejak tapi bukan menghapus luka.

Semuanya terbukti sekarang. Saat ini kehadiran Panji hanya sebagai pengisi  bukan penghibur dikala sedih. Panji membiarkan angin berembus begitu saja. Sedangkan Ardan menikmati setiap embus angis yang sebenarnya ia sendiri tidak mengerti, apa yang akan dilakukannya jika suatu hari dirinya tak ada.

"Gue mau pulang." ucapnya pelan. "Gue mau ketemu Mami." katanya. Namun belum ada sahutan apapun dari Panji. Padahal mereka duduk tidak begitu jauh.

Panji hanya melirik dari  samping, melihat Ardan yang tersenyum meski anak itu sedang terluka. Panji tak tega akhirnya ia memilih untuk mendekat lalu merangkul tubuh adiknya sampai si pemilik tersentak dan menoleh cepat.

"Kita pulang kalau lo beneran udah baikan." ucap Panji. Ardan tersenyum walau hatinya saat ini sedang tidak karuan rasanya.

"Tapi, eebelum pulang, kita ketemu dokter Thoriq dulu.  Supaya lo bisa dengar gue ngomel setelah ini." katanya, Ardan terkekeh setiap kali melihat ekspresi wajah Panji yang kesal karena dirinya. Sejak kecil Ardan tidak hanya menganggap Panji sebagai seorang kakak, bahkan lebih dari itu. Ardan hanya bisa melihat sosok ayah dari Panji, dari sikap Panji yang telaten menjaganya, mengajarinya belajar, sampai bermain sepeda pun Panji yang mengajarinya.

Padahal saat itu usia mereka bisa dibilang masih sama-sama muda. Masih sama-sama butuh sosok ayah tapi semenjak Ardan mulai tumbuh, Aries semakin menjauhinya, pria itu enggan untuk menetap walau sebentar.

"Kita itu beneran saudara kandung, ya?"

🍭🍭

Panji sadar ketika Ardan bertanya dan akhirnya ia memilih untuk segera pergi, pertanyaan Ardan mulai membuatnya tak nyaman untuk sesaat.

Panji juga tidak tuli ketika diperjalanan menuju rumah sakit, Ardan terus mengulang pertanyaan yang sama. Sampai membuat Panji hampir meluapkan emosinya begitu saja.

Bersyukurnya Nakula dan Pitter mengingatkan dirinya, jika sekali saja ia terpancing maka bukan hanya Ardan yang akan terluka. Dirinya, Pitter dan juga Nakula akan terluka atas kecerobohannya dalam berkendara.

"Gimana Dok? Udah bisa dipasang sekarang, kan?" tanya Panji kketika mereka telah sampai di rumah sakit, dan langsung menemui Dokter Thoriq yang kebetulan sudah membuat janji dengannya.

"Bisa. Tapi kali ini harus lebih hati-hati, ini hanya sebuah alat untuk mempermudah pendengaran adik kamu. Jadi jika ada kerusakan jangan sampai dibiarkan harus rajin kontrol agar saya juga tahu perkembangannya." ucap Dokter Thoriq. Panji mengangguk, sesekali ia melihat Ardan yang duduk sambil memainkan jemarinya. Rasanya aneh setiap kali melihat Ardan sama seperti melihat orang lain yang ada dalam diri Ardan.

Sebenarnya Panji tidak yakin dengan semua artikel yang sempat ia kunjungi di beberapa situs web di internet. Hanya saja, kali ini ia benar-benar melihat sosok yang berbeda dari Ardan secara langsung. 

"Selesai. Ingat Ardan, lain kali harus hati-hati." kata Dokter Thoriq setelah usai memasangkan alat bantu yang baru pada Ardan. Sementara anak itu mengangguk saja. Siapa peduli lagi pula setelah ini ia akan mendapat hadiah buble gum dari Panji.

"Dok, apa saya boleh tanya sesuatu?" tanya Panji tiba-tiba. Dokter Thoriq menegerutkan keningnya, seolah heran  ketika mendapati raut wajah Panji yang cukup serius dari sebelumnya.

"Tentu, ada apa Panji?"

Rasanya Ragu, bahkan Panji benar-benar tidak ingin membahasnya tapi pikirannya selalu menjanggal  setiap kali melihat Ardan.

"Panji?" panggil Dokter Thoriq lagj. Panji tersentak, ia menggeleng setelahnya. "Nanti saja Dok, maaf sudah mengganggu, kalau begitu kami permisi dulu. Dan terima kasih sebelumnya. "

Thoriq yang melihat perubahan sikap Panji hanya bisa tersenyum, lalu mengangguk ketika Ardan mendekati kakaknya dan meminta untuk segera pergi dari sana.

"Jangan sungkan untuk bertanya pada saya, jika saya bisa pasti akan saya bantu. Hati-hati dijalan." kata Thoriq lagi. Panji mengangguk lalu pamit dan meninggalkan ruangan Thoriq disusul oleh Ardan dibelakangnya.

"Gimana Kak? " tanya Nakula, ketika mereka sudah berada di luar. Panji hanya mengangguk, sekali lagi. Seperti yang dirasakannya, ada hal yang tak bisa ia katakan pada semua orang jika sifat adiknya telah berubah dalam wakru yang bersamaan.

"Bang, lo kenapa sih? Dari tadi diem aja, ditanya ngangguk doang, lo sariwawan?" tanya Ardan. Sejak tadi di dalam ruangan Ardan hanya memperhatikan Panji yang gelisah, enfah karena apa. Bahkan saat ini saja, wajah itu masih sama, tak ada yang spesial tapi  raut wajah Panji memberikan sebuah sinyal ada keraguan yang coba ditepisnya berkali-kali.

"Panas dalem Ar, panas dalem! Astaga kosa kata dari mana lagi coba."

"Gue mau nagih janji. Setelah ini katanya mau beliin buble gum. Yuk! Come on otw alfajuni."

Pitter dan Nakula hanya bisa menggeleng, jika sudah begini tidak ada satu pun yang bisa membantah. Pitter berjalan lebih dulu bersama Ardan, sementara Nakula masih diam membisu sampai Panji mau bersuara untuk mengatakan apa yang dipikirkan oleh cowok itu.

"Gue rasa Ardan ngga beneran bahagia."

Salam manis NJ 🍭🍭

Mana nih suara pendukung Ardan dan Bang Panji?

Atau Papa Aries?

Udah ah segitu aja terima kasih 😊😊

Publish 10 Oktober 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro