Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ES. 8 Salam Pembuka

Sebenarnya hari ini Ardan malas pergi ke sekolah. Usahanya semalam tidak membuahkan hasil apapun. Sejak subuh tadi, Ardan sudah bangun dan membuat keributan sampai membangunkan Alsha dan Panji.

Memang tidak ada yang salah, anak itu hanya melampiaskan kesalnya setelah kemarin memikirkan hal yang tidak berguna dari Aries. Namun, sekali lagi. Seberusaha apapun dia diam di tempat Aries akan tetap menghalangi di depannya tanpa peduli.

Bahkan sejak semalam Ardan tidak benar-benar tidur, dia hanya memejam, bising di pikirannya selalu mengganggu ketenangan hatinya.

Dan di sini lah dia, duduk berhadapan dengan Panji  dengan Alsha yang masih sibuk di dapur. Anak itu benar-benar bungkam  hanya menikmati sarapannya tak peduli ada atau tidaknya Panji di sana.

Panji tidak masalah kalau adiknya ingin pergi sekolah hari ini, tapi Panji hanya masih bingung dengan jawabannya yang kemarin, anak itu bahkan dengan yakin kalau dirinya tidak ingin ke sekolah sebelum alat bantu dengar yang barunya datang. Lalu... sekarang Panji melihat Ardan yang siap dengan seragam sekolahnya?

"Aku udah selesai, aku berangkat dulu, Mi." katanya tiba-tiba. Anak itu bangkit dan mendorong kurso meja makannya sedikit ke belakang.

Alsha menoleh, ketika putra bungsunya sudsh berdiri di sana,  hendak mendekat ke arahnya. Dengan cepat Alsha menghampiri lalu menahan pergerakan Ardan yang akan melangkah.

"Sarapan kamu brelum habis, kamu mau berangkat sendirian dengan keadaan kayak gini? Gis dengar, Sayang, Mami udah kabarin ke sekolah kalau hari ini kamu ngga masuk dulu, Panji bilang kalian harus ketemu Dokter Thoriq dulu, 'kan?"

Ardan tidak akan mendengarkan apapun, pendengarannya sudah mati begitu juga dengan dengan rasa sayang yang besar pada dirinya sendiri. Dia hanya tak ingin menyakiti siapapun, tapi percayalah ucapan Aries saat ini selalu menjadi pengganggu di pikirannya.

"Gis?" sentuh Alsha, anak itu menatap wanita di depannya dengan senyum yang lebar.

"Kamu paham maksud Mami?"

"Aku memang tidak bisa mendengar apapun, tapi Mami selalu mengajarkanku untuk tidak benar-benar tuli." katanya.  Alsha diam, Alsha tidak tahu mengapa hari ini Ardan.begitu asing baginya. Anak itu melangkah mundur menjauh dari Alsha.

Alsha hanya bingung... sungguh. Dirinya tidak mengerti mengapa Ardan justru tidak ingin di sentuh olehnya.

"Jangn pergi tanpa pamit sama Mami, gue ngga pernah ngajarin lo buat kurang ajar sama orang tua."

Dingin suara Panji membuat Ardan terdiam, karena sebelah tangannya di genggam begitu kuat. Ardan hanya bisa melihar dari bagaimana Panji bicara, keduanya saling pandang. Membiarkan riuh di hati keduanya menyeruak bersamaan dengan jerit yang sejak semalam ingin Ardan keluarkan.

"Maafin gue Bang, tapi takdir udah memberi jalan kalau kita gak bisa sama-sama. Gue ngga mau lo sama Mami terluka." batin Ardan. Anak itu menepis semua gelisah yang selaman  ia jaga. Bahkan setengah mati ia menagan perasaannya agar tidak terlihat oleh siapapun.

Ardan hanya tak ingin satu langkahnya menjadi beban yang akan sulit untuk diselesaikan, maka ini adalah salam pembuka untuk dunia yang baru bersama semesta.

Ardan hanya perlu menjadi anak remaja biasa, kan? Maka hari ini ia akan memulainya. Tangannya yang semula di genggam oleh Panji pun ia lepas  begitu saja, tatapnya tak terbaca, kakinya melangkah meninggalkan Panji dan Alsha yang masih diam di tempatnya. 

Ardan hanya perlu sedikit usapan lembut, bukan? Lalu mengapa rasanya begitu sulit untuk menangkap apa yang ingin anak itu katakan?

🍭🍭

Panji sempat mengikuti Ardan ke sekolah, tapi sayangnya anak itu tifak ada di sana. Guru kelasnya bilang Ardan izin tidak masuk dan itu informasi yang diberikan oleh Alsha ketika sarapan pagi.

Ardan tidak sedang mempermainkan Panji, kan? Sejak tadi Panji berulang kali mengirim pesan pada Ardan, tapi tidak satu pun pesannya dibaca oleh anak itu.

Rasa cemas Panji mulai menjalar, dia hanya perlu menunggu balasan yang lain  dari teman-teman Ardan. Padahl Panji sedang ada kelas dan jadwalnya untuk presentasi. Namun, pikirannya masih belum tenang jika adiknya belum memberi kabar.

"Lo di mana sih, Gis? Tadi lo bilang mau sekolah, giliran gini malah ngga ada, lo di mana Gis?" gumam Panji.

Cowok itu sudah berada di kantin sekolah adiknya sejak beberapa jam lalu, ketika ia meminta izin untuk menyusul Ardan.

"Kak?"

"Na, kalian ke sini udah izin sama guru?",

"Udah Kak, tapi ngga bisa lama. Sebentar lagi ada jam olahraga sebelum istirahat. Aku bisa izin pulang duluan kalau mau?"

Sejenak Panji terdiam, ia tidak mengerti bagaimana bisa seorang Nakula dan Pitter, merelakan waktu belajar mereka hanya untuk membantunya mencari Ardan setiap kali anak itu menghilang.

"Gue ngga mau merugikan orang lain karena terpaksa, kalau lo ngga keberatan dan lo mau bantu, gue ngga masalah, asal izin kalian benar-benar di perbolehkan." katanya, Pitter dan Nakula mengangguk. Nakula dan Pitter sadar, Panji sebenarnya tidak suka kalau mereka mengatasnamakan izin hanya karena Ardan. Karena Ardan sering bolos di beberapa mata pelajaran, mau tidak mau kedua temannya mencari alasan agar anak itu tidak selalu dapat sanksi atau tanda merah di absennya. Tapi, siapa sangka... Ardan itu keras kepala, apapun yang dia katakan terkadang membuat orang harus menahan sabar.

Ardan memang tidak tergolong siswa yang suka buat ulah atau berkelahi jika tidak didahului. Terlebih Ardan juga tidak begitu suka ramai, dia hanya suka suara bising ketika hujan turun. Walau tidak terdengar olehnya, tetap hujan sepalu bisa menjadi alasannya untuk tetap bertahan sampai detik ini.

"Sorry, kalau gue udah ganggu kalian belajar, tapi gue khawatir Ardan susah dihubungi. Nanti kalau kalian tahu, tolong secepatnya kabarin gue ya, sekarang gue harus ke kampus ada jam kuliah. Thanks Na, thanks Ter." ucapnya, lalu bangkit dan pergi usai mengatakan rasa khawatirnya pada kedua sahabat adiknya.

Nakula dan Pitter mengangguk,  saling menatap sebelum mereka kembali ke kelasnya masing-masing.

Selama ini, yang Nakula dan Pitter tahu tentang Ardan. Anak itu tidak akan pernah pergi jauh dari gedung sekolah jika anak itu sedang tidak baik. Terakhir kali Ardan berada di sebuah taman yang jaraknya tak jauh dari sekolah mereka. Ardan akan merebahkan tubuhnya di atas rumput hijauh yang halus sambil menatap langit biru yang membentang luas di angkasa.

Baginya biru hanya warna yang sementara lalu berganti menjadi kelabu dengan mega mendung yang pekat. Kenudian rintik hujan akan turun mengguyur bumi.

Biru bagi Ardan adalah sesuatu yang tidak selamanya akan tetap, begitu juga dengan kelabu. Namun, hujan bisa kapan saja turun meski langitnya sedang cerah.

Ardan iri ketika ia melihat semua orang tertawa begitu renyah tanpa khawatir dijauhkan, tanpa bersusah payah untuk  menjadikannya sebagai beban. Tapi... dirinya hanya bisa melihat dan merasakan bukan mendengar betapa menyenangkannya tawa orang-orang sekitar.

"Nanti di jam istirahat kita izin,  gue takut si Ardan macem-macem lagi. Kata Kakak gue waktu dia ngobrol sama Ardan, dia bilang dia ngga mau balik ke rumah karena masih ada Papanya, sekarang gue yakin Ardan ada di apartemen Papanya."  ucap Nakula. Pitter mengerutkan keningnya,  ketika Nakula begitu yakin dengan dugaannya.

"Lo tahu dari mana? Ardan ngga akan ambil langkah bodoh buat jadi bonekanya Om Daries, La." 

Nakula menggeleng, ia meremat bahu Pitter untuk percaya padanya. Nakula tidak tahu apakah firasatnya benar atau malah sebaliknya. Tapi dia benar-benar yakin, Ardan akan melakukan apa yang sebaliknya dia katakan.

"Ngga Pitter, gue yakin banget Ardan pasti ke sana. Apa lo ingat waktu kita bolos di jam pelajaran kedua waktu itu?

Mendengar Nakula berbicara tentang jam pelajaran kedua, hari ini adalah pelajaran Pak Baron. Dan dia harus segera kembali sebelum guru bidang itu mengamuk dan menghukumnya.

"La, gue rasa kita udahan ngobrolnya, brntar lagi Pak Murka masuk kelas gue, gue duluan ya. Bye!" sahutnya. Nakula menggeleng, dia tahu siapa Pak Baron, pria dengan sejuta aturan yang menjadi patokannya ketika mengajar.

🍭🍭

"Lo yakin La, Ardan di sini?" tanya Pitter. Ketika mereka berhasil mendapat izin dari guru kelas mereka dan juga guru piket yang berjaga.

Mereka memang belum memberitahu Panji. Tadi sebelum mereka pergi, Nakula sempat menghubungi Sabit dan menanyakan apakah mereka masih ada jadwal atau tidak. Nakula hanya mengatakan kalau dia dan Pitter akan membantu Panji mencari Ardan.

Dan di sinilah mereka, berdiri di lobi apartemen sambil menunggu resepsionis yang sedang mencari nomor kamar apartemen milik Daries.

"Gimana Mbak, ada ngga?"

"Nomor 115 dilantai 5. Silakan."

Nakula mengangguk, sementara Pitter sudah lebih dulu berdiri di depan lift dengan santainya sambil memainkan ujung sepatunya.

"Woi! Gue kira lo kabur juga." tegur Nakula. Pitter mendongak ketika mendapati Nakula sudah berdiri disebelahnya.

"La, lo percaya sama takdir?" tanyanya tiba-tiba. Nakula meloneh sebentar sebelum mereka masuk kedalam lift. Nakula hanya tertawa, lalu menepuk bahu Pitter untuk menyadarkan sahabatnya.

"Percaya atau engga, tergantung sama manusianya.  Selama ngga menyimpang gue percaya takdir ngga mungkin bohong.  Tumben lo nanya kayak orang bener." kata Nakula, Pitter menggeleng.  "Bukan itu yang gue maksud,  gue cuma mikir selama ini Ardan selalu bilang ke gue, kenapa takdir sama semesta itu suka banget main-main sama manusia." katanya,  percakapan mereka berakhir ketika pintu lift terbuka. Dan ketika mereka akan melangkah, seseorang sudah berdiri di depannya dengan menunduk.

Pitter memperhatikan sosok itu  dari bawah sampai ke kepala. Matanya membelalak ketika melihat siapa yang berdiri di sana.

"Gis?" seru Pitter.  Tangannya ditarik oleh Nakula untuk segera keluar jika tidak Pitter akan kembali dilantai dasar.

"Sorry." gumamnya pelan.

"Gis, lo baik-baik aja?" tanyanya. Ketika ia menyentuh bahu Ardan. Ada beberapa bekas luka yang tertangkap oleh netra Pitter saat ia menatap wajah Ardan sambil sedikit membungkuk.

Pitter bisa melihat jelas air mata Ardan yang terus berjatuhan di sana, tak mau berlama-lama Pitter segera menarik Ardan masuk dalam peluknya. Membiarkan anak itu melampiaskan kesedihannya di dalam sana.

"Nangis aja Gis, nangis. Gue tahu lo butuh bahu sekarang. Gue sama Nakula akan selalu ada buat lo, tapi tolong jangan jadi orang lain, buat dapat simpati Papa lo dengan cara bodoh kayak gini. Abang lo akan marah nanti."

Pitter bisa merasa getar kuat dalam peluknya, Ardan benar-benar terluka saat ini. Bahkan ketika anak itu sudah berhadapan langsung dengan Aries, dia hanya mematung di sana, menerima semuanya tanpa melawan. Membiarkan tangan besar itu menyrntuh kulitnya begitu kasar.

"Gue rasa kita harus pergi sekarang, sebelum Om Daries murka lagi." ucap Nakula, Pitter mengangguk lalu membawa pergi Ardan bersamanya dan Nakula.

Di sisi lain, Nakula tengah berkutat dengan pikirannya. Apa yang Ardan lakukan di sana, sampai mendapat jejak di sudut bibirnya. Tak jauh berbeda dengan Nakula, Pitter pun berpikir hal yang sama, apakah harus menjadi orang lain agar bisa mendapat apa yang diinginkan?

Semuanya sudah Ardan lakukan, bahkan ini awal dari perjalanannya.






Semesta tidak akan pernah berdusa pada manusi, tapi manusia selalu menyalahkannya atas kesalahan manusia itu sendiri.
Ardana Panji









Salam manis NJ 😊🍭🍭

Publish 8 Oktorber 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro