ES. 7 Ancaman.
Setelah pulamg dari rumah sakit dan memeriksakan Ardan di sana, kali ini Panji membawa adiknya ke sebuah tempat yang selalu ia dan Ardan kunjungi ketika bosan di rumah.
Beruntungnya Ardan kali ini, dia benar-benar ditemani oleh Panji seharian karena Kakaknya sedang tidak ada kelas. Bahkan ketika Panji menemukan Ardan berada di ruangan bayi, anak itu sempat mengatakan kegiatan kampusnya.
Kali ini Panji tidak akan lagi membuang waktunya untuk makan malam bersama, berhubung ini sudah pukul 7 malam, Panji berniat akan memesan makanan kesukaan Ardan di salah satu kedai yang tak jauh dari tempat mereka berada.
"Kita makan malam di sini, lo duduk dulu biar gue pesan makanan, jangan pergi ke mana-mana, ngerti?" ucap Panji, anak itu mengangguk, lalu duduk dengan nyaman di tempatnya.
Panji sengaja memilih tempat di sudut kedai tersebut, karena dekat dengan jalanan dengan hiasan lampu taman yang begitu indah yang dapat di lihatnya dari balik jendela bening.
"Huh! Saya muak berada di tempat ini, rupanya ada kamu. Saya pikir setelah saya pergi kamu akan pergi juga dari sana."
Suara barinton milik Aries memang tidak terdengar oleh Ardan, hanya samar yang berakhir mengudara. Geram yang Aries rasa, pria itu akhirnya menyentuh bahu Ardan dengan begitu kuat sampai anak itu meringis kesakitan.
"Saya sudah bilang, jangan menyusahkan anak saya Panji, kalau kamu tidak ingin saya sakiti seperti ini." bisik yang Aries berikan sama sekali tidak berguna untuk Ardan. Kenyataannya Aries memang tidak pernah tahu kekurangan anaknya sendiri. Walau begitu, Aries tidak peduli.
Pria itu hanya memeberi peringatan ketika ia telah melihat Panji yang datang dengan nampan berisi pesanan mereka. Buru-buru Aries pergi dari tempat itu, lagipula kehadirannya di sana tidak ada artinya, mungkin hanya kebetulan, pikir Ardan saat itu.
Saat Panji datang dan menaruh nampan itu, pandangnya beradu dengan Ardan. Anak itu hanya diam membeku sampai arah pandangnya teralihkan oleh petik jari milik Panji.
"Lihat siapa?" tanya Panji, Ardan menggeleng, anak itu ragu untuk menceritakan apa yang dilihatnya baru saja.
Ardan hanya tidak ingin membahayakan Kakaknya untuk yang kesekian karena telah menolong dirinya. Ardan khawatir jika anxaman Aries menjadi kenyataan.
Tadi, ketika Dokter Thoriq memeriksakan Ardan, beliau mengatakan kalau Ardan harus rutin kontrol minimal sebulan sekali, karena alat bantu yang dipakai Ardan sudah cukup lama bahkan fungsinya sudah mulai berkurang. Hanya saja, Ardan tetap Ardan. Anak itu akan menolak jika harus di ajak ke rumah sakit.
Sejak kecil anak itu paling anti dengan gedung putih dan orang-orang dengan jas putih juga stetoskop yang selalu dikalungkan dileher. Ardan benci semua yang berbau rumah sakit. Namun, masa kecilnya memang selalu berakhir di rumah sakit, bukan karena dia sakit-sakitan, Ardan hanya sering mendapat komsultan dengan beberapa dokter yang menangani psikisnya.
Selama ini, Alsha selalu berusaha membujuk putra bungsunya ketika ada jadwal pertemuan demgan Dokter Melati. Dan berakhir gagal, sehingga Alsha menemukan cara agar putranya tetap bisa mendapatkan perawatan yang maksimal meski tidak di rumah sakit.
Awalnya Panji menentang keras kalau Ardan dibiarkan di rumah dengan situasi rumah yang begitu suram. Setelahnya, Alsha memberi sedikit pengertian pada Panji, barulah cowok itu memahami maksud dari ucapan Alsha.
Setiap dua minggu sekali, Dokter Melati datang ke rumah. Dokter cantik yang selalu menjadi idola Ardan saat ini.
"Gis, besok pulang sekolah kita ketemu Dokter Thoriq lagj, buat pasang alat bantu lo, oke?" ucap Panji, di sela makan malamnya, cowok itu mengusap punggung tangan adiknya agar Ardan bisa menatapnya dan mengerti apa maksud dari ucapannya. Tak perlu menunggu waktu, Ardan menjawab dengan gelengan sebelum anak itu bersuara dan membuat Panji harus membuang napas beratnya yang kesekian.
"Percuma sekolah, ngga bisa dengar apapun, lagian Pitter mana ngerti gue ngomonng. Udah ah, besok mau bolos aja." katanya santai lalu menarik pelan tangannya, sejenak Panji melirik adiknya dengan lekat. Membiarkan angin alam mengibaskan poni milik Ardan tertiup.
"Gis, gue sayang lo."
Merasa terintimidasi oleh Panji, Ardan menatap Kakaknya heran, dengan senyum miring yang menjadi khas kalau anak itu baik-baik saja.
"Makan!"
Sebuah lambai tangan di depan wajah Panji membuatnya tersentak, lalu tersenyum meski ia sendiri ragu untuk kembali ke rumah.
🍭🍭
Langit srmakin gelap, bintang telah bersinar bersama bulan, namun Ardan tak kunjung untuk memejamkan matanya. Anak itu memilih duduk bersila sambil menghadap keluar jendela, padahal dia tahu tubuhnya sudah sangat lelah matanya begitu kantuk ingin terpejam tapi tidak urung juga.
Tak lama suara langkah kaki yang masuk ke dalam kamarnya membuat Ardan tersentak, ketika ada seseorang yang menyentuh bahunya dari belakang. Wajah dingin Aries yang pertama kali dilihat, di gelap gulita dengan penerangan lampu yang redup di sana.
"Saya ke sini bukan untuk kembali, saya datang untuk memperingatkan kamu, jauhi anak saya atau kamu terima akibatnya."
Kali ini Aries berhasil membuat Ardan bungkam, dengan memberikan sebuah sertas bertuliskan apa yang ingin diucapkannnya. Mata anak itu membola, panas rasanya ingin sekali berteriak, sekali lqgi, jika dia berulah maka pria yang kini bersamanya akan bertindak sesuka hati, bukan pada dirinya saja, bahkan Panji dan Ibunya pun akan ikut celaka.
Ada getar ketika Ardan melihat tubuh tegap itu melangkah pergi keluar dari kamarnya, air matanya yang ditahannya sejak sore tadi berhasil lolos dari pertahanannya.
Ardan tidak mengira kalau Papanya sangat membenci hadirnya, padahal didalam tubuh Ardan juga mengalir darah seorang Daries Prambudi. Atau itu hanya kebohongan yang sengaja ditutupi oleh Alsha?
"Gis, kok belum tidur?"
Panji melangkah masuk, ketika pintu kamar adiknya terlihat terbuka. Cowok itu tidak berniat untuk mengganggu, bahkan dari balik sana Panji bisa melihat Ardan mengusap pipinya, setelahnya anak itu menoleh dengan terkejut melihat Panji sudah berada di belakangnya.
"Lo ngepain di sini, Bang?"
Panji terkekeh, bahkan ia lupa kalau adiknya itu tidak akan mendengarnya, langkahnya saja tidak bisa di dengar, wajar kalau Ardan tadi terkejut.
Panji pun mendekati dan duduk disebelah Ardan lalu mengusap pipi adiknya dengan senyum. "Lo mikirin apa sih, jam segini belum tidur?"
Ardan menggeleng, anak itu menyembunyikan sebelah tangannya dengan sebuah kertas yang sejak tadi ia genggam. Bahkan kerta itu sudah dirematnya kuat-kuat. Ardan menurunkan tangan Panji dari pipinya, membuat Panji heran.
"Sorry, gue mau tidur." ucapnya, lalu ia pun membaringkan tubuhnya dengan selimut yang ia tarik sampai menutupi kepalanya, Panji tidak bisa mengatakan apapun, ia pun beranjak dari sana lalu pergi meninggalkan Ardan setelah kembali menutup pintu kamar adiknya.
"Gue harus jauhin lo Bang... demi Mami dan keselamatan lo, gue harus jauh dari lo. Gue ngga mau lo dalam bahaya." gumam Ardan sebelum akhirnya anak itu terlelap dengan jejak air mata yang mulai mengering.
Semua orang tahu, ini awal sebelum akhir itu datang. Namun semua orang lupa, kalau perasaan kecewa itu selalu ada dan membekas sampai kapan pun. Untuk yang kesekian kalinya hati Ardan dipatahkan oleh kejamnya semesta dan takdir secara bersamaan.
Jangan biarkan panah itu menusuk terlalu dalam, jika akhirnya harus ditarik paksa dan membuat lukanya semakin melebar.
Ardani Algis
Terima kasih , salam manis NJ 🍭🍭
Publish 7 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro