ES. 5 PENGAMAT
Belum ada satu malam, Ardan sudah membuat Sabit kelimpungan. Anak itu pergi tanpa berbicara apapun, bahkan Ardan belum mengganti seragamnya, Sabit panik ketika mendapati Ardan tidak ada di kamar. Ardan itu memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, sewaktu-waktu bisa membahayakan dirinya sendiri. Seperti saat Panji pergi, anak itu sudah memperlihatkan sifatbya yang lain, dengan murung dan juga diam.
"Kak, kita mau cari Algis ke mana lagi? Ini udah malam, kak." suara Nakula membuat Sabit menoleh cowok itu hampir menyerah.
Sabit tidak ingin membuat Panji kecewa karena tidak bisa menjaga adik kesayangannya. Bagi Sabit kepercayaan yang Panji berikan sangatlah mahal, kalau pun bisa ditukar, Sabit akan menolaknya.
Kali ini Nakula berperan penting dalam pencarian, selain adik Sabit, Nakula juga salah satu orang yang dekat dengan Ardan, walau beda kelas, Nakula suka menyempatkan waktunya untuk berkunjung ke kelas Ardan.
"Na, Kakak yakin Algis masih di sekitar sini, coba kamu telepon Pitter deh, siapa tahu dia lihat atau Algis ada di sana." ucap Sabit, Nakula mengangguk paham. Ia cepat-cepat merogoh saku celana pendeknya untuk mengambil ponsel. Belum ada satu menit, ponsel Nakul berdering.
Ardani Algis calling...
"Siapa Na?"
"Algis Kak, bentar... hallo, Gis lo di mana?"
Suara lirih itu terdengar sangat jelas oleh Nakula saat sambungan teleponnya terhubung. Nakula hanya diam mematung di tempatnya, membiarkan angin mengibas rambut miliknya. Sementara di sebrang sana suara itu terus berceloteh.
"Yaudah lo tunggu di sana, gue sama Kak Sabit nyusul. Jangan ke mana-mana." kata Nakula, entah Ardan mendengarnya atau tidak.
"Gimana? Dia di mana Na?"
Sabit menyahut setelah Nakula memutuskan sambungan teleponnya, anak itu melirik Sabit sebentar sebelum menjawab dengan nada yang begitu pelan.
"Dia di gedung tua dekat sini, dia sendirian Kak, dia nangis tadi. Aku ngga yakin suara aku barusan bisa di dengarnya."
Sabit mengangguk paham, siapa yang tidak tahu Ardan. Anak itu istimewa, memiliki kelebihan di atas rata-rata. Tak mau membuang waktu, Sabit membawa Nakula bersamanya, usai menyambar kunci mobil mereka pun segera bergegas pergi.
"Kak, lo tahu ngga, waktu itu Ardan pernah bilang dia lebih suka terang dibanding gelap. Dan lo akan kaget cerita gue ini, di gedung itu benar-benar gelap Kak."
Sabit menoleh, sebentar sebelum fokusnya kembali pada jalanan, rasanya jarak rumah menuju gedung itu terasa jauh. Sialnya Sabit hanya bisa mengumpat berkali-kali karena lengah.
"Shit! Harusnya Kakak ngga tinggalin dia sendirian."
"Udah Kak. Lo ngga salah, lagian Ardan cuma kesel sama Kak Panji aja 'kan?"
Sabit diam, cowok itu tidak menyahut apapun lagi. Yang dia ingin saat ini adalah menemukan Ardan sebelum Panji menanyakan keberadaan adiknya jika tidak mendengar suara Ardan.
Bagi Nakula, Ardan seperti adiknya sendiri, dia juga suka memanjakan Ardan jika anak itu menginap di rumah mereka. Ardan itu labil, emosinya bisa berubah-ubah. Terkadang Nakula heran mengapa anak seceria Ardan bisa memiliki penyakit yang unik. Sisrem dengar dengan gangguan mental yang cukup mengejutkan.
Rasa yang dialami Panji selalu menyeruak dalam benak Sabit, Nakula dan Pitter. Panji memang tidak banyak bicara tentang kesehatan Ardan apapun itu. Hanya saja orang-orang seperti Sabit tidak bisa menahan diti untuk mengetahui masalah sahabatnya. Yang Sabit tahu Panji selalu menutup akses untuk orang lain, bahkan dirinya salah satu orang yang sempat Panji jauhi sebelum Panji mulai terbuka dan menjadikan Sabit sebagai sandaran ketika dia rapuh.
"Berhenti Kak! Itu Ardan," ucap Nakula, Sabit buru-buru menepikan mobilnya, lalu mereka berdua pun turun. Dengan cepat Nakula berlari lebih dulu lalu menubruk tubuh Ardan untuk memeluknya.
"Gis, lo ngga apa-apa?" tanya Nakula, sesekali Nakula mengusap tubuh Ardan untuk menenangkan anak itu. Nakula yakin Ardan sudah menangis ketakutan. Terlihat dari bagaimana jejak air mata kering di pipinya.
"Gis, maafin Kak Sabit ya, kita pulang yuk." ucap Sabit ketika cowok itu baru sampai lalu menangkup kedua pipi adik sahabatnya. Ardan hanya diam, anak itu tidak tahu harus menjawab apa yang dia ingin hanya pergi dari sana lalu bertemu Panji.
🍭🍭
"Ardana, kamu ngga mau peluk Papa?"
Suara barinton milik Aries sudah menjadi salam pembuka ketika Panji baru saja keluar dari dalam kamarnya. Cowok itu perlahan menuruni anak tangga tak peduli seberapa keras Aries memanggilnya. Panji muak, harusnya pria itu tidak perlu repot untuk pulang jika akhirnya Ardan yang harus diungsikan.
Panji yakin saat ini Aries sedang merencanakan sesuatu untuk mengusir Ardan. Setibanya di rumah tadi, Panji sama sekali belum melihat Alsha, Ibu-nya. Bahkan Panji juga tidak melihat tanda-tanda kalau ada makan malam di atas meja makan. Panji menoleh sebentar untuk memastikan kalau semuanya baik-baik saja. Ketika langkahnya benar-benar sampai di lantai dasar, suara tangis yang begitu nyaring membuatnya harus mengalihkan pandang, menuju satu ruangan di dekat ruang tamu.
"Papa habis pukulin Mami?" suara dingin Panji membuat si empunya nama menoleh lalu mengangkat sebelah alisnya tanpa dosa. Pria itu mencimingkan matanya dengan bangga ia pun menyeringai.
"Papa cuma kasih pelajaran, supaya Mami kamu ngga durhaka sama suami."
"Gak waras ya, Papa kira semua masalah bisa di selesaikan dengan cara begitu, Pa ingat, dosa Papa udah numpuk, bahkan Malaikat pencatat amal jelek saja sudah bosan menulis nama Papa. Harusnya Papa taubat, atau lebih baik Papa pisah aja sama Mami kalau Papa mau tenang."
"Sebenarnya Papa mau melakukan itu, usulan kamu bagus juga, tapi ada syaratnya, kamu ikut dengan Papa."
Sejenak Panji terdiam memikirkan syarat yang diajukan oleh Aries. Sungguh ini bukan jalan keluar yang lebih baik. Namun, sekali lagi, petik jari Aries kembali membuyarkan lamunannya. Panji berkedip, menatap sosok Papanya yang sudah berdiri persis di depannya.
"Gimana? Kamu akan hidup enak, adik sama Mami kamu selamat... ups, hanya Alsha, bukan anak itu."
"Aku pikirin dulu."
Aries hanya mengangguk seolah paham, tapi detik berikutnya Alsha datang dengan mata sembabnya lalu mendaratkan tangannya di pipi titus milik Aries. Panji yang semula tenang berubah menjadi kejut yang di sertai pekik tidak menyangka kalau apa yang dibayangkan selama ini terjadi lagi.
"Kamu pikir, kamu sudah menang? Jangan mimpi Mas, kamu itu pengecut, bahkan setelah kamu membuat jejak di hatiku saja kamu masih berani ingin memisahkan Panji dan Algis? Kamu waras? Kamu..."
Ucapnya terhenti, ketika suara pintu utama dengan langkah kaki yang perlahan memasuki ruangan itu menatap tajam ke arah tiga orang di sana.
"Gis kita ke rumah gue aja yuk, Papa lo lagi marah banget kayaknya."ucap Nakula, Ardan menggeleng, anak itu bahkan melangkah mendekati keluarganya membiarkan Nakula dan Sabit berdiri di tempatnya.
Panji yang terkejut setengah mati cowok itu melangkah lebih cepat, niat untuk menghentikan Ardan namun di tepis oleh anak itu, pandangnya tertuju pada Sabit. Panji pun menghampirinya lalu membawa keduanya keluar dari rumah.
"Kalian gimana sih, kenapa Ardan di bawa balik, gue nitipin karena di rumah ada Papa, Mami gue habis berantem."
"Gue tahu Dan, gue tahu. Tapi kejadiannya ngga gitu. Adek lo tadi kabur dari rumah gue, gue ngga tahu alasan dia kabur itu apa, tadi waktu gue mau ajak dia balik, dia minta pulang ke rumahnya, dia ngga mau jauh dari lo. Ji ini diluar dugaan gue. Sorry."
Panji mengerti tapi keadaannya sedang tidak baik, kedatangan Ardan akan membuat semuanya semakin pecah. Baru saja Sabit dan Nakula akan pergi, suara pekik keras Aries membuat mereka buru-buru masuk ke dalam rumah.
Pandangan Panji tertuju pada Ardan yang duduk bergetar di sudut tangga sambil menutup kedua telinganya, sementara Aries berdiri mencekam lengan Alsha dengan kuat sampai wanita itu memekik.
"Saya harap kamu bisa pikirkan lagi, jika kamu ingin hidup tenang bersama saya, jauhi anak itu dan tinggal bersama saya diluar kota."
"Gis, kita ke kamar ayok." suara lembut Panji belum bisa membuat Ardan tenang, sampai akhirnya peluk hangat yang Panji berikan anak itu pun masih beluk bisa mengendalikan dirinya. Betulang kali anak itu menyalahkan dirinya.
Yang Panji tahu Papanya tidak pernah main tangan, walau pun pernah, tapi tidak pernah sampai membuat jejak. Meski sampai detik ini Panji melihat Maminya menangis karena Aries, percayalah Aries tidak benar-benar memukul. Bahkan sebelum semua ini terjadi, Panji sempat memperhatikan telapak tangan Papanya yang memerah, serta punggung tangannya yang lecet.
"Om, tenang ngga enak sama tetangga." Sabit mengambil alih suasana di sana, sementara Nakula membantu Panji mengantarkan Ardan ke kamarnya.
Walau Sabit bukan siapa-siapa, tapi Sabit tahu kehidupan keluarga sahabatnya seperti apa. Orang tua Panji memang tidak seperti orang tuanya, bahkan kedua orang tua Panji sedang berada di ujung perpisahan. Kali ini Sabit mengerti bagaimana Panji bersikap biasa saja pada semua orang.
Suasana yang semula memanas kini mulai menenang, Panji membawa Alsha ke kamar miliknya, membiarkan ibu dua anak itu menenangkan pikirannya, memang tidak ada jejak tamparan atau apapun di sana, hanya saja sembab mata Aslha sangat mengganggu Panji. Sementara Aries, pria itu memilih pergi dan kembali ke apartemennya.
"Mami, beneran ngga di pukul Papa?" tanya Panji, lagi-lagi wanita itu menggeleng. Wanita itu menatap putra sulungnya dengan denyum yang di paksa.
"Engga, Ji. Papa kamu ngga pernah main tangan sama Mami, kalau pun iya, Mami dari dulu udah pisah sama Papa."
"Mi, aku ngga mau lihat pertengkaran lagi, kasihan Ardan. Dia bahkan ketakutan tadi, harusnya aku bisa ajak Ardan pergi dulu."
"Adik kamu punya keistimewaan, kalau ditinggal dia akan mencari, jadi jangan sekali-kali pergi jauh dari Ardan."
Sejenak Panji diam. Dia kembali mengingat ucapan Papanya yang begitu menyebalkan. Tapi, untuk saat ini Panji hanya perlu meyakinkan Ardan saja 'kan?
Senyumnya mengembang, walau tidak seperti biasanya, setidaknya itu bisa membuat Alsha tenang dan tidak merasa curiga.
"Yaudah, Mami tidur di sini aja, aku mau temenin Ardan dulu. Kasian Nakula saka Sabit takut pulang terlalu malam nanti." ucapnya, Aslha mengangguk membiarkan Panji pergu meninggalkannya.
Di dasar sana Alsha khawatir pada kesehatan Ardan. Sejak kecil anak itu sudah menerima penolakan dari ayahnya sendiri. Dan sekarang, penolakan itu benar-benar akan terjadi. Setiap detiknya Ardan hanya bisa berdoa, kalau suatu saat nati Papanya akan melihat siapa Ardan.
"Aku diam bukan berarti aku tidak tahu."
Salam manis NJ
Adakah yang menanti Ardan? Mana suaranya ☝️☝️☝️
Terima kasih 🍭🍭🍭
Publish 4 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro